Google
 

Senin, 30 Mei 2005

Ketika AIDS Masuk Kerja

Agung Mataram, Staf Personalia dan Hukum PT. Persero Pelindo III Cabang Benoa, punya rencana baru bersama rekan-rekannya. Ia berencana menggelar pojok info HIV/AIDS di tempat embarkasi dan debarkasi penumpang, Pelabuhan Benoa Bali. Pojok info yang diharapkan menarik perhatian sekitar 200 orang penumpang kapal itu, akan digelar dalam bulan Juni. Penyuluhan interaktif bagi sejumlah perusahaan perikanan di wilayah Benoa, juga direncanakannya. Program-program itu dibuat Agung bersama dua rekannya dari pelabuhan Benoa dan sebuah LSM HIV/AIDS dan narkoba, setelah mereka dilatih menjadi penyuluh HIV/AIDS di tempat kerja.

Pada pertengahan Mei 2006 lalu, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali bekerjasama dengan Indonesia HIV/AIDS Prevention Care Project (IHPCP) berinisiatif membentuk tim penyuluh HIV/AIDS di tempat kerja. Harapannya agar sosialisasi HIV/AIDS menjadi lebih efektif. Ada sedikitnya lima tim penyuluh yang dibentuk, dan ditargetkan memberi penyuluhan bagi para karyawan perusahaan, sopir angkutan, anak buah kapal (ABK), dan lainnya.

Angkatan kerja menjadi target penting dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, karena 50 persen kasus HIV berasal dari angkatan kerja. “Tetapi kelihatan tersembunyi karena tidak ada gejala. Orang tidak mengetahui. Ketika dia jatuh sakit, dianggap bukan AIDS. Tapi sakit diare, TBC, kanker, dan lain-lain. Faktanya, sudah banyak orang muda sekarang yang mati muda. Juga banyak orang muda yang sudah ditinggal teman sepermainannya. Selain itu, banyak juga orang tua yang menyaksikan anaknya meninggal lebih dulu,” cerita Ketua Pokja Humas dan Informasi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Mangku Karmaya, yang sekaligus bertindak sebagai Koordinator Program AIDS di Tempat Kerja.

Mangku Karmaya menyesalkan banyaknya anggapan bahwa orang HIV akan membuat pemborosan bagi perusahaan. Terutama ketika jatuh pada fase AIDS. Mulai dari biaya pengobatan, serta biaya-biaya lainnya. Banyak juga perusahaan yang menolak menerima orang HIV positif karena takut terjadi penularan. Pemahaman itu membuat upaya menghapus stigma dan diskriminasi bagi Odha di dunia kerja menjadi tidak berjalan mulus.

Bahkan Kasubdin Penempatan dan Perluasan Kerja, Ketut Necher, menyebut penolakan tenaga kerja yang positif HIV sebagai hal wajar. “Kalau mbak punya perusahaan, apa mau mbak menerima orang HIV? Kalau mau, lucu. Kan dia jelas-jelas sudah tidak produktif,” ujar Necher.

Banyaknya pemahaman salah di masyarakat, membuat praktik mandatory test atau tes paksa terus terjadi. Melalui pengiriman tenaga kerja ke luar negeri saja, hampir 3.000 orang telah menjalani mandatory test tiap tahunnya. Mungkin karena tawaran gaji yang tinggi, bekerja di luar negeri menjadi angan banyak orang. Bayangkan, gaji yang diperoleh paling minim 600 dolar AS per tahun. Pada 2004, tercatat ada 2.746 orang berangkat bekerja ke luar negeri. Pada 2005 meningkat menjadi 2.900 orang. Sementara pada 2006, hingga Mei, sudah ada 800 orang yang berangkat.

Menurut Nyoman Restu Yasa, Operation Manager CTI Bali, perusahaan penyalur tenaga kerja ke kapal pesiar di Amerika Serikat, permintaan tenaga kerja dari Bali memang cukup tinggi. Permintaan kru untuk kapal pesiar saja, mencapai 500-600 orang per tahun. Hingga kini, tes HIV menjadi hal yang disyaratkan untuk bisa berangkat. Bila tes itu dilarang, sesuai Perda no. 3 tahun 2006 tentang Penanggulangan HIV/AIDS yang disahkan maret lalu, Restu tak membayangkan harus melakukan apa. Pasalnya, ketentuan itu berlaku bagi semua negara yang mengerahkan tenaga kerja. Sangat mungkin, ketentuan itu membuat pencari kerja dari perusahaan kapal pesiar untuk merekrut tenaga dari luar Bali. Pasalnya, banyak negara pesaing yang juga mengirimkan tenaga terampilnya, seperti Thailand, Filipina, dan lainnya.

Atas hal itu, Mangku Karmaya mengingatkan bahwa HIV Positif tidak bisa menjadi ukuran mampu tidaknya seseorang bekerja. Menurutnya, seseorang yang negatif HIV di awal masuk kerja, dalam perjalanannya belum tentu seterusnya bebas HIV. Kesibukan kerja yang memicu stres ditambah berlebihnya pendapatan, berpotensi mengarah pada perilaku berisiko yang rawan HIV/AIDS. Itu sebabnya,orang yang kena HIV didominasi orang-orang usia produktif.

Untuk itu, perusahaan perlu membuat regulasi tentang HIV/AIDS. Regulasi dimaksud bisa mengatur agar tidak ada stigma, serta menyarankan perilaku seksual ABCD (abstinence, be faithful, condom, dan don’t inject). Bahkan bila perlu, perusahaan selayaknya menyediakan kondom, akses pelayanan dan pendampingan, dan alternatif langkah lainnya. “Itulah pentingnya perusahaan diberikan pelatihan. Arahnya bagaimana perusahaan mau memahami tentang program pencegahan HIV/AIDS,” harapnya. Regulasi tersebut justru akan menjadi aspek sosial yang positif dari perusahaan. “AIDS tidak akan mengganggu aktivitas perusahaan,” jelasnya.

Banyak pihak yang mengganggap, bila tidak ada kasus HIV, maka regulasi dan pelayanan medis terkait HIV/AIDS tidak perlu disiapkan. “Padahal ini justru menyebabkan terjadinya pembusukan. Upaya-upaya penjangkauan HIV harus dilakukan sedini mungkin, untuk mencegah pembusukan. Daripada muncul masalah HIV kemudian, tanpa antisipasi, pasti akan menjadi masalah besar di perusahaan,” tegas Mangku Karmaya mengingatkan.

Perusahaan yang memiliki program AIDS di tempat kerja, dikatakan justru akan memiliki citra yang makin bagus. Perusahaan kelihatan ikut penanggulangan HIV, ikut memutus mata rantai dan melindungi masyarakat luas. “Hanya perusahaan-perusahaan yang sadar betul bahwa kekayaan utama perusahaan adalah karyawan, yang biasanya mau melakukan ini,” demikian Mangku Karmaya.

Sayangnya, sebagian besar perusahaan masih menunjukkan perhatiannya terhadap HIV/AIDS di tingkat wacana. “Wacana dan komitmen sudah, tapi keterlibatan belum. Action-nya belum optimal,” tandasnya. Dengan adanya tim penyuluh di tempat kerja, diharapkan terjadi peningkatan pengetahuan tentang HIV/AIDS untuk meningkatkan kewaspadaan. [Komang Erviani]

Senin, 09 Mei 2005

Perempuan Pasar juga Bergelut dengan IMS

Ibu-ibu, perlu nggak pakai kondom kalo “main” sama bapak?” tanya dokter Sari pada sejumlah perempuan yang bekerja di pasar dalam diskusi kesehatan reproduksi di lantai IV Pasar Badung, pertengahan April lalu.

“Perlu….,” jawab Sumiati, tukang angkut setempat, lantang.
“Kenapa perlu?” balik Sari.
“Siapa tahu suami selingkuh di luar. Agar tidak kena penyakit menular seksual,” ungkap perempuan yang juga kerap menjadi guide di pasar terbesar di Bali itu, diikuti tawa renyah sejumlah rekannya.

Jawaban Sumiati langsung mendapat aplaus dari Sari dan beberapa petugas Klinik Layanan Kesehatan Reproduksi Yayasan Rama Sesana (YRS) Pasar Badung. Sari kemudian menjelaskan bahwa selain mencegah kehamilan, kondom juga berfungsi mencegah terjadinya penularan penyakit menular seksual (kini disebut dengan istilah infeksi menular seksual/IMS). “Karena sebagian besar “barang” kita ada di dalam, tidak kelihatan, makanya perlu pakai kondom untuk mencegah penularan dari suami kita,” lanjut Sari, ketua YRS.

Tak banyak pedagang yang hirau kesehatan reproduksinya. Itu terbukti dari tingginya angka kasus infensi menular seksual (IMS) dan infeksi saluran reproduksi lainnya di klinik yang didanai Bali International Woman Asosiation (BIWA), Bali Hati, Yayasan Kepeduliaan Ibu Pertiwi (YKIP), World Population Foundation (WPF), dan Annika Linden Foundation (ALF) itu.

Sejak dibuka awal Januari 2004 hinggga Februari 2005 lalu, total pasien yang berkunjung ke klinik mencapai 4.212 orang, terdiri dari 1.637 orang pasien baru dan 2.575 orang pasien kunjungan ulang.

Hasil pemeriksaan laboratorium terhadap 1.055 orang, menunjukkan angka mengejutkan. Sedikitnya, 84 pasien positif menderita beberapa jenis infeksi seperti gonorrhea (GO), tanda-tanda infeksi pada mulut rahim (suspect chlamydia) 668 kasus, bacterial vaginosis 379 kasus, candidiasis vagina 312 kasus, serta tanda-tanda infeksi pada liang vagina 443 kasus.

Hasil pap smear (pemeriksaan mulut rahim) kepada 603 orang, pun sangat tinggi. Hanya 51 orang yang tidak mengalami gangguan apapun pada mulut rahim, alias normal. Sementara 465 pasien mengalami infeksi oleh bakteri atau organisme lainnya (non kanker), 58 orang mengalami kelainan yang tidak mengarah pada keganasan, sementara 20 orang mengalami kelainan yang diduga mengarah pada keganasan.

Bahkan, ada pula yang positif terinfeksi HIV/AIDS. Saat ini terdapat 3 orang dengan HIV/AIDS (Odha), semuanya datang ke klinik Pasar Badung setelah positif. “Saya juga sudah rujuk mereka untuk bergabung di Bali+ (kelompok dampingan Odha),” kata Sari. Sementara itu, layanan tes HIV/AIDS secara sukarela yang juga difasilitas Klinik YRS Pasar Badung, telah diikuti 10 orang. Sementara ini, hasil tes menunjukkan hasil negatif.

Tingginya angka infeksi saluran reproduksi di kalangan perempuan Pasar Badung, menurut Sari, disebabkan karena perilaku sehari-hari. “IMS memang tidak pandang bulu,” imbuhnya. Karenanya, pihak klinik terus melakukan sosialisasi tentang kesehatan resproduksi, baik dengan diskusi bulanan, distribusi brosur, hingga distribusi kondom. Klinik juga melakukan penjangkauan melalui petugas lapangan, serta membentuk penyuluh sebaya (peer educator) dari kalangan perempuan pasar sendiri.

Sayangnya, Klinik YRS Pasar Badung saat ini baru mampu menjangkau 1.637 orang. Padahal total populasi di Pasar Badung yang harusnya dijangkau mencapai sekitar 5.000 orang. “Kita targetkan bisa menjangkau seluruh populasi yang ada,” harap Sari. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 4, Mei 2005]

Konok: Pokoknya Mesti Kuat...

Saya kenal narkoba akhir 1996, pas lagi nganggur. Awalnya nggak tahu sama sekali tentang putaw. Saya tahu dari kebiasaan ngumpul sama teman. Terus ditawari, saking setiap harinya saya ngumpul di sana, kalau nggak ke sana pokoknya jelek sekali rasanya. Ada yang kurang kalo nggak ngumpul ama teman.

Akhirnya, tiap hari ngeliat gitu aja, saya coba. Sekali, kok enak rasanya. Saya kan dulu suka minum, tapi ini baru coba 3 sedot aja beratnya kok sama dengan minum 3 botol. Lebih irit dan untuk kenceng itu cepat sekali. Akhirnya coba terus, coba terus. Waktu itu belum ada informasi tentang putaw efeknya apa. Sekarang kan enak, sudah ada informasi, penyuluhan ke sekolah-sekolah, ke banjar-banjar. Jadi yang belum tahu bisa tahu, bisa menghindar.

Waktu ngumpul pertamanya saya paling senang ganja. Orang pake putaw, saya sendiri ganja. Nggak senang yang lain. Akhirnya saking setiap harinya, saya coba sekali, saya coba. Baru satu minggunya, baru merasakan sakaw (sakit karena putaw,red). Tapi belum tahu namanya sakaw. Kok rasanya nggak enak, nguap-nguap terus. Tidur meriang, nggak enak. “Wah, sakaw kamu sakaw,” digituin sama teman. Apa sakaw itu, nggak ngerti saya. Katanya, “itu dah, sakit. Kamu kurang, coba pake lagi sekali”. Baru abis pake, hilang sakawnya. Saya pikir, wah bener ini sakaw.

Saya pernah coba berobat di rumah, berendam di sungai tiap hari, pake pil tidurnya panadol. Bisa juga sembuh, cuma mainnya ke sana lagi. Akhirnya make lagi. Dari start make itu, satu tahunnya dragon (dengan hisap,red), baru lantas pake jarum.Pernah juga berobat ke Bangli. Dua minggu di situ, keluar dari sana, make lagi. Nggak kuat. Semua orang junkie itu ingin sembuh, cuma dia nggak bisa. Kebanyakan pake lagi karena takut sakawnya, takut sakitnya.

Pernah juga rehab di Blahkiuh. Keluar dari sana, saya udah punya trik. Pokoknya jangan bengong aja di rumah. Karena kalau nggak ada kerjaan, pasti akan relaps (make) lagi. Keluar dari sana, maunya kerja. Eh, besoknya bom Bali meledak. Jadi kan untuk orang kerja susah. Waduh, bingung lagi. Akhirnya make lagi.

Mulai pertengahan 2003 ketemu methadon, baru bisa. Setelah ikut methadon, jelas ada perubahan. Racun putaw dalam darah itu kan satu minggu aja kita nggak make, akan bersih. Tapi untuk menghilangkan dalam otak yang susah. Perlu proses lama. Itu yang saya dapatkan di sini. Saya minum methadon, saya rasakan sama dengan putaw. Begitu pakai putaw, nggak terasa putawnya. Nggak terasa, uang hilang Rp 150 ribu. Jadi kasian tiap hari. Akhirnya saya ambil nilai positifnya. Dulu putaw kadang dua kali atau tiga kali. Tergantung uang. Kalau habis uang, baru puas.

Hari pertama dan kedua masuk methadon, masih ada relapsnya. Wajar, masih pembelajaran. Trus abis itu, tiga bulannya, memang betul-betul nggak make. Setelah 3 bulan tes kencing negatif, nggak tahu kenapa, ingin make lagi. Tapi cuma satu minggu aja. Habis itu baru benar-benar bersih sampai akhirnya waktu tahun baru 2004. Setelah itu sudah bersih lagi. Nggak make lagi sampai sekarang. Dosis metadon yang saya pake juga sudah berkurang.

Sejak 5 bulan lalu, saya bergabung dengan sebuah yayasan yang bergerak dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Saya jadi penjangkau lapangan di wilayah Gianyar, Tabanan, dan Badung. Kebetulan karena selalu ngumpul di methadon, tugas saya juga mendampingi junkie di methadon yang masih make jarum suntik.

Pernah ada tawaran-tawaran make lagi dari teman-teman. Tapi saya udah punya trik. Biasanya saya bilang mau nganter ibu, nganter adik. Tapi setelah itu, harus langsung pergi. Kan percuma kalau bilang mau nganter ibu, tapi tetap diam dan bengong. Pokoknya mesti kuat.

Sugesti untuk make memang kadang muncul. Tapi jarang sekali. Kadang justru munculnya di kamar mandi, soalnya dulu kan biasa make di kamar mandi. Tapi keluar kamar mandi aja, udah lupa lagi.

Sekarang saya punya 9 kelompok dampingan. Sebagai sesama pecandu, enak aja jadinya. Secara tidak langsung kita nunjukin sama teman bahwa kita bisa sembuh, kenapa dia tidak bisa. Buat para ABG (anak baru gede), jangan pernah nyoba. Jangan pernah ingin tahu rasanya.[Seperti diceritakan pada Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 4, Mei 2005]

Disiplin Diri Hilangkan Sugesti

Dengan tangan saling berpegangan, enam pecandu narkoba tegas berucap, ”Kita mengaku bahwa kita tak berdaya terhadap kecanduan kita sehingga hidup kita menjadi tidak terkendali. Kita tiba pada keyakinan bahwa kekuatan yang lebih besar dari kita sendiri dapat mengembalikan kita pada kewarasan. Kita membuat keputusan untuk mengalihkan niat dan kehidupan kita kepada kasih Tuhan sebagaimana kita memahami Tuhan.”

Mengawali hari, ketiga kalimat itu selalu diucapkan sebagai bentuk penyadaran terhadap kecanduan mereka. Setelah sebelumnya berbagi tugas rumah, pagi itu, para residen kembali harus mengikuti morning meeting. Residen adalah sebutan bagi junkie yang mengikuti program peer support group (PSG) di rumah pemulihan Matahati. Enam residen kini tengah mengikuti program.

Residen Komang Balon yang hari itu memimpin morning meeting, lanjut memimpin doa dan renungan lima menit untuk pecandu yang masih “menikmati” kecanduannya. “Feeling hari ini enak. Positifnya sudah beresin tempat tidur, negatifnya kemarin susah tidur, tujuan hidup gue hari ini, jalani hidup lebih baik lagi,” urai Dimas, residen lain asal Jakarta yang sudah dua bulan ini mengikuti program. Morning Meeting mengawali hari para residen dengan kesempatan mengeluarkan unek-uneknya selama hari kemarin, serta keinginan-keinginan yang ingin dicapai hari itu. Topik Just For Today (JFT) yang mereka kupas hari itu adalah “ketika saya lihat ada kebencian, saya akan melihatnya seperti apa adanya dan membuangnya”.

Beberapa menit berselang setelah morning meeting usai, sesi materi siang sudah menanti. Selain sesi siang, sesi materi juga dilakukan pada malam hari. Dalam sesi materi itu, residen diberikan pengetahuan-pengetahuan tentang dunia adiksi. Mulai dari apa itu rokok, dari mana asalnya, bagaimana proses kecanduannya, serta materi-materi tentang narkoba.

Menjelang sore, residen mengikuti sanggar kerja. Mereka diajari membuat lilin dan sablon. Order dari pelanggan juga siap dikerjakan. Selain untuk memberi ketrampilan kepada residen, kata Popo, staf Matahati, penghasilan dari sanggar kerja juga diharapkan membantu menutupi biaya-biaya. Residen rumah Pemulihan Matahati memang tidak diwajibkan membayar. Koordinator Divisi Pemulihan Matahati, Dudy Rohadi, menambahkan ada sistem subsidi silang yang diterapkannya. Para residen yang tidak mampu, bahkan bisa mengikuti program secara gratis.

Bersih-bersih rumah kembali harus dilakukan residen pada sore hari. Mengakhiri hari, dilakukan jurnal harian dan renungan malam. Tujuannya untuk evaluasi diri tentang hal-hal yang sudah dilakukan residen hari itu, kekurangannya, serta pelajaran-pelajaran yang didapat. “Saya ke sini diajak kakak. Tapi memang dari dulu pingin bebas (dari narkoba). Makanya pas ditawarin kakak, langsung senang. Kalau udah keluar, aku kayaknya nggak akan balik ke Jakarta. takut jatuh lagi,” ujar Dimas. Meski banyak kesibukan yang harus diikuti di rumah pemulihan, ia mengaku senang. Kesibukan itu dikatakan justru sangat membantunya lepas dari godaan narkoba.

Aktivitas PSG di rumah pemulihan Matahati, menurut Popo, pada dasarnya untuk membantu residen lepas dari kecanduannya. Pelajaran yang diberikan melalui program 12 langkah, juga merupakan bentuk latihan tanggung jawab dan kemampuan memanajemen diri sendiri. Program pemulihan Matahati harus dijalani residen selama enam bulan. Setelahnya, juga ada program after care untuk memastikan para residen yang sudah keluar, tidak kembali ke sisi gelap hidupnya. Sebagian besar residen di Matahati, datang atas keinginan sendiri. Keinginan itulah yang memang merupakan modal utama bagi pecandu untuk lepas dari kecanduannya.

Hampir sama dengan Matahati, titik berat program rehabilitasi Yayasan Bali Nurani (YBN) juga ada pada pemahaman konsep 12 langkah. Aktivitas pagi bagi klien YBN juga bersih-bersih rumah. Setelah sarapan dan inspeksi atas hasil bersih-bersih rumah oleh para klien, pertemuan Just For Today (JFT) lantas dilaksanakan. Penjelasan tentang dunia adiksi juga diberikan. Selain itu, klien di YBN setiap harinya selalu diajak ke luar tempat rehab untuk mengikuti program kebugaran. “Jadi kadang kita ajak ke tempat fitness, pantai, studio musik, apa aja seputar seni dan olahraga. Jadi setiap hari pasti kita ajak ke luar,” terang Direktur Unit Recovery YBN, Andrei Simanjuntak. Khusus pada hari Minggu, klien diajak berekreasi selama setengah hari ke tempat-tempat tertentu.

Menurut Andrei, rehab YBN menggunakan Minnesota Model yang dipadu dengan therapeutic community (TC). Minnesota merupakan model yang menitikberatkan pada pemahaman 12 langkah yang juga melibatkan beberapa tenaga ahli dari berbagai disiplin ilmu.

Program rehab YBN cukup beragam, mulai dari primary care yang merupakan program utama selama 4 bulan, serta halfway house yang juga 4 bulan bagi pecandu yang bekerja, sekolah, atau kegiatan lainnya. Program paling akhir merupakan program after care. Pada fase ini, klien diperbolehkan tinggal di luar fasilitas rehab, tetapi tetap dipantau dan dibimbing oleh staf dalam menjalani kehidupannya di masyarakat. Apabila klien mampu melalui fase ini dengan baik selama sekitar 4 bulan, maka klien dinilai layak menjalani kepulihannya sendiri sehingga siap dilepas tanpa pantauan lagi.

Namun tak semua klien mampu menjalani ketiga program itu. Diakui Andrei, dari 22 orang klien yang sempat menjalani rehab di YBN sejak dibuka Januari 2004 lalu, baru ada 2 orang yang kini telah sukses berada pada tahap terakhir, after care. Sisanya, rata-rata merasa sudah cukup menyelesaikan satu program saja. Tak sedikit pula yang drop out (DO), alias selesai sebelum program berakhir. Alasannya sama, karena merasa sudah sembuh. “Kita tidak mau memaksa orang karena kesembuhan mereka pada dasarnya harus berawal dari kemauan mereka.” Menariknya, kata Andrei, klien yang membayar biaya program, kebanyakan justru cenderung cuek menjalani program. “Malah yang bayar itu kebanyakan DO,” herannya. YBN sebenarnya menetapkan tarif sebesar Rp 2,5 juta bagi peserta program. Namun dengan bantuan funding, YBN tak memaksakan tarif bagi klien kurang mampu. “Malah klien kami kebanyakan tidak bayar. Yang jelas, nggak ada pembedaan antara yang bayar dan tidak,” pungkasnya. [Komang Erviani, dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 04, Mei 2005]