Google
 

Rabu, 20 Juli 2005

Remaja pun tak Tahu Hari Remaja

Selamat Hari Remaja.” Penggalan tiga kata itu terus berulang, terdengar riuh di Toko Buku Gramedia, Jl Dewi Sartika Denpasar, pertengahan Agustus lalu. Sambil mengucap selamat hari remaja, sejumlah remaja membagi-bagikan dua lembar kertas warna hijau dan merah muda serta sebuah stiker bertuliskan Spirit For Me. Kertas-kertas itu berisi penjelasan hasil konferensi nasional remaja Indonesia yang dideklarasikan remaja se-Indonesia, serta tak lupa soal seluk beluk Hari Remaja Internasional 2006.

“Memang ada ya hari remaja? Kapan?” begitu Suliastini (14 tahun) dan Ari Kurniati (13 tahun) ketika ditanya tentang Hari Remaja. Walau tergolong remaja, kedua siswa SMPN 8 Denpasar yang sedang asyik membaca buku itu mengaku tak pernah mendengar soal hari remaja. Keduanya senang karena ada teman-teman sebaya mereka yang mau memberi informasi itu. “Saya juga mau ikut aktif kayak mereka,” ujar Ari malu-malu.

Informasi tentang hari remaja, memang tak banyak diketahui para remaja. Karenanya, Kita Sayang Remaja (Kisara), Muda Berdaya Bali, dan Kelompok Siswa Peduli AIDS dan Narkoba (KSPAN) dari sejumlah sekolah di Denpasar, sepakat mengkampanyekan hari yang jatuh setiap 12 Agustus itu. “Ini adalah program untuk memperkenalkan hari remaja,” jelas Pramesemara, 20 tahun, pengurus Kisara.

Selain Gramedia, kampanye juga dilakukan di Toko Buku Gunung Agung, serta di perempatan Jalan Dewi Sartika. Dengan tema Spirit for Me, Spirit for Youth, Youth Spirit Againts Poverty, kampanye tersebut diharapkan mampu memberi semangat bagi remaja agar peduli untuk membantu upaya penghapusan kemiskinan. Kemiskinan, menurut Pram, merupakan sumber dari banyak masalah, termasuk masalah pendidikan, sosial, hingga HIV/AIDS. Paling tidak, remaja bisa berupaya dengan menjalankan studi dengan baik. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 20,September 2006]

Hasil Konferensi Nasional Remaja Indonesia :
1. Mengajak seluruh remaja di Indonesia untuk menumbuhkan kesadaran dan solidaritas bersama dalam memperjuangkan pemenuhan hak-haknya.
2. Mendesak pemerintah, legislatif, penyedia layanan, orang tua, guru, masyarakat, untuk menerima, mengakui, dan memenuhi hak-hak reproduksi seksual remaja terutama menyangkut hak memperoleh informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual remaja dan hak memperoleh pelayanan konseling dan medis yang mudah diakses dan ramah remaja.
3. Mendesak pemerintah memberikan dukungan politis, alokasi anggaran, dan dukungan sumber daya lainnya secara proporsional dalam mengimplementasikan hak-hak reproduksi dan seksual remaja.
4. Mendesak agar program reproduksi seksual remaja yang dikembangkan oleh pemerintah, penyedia layanan, dan lembaga swadaya masyarakat, melibatkan partisipasi aktif remaja secara integral (perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi) untuk menjamin program mengakomodir kebutuhan aktual remaja menyangkut kesehatan reproduksi dan seksual.
5. Mendesak media massa agar memberikan ruang dan bersama remaja menjadi mitra dalam mengkampanyekan dan memperjuangkan pemenuhan hak-hak reproduksi dan seksual remaja.

Pesona Kintamani Ternoda Bangunan Jurang

Siapa tak mengenal Kintamani, sebuah obyek wisata yang menawarkan view menawan dengan keelokan pesona Gunung Batur beserta danaunya. Sayangnya, seiring dengan perkembangan sektor usaha di obyek yang terletak di Kabupaten Bangli ini, pembangunan fisik pun makin tak terkendali. Keindahan alam yang menjadi investasi terkuat dari pariwisata Kintamani, seolah hendak 'dibumi-hanguskan' oleh generasi kini. Benarkah?

SEJAK beberapa tahun lalu, status kawasan wisata yang dimiliki Kintamani sempat diubah oleh Pemerintah Propinsi Bali menjadi hanya 'stop over' atau persinggahan. Targetnya, tentu tak lain agar tidak ada pembangunan sarana akomodasi, khususnya penginapan, di tempat tersebut. Mengingat kondisi alam yang didominasi jurang, pembangunan sarana fisik secara berlebihan tentu akan merusak alam sekitar. Tak hanya berarti ancaman kerusakan lingkungan bagi masyarakat sekitar, kerusakan juga secara otomatis akan menurunkan daya tarik wisata.
Ironisnya, perubahan status tersebut bukannya menyetop pembangunan sarana fisik di Kintamani. Sebaliknya, pembangunan sarana fisik bahkan makin tak terkendali paska perubahan status itu. Berbagai jenis bangunan fisik, dibangun tepat di bibir jurang. Pembangunan restoran, artshop dan lainnya, seolah berlomba untuk mendapat view terbaik dari Gunung dan Danau Batur.
Pengusaha asal Kintamani yang juga Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bangli, I Wayan Gunawan, mengaku heran dengan kondisi tersebut. Pasalnya, dicoretnya status Kintamani menjadi salah satu kawasan wisata Bali, seharusnya mampu mengendalikan pembangunan sarana fisik di Kintamani. "Anehnya, setelah diubah statusnya, pembangunannya malah tidak terkendali," keluhnya. Kondisi Kintamani kini, menurutnya sudah sangat berbeda dengan 30 tahun lalu sejak usaha restorannya baru dibangun di Kintamani.
Dikatakan, pemerintah dan masyarakat saat ini cenderung membicarakan investasi sebagai sebuah kapital (modal dana). Tak banyak orang yang menyadari bahwa sumber daya alam yang ada merupakan investasi yang paling mahal dan berharga. Akibatnya, tak banyak pihak yang kini berusaha menjaga alam tersebut, sebagai sebuah warisan berharga dari generasi lalu. Gunawan menegaskan perlunya langkah-langkah preventif agar jangan warisan yang harusnya akan diwariskan kembali kepada generasi mendatang itu, 'dibumi-hanguskan' oleh generasi sekarang. "Jangan sampai warisan yang nantinya akan kita berikan untuk generasi mendatang ini, 'dibumi-hanguskan' hanya untuk kepentingan sesaat generasi sekarang," tandasnya.
Kondisi tersebut menurutnya perlu segera ditangani. Pemerintah sebagai pihak berwenang, harus segera melakukan langkah-langkah strategis untuk mencegah kehancuran Kintamani. Pasalnya, pembangunan di Kintamani terus berkembang setiap detik. Lampu hijau dari pemerintah untuk membangun berbagai saran fisik tersebut, jelasnya, membuat para pengusaha pariwisata berlomba menggunakan peluang bisnis tersebut. Hal itu wajar, karena pertimbangan utama pengusaha adalah kapitalisasi modal. Jangan salahkan pengusahanya. Kalau memang diberi peluang, setiap pengusaha pasti akan menggunakan peluang bisnis itu. Jadi kuncinya ada di pemerintah," tegas pria yang juga anggota DPRD Bali ini.
Namun Gunawan menyesalkan lemahnya 'political will' pemerintah, khususnya Pemkab Bangli, untuk menangani masalah itu. Dikatakan, selama ini Pemkab Bangli seringkali berdalih tak ada Perda yang bisa menjadi dasar untuk menindak pembangunan fisik di kawasan tepi jurang Kintamani itu. Dalih itu dinilai tak wajar, karena banyak aturan umum yang seharusnya menjadi 'senjata' pemerintah untuk menindak pembangunan yang merusak itu. "Kan bisa pakai aturan sempadan jalan dan sempadan jurang. Itu seharusnya bisa jadi daya tangkal," tegasnya. [Ni Komang Erviani / dimuat di Harian Warta Bali]

Permainan Tradisional Bali, Nasibmu Kini

Meong-meongan, kini mungkin telah menjadi permainan yang asing di kalangan anak-anak Bali. Padahal dulunya, permainan itu menjadi sangat favorit. Keunikannya bahkan mampu menjadi daya tarik wisata bagi setiap turis yang datang ke Bali. Sayangnya, tak banyak tempat yang kini bisa dikunjungi turis untuk menikmati daya tarik tersebut.

SEIRING dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat, permainan tradisional Bali ternyata tak mampu mempertahankan eksistensinya. Berbagai jenis permainan yang diciptakan oleh teknologi tinggi, lambat laun menenggelamkan keberadaan permainan tradisional di kalangan anak-anak di Bali.
Kondisi tersebut tak hanya membuat beberapa generasi di Bali tidak sempat mengenal permainan tradisional dalam masa kanak-kanaknya. Lebih dari itu, daya tarik wisata Bali juga semakin menurun. Pasalnya, permainan tradisional merupakan salah satu cermin budaya Bali yang menjadi daya tarik wisata bagi turis mancanegara.
Menikmati daya tarik wisata lewat permainan tradisional, kini seolah semakin 'mahal' bagi wisatawan. Tak banyak permainan tradisional anak-anak yang bisa dinikmati dengan hanya datang ke desa-desa tradisional. Mungkin hanya pada momen Pesta Kesenian Bali saja, para turis berkesempatan menyaksikan bagaimana anak-anak di Bali bermain dengan berbagai jenis permainan tradisionalnya.
Dalam masa Pesta Kesenian Bali yang digelar setahun sekali, pertunjukkan permainan tradisional memang telah menjadi agenda tetap. Secara rutin dan konsisten, berbagai jenis permainan tradisional dipertunjukkan di hadapan masyarakat. Dalam momen tersebut, antusiasme para turis terhadap permainan tradisional Bali juga tampak sangat tinggi.
Sayangnya, tak banyak momen lain yang bisa dimanfaatkan para turis untuk menyaksikan keceriaan anak-anak Bali dalam mempertunjukkan permainan khasnya itu. Itu berarti, salah satu daya tarik wisata Bali itu hanya bisa dinikmati selama satu bulan setiap tahunnya.
Padahal permainan tradisional merupakan salah satu daya tarik wisata yang sangat potensial bagi Bali. Setidaknya, pengamat ekonomi pariwisata Bali, I Nyoman Erawan, mengakui hal itu.
Menurut Erawan, permainan tradisional merupakan salah satu cermin dari keunikan Bali. Keunikan itulah yang menjadi kekuatan bagi Bali dalam mempertahankan persaingan yang mengarah ke persaingan monopolis (monopolistic competition). Persaingan ketat ditengah keunikan yang telah dimiliki Bali.
Nyaris punahnya permainan tradisional di Bali, tegas Erawan, menjadi poin yang akan cukup mempersulit Bali dalam menghadapi persaingan pasar yang monopolistik tersebut. Pasalnya, kepunahan permainan tradisional sama artinya dengan punahnya salah satu keunikan budaya yang dimiliki Bali.
Karenanya, Bali seharusnya mampu mempertahankan, sekaligus memperkenalkan keunikan-keunikannya itu kepada masyarakat internasional bila memang ingin memenangkan persaingan.
Diakui Erawan, pengembangan budaya Bali telah masuk tahap komersialisasi. Hal itu tidak terlepas dari meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat. Kondisi itu harusnya ditanggapi dengan serius melalui penyatuan visi seluruh stakeholder pariwisata Bali.
Dijelaskan, perlu ada badan pertimbangan pengembangan pariwisata yang memasukkan semua unsure, baik industri, pemerintah dan masyarakat. Melalui badan tersebut, semua keunikan budaya Bali, termasuk permainan tradisional, harusnya mampu dipertahankan dengan tetap berkembang sinergis dengan kepariwisataan.

Mengajarkan Kemandirian, Menghilangkan Egoisme
“Jatuhnya” eksistensi permainan tradisional (dolanan anak) di Bali, tak sekedar mengurangi salah satu poin daya tarik wisata Bali. Pasalnya, permainan tradisional juga merupakan pangkal dari pelestarian kebudayaan Bali. Budayawan yang juga pakar permainan tradisional anak-anak, I Made Taro menjelaskan, permainan tradisional Bali tidak sekedar permainan yang tanpa makna.

Menurut Made Taro, memudarnya permainan tradisional tak bisa diartikan sebagai sekedar beralihnya permainan anak-anak kepada jenis permainan teknologi tinggi. Lebih dari itu, pergeseran kebiasaan masa kanak-kanak itu juga menjadi pangkal dari bergesernya mental dan fisik generasi muda Bali.

Berbagai permainan berteknologi tinggi yang kini akrab dengan anak-anak di Bali, telah membentuk pribadi-pribadi yang cenderung individual dan berpikir instan. Hal itu tidak terlepas dari jenis permainan berteknologi tinggi yang banyak menawarkan kemudahan dan kecenderungan berkompetisi dengan mesin.

Contoh sederhana, anak-anak tidak perlu mencari teman-teman sebayanya hanya untuk bermain play station. Apalagi saat anak-anak diberi kemudahan dengan menyediakan fasilitas play station itu di rumah. Akibatnya, tak banyak yang dilakukan anak-anak dalam kesehariannya, selain duduk di depan mainannya dan mencari kesenangan dengan hanya menekan beberapa tombol saja. Praktis, cepat dan tak memerlukan banyak teman sepermainan.

Berbeda dengan permainan berteknologi tinggi, permainan tradisional memberikan banyak pembelajaran bagi anak-anak yang pada akhirnya mampu membentuk pribadi yang tidak egois. Pasalnya, permainan tradisional mengajarkan anak-anak untuk selalu patuh pada aturan (hukum), tidak egois, dan mengajarkan anak untuk selalu menjalin hubungan baik dengan sesama teman. Tak ada satupun permainan tradisional yang bisa dilakukan sendirian di rumah.

Meski mengajarkan perlunya teman, permainan tradisional juga mampu mengajarkan kemandirian kepada anak. Unsur perlombaan yang banyak ditawarkan permainan tradisional, mengajarkan anak untuk selalu berusaha unggul, tanpa kecurangan. Tak hanya itu, permainan tradisional juga cenderung melatih kemampuan fisik dan mental anak-anak agar kuat menghadapi masalah dan persaingan. [Komang Erviani / pernah dimuat di Harian WARTA BALI]

Berburu Eksotisme 'Sunset'

Siapa yang tak mengenal keindahan 'sunset' (matahari tenggelam) di Bali? Setidaknya, sunset menjadi salah satu daya tarik wisata Bali yang banyak dicari wisatawan. Baik itu wisatawan domestik, wisatawan mancanegara, atau bahkan masyarakat lokal.

MESKI Bali lebih dikenal dengan pesona sunset Pantai Kuta, tak berarti hanya Kuta yang mampu menampilkan eksotisme tersebut. Pesona sunset nan eksotis juga dapat dinikmati dari banyak lokasi di kaki Pulau Bali.
Memandang sunset dari beberapa titik di kaki Pulau Bali, mampu membawa siapa pun menjadi seolah berada di 'alam lain'. Pasir putih di hampir semua pantai sekitar kawasan tersebut, menjadikan nuansa keindahan itu makin terasa.
Meski sama-sama berpasir putih, namun memandang sunset di setiap pantai akan memberikan nuansa berbeda. Pesona sunset di satu titik, tidak bisa dinikmati secara sama di titik lainnya. Masing-masing menyimpan keunikannya sendiri.
Ada beberapa pantai di kawasan barat kaki Pulau Bali yang banyak diburu untuk menikmati sunset. Salah satunya dan yang paling terkenal adalah Pantai Kuta.
Pantai yang sejak awal digemari karena sunsetnya ini, memang mampu menghadirkan pesona sunset yang sarat keindahan. Pantainya yang luas dan berpasir putih, membuat sunset di kawasan ini bisa dinikmati dengan leluasa. Tak ada penghalang saat memandang keindahan sunset Pantai Kuta.

Dari Balangan Hingga Suluban
Selain Pantai Kuta, pesona sunset juga dapat dinikmati di Pantai Balangan.
Dari Pantai Kuta, Balangan bisa ditempuh kendaraan selama 20 menit ke arah Selatan. Pantai yang terletak di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan ini, menyajikan sunset dengan bentuk lain.

Panjang pantai yang dibatasi tebing tinggi di sisi kanan dan kirinya, membuat arah pandang menuju sunset cukup terbatas. Namun hal itu tak mengurangi pesona sunset di pantai ini.

Tebing tinggi yang membatasinya, justru memberikan pesona yang unik dan menarik. Hal lain yang membedakan Balangan dengan Kuta, pasir pantai Balangan terlihat jauh lebih putih dengan kontur yang lebih kasar.

Melangkah sedikit ke arah selatan Balangan, pesona sunset lain sudah bisa dinikmati dari Pantai Dreamland. Sesuai namanya, Dreamland memang benar-benar sebuah tempat impian. Luas Pantai Dreamland dengan Balangan yang hanya disekat tebing, memang tak jauh berbeda.

Panjang Pantai Dreamland tak lebih dari setengah kilometer. Meski sangat dekat dengan Balangan, bukan berarti Dreamland tak memiliki daya tarik tersendiri. Dreamland justru menawarkan pesona sunset yang jauh lebih menarik.

Sunset di Dreamland bisa dinikmati langsung dari pantainya, atau sekadar duduk di atas tebing yang menghadap ke pantai. Kedua cara berbeda itu memberikan nuansa keindahan yang juga berbeda.

Pantai Padang-Padang menjadi pantai selanjutnya yang banyak dimanfaatkan wisatawan untuk menikmati pesona sunset. Pantai di sebelah selatan Dreamland --masih di Desa Pecatu-- ini, juga cukup sempit. Panjangnya bahkan tak lebih dari separuh panjang pantai Dreamland.

Labuan Sait, demikian orang biasa menyebut pantai ini. Yang membuatnya unik dibandingkan pantai lainnya, Padang-Padang memiliki sebuah terowongan pendek menurun yang harus dilewati untuk mencapai pantai. Keindahan sunset Padang-Padang juga bisa dinikmati hanya dari pinggir jalan, karena lokasinya yang sangat dekat dengan jalan umum.

Tak lebih dua kilometer dari arah Padang-Padang, kita bisa menemukan Pantai Suluban yang terkenal karena menjadi lokasi syuting video klip grup musik dunia, 'Michael Learns to Rock'.

Berbeda dengan empat pantai sebelumnya, Suluban tak memiliki pantai yang bisa dimanfaatkan untuk menikmati sunset. Sunset di Pantai Suluban seringkali hanya bisa dinikmati dari atas tebing. Pasir di pantai ini hanya sesekali bisa dinikmati pengunjung, saat laut sedang surut. Saat pasang, ketinggian air tidak memungkinkan untuk itu.
Uluwatu, menjadi tempat paling ujung yang menyajikan sunset dengan cara yang cukup spektakuler. Pasalnya, sunset dari atas tebing tinggi ini tak hanya dinikmati dengan cara biasa.

Sebuah pertunjukkan tari kecak yang luar biasa, memberi nuansa yang benar-benar eksotis dari sebuah sunset. Meski tanpa pesona pantai seperti tempat lain, Uluwatu justru menyajikan sunset yang jauh lebih unik.

Akses Mudah, Fasilitas Lengkap
Meski sama-sama menyajikan keindahan, sunset di Pantai Kuta tampaknya jauh lebih digemari. Hal itu tampak dari banyaknya wisatawan yang berkunjung untuk menikmati sunset di pantai ini. Minimal, puluhan pengunjung tampak menikmati sunset di Kuta setiap harinya. Bahkan, sunset di Kuta justru seringkali dinikmati oleh ratusan pengunjung.

Banyaknya penikmat sunset di Kuta, tampaknya tak terlepas dari akses yang memang jauh lebih mudah. Sarana prasarana pendukung di kawasan Pantai Kuta dan sekitarnya yang jauh lebih lengkap, membuat Kuta paling mudah diakses.

Kondisi itu sangat berbeda dengan kondisi pantai lain, baik Balangan, Dreamland, Padang-Padang, Suluban atau Uluwatu. Sarana dan prasarana yang ada di pantai-pantai lain selain Kuta, bisa dikatakan sangat minim.

Belum lagi akses jalan ke kawasan itu yang sangat tidak memadai karena tanpa penerangan jalan. Hal itu menimbulkan kerawanan bagi para pengunjungnya.
Sunset di Balangan, Dreamland, Padang-Padang, Suluban atau Uluwatu, justru lebih banyak dinikmati wisatawan asing atau masyarakat lokal.

Hal itu berbeda dengan sunset dari Pantai Kuta yang juga banyak dinikmati wisatawan domestik. Sebagian besar wisatawan asing yang menikmati sunset di Balangan, Dreamland, Padang-Padang atau Suluban, umumnya merupakan wisatawan penghobi surfing. Itu karena pantai-pantai tersebut dikenal sebagai kawasan surfing yang cukup menantang. [Komang Erviani / pernah dimuat di Harian WARTA BALI]

Sabtu, 09 Juli 2005

Penyamaran Dilematis Pemberantas Narkoba

Bergaul dengan pengguna, pengedar dan bandar narkoba, menjadi bagian dari tugas penyamaran anggota reserse narkoba. Namun tak boleh ada secuil pun narkoba yang masuk ke tubuhnya.

Rasa lelah tampak jelas dari raut wajah Andi, bukan nama sebenarnya. Pakaiannya lusuh, bau deodorant menyengat dari tubuh pria gondrong itu. Maklum, sudah dua hari ini Andi tak pulang ke tempat kosnya. Jangankan mandi, ganti pakaian pun tak sempat ia lakukan.

Bukan hanya sekali ini bujang asli Bali itu tak pulang. Bekerja siang malam sudah menjadi aktivitas kesehariannya selama empat tahun belakangan. Apalagi bila sedang ada target yang ingin ditangkap. Tidur, seolah sudah menjadi barang mewah baginya.

Sehari-harinya, Andi bergelut dengan narkotika dan obat berbahaya (narkoba). “Bergaul” dengan para pengguna narkoba, pengedar, atau bahkan bandarnya, wajib dilakukan. Andi memang bukan pengguna, pengedar, atau bahkan bandar narkoba. Ia adalah aparat polisi yang khusus bertugas memberantas penyalahgunaan narkoba.

Penyamaran (undercover) menjadi bagian terpenting dari pekerjaannya. Dengan menutup identitasnya sebagai polisi, Andi harus selalu dekat para pengguna, pengedar, ataupun bandar narkoba. Tujuannya satu, mempelajari jaringan kuat mereka, mencari sisi kelemahannya, untuk kemudian menangkapnya. Berpenampilan gaul, jauh dari kesan sangar aparat polisi, menjadi langkah awal penyamarannya.

Andi mengakui, bertugas di reserse narkoba bukanlah hal mudah. Minimal, harus ada hobi begadang. Keluar masuk tempat hiburan, wajib dilakukan. Belum lagi dengan beragam godaan dari kehidupan malam. Minuman keras, narkoba, dan perempuan, diakui sangat dekat dengan aktivitas tugasnya. Tentu saja, yang namanya aparat tetap aparat. Mereka harus bersih dari segala jenis minuman keras, apalagi narkoba. Tiap tiga bulan sekali, kesatuan selalu melakukan tes urine terhadap anggotanya guna memastikan mereka bersih dari narkoba. Kalau hasil tes menunjukkan hasil positif, maka beragam sanksi bisa dikenakan. Mulai dari mutasi, penundaan kepangkatan, atau bahkan pemberhentian.

Menghindar dari narkoba di tengah pergaulan para junkie (pengguna narkoba), tak gampang baginya. Pernah suatu kali, ia ditawari narkoba jenis ekstasi di sebuah diskotek. Tanpa berpikir panjang, barang haram itu pun diterimanya. Bukan untuk dipake, tetapi untuk mencari tahu sumbernya. “Saya lihat logonya, lihat warnanya. Jadi saya tahu sumbernya, saya kembangin,” Cerita Andi.

Agar tak mengundang kecurigaan, ia pun memesan minuman dingin. Dipegangnya minuman itu cukup lama, hingga tangannya dingin. “Saya nggak bodoh. Saya pura-pura gedek-gedek, jadi yang ngasih berpikir saya sudah on. Padahal sing ada apa (tidak ada apa-apa),” ia terkekeh. Kalau memang kepepet harus make, ia mencari seribu alasan untuk pergi dari tempat itu.

Bagi Andi, menjadi petugas undercover satuan narkoba tak berarti harus make narkoba. Untuk mengatasi dilema itu, pihaknya memilih tak bekerja sendiri. Ada beberapa orang sipil yang direkrut sebagai spionase (informan).

Para SP, sebutan untuk spionase, umumnya direkrut dari para mantan junkie yang mau bekerjasama. Biasanya para SP diambil dari lepasan Lembaga Pemasyarakatan (LP). Tak sedikit pula yang direkrut di lapangan, yakni dari orang dekat target yang dikondisikan untuk siap membantu.

Merekrut SP bukan hal mudah. Meski telah diingatkan untuk tidak memakai narkoba, tak sedikit SP yang diam-diam tetap nyandu. “Tapi risikonya itu. Kalau ketangkep (aparat) yang lain, kan terserah,” Andi mengangkat bahunya santai. Terkadang ada juga SP yang menipu aparat. Selain gagal menangkap target, uang yang diberikan kepada SP pun raib.

Memberantas narkoba bukan hal mudah. Apalagi narkoba termasuk bisnis mahal. Untuk menangkapnya, perlu dana yang tidak sedikit. Transaksi undercover menjadi langkah paling ampuh untuk menjebak pelaku. Sayang, lolosnya para bandar besar sering terjadi karena tidak ada dana untuk transaksi. Untuk satu paket putaw (heroin) saja, diperlukan uang Rp 200 ribu. Bila ingin menangkap target dengan 1 gram saja, harus siap duit sedikitnya Rp 800 ribu “Gimana kita bisa nangkep yang besar,” keluhnya.

Urunan antar anggota seringkali dilakukan. Namun kalau transaksinya gagal, jangan harap uang kembali. Belum lagi kalau saat penangkapan mengalami cidera, tak ada jaminan kesehatan untuk anggota.

Kalaupun sukses melakukan penangkapan, petugas narkoba juga kerap mendapat fitnah. Para tersangka umumnya berdalih kalau mereka dijebak. “Padahal kalau tidak dijebak, tidak mungkin bisa kita tangkap. Kita bisa lihat di depan mata kalau dia bandar. Tapi kalau kita tangkap langsung, geledah, nggak mungkin dia bawa barang. Nah, gimana cara kita biar bisa nangkap dia dan dia mau mengeluarkan barang haramnya, ya dengan cara menjebak,” keluhnya.

Tekanan dari para pejabat juga kerap menjadi kendala petugas narkoba di lapangan. Saat menyelesaikan kasus tertentu, Andi mengaku pernah mendapat tekanan dari para pejabat, misalnya dengan menghalang-halangi tugasnya. Ada bandar yang berlindung di belakang oknum perwira polisi, kata Andi, juga menjadi dilema tersendiri yang dihadapi petugas undercover narkoba.

Godaan saat penangkapan juga cukup banyak. Bahkan ada yang pernah ditawari rumah. “Dengan nombok ini itu. Kadang ada yang bilang, pak tolong bantu saya, ini ada uang, ada rumah. Ambillah rumah ini,” kata Andi. Untuk menghindari hal itu, Andi mengaku tak pernah bekerja tanpa pimpinan. Saat penangkapan, minimal harus ada 3 anggota polisi yang terlibat. Itu pun harus dengan surat perintah tugas. Pihaknya juga selalu mencari saksi dari masyarakat umum yang melihat kejadian.
Wanda, bukan nama sebenarnya, tak seberuntung Andi yang hingga kini masih bisa berprestasi di bagian narkoba. Pria itu kini hanya mendapat tugas jaga. Ia menduga, mutasi tugasnya dari narkoba diduga gara-gara keakrabannya dengan sejumlah bandar narkoba. “Itu kan bagian dari tugas. Tapi tetap saja, kita tidak bisa nangkap mereka kalau tidak bawa barang. Kalau pas mereka bawa, ya kita tangkap,” ungkap pria yang mengaku telah mengungkap 16 kasus narkoba.

Awal kesialannya terjadi saat tiga rekan satu timnya di narkoba tertangkap basah memeras calon target mereka. Meski ia tak tersangkut kasus itu, namun instansi tempatnya bekerja memutuskan memindahkan tempat tugasnya ke salah satu kabupaten, masih di bagian narkoba. Sedang tiga rekannya itu kena sanksi disiplin.
Pindah ke daerah, memang tak menyurutkan prestasinya. Bahkan beragam penghargaan sempat diraih atas keberaniannya menangkap bandar kelas kakap di wilayah itu. Tetapi dengan prestasinya itu, tidak lantas memuluskan keinginannya untuk pindah ke Denpasar lagi.

Jauh dari keluarga menjadi hambatan pria yang sudah sejak tahun 2000 melakukan kegiatan penyamaran narkoba itu. Selama bertugas di seputaran Denpasar-Badung ia merasa lebih nyaman dekat dengan keluarga dibandingkan di daerah lain.
Tak tahan jauh dari keluarga, pemindahan kembali ke wilayah Denpasar-Badung terus diupayakan. Menjadi petugas jaga pun akhirnya ia terima, untuk sekadar bisa dekat dengan keluarga. Meski kecewa karir kepolisiannya berakhir seperti itu, namun Wanda mengaku tetap mengambil hikmah dari kejadian itu. Paling tidak, porsi waktunya untuk keluarga kini menjadi jauh lebih besar bila dibandingkan saat ia harus keluar masuk tempat hiburan setiap malam. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL edisi 6, Juli 2005]

Pemecatan Menghantui

Anggota polisi yang tak menjalankan tugas, tetapi justru tergoda narkoba, bisa dikenakan sanksi pemecatan.

Rabu pagi, 22 Juni 2005, para anggota kepolisian Daerah Bali yang baru saja selesai mengikuti apel pagi dikejutkan oleh kedatangan mobil tes urine bantuan Badan Narkotika Nasional (BNN). Apalagi mereka juga diminta buang air kecil.

Hari itu memang kali pertama mobil tes urine BNN tersebut dioperasikan. Awalnya, mobil yang sudah diserahkan kepada Badan Narkotika Propinsi (BNP) Bali tersebut rencananya akan digunakan untuk razia-razia narkoba. Kedatangan mobil berteknologi canggih itu ke Polda Bali, kontan membuat para anggota polisi setempat kaget. Mereka tampaknya tak menyangka kalau justru aparat sendiri yang jadi target razia pertama.

Tes urine yang dilakukan terhadap sekitar 200 anggota polisi, tentu saja untuk memastikan semua anggota kepolisian bersih dari narkoba. Tak terkecuali pada anggota reserse narkotika yang notabene setiap harinya harus bergaul dengan para pengguna, pengedar, dan bandar narkoba.

Menurut Direktur Direktorat Narkoba Polda Bali, AKBP Bambang Sugiarto, tes semacam itu rutin dilaksanakan. Idealnya, tes semacam itu harus dilaksanakan 3 bulan sekali. Meski demikian, permasalahan dana kerap menjadi kendala mengingat harga test kit narkoba cukup mahal. Untuk satu kali tes per orang, dibutuhkan Rp 50 ribu. Namun dengan adanya mobil tes urine BNN, diharapkan tes rutin itu bisa dilaksanakan secara rutin.

Bambang menegaskan, setiap anggota polisi harus bersih dari narkoba. Tak terkecuali para anggota narkoba yang melaksanakan tugas penyamaran. Diakuinya, ada dilema yang dialami polisi narkoba dalam menjalankan tugasnya. Di satu sisi, mereka harus masuk dalam kehidupan para junkie untuk mengetahui sumber-sumber barang haram itu. Namun di sisi lain, mereka juga tak boleh memakai barang tersebut. “Ini memang dilema. Kalau kita nggak make, ya dia (junkie) curiga. Tapi kita juga tidak menghendaki anggota kita kecanduan narkoba.” ujar pria murah senyum ini.

Lebih dari itu, menurut Bambang, seorang anggota polisi harus bersih dari segala macam perbuatan tercela. Anggota polisi tetap tak boleh melakukan pelanggaran tata tertib yang berlaku umum (KUHP) maupun khusus di lingkungan Polri (kode etik). Anggota polisi tak boleh masuk ke tempat hiburan, tak boleh bergabung dengan orang yang melakukan pelanggaran, tak boleh melakukan hobi yang cenderung menyimpang, dan lainnya.

Kalau melanggar, sanksinya dua kali lipat lebih berat dibandingkan pelanggaran hukum oleh masyarakat umum. Selain pelanggaran kode etik, proses peradilan pidana umum juga tetap harus diikuti. “Jadi sudah jatuh, tertimpa tangga pula,“paparnya. Saat ini terdapat puluhan anggota Direktorat Narkoba Polda Bali yang melakukan tugas undercover.

Mengenai intimidasi yang dialami polisi narkoba oleh oknum pejabat polisi, ia menampiknya. “Kalau petugasnya lurus-lurus saja, tidak mungkin ada tekanan,” ujarnya santai.

Bertugas di narkoba, memang pekerjaan riskan. “Harus tahan mental”, kata Kombes Pol. Tri Huboyo, Sekretaris Badan Narkotika Propinsi (BNP) Bali yang juga Kepala Biro Bina Mitra Polda Bali. “Memang sangat tipis rambu-rambunya. Tidak boleh pake narkoba, tapi dia harus bergaul di situ (dengan junkie),” ungkapnya.

Berdasarkan catatan Polda Bali, selama semester I 2005 ini saja sudah ada 5 anggota polisi dari berbagai kesatuan yang terbukti melakukan tindak pidana. Jumlah itu naik dari periode yang sama 2004 yang hanya 1 orang. Secara umum, jumlah pelanggaran oleh anggota Polri di wilayah Bali selama periode Januari-Juli 2005 mencapai 39 orang, naik dari tahun sebelumnya 38 orang. Jenis pelanggaran yang dilakukan beragam, mulai dari disersi (3 orang), memasuki tempat terlarang (8 orang), mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan dinas (4 orang), hingga dugaan menurunkan martabat Polri (13 orang), dan lainnya. Dari jumlah tersebut, anggota yang diberhentikan secara tidak hormat selama 2005 mencapai 5 orang. “Sebagian besar karena disersi. Tapi tidak ada data tentang asal kesatuannya,” ujar Kabid Humas Polda Bali, Kombes Pol. A.S. Reniban, menegaskan tak ada pengecualian bagi anggota polisi untuk menggunakan narkoba, meski melaksanakan tugas undercover. Tak hanya yang menggunakan narkoba, bila anggota tersebut terbukti masuk tempat hiburan tidak untuk melaksanakan tugasnya, tetapi justru menikmatinya, juga termasuk pelanggaran. “Itu berarti dia sudah masuk pintu jurang kehancuran. Sebelum dia jadi hancur, harus segera ada tindakan.”

Sanksi yang diberikan tergantung pada berat ringan pelanggarannya. Tahapannya bisa dimulai dari peringatan tertulis, teguran tertulis, penahanan, ditempatkan di tempat khusus, dimutasikan, tidak diberi jabatan, atau bahkan dipecat. Lanjut Reniban, kalau anggota polisi narkoba diberikan kebebasan untuk menggunakan narkoba, maka akan merusak nama lembaga. Di situlah perlunya fungsi kontrol dan pengawasan dari bagian lain di kepolisian, seperti Inspektur Pengawasan (Irwas) dan Profesi Pengamanan (Propam).

Untuk menyiasati kondisi itu, Bambang Sugiarto menegaskan bahwa semua anggota polisi undercover juga telah dibekali beragam strategi untuk menolak atau berpura-pura make narkoba. Tak hanya narkoba, dalam penyamarannya polisi narkoba juga tak diperbolehkan minum minuman keras. Kalaupun terpaksa harus minum, tidak dibenarkan minum minuman yang memabukkan.

Setiap pekerjaan pasti ada suka dukanya. Namun bagi anggota yang tak kuat iman, mungkin akan lebih banyak duka yang dihadapi. Kerja yang tak mengenal waktu, diakui Bambang, kerap membuat anggotanya bermasalah dengan keluarga. Aktivitas siang malam, keluar masuk tempat hiburan, seringkali membuat anggota meninggalkan keluarganya. Karenanya, ia selalu mengingatkan anggota agar tak melupakan keluarga, meski tugas tetap menjadi yang utama.

“Kepada semua anggota saya bilang, jangan memanfaatkan peluang untuk tidak pulang, terus ngeluyur nggak jelas, atau mungkin punya WIL (wanita idaman lain). Ke tempat hiburan sampai lupa keluarga, itu juga tidak saya perbolehkan,” tandasnya.

Pendanaan juga diakui sebagai salah satu kendala petugas di lapangan. Selain biaya operasional di lapangan, dana untuk transaksi undercover merupakan yang paling berat dan paling menghambat tugas. Pasalnya, harga narkoba sangat mahal. Satu ekstasi saja, harganya mencapai Rp 100 ribu. Dengan dana hanya Rp 1 juta, maka hanya mendapatkan 10 butir ekstasi. Itu pun kalau penangkapannya mulus. Kalau gagal, maka uang hilang. Seluruh anggota bahkan seringkali urunan untuk itu.
Selama tahun 2005 ini, Polda Bali hanya mendapat jatah dana untuk 41 kasus pidana narkoba. Per kasusnya dianggarkan sebesar Rp 2 juta. Namun kenyataannya, hingga triwulan pertama saja Polda sudah berhasil menangani 78 kasus narkoba, berat dan ringan. “Kalau kondisinya begitu, bagaimana kita dapat menangkap kasus besar. Pancingnya teri, dapatnya ya lele. Kalau pancingnya lele, harusnya bisa dapat tuna,” imbuh Bambang menganalogikan.

Beratnya bekerja di narkoba, membuat banyak anggota enggan bertugas di bagian ini. Bambang mengakui, ada anggota yang menolak bertugas di narkoba. Selain resiko kecanduan, tugas polisi undercover narkoba juga memasuki daerah berbahaya. Bergaul dengan para pencandu narkoba suntik, berisiko terkena HIV/AIDS dari jarum suntik yang mungkin diletakkan sembarangan. [Komang Erviani/ pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 6, Juli 2005]

Orang-Orang Dekat Mereka..

Aksi penyamaran para pemberantas narkoba ternyata justru menjauhkannya pada lingkungan mereka yang sebenarnya. Keluarga dan orang dekat mendapat porsi waktu yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan dunia gemerlap (dugem), pengguna, pengedar, dan bandar narkoba. Uang belanja yang sudah diserahkan kepada istri pun kerap dipinjam kembali untuk melakukan transaksi-transaksi narkoba.

Gelisah dirasakan Mery, bukan nama sebenarnya, malam itu. Pikirannya kalut, perasaannya was-was. Tak seperti biasanya, hari itu suaminya tak pulang tanpa memberi kabar. Tak ada SMS ataupun telepon yang mengabarkan keberadaan sang suami.

“Ma, bapak kemana? Kok belum pulang,” tanya si kembar pada Mery. Rupanya, anak ketiga dan keempat buah pernikahannya dengan sang suami itu juga tak tenang karena ayahnya tak pulang. “Bapak kerja nak,” jawab Mery, mencoba menenangkan putranya.

Mery yang bersuamikan seorang anggora reserse narkotika bernama Wanda, bukan nama sebenarnya, memang sudah terbiasa ditinggal berhari-hari oleh sang suami. Selama ketidakpulangan suami karena urusan pekerjaan, Mery tak pernah protes. Maklum, Mery yang juga anggota kepolisian sudah tahu betul bagaimana beratnya bekerja di bagian narkoba .

Meski tak pernah merasakan sendiri, namun kesibukan kerja tanpa mengenal siang malam di bagian narkoba sudah menjadi rahasia umum sesama anggota polisi. Itu pula yang membuat Mery jarang terusik oleh gosip-gosip dari tetangga meski suami jarang pulang. Tak jarang ada pertanyaan dari tetangga tentang keberadaan sang suami. Namun karena para tetangga juga keluarga polisi, umumnya mereka sudah mengerti. “Biasanya tetangga sekadar tanya aja, Mereka kan sudah tahu beratnya kerja di narkoba,” urai Mery.

Malam itu tak biasa bagi Mery. Wanda tak pulang tanpa memberi kabar. “Biasanya, kalau pun tidak pulang, dia pasti telpon. Ngomong sama anak-anak. Minimal SMS lah,” jelas Mery. Dalam kondisi itu, beragam pemikiran negatif seringkali terlintas dalam benaknya. Khawatir terjadi apa-apa dengan suami, khawatir sang suami kecantol dengan perempuan lain. Apalagi pekerjaan suami sangat dekat dengan hal-hal seperti itu. Pergaulan dengan para cewek orderan (CO), sebutan bagi penjaja seks, sudah biasa dalam keseharian kerja sang suami. Berkat pekerjaannya, Wanda sudah sangat akrab dengan semua CO di semua tempat karaoke di Denpasar. Dalam aksi penyamarannya, Wanda bahkan sudah dianggap sebagai preman berpengaruh yang oleh para CO lebih akrab disebut papi.

Meski ia sendiri seorang polisi wanita, Mery ketar ketir juga. “Kita kan juga perempuan biasa. Tetap ada perasaan, jangan-jangan dia punya “simpanan” di luar,” akunya. Saat pikiran-pikiran negatif itu mulai datang, Mery selalu mengatasinya dengan doa. Baginya, berserah pada Tuhan merupakan satu-satunya cara paling ampuh untuk mengusir kecurigaan-kecurigaan yang tak beralasan itu. “Kalau dia nggak telpon, mungkin sedang mengintai. Mungkin kondisinya sedang tegang,” jawab Mery optimis.

Keterbukaan Wanda kepada keluarga, memberi modal kuat bagi Mery untuk selalu percaya pada sang suami. Meski jarang pulang, Wanda selalu bercerita tentang pekerjaannya setiap punya kesempatan. Termasuk juga tentang pergaulannya dengan para CO. Pernah satu kali, seorang CO jatuh cinta pada Wanda. Pendekatan yang dilakukan CO tersebut juga cukup agresif. Malang nasib si CO, pendekatannya dengan Wanda justru membawanya ke hotel prodeo. CO yang berbodi bak peragawati itu, ketahuan memiliki narkoba dan divonis hukuman 3 tahun penjara.

Cerita-cerita Wanda tentang pekerjaannya, meski mengundang rasa cemburu, justru memperkuat kepercayaan Mery. Mery yakin sang suami tak macam-macam di luar sana. Ia keluar masuk tempat hiburan malam, bergaul dengan para CO, pengguna, pengedar dan bandar narkoba, hanya untuk melaksanakan tugasnya.
Target 10 –15 tangkapan per bulan, membuat Wanda harus jungkir balik melacak keberadaan penyalahguna narkoba untuk kemudian menangkapnya. Namun itu pun tak mudah. Wanda perlu modal banyak untuk melakukan transaksi jebakan. Alhasil, uang belanja yang sudah diserahkan kepada Mery pun kerap dipinjam kembali untuk melakukan transaksi-transaksi itu. “Tapi biasanya pasti dikembalikan. Dipinjam nggak lama kok,” jelas Mery.

Beban terberat Mery justru terjadi ketika sang suami harus dimutasi ke bagian narkoba di kabupaten. Kepergian Wanda selama sekitar 13 bulan itu, diakui cukup membuatnya tertekan. Pasalnya, ia harus mengasuh keempat anaknya sendiri. Walaupun saat bertugas di wilayah Denpasar-Badung Wanda kerap tak pulang, namun masih ada beberapa menit tiap satu atau dua hari yang digunakan Wanda untuk pulang ke rumah. Sementara saat bertugas di daerah, Wanda baru sempat pulang seminggu sekali.

Beban Mery makin berat karena pada kesempatan yang sama ia dan keluarga harus pindah rumah ke kompleks asrama polisi di luar kota. Ia juga secara kebetulan diberi tugas pengamanan di Nusa Dua. Padahal, keempat anaknya bersekolah di Denpasar. “Waktu itu berat sekali untuk saya. Saya harus jadi ibu sekaligus bapak untuk anak-anak. Tapi semua saya jalankan saja,” tandasnya.

Beruntung, sekarang Wanda sudah dipindahkan kembali ke Denpasar. Meski hanya sebagai petugas jaga, namun Mery merasa bersyukur karena ayah dari anak-anaknya sudah kembali. Tak hanya itu, porsi waktu untuk keluarga juga menjadi lebih besar. Setidaknya, Wanda kini tak perlu was-was menerima panggilan tugas saat ia mengantar Mery dan si kembar bermain ke pantai. Wanda juga kini bisa meluangkan waktunya untuk mengantarkan putrinya jalan-jalan di pusat perbelanjaan.

Pekerjaan para anggota reserse narkotika, memang sangat menyita waktu, tenaga, dan pikiran. Lingkungan di sekitar mereka sangat merasakan hal itu. Mery tak sendiri. Sinta, bukan nama sebenarnya, juga merasakannya. Perempuan yang telah berteman dengan Andi, seorang polisi narkoba, sejak masa SMA itu, sangat merasakan sulitnya menjalin hubungan pertemanan dengan Andi setelah ia menjadi anggota reserse narkotika.

Menurut Sinta, Andi kini seperti sosok yang sulit “dipegang”. Karena aksi penyamarannya, Andi kini menjadi sosok yang sangat misterius. Ia tak pernah mau memberitahu alamat tinggalnya. Tak hanya itu, menghubunginya via telepon juga bukan hal mudah. Nomor telepon genggamnya seolah berubah setiap waktu. “Saya sekarang punya 3 nomor HP-nya. Tapi ketiganya nggak aktif,” keluhnya.

Aksi penyamaran oleh para pemberantas narkoba itu, tampaknya memberi pengaruh yang sangat besar pada pergaulannya terhadap lingkungan sekitar. Meski hanya melakukan tugas, namun banyak pengorbanan yang terbukti telah mereka lakukan untuk mengurangi penyalahgunaan narkoba, menyelamatkan generasi muda dari buramnya dunia adiksi. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS KULKUL Edisi 6, Juli 2005]