Google
 

Sabtu, 09 April 2005

Meningkatkan Kualitas Hidup ODHA dengan ARV

Enam bulan lalu, Dana (bukan nama sebenarnya), hampir menduga telah berada di depan pintu kematian. Sakit yang dirasakannya sudah sangat luar biasa. Berat badannya yang rata-rata 58 kg, anjlok menjadi 43 kg. Namun kenyataan berkata lain. Setelah menjalani terapi antiretroviral (ARV), ia kembali menjalani hidup dengan normal. Berat badannya pun sudah naik menjadi 51 kg.

Dana bukanlah satu-satunya orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang sukses meningkatkan kembali kualitas hidupnya berkat terapi ARV. Di Klinik VCT RS Sanglah saja, ada 69 pasien yang mengikuti terapi ARV hingga Februari 2005. Jumlah itu belum termasuk jumlah ODHA yang mengikuti terapi di dokter pribadi dan yayasan. Menurut Tuti Parwati, dokter di Klinik VCT RS Sanglah, jumlah pasien ARV di Klinik VCT Sanglah dan di tempat praktiknya mencapai total sekitar 150 orang. Selain Klinik VCT RS Sanglah, terapi ARV juga bisa dilakukan melalui Klinik Amertha Yayasan Kerthi Praja (YKP). Menurut Sekretaris YKP, Partha Muliawan, jumlah ODHA yang mengikuti terapi ARV melalui Klinik Amertha mencapai sekitar 120-an orang. Sebanyak 3 orang narapidana di LP Klas IIA Denpasar juga tengah mengikuti terapi ARV.

ARV merupakan obat anti virus HIV, virus penyebab AIDS. Di dunia, ada tiga golongan ARV, yakni Nucleusida Reverse Transeriptasi Inhibitor (NRTI), Non Nucleusida Reserse Transeriptasi Inhibitor (NNRTI), dan Protease Inhibitor (PI). Namun di Indonesia, hanya ARV dua golongan pertama yang tersedia. Sejak tahun 2004 lalu, pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan telah memberikan jatah ARV generik gratis bagi 25 rumah sakit di seluruh Indonesia. Dalam program itu, RS Sanglah menerima jatah ARV sebanyak 120 paket (untuk 120 orang). Jenis ARV yang dibantu terdiri atas 5 jenis, yakni jenis AZT, d4T (stavudine), dan 3 TC (Lamivudine) dari golongan NRTI, serta NVP (nevirapin) dan EFZ (efavirenz) dari golongan NNRTI. Jenis AZT, 3TC dan NVP diproduksi di dalam negeri melalui Kimia Farma, sementara jenis d4T dan EFZ masih harus diimpor.

Obat ARV memang tidak bisa membunuh virus HIV di dalam tubuh. ARV hanya berfungsi menekan perkembang-biakan virus HIV dengan menghambat kerja enzim-enzim yang memicu perkembangbiakan itu. Dengan begitu, jumlah virus HIV di dalam tubuh akan makin sedikit. Pada kondisi tertentu, virus itu juga bisa tak lagi terdeteksi oleh alat (undetectable) dan pulih dari sakit. Meski pulih, tak berarti ODHA dapat sembuh dari AIDS. Itu karena ARV tidak mematikan virus HIV. ARV hanya mampu meningkatkan kualitas hidup ODHA sehingga terapi ARV tidak boleh distop seumur hidupnya. Tuti mengakui, tak sedikit ODHA yang menghentikan pengobatan setelah merasa lebih baik. Padahal bila ARV distop, virus HIV di dalam tubuh bisa muncul lagi. Penghentian pengobatan bahkan lebih berbahaya bagi ODHA, karena berisiko membuat tubuh resisten terhadap obat itu.

Penggunaan ARV juga rawan resistensi. Bila hal itu terjadi, obat ARV tidak akan lagi berpengaruh pada tubuh ODHA bersangkutan. Risiko resisten tidak hanya bisa terjadi pada proses penghentian obat, tetapi juga pada kesalahan pemakaian. Karenanya, Departemen Kesehatan mengharus-kan pemakaian minimal 3 kombinasi obat. Kombinasi yang digunakan juga berbeda-beda untuk setiap ODHA, tergantung pada kondisi tubuhnya.

Besarnya risiko resistensi atas obat ini, membuat terapi ARV tak bisa diterapkan pada sembarang orang. Menurut Tuti Parwati, terapi ARV hanya bisa diterapkan pada ODHA yang benar-benar merasa perlu, siap, dan disiplin. Kedisiplinan waktu dalam terapi ARV sangat penting. Keterlambatan minum obat juga bisa menimbulkan resistensi. Karena itu, peranan pengawas minum obat (PMO) sangat penting. “Biasanya kita minta tolong orang lain untuk mendampingi dia (ODHA). Bisa LSM atau keluarganya, yang kita percaya bisa ngingetin dia minum obat. Kalau belum siap, kita belum ngasih,” jelas Tuti. Di Klinik Amertha YKP, calon pasien yang mengikuti layanan ARV bahkan diminta menandatangani surat pernyataan. Tingkat kepatuhan pasien menjadi hal yang paling ditekankan dalam surat pernyataan tersebut. Partha Muliawan menegaskan, tingkat keberhasilan terapi ARV sangat tergantung pada tingkat kepatuhan pasien..

Reaksi positif atas terapi ARV, berbeda untuk setiap ODHA. Ada ODHA yang merasakan dampak positif hanya dalam 1 minggu, ada pula yang sampai berbulan-bulan. Jumlah sel CD4 (sel yang membentuk sistem kekebalan tubuh) biasanya menjadi parameter keberhasilan terapi ini. Setiap pasien umumnya melakukan tes CD4 secara rutin sejak tiga atau enam bulan sekali. Pada kondisi normal, jumlah sel CD4 pada tubuh manusia umumnya mencapai di atas 500. Untuk diketahui, terapi ARV hanya bisa diterapkan pada orang yang jumlah sel CD4-nya di bawah 200. Tak jarang ODHA yang saat memulai terapi, sudah mengalami oportunistik infection (OI), infeksi berbagai jenis penyakit yang biasa terjadi pada ODHA karena menurunnya sistem kekebalan tubuh. Dalam kondisi ini pun, terapi ARV banyak terbukti berhasil.

Efek Samping atau Sugesti ?
Meski reaksi positif ARV sudah terbukti pada banyak ODHA, bukan berarti pelaksanaan terapi ini tanpa kendala. Besarnya efek samping yang ditimbulkan, kerap membuat semangat pasien menurun. Pada beberapa pengguna, ARV dapat menyebabkan insomnia, sakit kepala, mual, ruam kulit, bahkan keracunan hati yang mengancam jiwa. Pada beberapa kasus, efek sampingnya juga kerap dirasakan mirip sakaw (sakit karena putaw). Hal itu terutama terjadi pada pengguna ARV yang secara diam-diam ternyata masih menggunakan narkoba atau substitusinya (methadone). Mungkin karena tak tahan dengan efek samping itu, ada sebanyak 3 pasien di Klinik Amertha yang kemudian menghentikan pengobatan.

Tuti Parwati menjelaskan, setiap obat yang mencegah perkembangan sel hidup pasti akan menimbulkan efek samping. Apalagi bila obat itu berfungsi menekan enzim-enzim sejenis. Terjadinya anemia misalnya, terjadi karena obat tersebut dapat menekan sumsum tulang yang membentuk sel darah. Efeknya pada organ hati juga sangat keras karena metabolisme obat terjadi di hati. Penggunaan obat membuat beban yang dipikul organ hati menjadi lebih berat. Bila hati tak mampu menanggung beban itu, bisa terjadi kegagalan fungsi hati pada ODHA. Bahaya yang sama juga bisa terjadi pada ODHA pengguna narkoba suntik (injecting drugs user/IDU) yang umumnya mengidap hepatitis C. Belum lagi kalau ada komplikasi TBC.

Tak jarang, efek samping yang diakibatkan disebabkan karena sugesti. Menurutnya, ada beberapa kasus di mana ODHA merasakan efek samping yang sebenarnya tidak benar-benar dialaminya. Ada ODHA yang mengaku mengalami insomnia akibat obat itu, namun dalam kenyataan tubuhnya tetap segar, bahkan berat badannya meningkat. Tuti memperkirakan hal itu terjadi akibat sugesti yang tertanam di pikiran ODHA bersangkutan, dari rekan-rekannya yang sempat merasakan efek tersebut. Namun tak berarti sugesti itu selalu berdampak negatif. Ada pula ODHA yang merasakan sakit bila terlambat meminum obat dalam beberapa jam saja. Itu diperkirakan karena sugesti yang tertanam bahwa pasien tidak boleh terlambat minum obat.

Partha Muliawan menambahkan, efek samping setiap obat sangat sulit untuk dihindari. Itu karena kondisi tubuh setiap pasien berbeda. Tes sensitivitas (sensitivity test) merupakan salah satu cara efektif untuk menghindari efek samping itu. Namun tes sensitivitas itu membutuhkan alat yang harganya sangat mahal. Di beberapa negara, tes semacam itu sudah banyak dilakukan. Sayang, hingga belum ada satupun rumah sakit di Indonesia yang memiliki alat tersebut. [Komang Erviani, pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 03, April 2005]