Google
 

Minggu, 20 Februari 2005

I Ketut Suwidja, Hidup dengan Lontar

Lelaki tua itu duduk lemah di atas kasur tipis kusamnya yang dibalut tikar pandan. Sebuah buku folio anyar menemani, lengkap dengan ballpoint warna hitamnya. Sesekali tangan kirinya membolak balik lembar demi lembar dari buku itu. Tapi, tak ada satu pun goresan yang terlihat di sana. “Tangan kanan saya tidak bisa digerakkan. Tidak bisa lagi dipakai nulis,”keluh I Ketut Suwidja,BA.
Kesehatannya yang tak lagi prima, membuat Suwidja kini tak seaktif dulu. Jangankan untuk menulis lontar seperti dulu, untuk menggerakkan tangan saja Suwidja kesulitan. Sejak hampir setahun belakangan, tokoh sastra yang punya jasa besar dalam pelestarian bahasa Bali Kuno ini harus menghabiskan hari-harinya di atas tempat tidurnya. Kamar sederhana di rumah putranya di Kota Singaraja, dipilih kelahiran 20 November 1939 ini sebagai tempat menghabiskan masa tua. Kacamata tebal dan rambut gondrongnya yang sudah memutih, masih menyisakan gambaran sosok sastrawan dalam diri kakek 7 cucu itu.
Siapa Suwidja? Mungkin anak muda Bali sekarang sudah tak lagi mengenal sosok Suwidja. Tapi di kalangan pecinta sastra, namanya seakan sudah ada di angkasa. Tak tanggung, ia biasa disebut sebagai kamusnya sastra Bali Kuno. Itu karena pengetahuannya yang luar biasa mengenai seluk beluk sastra Bali.
”Waktu saya saya masih kanak-kanak, kakek dan bapak saya suka baca lontar,”terang Suwidja, memulai cerita masa lalunya. Tak sekadar gemar, sang ayah juga menjadi juru basa (pakar bahasa) dalam sekaa gong (kelompok penabuh) di desanya. Sementara sang kakek, sangat menyukai kidung Bagus Diarsa yang bercerita soal ayam. “Karena kakek suka ayam aduan,”ceritanya sambil terbahak. Karena banyak penyuka sastra di rumahnya, sejak kecil ia terbiasa dengan beragam jenis kidung dan kekawin. ”Kalau saya sakit, diemong dengan kekawin,”ujar pria asal Desa Bulian Buleleng itu. Mulai dari kutipan-kutipan Ramayana, hingga Bharata Yudha. ”Hana sira ratu dibya rengan.... (ada seorang raja bijaksana). Wah, saya sudah lupa,”akunya sambil terus berusaha mengingat.
Sejak kelas 6 SD, Suwidja mulai memendam rasa penasaran untuk bisa menyanyikan sendiri kekawin-kekawin itu. Kegemaran menonton wayang dan segala lakonnya, menambah kuat rasa penasarannya. Dari situ kemudian muncul minat untuk membaca lontar. ”Saya coba-coba untuk baca lontar yang ada di rumah. Baris demi baris, seakan memperkuat keinginan. Di rumah ada sekitar 50 lontar warisan,”
Sejak kelas 2 SMP, Suwidja mulai mengenal Museum Gedong Kertya, tempat ratusan lontar-lontar kuno sastra Bali disimpan. Tiap malam, Suwidja kecil mendatangi museum di tengah Kota Singaraja itu. ” Awalnya cuma main-main sambil mengkhayal. Lama-lama, saya tahu kalau dekat sana ada kamar mayat rumah sakit. Jadi takut kesana malam. Akhirnya siang-siang saya ke sana. Dari sana kenal pegawainya, baru mulai baca-baca lontar. Dilatih sama pegawainya di sana,” cerita Suwidja sambil menyebutkan sejumlah nama yang dikatakan sebagai orang-orang yang membantunya belajar.
Sejak mengenal lontar dan Gedong Kertya itulah, perjalanan sastra Suwidja mulai melesat. Ia bahkan menjadi peminjam buku salinan lontar paling rajin pada saat itu.”Tanda-tanda pinjamannya sampai sekarang masih ada. Ada bukunya, di sana ada nama saya,”kenangnya. Sekali pinjam, Suwidja bisa memboyong 3 salinan lontar sekaligus ke rumahnya. Buku-buku yang dipinjamnya, kebanyakan berisi tentang masalah kanda (pengetahuan umum) dan kediatmikan (pengetahuan untuk menghambat hujan). Saat itu, banyak orang di desanya yang menyukai masalah-masalah itu. ”Karena lingkungan mempengaruhi, saya jadi makin suka.” Saat menginjak kelas 3 SMP, Suwidja mulai mencoba kemampuannya dengan menulis lontar. Tak hanya menulis aksara bali, ia juga belajar membuat lukisan di atas daun lontar (biaa disebut prasi). Untuk belajar membuat prasi, ia bahkan merengek ke orang tuanya untuk dibelikan prasi yang harganya saat itu lumayan mahal.
Untuk melaksanakan tekadnya belajar menulis dan menggambar lontar, Suwidja mengupayakan sendiri daun lontar dari pohon-pohon lontar yang ada di kawasan Kubutambahan Buleleng. Sebelum digoreskan menggunakan alat sejenis jarum besar, lontar yang didapat masih harus diolahnya dulu. Serat lontarnya dihilangkan, digunting sesuai ukuran, direbus, kemudian dikeringkan. ”Kalau lontarnya sudah lemas, baru digoreskan aksara Bali. Sesudah itu, lontar digosok dengan kemiri dicampur minyak tanah, biar tulisannya menghitam,”jelas Suwidja tanpa canggung. ”Jadi waktu saya, saya habiskan begitu saja. Buat lontar. Teman-teman mancing, saya buat lontar di rumah.”
Ukuran lontar untuk setiap isi, berbeda. Untuk kekawin, lontar harus berukuran 50 cm. Sentara kidung 35 cm, pengetahuan umum (kanda) 20 cm, tentang black magic 15 cm, dan pengetahuan nerang hujan 10 cm. Karenanya, setiap kali mencari lontar ia selalu memilih lontar berukuran panjang untuk menulis kekawin.
Karya pertama yang dihasilkannya, tak jauh-jauh dari masalah Kerajaan Majapahit. Sayang, tak banyak yang diingat Suwidja. Ia hanya mampu menyebut Kekawin Negara Kerthagama. ”Nggak ingat judulnya,”tandas Suwidja sambil mencoba menyanyikan beberapa bait kekawin yang dibuatnya. Yang jelas, kalau ada hal-hal tentang Majapahit, ia pasti tertarik. Selain itu, ia juga tertarik dengan karangan-karangan Dr. CC Berg, ahli kebudayaan dari Belanda. Diantaranya, Kidung Ranggalawe, Kidung Swalantaka, dan Kidung Sundayana. ”Isinya sangat menarik bagi saya. Tentang sejarah majapahit,”
Beberapa keinginan Suwidja untuk mengembangkan bakatnya, sempat dapat tentangan dari ang ayah yang guru SD. Saat dia minta dibelikan buku untuk menyalin lontar misalnya, sang ayah terus mengomeli. ”Bapak bilang, gituan diurusin. Sekolah saja yang rajin. Tapi akhirnya dibelikan buku harga 9 rupiah. Dulu 3 rupiah sudah dapat 2 kg beras,”kenangnya. Sementara sang kakak memberikan dukungan penuh. ”Saya dibelikan parker. Harganya mahal, Rp 1.200 waktu itu.”
Tak hanya menulis lontar, ia juga belajar mengembangkan bakatnya membuat wayang. Wayang-wayang itu dijualnya ke sejumlah dalang. Biasanya dijual Rp 2.000-3.000 per wayang. Hasilnya lumayan, ia bisa beli celana, baju, dan dipakai bekal kuliah di Jurusan Arkeologi, Universitas Udayana. Bukan hanya wayangnya yang dijual. Lontar karyanya juga banyak digemari, bahkan oleh orang Belanda. Melalui temannya, Suwidja menjual lontar karyanya dengan harga sekitar Rp 1.000-2.000 percentimeter. ”Jadi dapat lontar 10 lembar, dapat lah uang untuk beli beras. Punya ketrampilan menulis lontar, sebenarnya penghasilan,”ingatnya. Dari hasil wayang dan lontarnya, ia bisa membiayai kuliahnya sendiri yang sebesar Rp 2.400 per tahun. Bahkan saat kuliah pun, kegiatan membuat sekaligus menjual wayang dan lontar pun tetap diteruskan. “Ke Denpasar saya bawa kayu untuk alas nulis lontar, bawa kulit sapi, bawa lontar juga,”ceritanya.
Saat lulus kuliah, ia seolah tak terpikir untuk mencari pekerjaan lain selain di Gedong Kertya. Dari bekerja di Gedong Kertya itulah, Suwidja kenal dengan banyak para sarjana asng seperti Peter Wordley, budayawan asal Australia yang mempelajari babad Buleleng, Tilman Sebas, ahli musik dari Swiss, Urs Ramsey, ahli kebudayaan Swiss, dan Douglas Miles, budayawan asal Australia yang datang untuk belajar kebudayaan Buleleng. Selama itu juga, banyak karya yang dihasilkannya.
Mulai dari membuat transkripsi lontar untuk membantu peneliti muda Hooykaas, hingga membuat buku tentang bahasa Bali kuno. Hooykaas juga sempat kepincut dengan puisi berbahasa Bali dan Indonesia dengan membuat buku puisi. Ada juga buku tentang pengobatan Bali yang diterbitkannya, ditambah artikel-artikel yang rutin di tulis dalam koran harian lokal. Ia juga pernah membuat terjemahan wariga (hari-hari baik) dalam bahasa Indonesia. Hingga saat ini, ia telah membuat sebanyak 15 buah karya lontar dalam 15 judul. Masing-masing judul terdiri dari 15-20 lembar. Sayang, tak ada satu pun lontar yang tersisa di rumahnya. ”Semua dijual. Tamu-tamu asing kebanyakan memerlukan lontar.” Ia ingat betul, karya terakhirnya dihasilkan tahun 2004 lalu yang dijual Rp 30.000. ”Tapi tulisan saya sudah jelek. Tidak bisa dibaca.”
Ia mengaku menyesal melihat minimnya perhatian anak muda sekarang terhadap sastra Bali. ”Kalau diarahkan, dan diberi kesempatan, anak-anak muda ABG sebenarnya bisa untuk melanjutkan. Tapi orang yang mau mengarahkan, tidak ada. Sekarang tidak ada yang memperhatikan. Manusianya yang memotivasi tidak ada. Tidak ada yang menyapa, tidak ada yang tersenyum. Seharusnya beri mereka kebebasan untuk membaca, menulis, dan mengerti.”
Aktivitasnya di Museum Gedong Kertya Buleleng yang dimulai 1965, berakhir 1995 saat ia mencapai masa pensiunnya. Namun itu bukan berarti kreativitasnya mandek di sana.Ia masih punya obsesi yang tidak mudah. ”Saya ingin nulis soal local genius. Misalnya ada Aceh, Bali, Jawa. Semuanya memiliki topik-topik yang sangat berharga. Ini mesti dikembangkan berupa karangan sebagai rumah kebudayaan. Jangan sampai rumah kebudayaan ambruk dengan tidak bisa memperjuangkan apa-apa yang diwariskan. Misalnya tentang jajanan untuk upacara. Jajanan upacara itu kan bermacam-macam. Ini bisa dijabarkan berupa karangan, disajikan misalnya dengan foto. Ini jajan matahari, jajan bulan, jajan naga, jajan barong. Lalu disajikan dengan cukup genius. Berupa buku yang lux. Dengan warna yang indah,”begitu angan Suwidja.
Tak hanya itu, ia juga ingin membahas kata demi kata di lontar dalam bahasa Indonesia. Setelah itu, baru kemudian ingin diterjemahkan kembali dalam bahasa Inggris. Ia juga ingin menghimpun lakon-lakon drama gong dalam lontar. ”Dari dulu saya suka memburu lakon-lakon wayang. Sampai banyak tokoh yang meninggal, belum pernah ada yang bahas lakon drama gong.
Ia berharap, buku folio yang telah beberapa hari ini dipegangnya, berisi materi-materi tulisan dari kepalanya dengan bantuan sang menantu.”Kalau tangan saya yang kanan bisa dipakai lagi, segar. Bisa nulis lagi,” harapnya. [Komang Erviani / pernah dimuat di Harian Media Indonesia]

Penghargaan yang pernah diraih :

• Penghargaam Listibiya (Majelis Pertimbangan Kebudayaan) Propinsi, 1982
• Penghargaan Listibiya Kabupaten Buleleng, 1982.
• Penghargaan Pemerintah Provinsi Bali , 1998
• Penghargaan sebagai pembaca lontar Bali dari Departemen Agama, 1999
• Penghargaan Pemerintah Kabupaten Buleleng, 1999
• Penghargaan Sastra Bali dari Yayasan Rancage, 2001
---------------------------------------------------------------------------------------------


Dr. Nyoman Darma Putra, M.Litt
Berkat Suwidja, Sastra Bali Dikenal Dunia

I Ketut Suwidja adalah sosok luar biasa bagi sastrawan Dr. Nyoman Darma Putra, M.Litt. Lulusan Sastra Universitas Udayana yang melanjutkan pendidikannya di Australia ini, melihat Suwidja sebagai sosok yang punya peran besar dalam pengembangan bahasa Bali. Itu berkat berkat keaktifannya dalam penulisan dan transkripsi lontar-lontar Bali. Tak hanya transkripsi, ia juga kerap menerjemahkan lontar bahasa Bali ke dalam bahasa Indonesia. ”Semua itu sangat berharga untuk pengembangan bahasa Bali sampai sekarang,”begitu Darma.
Suwidja juga membantu banyak peneliti muda dalam penelitiannya soal sastra Bali, seperti Peter Worsley (peneliti dari Australia) dan Hooykaas (peneliti Inggris). Kerjasamanya dengan Hooykaas, membuat transkripsi lontar ke dalam huruf latin, hingga kini meninggalkan jejak berupa tersebarnya buku-buku hasil transkripsi itu ke sejumlah perpustakaan dunia. Diantaranya di British Library (Inggris), perpustakaan University of Sydney (Australia) dan di sejumlah perpustakaan pribadi peneliti asing. Suwidja telah membuat sastra Bali dikenal luas di dunia.
Sebagai orang Bali, Suwidja tak hanya tahu bahasa Bali dan banyak baca lontar. Ia juga mencipta sejumlah karya sastra Bali modern, seperti puisi berbahasa Bali dan puisi liris. Jasanya yang penting, yakni menerjemahkan puisi bahasa Inggris ke dalam bahasa Bali. Puisi yang diterjemahkan waktu itu adalah karya Boris Pasternak yang berjudul angin. ” Itu terjemahan pertama puisi asing ke dalam bahasa Indonesia. Tahun 70-an sudah dilakukan. Ini satu langkah percobaan yang berani. Padahal konsep bahasa Inggris dan Bali jaraknya jauh. Tapi pak Suwidja bisa,”tambah pria kelahiran 1961 ini.
Suwidja bagi Darma bisa dilihat sebagai kamus sastra Bali kuno dan tradisional. ”Dia tahu seluk beluk naskah kuno. Apa yang kita tanya, dia pasti tahu. Dia rajin nulis. Tidak saja ketika muda, tapi juga masa sekarang. Walau sakit, vitalitas untuk mencipta tetap tinggi.”
Darma sendiri mulai mengenal sosok Suwidja di tahun 1980-an, saat masih berstatus mahasiswa. ”Saya baca tulisannya tentang sastra Indonesia, sastra Bali, dan tulisan di koran,”tutur Darma. Kekagumannya terutama pada kerendahan hati Suwidja yang seperti menerapkan ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Suwidja merupakan sosok sastrawan serba bisa. Ia bisa menulis aksara Bali, sastra Bali tradisional, hingga sastra modern. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media Indonesia]

Selasa, 15 Februari 2005

Berburu Eksotisme 'Sunset'

Siapa yang tak mengenal keindahan 'sunset' (matahari tenggelam) di Bali? Setidaknya, sunset menjadi salah satu daya tarik wisata Bali yang banyak dicari wisatawan. Baik itu wisatawan domestik, wisatawan mancanegara, atau bahkan masyarakat lokal.

MESKI Bali lebih dikenal dengan pesona sunset Pantai Kuta, tak berarti hanya Kuta yang mampu menampilkan eksotisme tersebut. Pesona sunset nan eksotis juga dapat dinikmati dari banyak lokasi di kaki Pulau Bali.
Memandang sunset dari beberapa titik di kaki Pulau Bali, mampu membawa siapa pun menjadi seolah berada di 'alam lain'. Pasir putih di hampir semua pantai sekitar kawasan tersebut, menjadikan nuansa keindahan itu makin terasa.
Meski sama-sama berpasir putih, namun memandang sunset di setiap pantai akan memberikan nuansa berbeda. Pesona sunset di satu titik, tidak bisa dinikmati secara sama di titik lainnya. Masing-masing menyimpan keunikannya sendiri.
Ada beberapa pantai di kawasan barat kaki Pulau Bali yang banyak diburu untuk menikmati sunset. Salah satunya dan yang paling terkenal adalah Pantai Kuta.
Pantai yang sejak awal digemari karena sunsetnya ini, memang mampu menghadirkan pesona sunset yang sarat keindahan. Pantainya yang luas dan berpasir putih, membuat sunset di kawasan ini bisa dinikmati dengan leluasa. Tak ada penghalang saat memandang keindahan sunset Pantai Kuta.

Dari Balangan Hingga Suluban
Selain Pantai Kuta, pesona sunset juga dapat dinikmati di Pantai Balangan.
Dari Pantai Kuta, Balangan bisa ditempuh kendaraan selama 20 menit ke arah Selatan. Pantai yang terletak di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan ini, menyajikan sunset dengan bentuk lain.

Panjang pantai yang dibatasi tebing tinggi di sisi kanan dan kirinya, membuat arah pandang menuju sunset cukup terbatas. Namun hal itu tak mengurangi pesona sunset di pantai ini.

Tebing tinggi yang membatasinya, justru memberikan pesona yang unik dan menarik. Hal lain yang membedakan Balangan dengan Kuta, pasir pantai Balangan terlihat jauh lebih putih dengan kontur yang lebih kasar.

Melangkah sedikit ke arah selatan Balangan, pesona sunset lain sudah bisa dinikmati dari Pantai Dreamland. Sesuai namanya, Dreamland memang benar-benar sebuah tempat impian. Luas Pantai Dreamland dengan Balangan yang hanya disekat tebing, memang tak jauh berbeda.

Panjang Pantai Dreamland tak lebih dari setengah kilometer. Meski sangat dekat dengan Balangan, bukan berarti Dreamland tak memiliki daya tarik tersendiri. Dreamland justru menawarkan pesona sunset yang jauh lebih menarik.

Sunset di Dreamland bisa dinikmati langsung dari pantainya, atau sekadar duduk di atas tebing yang menghadap ke pantai. Kedua cara berbeda itu memberikan nuansa keindahan yang juga berbeda.

Pantai Padang-Padang menjadi pantai selanjutnya yang banyak dimanfaatkan wisatawan untuk menikmati pesona sunset. Pantai di sebelah selatan Dreamland --masih di Desa Pecatu-- ini, juga cukup sempit. Panjangnya bahkan tak lebih dari separuh panjang pantai Dreamland.

Labuan Sait, demikian orang biasa menyebut pantai ini. Yang membuatnya unik dibandingkan pantai lainnya, Padang-Padang memiliki sebuah terowongan pendek menurun yang harus dilewati untuk mencapai pantai. Keindahan sunset Padang-Padang juga bisa dinikmati hanya dari pinggir jalan, karena lokasinya yang sangat dekat dengan jalan umum.

Tak lebih dua kilometer dari arah Padang-Padang, kita bisa menemukan Pantai Suluban yang terkenal karena menjadi lokasi syuting video klip grup musik dunia, 'Michael Learns to Rock'.

Berbeda dengan empat pantai sebelumnya, Suluban tak memiliki pantai yang bisa dimanfaatkan untuk menikmati sunset. Sunset di Pantai Suluban seringkali hanya bisa dinikmati dari atas tebing. Pasir di pantai ini hanya sesekali bisa dinikmati pengunjung, saat laut sedang surut. Saat pasang, ketinggian air tidak memungkinkan untuk itu.
Uluwatu, menjadi tempat paling ujung yang menyajikan sunset dengan cara yang cukup spektakuler. Pasalnya, sunset dari atas tebing tinggi ini tak hanya dinikmati dengan cara biasa.

Sebuah pertunjukkan tari kecak yang luar biasa, memberi nuansa yang benar-benar eksotis dari sebuah sunset. Meski tanpa pesona pantai seperti tempat lain, Uluwatu justru menyajikan sunset yang jauh lebih unik.

Akses Mudah, Fasilitas Lengkap
Meski sama-sama menyajikan keindahan, sunset di Pantai Kuta tampaknya jauh lebih digemari. Hal itu tampak dari banyaknya wisatawan yang berkunjung untuk menikmati sunset di pantai ini. Minimal, puluhan pengunjung tampak menikmati sunset di Kuta setiap harinya. Bahkan, sunset di Kuta justru seringkali dinikmati oleh ratusan pengunjung.

Banyaknya penikmat sunset di Kuta, tampaknya tak terlepas dari akses yang memang jauh lebih mudah. Sarana prasarana pendukung di kawasan Pantai Kuta dan sekitarnya yang jauh lebih lengkap, membuat Kuta paling mudah diakses.

Kondisi itu sangat berbeda dengan kondisi pantai lain, baik Balangan, Dreamland, Padang-Padang, Suluban atau Uluwatu. Sarana dan prasarana yang ada di pantai-pantai lain selain Kuta, bisa dikatakan sangat minim.

Belum lagi akses jalan ke kawasan itu yang sangat tidak memadai karena tanpa penerangan jalan. Hal itu menimbulkan kerawanan bagi para pengunjungnya.
Sunset di Balangan, Dreamland, Padang-Padang, Suluban atau Uluwatu, justru lebih banyak dinikmati wisatawan asing atau masyarakat lokal.

Hal itu berbeda dengan sunset dari Pantai Kuta yang juga banyak dinikmati wisatawan domestik. Sebagian besar wisatawan asing yang menikmati sunset di Balangan, Dreamland, Padang-Padang atau Suluban, umumnya merupakan wisatawan penghobi surfing. Itu karena pantai-pantai tersebut dikenal sebagai kawasan surfing yang cukup menantang. [Komang Erviani / pernah dimuat di Harian WARTA BALI]

Minggu, 13 Februari 2005

Tebing Diincar, Warga Seberang Gusar

Dalam beberapa tahun terakhir ini, trend perkembangan pariwisata cenderung mengarah ke daerah-daerah pedesaan, terutama tebing-tebing sungai yang menawarkan nuansa tenang dan nyaman dengan view yang menawan. Sebagaimana yang pesat berkembang di kawasan Ubud dan sekitarnya. Sederet hotel berbintang kini telah bertengger di sepanjang tebing Sungai Campuhan, Sungai Ayung maupun Sungai Petanu. Namun, hal tersebut belum dibarengi dengan langkah antisipatif dari pemerintah, sehingga kehadiran para investor tersebut justru memicu permasalahan baru dan kerap memicu konflik antara investor dengan warga masyarakat setempat, terutama di seberang tebing. Mengapa?

KONFLIK yang terjadi antara masyarakat dengan manajemen Hotel Alila di Payangan, Ubud, Gianyar, atau pun konflik antara Maya Resort, Ubud beberapa waktu lalu, merupakan beberapa contoh kasus, yang menggambarkan betapa 'view' merupakan potensi konflik yang cukup besar. Gara-gara ketidakpuasan masyarakat atas kontribusi yang diterima dari penikmat view (pihak hotel), konflik pun sempat tersulut. Masalah seperti ini dapat terjadi dimana pun dan kapan pun.
Kasus hotel Alila memang berhasil diselesaikan dengan kesepakatan yang dibuat antarkedua belah pihak yang bertikai. Meski demikian, menurut pelaku pariwisata, Yos WK. Amertha permasalahan tersebut tidak bisa hanya diselesaikan melalui kesepakatan. Yos menilai perlu dibuat sebuah landasan hukum yang secara tegas mengatur permasalahan tersebut. Sebuah aturan, apapun bentuknya, mutlak diperlukan untuk mengatur hubungan masyarakat dengan investor.
Kesepakatan yang dihasilkan antara masyarakat dengan investor, tidak bisa menjadi parameter bahwa konflik telah selesai. Pada banyak kasus, investor juga seringkali berada di posisi tawar yang lemah. Investor umumnya 'terpaksa' sepakat untuk menghindari anarkhisme massa. Selain itu, masih ada kemungkinan munculnya tuntutan yang lebih besar kepada pengusaha dalam waktu-waktu yang akan datang. Artinya, potensi konflik itu masih akan tetap terpelihara selama tidak ada landasan hukum tegas atas hal itu. Tanpa aturan yang jelas, potensi konflik itu akan membuat iklim investasi di Bali semakin tidak kondusif bagi investor asing.
Untuk menghindari konflik dengan masyarakat, pemerintah harus membuat tata ruang yang jelas bagi kegiatan investasi. Selama ini, hampir seluruh wilayah di Indonesia cenderung meremehkan keberadaan tata ruang. Padahal tata ruang sangat penting untuk menampung kepentingan semua stakeholder, baik industri, petani, dan lainnya.
Keberadaan aturan tata ruang, perlu dibuat untuk menghindari benturan langsung yang frontal, terutama yang bersifat horisontal (dengan masyarakat).
Penyusunan tata ruang juga harus memuat seluruh kepentingan stakeholder. "Biar tidak ada yang dirugikan, tata ruang itu harus memuat seluruh kepentingan stakeholder. Jadi, waktu menyusun tata ruang, harus cari masukan dari semua pihak," tegasnya. Tata ruang itu pun harus direvisi setiap lima tahun sekali sehingga tetap relevan.
Khusus untuk kontribusi dana yang selama ini banyak dituntut masyarakat, pihaknya menilai cukup diatur melalui pajak dan retribusi. Kedua bentuk pungutan negara itu seharusnya telah cukup untuk dikembalikan ke masyarakat. Dikatakan, semua bentuk pembayaran seharusnya memiliki landasan hukum yang jelas. Kesepakatan yang seringkali dibuat antara investor dengan masyarakat untuk pembayaran dana tertentu, selama ini tak pernah punya landasan hukum. "Kesepakatan itu seharusnya punya pijakan hukum. Keliru kalau itu dibiarkan begitu saja," tandasnya.
Sementara itu, Ketua DPD Putri Bali, Ketut Nuryasa, juga mengakui perlunya Perda guna menghindari konflik-konflik tersebut. Menurutnya, komunikasi saja tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan jika tidak ada landasan hukum atas permasalahan itu.
Hal senada juga disampaikan Kepala Dinas Pariwisata Propinsi Bali, Gde Nurjaya. Selain masalah komunikasi, konflik itu juga terjadi akibat belum adanya ketentuan hukum yang mengatur tentang lingkungan. Namun untuk menuangkan masalah lingkungan ke dalam suatu konsep hukum, menurutnya sangat sulit. Meski ada nilai-nilai eksternalitas yang mendukung pembuatan aturan itu, namun dalam teorinya masih sulit direalisasikan. Pasalnya, belum ada hal-hal tertentu yang bisa dijadikan parameter untuk menentukan bentuk aturan tersebut.
Untuk penerapan pajak lingkungan misalnya, belum ada dasar perhitungan tepat untuk menentukan jumlah pajak yang bisa dikenakan. "Dulu pernah berkembang wacana pajak lingkungan. Setiap tamu yang melihat lingkungan, harus bayar pajak. Tapi berapa besar? Penjabaran itu yang perlu dikaji lebih jauh dalam bentuk satu aturan hukum. Tapi harus jelas obyek dan subyeknya," tegas Nurjaya. Meski sulit, Nurjaya mengakui tetap ada kemungkinan untuk pembuatan Perda yang mengatur 'view', termasuk kontribusinya terhadap masyarakat sekitar. Namun diperlukan waktu bertahun-tahun untuk merealisasikannya. Karenanya, sosialisasi dan komunikasi yang lebih intens oleh investor dengan masyarakat sekitar, merupakan jalan penyelesaian terbaik untuk jangka pendek. "Sekarang ini yang terbaik untuk dilakukan adalah negosiasi,"tegasnya. erv

Masyarakat Lokal Jadi Sapi Perahan

BANYAKNYA konflik kepentingan yang terjadi antara investor dengan masyarakat lokal, diperkirakan terjadi akibat sistem pembagian pendapatan pajak yang tidak mengena ke masyarakat. Menurut salah seorang praktisi pariwisata Yos WK. Amertha, masyarakat lokal umumnya tidak merasakan manfaat langsung dari keberadaan investor di wilayahnya. Padahal pengusaha sudah membayar angka yang cukup besar untuk berbagai jenis pajak.
Selain komunikasi, pemerintah diharapkan membenahi sistem pembagian pajak yang diterima, untuk meminimalisasi gesekan negatif antara masyarakat dengan investor. Ketua Dewan Pertimbangan Kadin Bali, Jaya Susila menjelaskan, konflik umumnya terjadi karena asyarakat lokal seringkali merasa hanya menjadi sapi perahan dari para pengusaha. Hal itu akibat tidak ada satu pun kontribusi resmi yang secara langsung diterima masyarakat setempat. Masyarakat tidak berkesempatan menikmati secara langsung pembagian pendapatan pajak yang dibayarkan pengusaha.
Kondisi itu tak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga pengusaha. Pengusaha umumnya harus memberikan dana yang tidak sedikit untuk pembangunan masyarakat di wilayah tersebut. Akibatnya, biaya yang harus dikeluarkan investor menjadi sangat tinggi. Iklim usaha di Bali pun makin tidak kondusif. Dikhawatirkan, calon investor yang hendak masuk ke Bali akan makin menjauhi Bali. "Masalah ini harus segera dibenahi karena telah menyebabkan iklim usaha makin tidak kondusif," tegasnya.
Perubahan sistem pembagian pajak pusat maupun daerah, dinilai mendesak untuk dilakukan. Pajak yang dibayarkan pengusaha setempat, harus dikembalikan ke masyarakat di tingkat banjar atau desa adat. Dengan demikian, masyarakat setempat akan merasakan dampak keberadaan investor di wilayahnya secara langsung, tanpa harus mengajukan segala macam proposal ke investor bersangkutan. Kondisi itu juga akan sangat membantu meringankan beban ekonomi biaya tinggi yang harus ditanggung pengusaha. "Perlu political will dari penguasa untuk mensejahterakan rakyatnya. Karenanya, pajak harus dikembalikan ke masyarakat di tingkatan terkecil," jelas Jaya Susila. Erv

Komunikasi, Kunci Permasalahan

Konflik antara investor dengan masyarakat sekitar, bisa dihindari dengan komunikasi yang baik diantara keduanya. Meski ada yang menilai pentingnya penyusunan aturan tentang 'view', namun beberapa pelaku pariwisata justru melihat komunikasi sebagai kunci penyelesaian masalah.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, Gde Wiratha menilai, kunci permasalahan ada pada bagaimana kemampuan owner, manajemen dan staf hotel untuk mengadakan pendekatan dengan masyarakat setempat. Bila komunikasi antarpihak-pihak tersebut bisa dilakukan dengan baik, pihaknya optimis konflik-konflik tersebut tidak akan terjadi.
Hal senada juga disampaikan Sekjen Bali Tourism Board (BTB), IGN Ray Suryawijaya. Menurut Ray, penyebab terjadinya konflik umumnya karena ketidakpuasan dari masyarakat atas keberadaan usaha hotel di wilayahnya. Masyarakat merasa manfaat yang diterima dari hotel ternyata kurang. Namun di satu sisi, pihak pengusaha merasa sudah melakukan kewajibannya. Selain merekrut masyarakat setempat, pengusaha juga merasa telah memberi peluang usaha bagi masyarakat setempat, seperti peluang membangun usaha art shop.
Segala ketidakpuasan itu, jelas Ray, pada dasarnya dapat diselesaikan lewat komunikasi yang baik. Tak hanya setelah usahanya berjalan, sosialisasi dengan masyarakat seharusnya dilakukan jauh sebelum usahanya berdiri. "Sebelum membangun pun, seharusnya sudah ada sosialisasi dengan masyarakat. Jadi antara masyarakat dengan investor jadi 'win-win'. Tidak ada yang merasa dirugikan," tegasnya.
Ray menilai aturan baku untuk permasalahan 'view' itu tidak perlu dibuat. Terlebih sudah menjadi kewajiban bagi hotel-hotel di Bali untuk menerapkan konsep 'tri hita karana'. Namun ia tidak menutup kemungkinan bila aturan itu dibuat sesuai 'Desa Kala Patra'. Artinya, aturan dibuat sendiri oleh desa pakraman setempat dan diperuntukkan bagi setiap investor yang akan masuk ke wilayah tersebut. Aturan dimaksud bisa mencakup kontribusi dana ke desa pakraman ataupun penyerapan tenaga kerja dari masyarakat setempat. Dengan catatan, rekrutmen tenaga kerja tersebut tetap dilakukan sesuai kualifikasi pendidikan dan kemampuan yang dimiliki. [Komang Erviani / pernah dimuat di Harian WARTA BALI]

Rabu, 09 Februari 2005

Teman-Teman Saya Sudah "Lewat"

Ketika Seorang Bekas Pecandu Menemukan Kesadarannya ........

“Sejak menginjak masa remaja, saya telah terjebak dalam pergaulan yang salah. Berawal dari hanya minum minuman keras, saya terperangkap dalam jerat narkoba. Itu terjadi hanya beberapa bulan setelah tamat dari SMA di Denpasar. Salah seorang teman mengenalkan saya dan teman lainnya pada heroin. Kami biasa menyebutnya PT (putaw).

Ketika itu, tahun 1993, saya tak tahu barang apa itu. Karena gratis, saya pakai saja setiap PT yang saya dapat. Namun seminggu kemudian, saya baru merasakan hal aneh. Saya ketagihan. Bila tak menggunakannya, tubuh terasa sakit luar biasa. Sejak itu pula, saya rutin menggunakan barang haram itu. Tapi tak lagi gratis. Saya harus membelinya, saat itu harganya Rp 10 ribu per paket. Saya juga mulai memvariasikan PT dengan beragam jenis narkoba lain seperti shabu-shabu, ineks, hingga ganja.

Pelan tapi pasti, hidup saya makin berantakan. Prestasi kerja di sebuah perusahaan tempat saya bekerja terus menurun hingga akhirnya saya putuskan untuk berhenti. Beberapa kali saya bekerja, beberapa kali pula saya harus melepaskan pekerjaan itu. Ketergantungan saya pada narkoba membuat konsentrasi kerja saya terganggu. Saya bahkan harus selalu memakai narkoba, jenis apapun, setiap kali akan bekerja. Langkah maju dan mundur yang terus saya hadapi, membuat saya bosan. Hingga akhirnya saya putuskan untuk tak lagi bekerja pada tahun 1997.
Tidak bekerja memberi saya masalah baru. Saya tak lagi punya penghasilan yang bisa dipakai membeli narkoba. Satu per satu barang milik sendiri saya jual untuk modal. Sejumlah pakaian yang lengket di badan juga terpaksa dilepas hanya untuk dapat barang itu. Tak lama, barang-barang pribadi saya amblas. Langkah saya makin meluas dengan mengambil barang-barang milik keluarga. Perhiasan orang tua dilemari saya curi, demikian juga sejumlah peralatan elektronik. Setelah semua barang di rumah amblas, saya pun tak punya pilihan lain. Tindakan kriminal jadi satu-satunya pilihan. Masuk ke rumah-rumah orang untuk mencuri, hingga menjadi pengedar. Tidak ada uang, sementara kadar narkotik yang saya butuhkan semakin besar, membuat saya beralih dari hanya menghisap menjadi menggunakan jarum suntik.

Tahun 1998, tingkah polah saya ketahuan keluarga. Marah, jelas. Bolak balik saya dibawa ke sejumlah dokter. Bersamaan dengan itu, saya juga bolak balik memakainya. Keluarga kemudian memutuskan mengirim saya ke sebuah pesantren di Jember Jawa Timur. Setahun saya di sana dan menjadi orang bersih, meski awalnya sempat kesakitan.

Mungkin karena yakin saya telah jauh dari narkoba, saya pun diizinkan kembali ke Bali. Namun saat baru menginjakkan kaki di Pelabuhan Gilimanuk, saya merasakan kangen berat dengan barang-barang haram itu. Tiba di Denpasar, saya langsung ke tempat teman, kembali memakai PT, dan kembali mengedarkan.
Setelah beberapa kali bertemu dengan petugas lapangan sebuah LSM narkoba, saya akhirnya punya keinginan untuk berhenti. Namun mungkin karena masih punya barang, keinginan itu terkalahkan. Pada 2000, saya putuskan untuk masuk tempat pemulihan LSM itu, Yayasan Hatihati. Namun karena saat itu belum ada program sama sekali, saya kembali akrab dengan cimeng, sabu, minum. Dengan sombong saya katakan kalau saya tak pakai putaw. Tapi saya jatuh lagi. Tak berapa lama, saya sempat tertangkap polisi. Beruntung polisi membebaskan saya karena tak ada barang bukti. Namun keesokan harinya, polisi kembali menangkap saya meski kemudian melepaskan saya lagi karena alasan yang sama. Dua kali tertangkap, rupanya membuat saya cukup jera. Saya pikir, ini mungkin peringatan yang diberikan Tuhan. Saya pun masuk lagi ke tempat pemulihan.

Tiga bulan melewati masa pemulihan, saya dipercaya menjadi relawan di lembaga itu. Saya bahkan menjadi koordinator divisi pemulihan di lembaga itu, sebelum akhirnya saya bersama teman-teman bergabung dengan Yayasan Mata Hati. Hingga kini, posisiku masih sama, koordinator divisi pemulihan.

Akhirnya, saya benar-benar lepas dari jeratan narkoba. Bukan hanya itu, saya juga bertekad membantu teman-teman lain melepaskan diri dari barang itu. Meski kadang sugesti untuk memakai narkoba masih muncul, saya selalu mencoba mengendalikannya. Saya sadar, kalau saya memakai kembali barang itu, hidup saya juga akan kembali berantakan. Makanya kini saya bergaul dengan sesama pecandu yang sudah bersih, tanpa bermaksud menghindar dari teman-teman lama. Lagi pula sejumlah teman lain seangkatan saya kini telah “lewat” gara-gara narkoba. [Seperti Diceritakan kepada Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 1, Februari 2005]

Datang Tak Dijemput, Pergi Sisakan Maut

Sebanyak 30 siswa umur belasan berdiri tegak dengan tangan kanan terangkat ke atas. Serentak mereka berucap, “Kami berikrar, Sebagai penerus bangsa kami berkomitmen untuk senantiasa menghindari narkoba. Sebagai penerus bangsa, kami berupaya untuk selalu berkarya guna membangun/mengembangkan diri hidup sehat tanpa narkoba.” Teriakan ‘say no to drugs’ sebanyak tiga kali, mengakhiri pengucapan komitmen mereka sebagai bentuk penolakan terhadap narkoba.

Pengucapan komitmen tersebut, mengawali lomba poster bahaya narkoba bagi siswa SLTP dan SMA garapan Badan Narkotika Propinsi (BNP) Bali yang digelar di Wantilan DPRD Bali pada Minggu, 9 Januari 2005. Usai pengucapan komitmen, seluruh peserta bergegas mengambil posisi, bersiap menampilkan kreasi terbaiknya. Hanya dalam hitungan menit, semua kertas yang disediakan panitia tak lagi putih bersih. Goresan cat air, perlahan tapi pasti, memenuhi hampir seluruh ruang di kertas masing-masing peserta.

Sembari beraksi, sejumlah pengisi acara menghibur tanpa merusak konsentrasi peserta lomba. Diawali dengan aksi musik dari Toom Band, operet bertema narkoba dari Kita Sayang Remaja (Kisara), pembacaan puisi narkoba dari Kelompok Siswa Peduli Aids dan Anti Narkoba SMAN 4 Denpasar, hingga pagelaran musik dari Ladies Room, Purusha Band dan Pandawa Band. Tak ketinggalan pula aksi kocak para waria dari Yayasan Gaya Dewata yang menirukan gaya para diva Indonesia, lengkap dengan lip sync lagu-lagu mereka. Sedikitnya, enam orang waria telah sukses mengocok perut seisi wantilan.

Guna memastikan pemahaman tentang bahaya narkoba, para suporter dan undangan yang hadir juga tak luput dari perhatian. Sejumlah pertanyaan seputar bahaya narkoba beberapa kali dilempar ke audiens dalam games yang digelar di sela-sela pertunjukan hiburan. Games digelar oleh tiga yayasan yang concern terhadap penyalahgunaan narkoba, diantaranya Yayasan Hati-Hati, Yayasan Mata Hati, dan Yayasan Hati Kita Bali.

Setelah beberapa jam berlalu, satu per satu peserta lomba mulai tampak menyelesaikan hasil karyanya. 30 buah poster hasil karya 30 siswa SLTP dan SMA, langsung saja dinilai oleh 5 orang juri yang terdiri dari pemilik pabrik kata-kata Joseph Theodorus Wulianadi alias Mr Joger, Yusuf Pribadi (Yayasan Hatihati), Gusti Lanang Adi (Institut Seni Indonesia), Mas Ruscitadewi (wartawan Bali Post) dan Ma’ruf (mantan pengguna narkoba jarum suntik). Ruscitadewi cukup terkejut dengan beragamnya tema gambar yang ditampilkan peserta.

Lewat tengah hari, hasil penjurian akhirnya diumumkan. Di kategori 12 hingga 16 tahun, Budhi Riyanta dari SMAN 1 Denpasar tampil sebagai juara I. Remaja asal Gianyar kelahiran 1989 itu sukses dengan posternya yang didominasi warna hitam dan kuning kemerahan. Dalam posternya, Budhi menggambarkan nasib pengguna narkoba yang tewas di atas barang-barang haram itu. Tulisan “Waspadai Narkoba!” dicetak tebal, diikuti kalimat ‘karena datang tak dijemput, pergi sisakan maut’. Shakaniko yang juga dari SMAN 1 Denpasar tampil sebagai juara II dalam kategori yang sama. Sementara juara III dan juara favorit diperoleh Kadek Wisnawa dan Putu Eka Guna Yasa.

Di kategori umur 17 – 20 tahun, Komang Dodik Indrawan tampil sebagai juara I, diikuti Gede Erwin Prasadha sebagai juara II, Keitha Adrian sebagai juara III dan Widiantara sebagai juara favorit.

Ketua BNP Bali, IGN Kesuma Kelakan dalam sambutannya yang dibacakan Ketua Pelaksana Harian BNP Bali Brigjen Pol. DR. Teguh Soedarsono menegaskan, selain untuk meningkatkan kewaspadaan para remaja terhadap penyalahgunaan narkoba di lingkungan sekolah dan masyarakat, lomba juga bertujuan mengimplementasikan daya nalar peserta terhadap penyalahgunaan narkoba dalam karya seni berupa poster. Hal itu dimaksudkan untuk mengajak masyarakat melaksanakan pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan pemasaran gelap narkoba. Pelajar sebagai tulang punggung dan harapan bangsa diharapkan bisa menempatkan diri sebagai generasi penerus bangsa dalam menyerap pengetahuan sehingga dapat menciptakan dan meningkatkan rasa solidaritas, rasa percaya diri dan kepedulian sosial. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL, Edisi 1, Februari 2005]

Karena Seks, Laki-laki Merugi

Sepasang telapak tangan tampak tertelungkup, saling tindih satu sama lain. Di sekelilingnya terdapat wanita hamil, pengkonsumsi narkoba, pemabuk, pengidap HIV/AIDS, hingga lambang kelamin pria dan wanita. Begitulah cara Ketut Ardika, siswa kelas III IPA 3 SMAN 5 Denpasar, mengungkapkan betapa seks bebas dapat merusak kehidupan pelakunya.

Dalam lomba poster “Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi Remaja” tingkat SLTA se-Bali yang digelar Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Daerah Bali, Ardika menganalogikan seks bebas dengan dua telapak tangan tertelungkup dan saling tindih. Bukan asal-asalan, Ardika punya dasar kuat ketika tim juri menanyakan hal itu pada final di ruang pertemuan PKBI Bali, 17 Januari 2005. Ia menyebut, kode tangan itu sering diterimanya dari orang-orang ketika membicarakan tentang seks.

Di posternya, Ardika menuliskan “Sex Bebas Menghancurkan Masa Depanmu”. Menurut Ardika, seks bebas harus benar-benar dijauhi karena dapat mengakibatkan banyak dampak negatif seperti kehamilan di luar nikah, menjadi pengkonsumsi narkoba, menjadi pemabuk, pengidap HIV/AIDS, hingga aksi bunuh diri. “Seks bebas tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga laki-laki karena bisa saja dia bunuh diri,” tandasnya di hadapan tiga juri yakni Ida Bagus Martinaya (jurnalis), Gusti Ngurah Widnyana (kartunis), serta koordinator Kita Sayang Remaja (Kisara) Made Oka Negara.

Dalam lomba poster tersebut, Ardika memang tidak hanya menggambar dan menyerahkan hasil karyanya kepada juri. Ia dan lima rekan finalis lainnya juga wajib mempresentasikan maksud posternya kepada dewan juri. Keenam peserta yang tampil pada final, merupakan hasil seleksi dari 22 peserta yang mengirimkan posternya pada panitia selama tenggat waktu yang ditentukan. Dalam final, tiap peserta diberi waktu 5 menit untuk presentasi.

Mereka juga wajib menjawab pertanyaan-pertanyaan juri. Menurut Direktur Pelaksana PKBI Daerah Bali, Ketut Sukanata, sistem itu diterapkan untuk memastikan kalau peserta lomba tidak sekadar bisa menggambar, tapi juga benar-benar memahami gambar yang dibuat.

Ardika tampil sebagai peserta terakhir yang mempresentasikan posternya. Beruntung, ia juga yang dipercaya sebagai pemenang pertama. Juara kedua, siswa SMKN 1 Sukawati Ida Bagus Nyoman Putra. Selisih nilainya dengan Ardika memang tak banyak, Ardika 978 sedangkan Nyoman Putra 958. Sementara itu, juara ketiga diperoleh Dewa Gede Adnyana yang juga siswa SMKN 1 Sukawati dengan nilai 918. Tiga juara harapan diberikan kepada Gede Urip Ogi Phareta, siswa SMKN 3 Singaraja, Made Cristianus Adi Putra, siswa SMAK Harapan Denpasar, dan Putu Toni Sianto, siswa SMKN 3 Singaraja.

Masing-masing peserta menyampaikan penolakannya kepada seks bebas melalui cara berbeda. Nyoman Putra misalnya, menampilkan gambar yang sangat artistik dan sekilas memperlihatkan perempuan dan laki-laki tengah berhubungan seks. “Hindari sexs bebas, dapat merusak masa depan remaja,” ungkap Nyoman Putra dalam posternya.

Ketut Sukanata mengatakan, lomba tersebut digelar dalam rangka 47 tahun PKBI. Pelibatan siswa SLTA untuk memberi kesadaran remaja bahwa seks bebas akan merusak masa depan. SLTA, menurutnya, merupakan masa paling rawan dan penuh godaan seks bebas yang pada akhirnya bisa menimbulkan beragam risiko, termasuk HIV/AIDS. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL, Edisi 1, Februari 2005]

Hidup dengan HIV, Biasa Megibung di Banjar

“Jajan” di sejumlah lokalisasi, sudah kebiasaan saya sejak umur 15 tahun. Berawal dari ajakan teman-teman saya kemudian ketagihan. Mencari pekerja seks komersial (PSK) di Buleleng, daerah asal saya, tiba-tiba menjadi kebutuhan wajib.

Kebiasaan buruk itu sempat saya hentikan saat harus bekerja di perkebunan kelapa sawit selama sekitar 8 bulan di Sumatra. Usai bekerja di Sumatra, saya jadi kenek truk pengangkut barang dan kerap melintasi jalur Bali-Jakarta. Setiap berangkat, saya bisa perlu 15 hingga 20 hari perjalanan. Saya tak punya pilihan lain. Kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan, membuat saya harus sudah membanting tulang di usia remaja. Keterbatasan keuangan juga membuat saya hanya sempat sekolah SD, apalagi kuliah. Dalam pekerjaan baru itu, hobi “jajan” mulai saya jalani lagi. Di hampir setiap tempat mampir, saya biasan ikut “jajan” bersama sopir.

Saya tak pernah membayangkan, seks bebas yang saya jalani dengan banyak pasangan membuat saya kena HIV/AIDS. Dulunya saya bahkan tak tahu apa itu HIV/AIDS. Ketika mendapat penyuluhan tentang bahaya HIV/AIDS lebih dari setahun lalu, saya baru menyadari kalau kebiasaan menjalani seks bebas membuat saya beresiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS. Namun saat itu saya masih yakin tubuh saya tak terinfeksi HIV/AIDS.

Suatu hari, sepulang ngenek, tubuh saya tiba-tiba lemas dan perut saya mulas. Saat buang air besar, saya terkejut melihat buang air besar saya berdarah. Orang rumah bahkan menegur karena darah membasahi celana saya. Saat itu saya tak bisa menjawab karena tak tahu apa penyakitnya. Karena penasaran dan khawatir, bapak berinisiatif membawa saya ke dukun. Sedikitnya, empat dukun sempat saya temui. Namun saya sama sekali tak merasakan perubahan. Bukannya membaik, fisik saya makin hari makin melemah.

Ketika cemas, saya teringat penyuluhan AIDS yang pernah saya ikuti. Brosur yang saya peroleh saat itu, saya baca ulang. Isi brosur itu makin membuat saya curiga dengan penyakit saya. Ciri-cirinya sangat mirip. Menyadari besarnya risiko HIV/AIDS yang mungkin saya alami, saya kemudian menghubungi petugas lapangan dari Pos Informasi AIDS Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI). Lalu saya tes darah dengan bantuan pos informasi AIDS itu. Benar saja, hasil tes itu menyatakan saya positif HIV/AIDS.

Kabar setahun lalu itu, membuat saya kaget. Saya sempat putus asa dan hanya mengurung diri di kamar selama berminggu-minggu. Namun kemudian saya memutuskan untuk pasrah. Kapan pun ajal menjemput, saya siap. Sayang, tak semua orang di sekitar saya mau menerima kenyataan. Ejekan orang kerap saya terima, bahkan hingga saat ini. “Wah, kamu lagi 15 hari aja mati dah.” Komentar-komentar seperti itu sudah biasa bagi saya.

Namun saya sempat sedih ketika bapak saya menjauh saat itu. Sebulan ia marah. Ia bahkan tak mau mendekat. Beruntung, saya bisa meyakinkannya bahwa HIV/AIDS tak menular lewat sentuhan. Saya katakan ia harus hati-hati bila saya luka. Ia juga tak boleh pake sikat gigi saya karena bisa tertular. Sejak itu, ayah mulai mau dekat dengan saya. Begitu juga masyarakat di daerah saya. Sebagian besar mereka kini sudah mau bergaul. Saya kini sudah bisa mengikuti aktivitas secara normal di banjar. Masyarakat sekitar pun tidak takut saat kami harus makan megibung (makan satu nampan bersama-sama, red) di banjar.

Hingga kini saya memang masih menerima ejekan, tapi saya tak peduli. Di usia yang kini 25 tahun, saya merasa punya gairah hidup lagi. Terlebih setelah menjalani terapi Antiretroviral (ARV) sejak empat bulan lalu. Terapi dari VCT RS Sanglah yang dikoordinir dr. Tuti Parwati itu saya jalani di Buleleng atas bantuan petugas lapangan YCUI. Saya tak perlu membayar sepeser pun. Kini kondisi tubuh saya sudah jauh lebih baik. Bobot tubuh telah mencapai 51 kg, naik dari sebelumnya yang sempat hanya 43 kg. Meski tak sama dengan berat normal saya dulu yang sebesar 58 kg, semangat hidup bagi saya jauh lebih penting. Setidaknya, saya kini sudah bisa bekerja lagi. Atas bantuan modal dari YCUI, saya mencoba mengembangkan peternakan babi.

Saya berharap tak ada lagi orang bernasib sama seperti saya. Karena itu, saya selalu mengingatkan teman-teman untuk menggunakan kondom saat berhubungan seksual. Terutama yang hingga kini masih suka ‘jajan’. Kalau ada teman terinfeksi HIV/AIDS, saya harap tak langsung putus asa. Mengidap HIV/AIDS bukan berarti akhir segalanya. [Seperti diceritakan pada Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 1, Februari 2005)