Google
 

Minggu, 25 September 2005

Fastfood, No!

Sebuah penelitian menunjukkan, 15,8 persen anak usia sekolah dasar (SD) di Kota Denpasar mengalami obesitas. Separuhnya merupakan pengkonsumsi setia fast food.

Setengah berlari, anak itu “menubruk” pintu masuk sebuah restoran cepat saji di Jalan Dewi Sartika, Denpasar, Bali. Wajahnya sumringah. “Dia memang paling suka makan di sini,"ujar sang ibu santai. Sudah satu tahun ini, Wayan Hendra Putra, anaknya, keranjingan fried chicken. "Soalnya enak," tutur Hendra sambil asyik menikmati paha ayam dan kentang gorengnya.

Anak kelas IV D itu. Berusia sembilan tahun itu selalu merengek kepada ibunya untuk mengunjungi temoat favorit tersebut. Nyari tak ada pekan terlewat. Sang ibu pasti meluluskannya, tanpa pernah berpikir tentang risiko bagi kesehatan anaknya. Meski perawakan Hendra masih normal, jika hobi menyantap makanan cepat saji terus berlanjut, bukan tidak mungkin tubuhnya terus melar, terserang obesitas.

Seperti di kota-kota besar lainnya, fast food kini memang telah menjadi tren gaya hidup di Denpasar. Sebagian besar masyarakat justru merasa bangga bila mampu mengongkosi anaknya untuk sering-sering makan di restoran fast food. Kelihatan lebih bonafid, begitu kira-kira. Tren itu pun kini mulai membangun tren baru, yakni obesitas pada anak-anak.

Penelitian oleh Dosen Jurusan Akademi Gizi Politeknik Kesehatan Denpasar, Ida Ayu Eka Padmiari,SKM, M.Kes, menunjukkan bahwa sekitar 15,8 persen anak usia SD di Denpasar mengalami obesitas. Terdiri atas 9,7 persen laki-laki dan 3,9 persen perempuan. Angka itu diperoleh dari total 154 siswa SD di Kota Denpasar. Penelitian dilakukan selama 4 bulan pada 2002. Penelitian yang menggunakan standar Nutrition Community Health Survey (NCHS) dari WHO tersebut, dilakukan sebagai bahan tesisnya di Universitas Gadjah Mada. Latar belakangnya sederhana, karena obesitas pada anak disadari memiliki derajat kerawanan yang sangat tinggi untuk terjadinya penyakit degeneratif semacam penyakit jantung, dibetes melitus, dan lainnya. Sementara tren hidup masyarakat makin mengarah pada konsumsi fast food.

Benar saja, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 50 persen dari anak yang mengalami obesitas ternyata pengkonsumsi setia fast food. Sisanya, mencampur fast food dengan jenis makanan lainnya. Bagi ibu 3 anak kelahiran Denpasar 17 April 1964 ini, perubahan gaya hidup pemicu obesitas tak hanya tercermin dari tren fast food, tetapi juga perubahan cara pergaulan. Sebagian besar anak-anak sekarang memiliki cara bermain yang berbeda. Sebagian besar lebih senang di rumah untuk bermain play station atau sekadar menonton TV. "Anak-anak sekarang akivitas fisiknya sangat kurang. Kalau kita mengonsumsi 100, harusnya kan keluar 100. Tapi biasanya cuma keluar 50 persen. Jadi ada kalori yang tak terpakai dan menjadi timbunan lemak,"jelas ketua yayasan bidang penelitian gizi dan pengembangan mutu, Mitra Gizi Bali ini.

Selain gaya hidup, faktor usia dan jenis kelamin juga dipastikan memberi pengaruh. Dari total anak yang mengalami obesitas, 9,7 persen diantaranya laki-laki, dan 3,9 persennya adalah perempuan. Hal ini diperkirakan terjadi karena sistem hormonal. Dari sisi umur, anak usia 6-8 tahun diketahui memiliki potensi paling rendah, hanya 5,8 persen. Sementara usia paling rentan adalah para usia pra remaja, yakni 10-12 tahun. Sebanyak 76 persen dari siswa obesitas yang diteliti, diketahui berada pada kisaran umur pra remaja itu. Kondisi itu lagi-lagi diperkirakan terkait dengan sistem hormonal. Usia 10-12 tahun merupakan usia masa puber bagi mereka, selain karena aktivitas fisik mereka berkurang pada umur-umur tersebut. "Kalau udah remaja, mereka kan sudah nggak banyak beraktifikasi fisik. Biasanya karena malu,"tandasnya.

Padmiari mengakui, tingkat obesitas pada anak di Bali tergolong cukup tinggi. Hal itu perlu disikapi dengan memasyarakatkan pedoman umum gizi seimbang. Yakni dengan mengonsumsi karbohidrat sebanyak setengah kebutuhan kalori tubuh. Sisanya bisa didapat dari protein maupun sayur-sayuran.

Jadi, mulailah katakana “no” pada fastfood. Jangan biarkan anak seperti Wayan Hendra Putra terbiasa berlari “menubruk” pintu mask restoran cepat saji. [Komang Erviani / dimuat di Majalah Gatra No 45 Tahun XI, 24 September 2005]

Jumat, 09 September 2005

Tak Cukup Sekadar Gerebek

Penggerebekan KF membuat para junkie kesulitan cari “barang”. Mereka mengalihkan ketergantungannya kepada substitusi narkoba seperti buprenorphine dan methadone. Kapolri berjanji membuka peluang rehabilitasi dengan mengamandemen UU Narkotika.

Denny Thong kini makin sibuk. Sejak pertengahan Juni lalu, tepatnya sejak aksi penggerebekan di Kampung Flores, tempat praktiknya di Jl. Gatot Subroto Barat tiba-tiba banyak dicari para junkie, sebutan untuk pecandu. Dalam sebulan, 30 junkie sudah menjadi pasien barunya. Itu tergolong angka tertinggi sejak ia memperkenalkan buprenorphine kepada para junkie di Bali pada 2004.
Rupanya, aksi penggerebekan yang dilakukan aparat gabungan Poltabes Denpasar, Polsek Denpasar Timur dan Polda Bali terhadap Kampung Flores (KF), sebutan sebuah area di Denpasar, menyebabkan banyak junkie beralih ke obat substitusi. “Operasi KF memang efektif sekali. Banyak sekali yang berobat ke saya. Ada pengaruh jelas dari KF,” kata salah satu dokter dari sedikit dokter di Denpasar yang melayani terapi buprenorphine di Denpasar itu.

Sayang, operasi itu juga telah membuat beberapa pasien lamanya yang sudah stabil memakai substitusi, kembali ke putaw, nama jalanan heroin. Itu karena bandar-bandar yang lari dari KF, kini menjajakan “barangnya” dengan sistem door to door. “Mereka sudah tidak mau, dikejar terus. Lama-lama nggak tahan, make lagi,” tutur Staf Ahli Badan Narkotika (BNP) Propinsi Bali itu.
Buprenorphine merupakan obat semi-sintetis yang berbahan dasar sama dengan heroin maupun methadone. Buprenorphin mempunyai fungsi serupa dengan methadone, yakni sebagai obat substitusi bagi para junkie yang ingin melepaskan ketergantungan heroin. Obat yang di pasaran lebih dikenal dengan nama Subutex, merk salah satu jenis buprenorphine itu, kini tiba-tiba menjadi favorit para junkie. Dalam sebulan, Denny mampu menghabiskan 160 boks Subutex dengan resepnya. Subutex pada dasarnya memiliki banyak keuntungan. Selain legal, pemakaiannya juga secara sub lingual, yakni dengan meletakkan di bawah lidah. Efeknya nyaris sama dengan putaw, tetapi dapat bertahan dalam tubuh selama 24 jam. Meski demikian, kata Denny, kalau pengguna Subutex dites urinenya, maka tidak akan terdeteksi unsur narkoba. Subutex bersifat parsial antagonis (setengah melawan), sehingga pemakai Subutex umumnya tak lagi merasa nikmat bila kembali pakai putaw. Menurut Denny, tingkat keberhasilan pasien yang benar-benar pulih (detoksifikasi) mencapai 10 persen.

Sebagian junkie “pelarian” KF datang ke tempat praktiknya atas rekomendasi LSM. Sebagian besar diantaranya datang sendiri. Pada dasarnya, menurut dokter yang sudah menangani sekitar 300 junkie, semua junkie ingin berhenti dari kecanduannya. “Tapi memang sulit. Kebanyakan junkie kalah dengan sugesti,” cerita Denny.

Selain subutex, Pusat Rumatan Methadone (PRM) Sandat Rumah Sakit Sanglah, juga mendapat tambahan klien. Data di PRM Sandat menunjukkan, jumlah kliennya selama Juli lalu bertambah sebanyak 10 orang. Koordinator PRM Sandat RS Sanglah, Nyoman Hanati, mengakui penambahan itu tergolong paling tinggi setelah dibuka 2003 lalu. Pada Maret 2003, sempat terjadi penambahan jumlah klien sampai 71 orang. Kemudian, rata-rata peningkatan hanya berkisar 2 sampai 7 orang per bulan. Hanati tak mengetahui secara pasti apakah peningkatan itu merupakan dampak penggerebekan KF. Namun diakui kecenderungan peningkatan itu disebabkan karena para junkie tak punya alternatif lain.

Salah seorang aktivis di bidang HIV/AIDS dan narkoba, sebut saja Hendra, mengakui adanya peningkatan jumlah peserta terapi methadone dan subutex pasca operasi KF. Tapi ia mencurigai itu hanya untuk sementara, sekadar untuk mengalihkan ketergantungan. Itu karena para bandar sekarang tidak suka bertemu langsung. Umumnya mereka berdagang via telepon atau kurir. Sebagian junkie juga diketahui beralih sementara ke alkohol.

Tindakan penggerebekan yang dilakukan aparat, tak sepenuhnya memberi dampak positif. Petugas-petugas penjangkau dari LSM kini justru makin sulit bertemu kliennya untuk memantau penggunaan jarum suntik untuk mengurangi penularan HIV/AIDS. Kebiasaan berbagi jarum suntik di antara junkie beresiko terhadap penyebaran HIV, karena darah menjadi salah satu media penularannya. Para junkie kini semakin sulit mencari jarum suntik steril. “Mereka sampai pinjam jarum di temannya di luar Denpasar. Ini kan bahaya sekali,” kata Hendra mengingatkan. Karenanya, penting sekali memberi layanan dukungan ketika program represif dilakukan. “Narkoba itu selalu ada. Makanya harus diimbangi dengan harm reduction (program pengurangan dampak buruk narkoba),” tandas pria yang juga mantan junkie itu.

Direktur Program Yayasan Matahati, Yacintha E. Desembriartista mengingatkan bahwa tiga strategi penanganan narkoba, yakni demand reduction (pengurangan permintaan), suply reduction (pengurangan persediaan) dan harm reduction (pengurangan dampak buruk) harus berjalan beriringan. Kerjasama itu bagi Daisy, panggilannya, belum nampak secara resmi di Bali. Para petugas harm reduction saat ini masih bekerja secara underground, walaupun sudah ada nota kesepahaman (MoU) dengan kepolisian. Ia mencontohkan terkatung-katungnya pembuatan kartu identitas (ID card) bagi petugas penjangkau harm reduction (HR), meski kesepakatan non formal telah ada. Padahal ini berkaitan erat dengan keamanan petugas HR di lapangan.
Direktur Direktorat Narkoba (Dirnarkoba) Polda Bali, AKBP Bambang Sugiarto mengakui upaya menyatukan konsep HR dengan langkah represif bukan hal mudah. Masalahnya, konsep HR masih berbenturan dengan hukum.

Untuk menerapkan program yang komprehensif di KF, termasuk menyangkut HR, Bambang menilai penting bagi semua kalangan, baik LSM, Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD), dan BNP untuk duduk bersama untuk merumuskan metode yang tepat. “Bukan polisi. Kalau polisi nanti seolah-olah polisi melegalkan adanya pengguna jarum suntik. Ini harus dipahami masyarakat,” tuturnya. Ia menambahkan, pembagian jarum suntik steril juga positif, yaitu mengurangi dampak buruk narkoba seperti HIV/AIDS.

Tetapi, tambahnya, para junkie juga kerap tidak mau transparan. Mereka umumnya tidak mau ada polisi dalam program harm reduction. Wajar, katanya, karena mereka takut ditangkap.
Beruntung, Badan Narkotika Nasional (BNN) kini tengah berupaya melakukan advokasi untuk mengamandemen Undang-undang (UU) No. 23/1997 tentang Narkotika. Maksudnya, untuk lebih membuka peluang bagi korban pengguna narkoba mengikuti program pemulihan. Kepala Pusat Litbang dan Informasi BNN, Brigjen Pol. Eddy Saparwoko, di sela-sela kunjungannya ke PRM Sandat RS Sanglah mengatakan, persoalannya saat ini adalah belum ada vonis hakim yang menghukum penyalahguna narkoba dengan memasukkannya ke panti rehab atau pemulihan. Kalau ada, menurutnya akan sangat bagus sebagai yurisprudensi. “Perlu langkah besar, tidak hanya penangkapan. Kita sekarang berjuang dari nol. Jadi diharapkan kapolda dan wagub sebagai penguasa otoritas di daerah bidang narkoba dan penanggulangan HIV/AIDS, bertindak untuk mengatasi epidemi ganda itu,” kata Eddy.

Kapolri Jenderal Polisi Sutanto dalam Sidang ke-4 ASEAN-China Cooperative Operations in Response to Dangerous Drugs (ACCORD) – Pilar III Bidang Penegakan Hukum di Kuta 23 Agustus lalu menegaskan amandemen UU Narkotika dimaksudkan untuk memprioritaskan penangkapan bagi para sindikat, bukan pengguna. “Ke depan, perlakuan kita akan lain. Mereka yang terjebak untuk menggunakan akan kita sembuhkan. Kita lebih fokus pada sindikatnya,” tandas Ketua BNN itu. Ia menyadari, mustahil memutus peredaran narkoba bila korban dan penggunanya tidak disembuhkan. “Katakan semua sindikat kita tangkap. Tapi korban dan pengguna tidak kita sembuhkan. Pasar kan sudah terbentuk. Ada permintaan, ada penawaran. Jadi menyembuhkan pengguna itu sangat penting,” tegasnya. Yang penting juga, tempat rehab yang user friendly bagi pecandu dan ekonomis. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 8, September 2005]

Ketika Siswa jadi Informan

Sekitar 100 siswa SMP dan SMA se-Denpasar berkumpul di Mapoltabes Denpasar akhir Agustus lalu. Siang itu mereka akan dilantik sebagai anggota patroli keamanan sekolah (PKS). Gaya mereka macam-macam. Ada yang semangat, ogah-ogahan, ada juga yang cuek bebek.

Beberapa hari sebelumnya, mereka mendapat pelatihan sejak 8 Agustus lalu. Latihan selama 2 jam per hari selama 3 minggu itu, tak sepenuhnya direspon positif para siswa. Aba-aba sang instruktur seringkali seolah diabaikan oleh sebagian siswa.
Alhasil, 37 siswa dari total 137 siswa tak lolos pelatihan itu. Hanya 100 siswa dari 12 SMP dan SMA di Denpasar, yang dilantik sebagai anggota PKS oleh Poltabes Denpasar, 27 Agustus lalu. Setelah dilantik, anggota PKS itu diharapkan bisa melaksanakan tugas di sekolah masing-masing. Tak sekadar menyeberangkan teman, mereka juga diharapkan membantu polisi untuk menelusuri peredaran narkoba di sekolah. Luar biasa bukan?

Selain diajari cara kerja polisi lalu lintas dan teknik bela diri, siswa juga diajari tentang narkoba, serta teknik-teknik intelejen menelusuri peredaran narkoba. Karenanya, pelajaran-pelajaran intel dan reserse juga diajarkan pada mereka.
Pembentukan polisi sekolah dimaksudkan untuk membangun community policing, salah satu strategi pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat oleh Polri. Konsepnya berawal dari keterbatasan jumlah personel polisi sehingga disadari pentingnya dukungan masyarakat.

Sejauh mana kinerja polisi sekolah ini nantinya, dan siapkah para siswa melaksanakan tugas-tugas yang akan dibebankan kepadanya? Komang Erviani dari Kulkul mewawancarai Kapoltabes Denpasar Kombes Pol. Dewa Parsana dan siswa SMA Negeri (SMAN) 1 Denpasar yang menjadi salah satu personil polisi sekolah, Putu Bagus Maha Paradipa.


Putu Bagus Maha Paradipa:
Harus Ada Kesadaran Sendiri

“Saya tahu sedikit tugas patroli keamanan sekolah (PKS). Kalau pagi-pagi, bantu teman-teman ngatur lalu lintas. Kalau ada kecelakaan, kita juga bantu. Selain itu belum tahu. Kalau saya disuruh mengawasi teman yang kira-kira pakai narkoba, saya harus siap. Kalau soal narkoba, saya kira nggak ada di sekolah saya. Tapi rokok memang banyak. Hampir semua cowok di sekolah itu perokok. Kalau saya disuruh mengingatkan teman yang make narkoba, saya sih mau aja. Tapi nggak bisa saya sendiri. Harus ada dari kesadaran mereka sendiri. Kalau lihat orang make, kita harus cegah sebelum terlambat. Kita ngelarang dia make, atau nggak kita laporin ke guru. Yang jadi masalah anak sekolah sekarang kan pergaulan, kayak pacaran gitu. Sekarang ini sudah terlalu bebas. Selain itu juga ada perkelahian antar pelajar.
Awalnya saya juga nggak tahu kalau mau dijadiin polisi sekolah. Sebelumnya setiap ketua kelas 1 disuruh datang ke Poltabes. Belum tahu acaranya apa. Saya kira ceramah-ceramah tentang lalu lintas aja. Sampai di sini (Poltabes) ternyata ada kegiatan lapangan. Agak kaget sih. Senang malah, karena memang cita-cita saya jadi polisi. Kalo capek sih iya. Soalnya paginya sekolah, istirahat sebentar di rumah, sorenya lagi ke sini. Ya, lumayan capek. Tapi cari pengalaman juga.”

Kombes Pol. Dewa Parsana:
Kita Akan Memolisikan Masyarakat

“Polisi sekolah kita harapkan menularkan kepada teman-temannya menjaga keamanan di sekolahnya. Paling tidak, bisa mengingatkan temannya karena sudah dapat informasi pengetahuan tentang mana yang baik, mana yang buruk. Mana yang melanggar hukum, mana tidak. Begitu kurang lebih.

Melihat perkembangan dalam rangka community policing, kita akan kembangkan baik di desa ataupun di sekolah-sekolah. Kita akan coba memolisikan masyarakat. Pemolisian yang berorientasi pada masyarakat. Di desa akan kita buat polisi-polisi desa yang kita beri nama bantuan keamanan desa (bankamdes). Kalau ke sekolah-sekolah, kita buat polisi sekolah untuk menertibkan intern sekolah.

Tujuannya, pertama untuk pembinaan generasi mudanya agar mempunyai pengetahuan tentang kepolisian. Kedua, sasaran kita itu yakni memerangi narkoba. Jadi dia akan mendeteksi, karena di sini diajari pengetahuan tentang pendeteksi penyelidikan. Dengan koordinasi dengan kepala sekolahnya, dia mungkin dapat merazia teman sekolahnya. Jadi tidak perlu lagi polisi “menyerbu” ke sekolahan. Nanti takut dia. Antipati sama polisi jadinya.

Kalau dulu memang sudah ada. Yakni patroli sekolah. Tapi hanya bertugas menyeberangkan anak sekolah. Jadi dari pertemuan guru-guru, mereka diharapkan bisa jadi polisi di sekolahnya. Silahkan, dengan cara memeriksa, mendengarkan, mengintip, atau bagaimana lah. Menyelidiki lah. Selain itu, kalau ada pertandingan, kan sering ada perkelahian, nah dia lah yang bertugas mengamankan nantinya. Jadi ini memang dari kebutuhan sekolah, tapi kita (Poltabes) yang memberikan motivasi.”

Masalah Narkoba (Seharusnya) PKS Bisa

Tahun ini sebenarnya bukan tahun pertama program polisi sekolah Poltabes Denpasar. Keseratus polisi sekolah baru itu justru termasuk angkatan ketiga. Sebelumnya, sejak dua tahun lalu, Poltabes telah membentuk polisi sekolah di dua sekolah, SMAN 7 Denpasar dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 2 Denpasar. Konsepnya tak jauh beda yaitu dengan konsep community policing.

Konsep community policing dilaksanakan atas dasar Undang-undang (UU) No 2 tahun 2002. Dalam beberapa pasalnya, community policing disebut sebagai aktivitas bidang preventif. Tak hanya di lingkup anak-anak, pemuda, remaja, dan kelembagaan. Community policing juga dibangun di lingkup masyarakat yang tergabung dalam organisasi masyarakat atau sosial politik (ormas/orsospol). Community policing pada akhirnya merupakan salah satu strategi mewujudkan situasi kamtibmas yang kondusif, tegaknya supremasi hukum, dan menjunjung tinggi HAM.

Berdasarkan komitmen Polri sesuai buku biru tahun 1999, dasar community policing adalah konsultasi dan kerjasama antara masyarakat dan kepolisian. Tujuannya untuk mendapat legitimasi/dukungan masyarakat, meningkatkan akuntabilitas, mengidentifikasi masalah dan memecahkan secara bersama-sama. Juga untuk membina hubungan kepolisian dan masyarakat sebagai mitra dengan menggunakan metode persuasi, penyuluhan, dan peringatan secara optimal oleh kepolisian.

Dalam konsep community policing, kekuatan fisik diharapkan menjadi langkah terakhir. Ke depan polisi diharapkan menjadi lembaga yang menegakkan hukum melalui cara damai dan kerjasama.

Meski masuk angkatan ketiga, polisi sekolah yang terbentuk 2005 ini sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Pasalnya, tugas polisi sekolah tak hanya dibatasi pada kegiatan lalu lintas, tapi juga penanggulangan penyalahgunaan narkoba. Menurut Kanit Pendidikan dan Rekayasa, Satlantas Poltabes Denpasar yang bertindak sebagai instruktur, AKP I.B. Budiasa, polisi sekolah nantinya akan menjadi informan di sekolahnya.

Kepolisian akan membangun jaringan khusus dengan pihak sekolah, untuk penyampaian temuan-temuan mereka. “Jadi kalau mereka menemukan temannya pakai narkoba, mereka bisa lapor ke guru BP, nanti gurunya itu yang akan menghubungi kami,” ungkapnya.

Cita-cita membentuk intel narkoba di sekolah, memang sebuah langkah hebat. Namun pertanyaannya kemudian, apakah semua siswa sudah memahami beban tugas mereka yang diharapkan oleh Poltabes? “Tugas kita nanti paling nyebrang-nyebrangin orang waktu pulang sekolah,” ungkap salah seorang polisi sekolah yang mendapat sertifikat kelulusan. [Komang Erviani / perna dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 8, September 2005]

Kadek Moyonk: Saya Buktikan, Ternyata Bisa...

Sejak kecil saya termasuk pintar cari duit. SMP kelas 1, saya sudah bisa cari duit sendiri di Pantai Kuta. Saya kebetulan nongkrongnya daerah pariwisata, jadi yang namanya pake cimeng itu sudah lumrah. Cuma saya ditawari alkohol nggak pernah mau.Waktu itu saya cuma ngerokok.

Saya pertama kenal sama obat-obatan waktu SMP kelas 3. Jenisnya kayak obat-obatan biasa di apotek. Itu obat dokter, tapi saya buat resep sendiri. Sejak itu saya mulai campur-campur. Sebenarnya minumnya kan 1 kali sehari. Tapi saya pertama minum langsung dua. Terus lagi lima menit, minum lagi. Itu juga minumnya pakai minuman bersoda. Sehari bisa sampai 20 butir.

Saya dapat obat itu gara-gara kalah festival musik. Pas kalah, dikasih sama teman. “Ini pake, biar nggak pusing,” dia bilang gitu. Karena saya dikasi alkohol nggak mau, dikasi heroin, cimeng, hasish, saya nggak mau. Tapi begitu kena obat itu, langsung enak. Dulu kirain itu obat biasa biar bisa tidur aja. Belum kecanduan waktu itu. Cuma saya ngerasa ringan gitu.

Yang bikin parah sih heroin. Saya pake heroin SMA kelas 1, mau naik ke kelas 2. Itu juga saya dapat gara-gara teman saya punya utang ke saya Rp 200 ribu. Dia bilang nggak punya uang. Jadi bayarnya pake heroin itu. Waktu mulai kenal heroin saya sudah mulai berantakan. Absen sekolah, olahraga nggak pernah sama sekali. Waktu SMP saya masih lah ngasi medali bulutangkis, dan basket. Kepala sekolah saya bilang sekolah saya sia-sia. Sakit, izin, alpha, hadir lagi. Sakit, izin alpha, hadir lagi.
Teman-teman di SMA juga ada yang pake. Itu juga karena tinggal sama-sama saya, jadi barengan berangkatnya sama saya. Kalau teman-teman yang di luar, saya nggak tahu. Tapi begitu saya tamat, saya keluar-masuk rehab, baru saya tahu ternyata teman-teman angkatan saya banyak yang make. Karena saya nggak pernah nongkrong di kantin.

Kalau pas dapat “barang”, saya pakaw di kelas. Kalau orang keluar main, saya diam di kelas. Saya kadang make di bawah bangku. Ada teman sebangku tahu kalau saya pake spite (jarum suntik). Memang saya pake heroin dengan jarum suntik. Memang jamannya tahun itu narkoba lagi banyak-banyaknya. Lagi murah-murahnya. Informasi juga kan nggak tahu.

Saya sudah sempat keluar-masuk banyak rehab. Orang tua saya sampai bosan. Tapi terakhir, malah saya sendiri yang inisiatif ke methadone Sanglah. Waktu itu orang tua malah ragu dengan methadone. “Apa itu, kan berarti sama-sama make narkoba,” mereka bilang gitu. Tapi saya coba buktiin. Ternyata bisa.

Waktu di methadone saya baru berani ikut tes HIV/AIDS. Padahal sebenarnya saya tahu tentang AIDS sudah lama. Sejak LP (lembaga pemasyarakatan) dicek sama Depkes, sekitar tahun 2002. Di Yakeba (Yayasan Kesehatan Bali) kan diadain tes, saya lari. Nggak berani karena saya ngerasa nggak kena. Di methadone lah saya mulai belajar membuka diri. Bisa menghargai masukan dari orang, dari teman. Akhirnya saya juga bisa mandiri. Saya cari konselor tanpa konseling karena saya sudah mempelajari. Akhirnya saya dekatin konselornya, saya bilang “saya mau tes”. Itu sekitar 2 tahun lalu. Saya inisiatif tes karena teman saya sudah banyak saya lihat sakit. Satu teman grup saya juga baru sekarang mengaku ke saya. Dia sendiri yang buka.

Sekarang saya jadi staf Yakeba (LSM yang bergerak di bidang narkoba dan HIV/AIDS). Kebetulan saya dapat tugas di lembaga pemasyarakatan (LP). Di LP Kerobokan 3 kali seminggu, Rutan Bangli 2 kali seminggu. Saya juga bertanya-tanya kenapa saya yang ditugasin.

Masalah pengetahuan kecanduan saya memang kurang. Cuma dari perilaku katanya dilihat terjadi perubahan. Kebetulan, yang membuat saya berhenti adalah methadone, CBT (cognitive behaviour therapy) dan NA (narcotics anonymus). Jadi tiga itu saya kombinasikan. Methadone sebagai fisik, NA sebagai pemulihan harian, dan CBT tinggal saya terapin saya. Karena saya pernah menjalankan CBT, lebih enak jadinya menyampaikannya. Saya juga ngerasain dulu, teman-teman yang dalam keadaan mabuk datang ke CBT, saya juga dulu kayak gitu. Jadi triknya saya sudah tahu. [Seperti diceritakan pada Komang Erviani / pernah dimuat di Media KULKUL Edisi 8, September 2005]

Sabtu, 03 September 2005

Kelompok Dukungan Sebaya Memperkuat ODHA

Subsidi ARV telah membantu meningkatkan kualitas hidup ratusan ODHA. Ada kekhawatiran subsidi dihapus. Kelompok Dukungan Sebaya memperkuat mereka.

Matahari belum nampak ketika tangisan Yogi dan Yoga, 8 bulan, membangunkan Nyoman Renti, 33 tahun. Bergegas ia menuju dapur, menyalakan kayu bakar, memasak air, dan menyeduh sebotol susu untuk kedua putra kembarnya. Tak lama setelah diberi susu, keduanya kembali terlelap dalam tidur. Tapi tak demikian dengan Renti. Ia harus terjaga untuk melakukan rutinitas, mengerjakan beberapa pekerjaan rumah.

Sebatang ubi jalar ukuran besar diambilnya dari keranjang kusam di pojok dapur. Dikupasnya, dipotong-potong, lantas direbus. Dalam hitungan menit, menu sarapan paginya pun sudah siap. Tak lupa ia menyeduh secangkir kopi untuk suaminya, Putu Sumastika, 34 tahun.

Ketika jarum jam mendekati angka tujuh, Renti dan suaminya lahap menyantap ubi rebus hasil kebun sendiri itu. Dua buah pil menyusul masuk ke mulut mereka. Pil-pil itu memang telah menjadi bagian dari keseharian Renti dan Sumastika sejak lebih dari setahun ini. Tepatnya sejak hasil tes darah menyatakan keduanya terinfeksi HIV. Setiap hari, pagi dan malam, keduanya wajib meminum obat-obatan antiretroviral (ARV) itu. “Setiap jam tujuh semengan ajak tujuh peteng, harus be minum (setiap jam tujuh pagi dan tujuh malam, harus minum),” jelas Renti

HIV (Human Immunodeficiency Syndrome) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, penyebab AIDS (Aquired Immuno Deficiency Syndrome). Diserangnya sistem kekebalan tubuh, membuat pengidapnya sangat rentan terserang penyakit. Obat ARV berfungsi menghambat kerja-kerja enzim yang membantu perkembangbiakan virus dalam tubuh, sehingga perkembangannya dapat ditekan. Obat ARV tidak membunuh virus HIV, sehingga pemakaian obat tak bisa dihentikan. Jangankan putus obat, terlambat minum obat saja akan dapat berakibat fatal bagi pengidap HIV. Pasalnya, putus obat atau keterlambatan minum obat dapat membuat virus kebal terhadap obat tersebut dan justru makin kuat menggerogoti tubuh yang ditempatinya. Dengan kata lain, ARV harus dikonsumsi seumur hidup.

Renti dan suaminya menyadari betul bahaya yang mungkin timbul bila mereka terlambat minum obat. Karenanya, keduanya selalu berupaya disiplin. “Sing taen terlambat. Terlambat paling lebih nang limang menit. Yen lambat atau suud minum obat, sekali gen sing minum obat, sing ada artine be minum obate to. Makane yang kan harus rutin, karena nu dot hidup. (Nggak pernah terlambat. Terlambat paling hanya lima menit. Kalau terlambat atau putus minum obat, sekali saja nggak minum obat, obat itu nggak ada artinya. Makanya saya harus rutin minum. Karena masih ingin hidup),” ujar Renti polos.

Yang pasti, Renti tak mau lagi mengalami sakit seperti dua tahun lalu. Diare hebat terus menerus membuat perempuan yang tertular HIV dari suaminya itu, hanya bisa tertidur lemas selama hampir setahun lamanya. Cairan tubuh yang terus terkuras, ditambah selera makan yang tiba-tiba menghilang, menggerogoti badannya. Segala bentuk pengobatan dicoba. Mulai pengobatan medis, sampai pengobatan tradisional oleh balian (orang pintar) dekat rumah. Namun semuanya gagal, sampai akhirnya hasil tes menyatakan Renti positif terunfeksi HIV. “Kaden nak be kar sing seger (Saya kira sudah tidak akan sembuh),” kenang ibu tiga anak itu.

Berkat obat ARV, Renti kini bisa menjalani hari-hari layaknya ibu rumah tangga lain di lingkungannya, Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Mulai dari mengasuh ketiga anaknya, melakukan pekerjaan rumah, memberi makan sapi, mencari kayu bakar, bahkan mencari rumput pakan sapi ke perbukitan yang berjarak sekitar satu kilometer dengan berjalan kaki. “Sekat minum obate to be agak ngeluungan (sejak munim obat itu, agak lebih baik),” ujarnya dengan senyum.

Renti mengaku beruntung, ia tak perlu mengeluarkan sepeser uang pun untuk mendapat obat ARV. Setiap bulan, dua botol besar pil diterima Renti dan suaminya dari staf Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), yayasan penanggulangan HIV/AIDS.

Sejak tahun 2004, pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan telah memberikan jatah ARV generik gratis bagi 25 rumah sakit di seluruh Indonesia. Di Bali, bantuan disalurkan melalui Rumah Sakit (RS) Sanglah. Oleh Sanglah, obat tersebut juga didistribusikan ke sejumlah rumah sakit. Jadi, selain di RS Sanglah, ARV generik gratis juga bisa diakses di RS Kapal, RSU Singaraja, dan RSU Wangaya.

Selain Renti, masih ada ratusan orang dengan HIV/AIDS (Odha) lainnya yang bisa kembali menjalani kehidupan berkat obat ARV gratis. Catatan Dinas Kesehatan Provinsi Bali, hingga Mei 2006, ada 216 orang dengan HIV/AIDS (Odha) di Bali telah memanfaatkan ARV gratis. Dari jumlah itu, hingga kini hanya ada 142 ODHA yang masih aktif menjalani terapi ARV (Antiretroviral Therapy/ART). Selebihnya sudah meninggal dunia (32 orang), stop minum obat (3 orang), lolos dari follow up (26 orang), dan dirujuk keluar (13 orang).

Subsidi penuh terhadap obat ARV, tentu saja sangat membantu Odha seperti Renti dan suaminya. Renti tak terbayang kalau subsidi itu tiba-tiba dihapus oleh pemerintah. Maklum, kondisi ekonomi Renti pas-pasan. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Renti kesulitan. Untuk kebutuhan nutrisi anak-anaknya, ia kini bergantung pada bantuan dari Bali Community Cares, sebuah komunitas yang peduli terhadap kesejahteraan dan pendidikan. Setiap bulan ia menerima 15 kg beras, puluhan kaleng susu, dan 2 kg telur.

Ketua Pokja Care Support and Treatment (CST) Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Tuti Parwati, mengakui belum ada kepastian apakah subsidi ARV akan diberikan pemerintah selama-lamanya. Namun bila subsidi itu sampai dicabut, penemu kasus HIV/AIDS pertama di Bali itu memastikan akan terjadi langkah mundur dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

Subsidi ARV telah membantu ratusan Odha menerima akses pengobatan yang layak. Pasalnya, sebagian besar Odha berada dalam kondisi ekonomi pas-pasan. “Odha yang mampu, bisa dihitung dengan jari,” ujar perempuan asal Klungkung itu. Tuti masih ingat ketika tak ada subsidi ARV untuk Odha. Meski ARV sudah masuk ke Indonesia sejak tahun 2000, namun tak ada satu Odha pun yang saat itu berkesempatan minum obat jenis Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) itu. Penanganan Odha dilakukan seadanya. Bahkan obat untuk infeksi oportunistik pun (IO)--kondisi di mana gejala-gejala penyakit sudah tampak--, Odha masih harus membeli. “Jadi cuma satu dua orang saja yang bisa beli obat. Itu pun terbatas. Kadang kalau mereka sudah sakit beberapa kali, sudah nggak bisa beli obat,” kenangnya. Ketika itu, Tuti seolah menjadi terbiasa melihat kematian Odha. Odha umumnya hanya bertahan selama rata-rata 6 bulan sejak gejala penyakit mulai terlihat.

Baru pada Juli 2003, KPA Bali mencoba melakukan terobosan dengan membiayai terapi ARV. Dengan dana APBD Bali, obat ARV dibeli dari Kelompok Studi Khusus (Poldiksus) RSCM Jakarta sebagai satu-satunya lembaga penyedia ARV dalam negeri pada saat itu. Namun karena keterbatasan dana, hanya lima Odha yang bisa dibantu. Beruntung, komitmen lantas muncul dari pemerintah pusat dengan menyubsidi penuh pengobatan ARV bagi Odha.

Dikatakan Tuti, subsidi ARV merupakan langkah penting dalam program penanggulangan AIDS di Indonesia. Tanpa subsidi, Tuti upaya peningkatan kualitas hidup Odha bisa berjalan efektif. Itu tak lepas dari kondisi ekonomis sebagian besar Odha yang cenderung minim. Bila subsidi dicabut, Odha harus menyediakan dana minimal Rp 300 ribu per bulan per orang. Itu belum termasuk dana untuk pemeriksaan CD4 (sel pembentuk kekebalan tubuh) yang harus rutin dilakukan setiap 6 bulan. Di awal terapi, Odha juga akan dibebankan biaya pemerisaan fungsi hati dan foto torax yang bisa menghabiskan lebih dari Rp 250 ribu per orang. Selama ini, biaya untuk semua tes tersebut telah dibantu dengan dana dari Global Fund. ”Kalau subsid-subsidi itu dihapus, ya... akan balik seperti dulu lagi,” ujarnya.

“Yen meli be sing ngidaang. Lamen orahina meli, baang be mati. Pasrah be (Kalau beli sudah nggak mampu. Kalau disuruh beli, biar lah saya mati. Saya pasrah,” ujar Renti sambil tertawa.

Perasaan was-was dengan dihapuskannya subsidi ARV, juga dirasakan Suparja. Namun ODHA yang telah mengonsumsi ARV sejak beberapa tahun lalu itu, tak kehilangan akal. Akhir Agustus 2006 lalu, Suparja mencetuskan dibentuknya kelompok dukungan sebaya bagi ODHA dampingan Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), yayasan penanggulangan HIV/AIDS. Menurut mantan supir truk Jawa – Bali itu, ada banyak alasan yang membuat keberadaan kelompok dukungan sebaya sangat penting. “Semua ini berangkat dari pemikiran, bagaimana bila suatu saat obat ARV (antiretroviral) sudah tidak disubsidi pemerintah. Apa yang harus kami lakukan. Padahal latar belakang ekonomi Odha umumnya rendah. Untuk makan saja kurang,” cerita pria asal Gerokgak Buleleng itu.

Kelompok dukungan yang diberi nama Tali Kasih itu, juga dirasa penting karena rendahnya pemahaman ODHA terhadap ARV, obat yang berfungsi menekan perkembangbiakan virus di dalam tubuh. Karena fungsinya hanya menekan perkembangbiakan virus, bukan membunuh virus, maka konsumsi ARV tak boleh dihentikan. “Banyak yang tidak tahu kalau tubuh mereka akan resisten kalau obat dihentikan. Ini fatal akibatnya,” jelas Suparja.

Tak cuma itu, banyak juga ODHA yang belum produktif memanfaatkan layanan medis, karena minimnya akses informasi. Masih menurut Suparja, banyak ODHA yang tidak tahu, ke mana harus berobat. Pentingnya membuka status kepada layanan medis, juga belum disadari. Padahal keputusan membuka status menjadi penting untuk mendapatkan pengobatan yang tepat. “Kalau tidak buka status ke pelayanan medis, mustahil bida dapat pelayanan yang tepat,” tambah pria paruh baya itu.

Rendahnya komitmen ODHA dalam kegiatan-kegiatan penanggulangan HIV/AIDS, menjadi dasar pertimbangan lain pembentukan KDS. Bagi Suparja, komitmen tersebut penting untuk menekan jumlah kasus HIV/AIDS. “Semakin banyak orang terinfeksi HIV, semakin banyak Odha yang harus diberi subsidi ARV. Kalau terlalu banyak, bisa-bisa subsidi dihapus. Kalau sudah tidak disubsidi, kita harus beli sendiri. Ini sulit,” tegasnya mengingatkan.

Tali Kasih diharapkan menjadi wadah jaringan semua Odha yang kuat dan mandiri. Tali Kasih diharapkan dapat menjadi penampung masalah-masalah Odha dan dapat memecahkan masalah itu demi peningkatan layanan kesehatan dan penerimaan lingkungan. Tali Kasih juga diharapkan menjadi elemen aktif dalam penanggulangan HIV/AIDS, serta mengakomodasi kebutuhan Odha.

Direktur Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), Efo Suarmiartha, mengaku senang dengan inisiatif pembentukan Tali Kasih. Pasalnya, peran YCUI hanya sebagai fasilitator bagi ODHA. Dengan adanya Tali Kasih, ODHA diharapkan mampu secara bersama-sama mengatasi kebutuhannya sendiri.

Pembentukan Tali Kasih juga mendapat dukungan dari sejumlah kalangan medis dan pemerintahan di Kabupaten Buleleng. Direktur RS Singaraja, Mardana, menjelaskan, di Buleleng tercatat ada 377 orang yang telah dinyatakan positif terinfeksi HIV. “Kalau semua bisa membuka diri dan berkelompok di sini, akan sangat bagus,” ujarnya.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Buleleng, Pustaka, juga menyambut baik pembentukan KDS Tali Kasih. “Kawan-kawan di sini adalah pionir yang mau menunjukkan diri. Saya harap, setelah ini makin banyak Odha lain yang ikut serta,” tandas Pustaka. Agar ODHA bisa berupaya memenuhi kebutuhannya sendiri, dan perkembangan HIV/AIDS tak makin meluas. [Komang Erviani]