Google
 

Senin, 17 Oktober 2005

12 Oktober Takkan Dilupa

Linangan air mata dan isak tangis, tak bisa ditahan oleh perempuan asal Australia ketika tiba di depan Sari Club, Rabu 12 Oktober 2005. Datang dengan pakaian serba gelap bersama dua anak dan satu keponakannya, diletakkannya sejumlah karangan bunga, sebuah boneka koala warna abu, dan beberapa lilin warna merah, tepat di pagar hijau bekas ledakan itu. Sebuah foto bertuliskan nama Elizabeth Kotragaks dan potongan kalimat "We will always love you", ditunjuknya sambil terus terisak. "Saya sangat sedih. Dia anak perempuan saya,"ujarnya.

Perempuan tua yang bahkan tak mampu menyebut nama itu, tak sendiri. Isak tangis harus juga dirasakan puluhan warga Australia lain yang sengaja datang ke Monumen Bom Bali, untuk memperingati peristiwa naas 12 Oktober 2002 lalu itu. Hari itu, seperti tahun-tahun sebelumnya, Kedutaan Besar Australia di Indonesia memang secara sengaja menggelar peringatan peristiwa itu. Maklum, warga Australia menjadi korban terbanyak dari peledakan bom buatan Amrozi Cs itu. Dari 202 orang korban tewas, 88 orang diantaranya warga Australia. Tak kurang Menlu Australia Alexander Downer, Dubes Australia untuk Indonesia, David Ritchie, Kepala Australia Federal Police (AFP), Mick Kelty, serta Konsul Australia di Bali, Brent Hall, hadir dalam kesempatan tersebut. Bagi Downer, serangan bom dilakukan oleh orang-orang yang
menyebarkan ideology kebencian dan dikutuk semua negara dan agama di dunia. "Saya sangat berduka atas peristiwa yang menimpa Pulau Dewata ini. Tapi saya tahu, masyarakat Bali akan bangkit dari akibat yang ditimbulkan teroris ini,"tegasnya. Peringatan diisi dengan renungan selama 202 detik sesuai dengan jumlah korban tewas.

William Hardy, salah seorang keluarga korban yang anaknya tewas dalam peristiwa itu, berkesempatan membaca doa. "Billy datang ke Bali dengan tim soft ballnya,"cerita pria asal Queensland itu tentang kepergian putranya yang saat peristiwa berusia 20 tahun. Kepedihan juga dirasakan Natalie Juniardi, perempuan Australia yang menikah dengan pria ndonesia, Juniardi. Perempuan asal Sydney yang mendapat satu anak dari Juniardi itu, berharap masyarakat Australia masih mau datang ke Bali meski telah terjadi bom. Para keluarga korban asal Bali, terdiri atas perempuan dan anak-anak, juga tak mau melewatkan peringatan bagi kematian tulang punggung keluarga mereka. "Suami saya sempat hilang 2 bulan. Tapi kemudian mayatnya ditemukan tanpa kepala. Saya mengenali dari benjolan di kakinya,"kenang Nyoman Rencini, janda Ketut Sumarawat yang tewas saat mengantar tamunya ke Sari Club. Kini, Rencini harus menjadi ibu sekaligus bapak dari ketiga putrinya.

Gara-gara ulah Amrozy dkk, 12 Oktober tiba-tiba menjadi momen sakral bagi masyarakat Bali dan dunia internasional. Berbagai acara beruntun digelar. Tak berselang lama setelah peringatan oleh Kedubes Australia digelar, Gabungan Anti Terorisme (GAT) menggelar aksinya di Wantilan DPRD Bali. Ketua Pengadilan Negeri Denpasar, Nengah Suriada, Kajari Denpasar Ketut Arthana, Asintel Kejati Bali, Sukarni, Jaksa Putu Suparta Jaya, dan Wakil Ketua DPRD Bali, IBG Suryatmaja, sukses dihadirkan. "Kami sengaja tidak melakukan aksi ke jalan karena kita ingin berjuang secara damai,"tegas IGP Artha, salah seorang pentolan GAT. Pria yang juga anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bali itu mengaku khawatir disusupi, mengingat banyaknya sms gelap yang beredar di masyarakat terkait rencana "menyerbu" Lapas Kerobokan. Meski tujuannya sama, menuntut eksekusi mati terhadap Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Gufron, yang telah divonis mati Pengadilan Negeri Denpasar lebih dari 2 tahun lalu. Meski sempat terjadi ketegangan karena tak ada ketegasan dari Ketua PN Denpasar tentang proses akhir eksekusi, namun demo berakhir damai dengan pemberian deadline kepada PN Denpasar untuk memperjelas prosesnya pada Senin, 17 Oktober. Sekitar pukul 14.00 wita, aksi serupa digelar ribuan masyarakat yang menamakan diri Pemuda Bali Bersatu (PBB) di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Renon, Denpasar. Tuntutannya sama, gantung Amrozi Cs segera.

Sayangnya, aksi damai yang terjadi sejak pagi hingga siang hari, ternoda ketika sekitar pukul 16.00 wita, massa yang tak jelas asal usulnya "menyerbu" Lapas Kerobokan. Beberapa diantara mereka mengaku sebagai warga asli Kerobokan. Beberapa diantaranya mengenakan pakaian sejumlah ormas seperti Laskar Badung, Kita Satu Bali, dan lainnya. Spanduk besar bertulis "Eksekusi Amrozi Cs, Wahai SBY cepat bunuh orang yang membuat Bali terluka" dibentangkan di pintu paling depan lapas tempat para teroris mendekam hingga Selasa, 11 Oktober lalu itu. Rupanya, pemindahan Amrozi Cs ke LP Batu Nusa Kambangan yang dilakukan di tengah kuatnya tuntutan eksekusi terhadap para teroris itu, menyulut kemarahan warga. "Kayaknya hukum tidak adil lagi,"tegas Franz, 28 tahun, salah seorang peserta demo dari Kita Satu Bali.

"Bali aman Bullshit. Bullshit, bullshit semua,"teriak massa ketika Kapolres Badung, AKBP Nyoman Gede Sujarsa, ketika berbicara mencoba menenangkan massa. Emosi massa makin menjadi ketika sejumlah kompi Dalmas didatangkan ke lokasi. Perusakan dilakukan terhadap pagar, gerbang, papan nama, serta sejumlah fasilitas setempat. Bahkan Kasat Samapta Kompol Ketut Surpa, yang mencoba menghalangi mereka, nyaris menjadi korban amuk massa. Kapoltabes Denpasar, Kombes Pol Dewa Made Parsana, juga sempat menjadi korban lemparan air mineral dari massa yang beringas. Iring-iringan suara bleganjur, musik tradisional Bali, menambah panas suasana. Suasana mulai tenang saat iringan suara bleganjur diminta menyetop permainannya oleh Dewa Parsana. Keberingasan massa mereda setelah perwakilan pendemo, Wayan Kusnadi dan Made Adnyana, bertemu dengan Kalapas Kerobokan, Bromo Setyono. Ditegaskan Bromo, pemindahan Amrozi Cs dilakukan karena adanya ancaman demo besar-besaran menuntut terpidana mati bom Bali I itu segera dieksekusi. Ditambah lagi, banyak penghuni lapas yang membenci Amrozi Cs. "Ini masalah keamanan,"tegasnya. Beruntung, massa secara perlahan mau meninggalkan lapas dengan damai. “Saya memahami perasaan mereka. Tapi tolong dipahami kondisi objektif dari LP Kerobokan. Untuk jaga, seharusnya 50 orang. Tapi mereka hanya punya 13 orang. Jadi kalau terjadi sesuatu, kabur mereka (teroris), bagaimana kita carinya lagi. Itu harus dipikirkan,”tegas Kapolda Bali Made Mangku Pastika atas peristiwa yang mencoreng nama masyarakat Bali yang terkesan ramah itu.

Ketika keributan massa di lapas belum lagi usai, isu perdamaian digaungkan dari Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Renon. Ribuan umat dari berbagai unsur agama berbaur mengumandangkan perdamaian dengan lilitan kain putih sepanjang 540 meter sebagai simbol pengikat doa damai. Sambil berjalan mengelilingi Monumen Perjuangan Rakyat Bali, masing masing umat mengumandangkan doa sesuai dengan agamanya dengan durasi 15 menit. Dalam acara inti yang dilaksanakan di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali, tari Sekar Jempiring dan lagu Heninglah Baliku menjadi pembuka. Lanjut dengan pembacaan doa perdamaian oleh perwakilan agama-agama. Acara diakhiri dengan bernyanyi lagu syukur, lilin-lilin kecil, padamu negeri, bungan sandat, dan kebyar-kebyar. “Islam itu damai. Tidak mau kekerasan, tegas Ketua PKB, Muhaimin Iskandar yang hadir dalam acara tersebut, menanggapi banyaknya teroris yang mengklaim diri berjuang untuk islam.

Mengakhiri hari, Ribuan warga Kuta dan sekitarnya melakukan renungan malam di Monumen Bom Bali. Ribuan lilin dinyalakan, sejumlah doa dikumandangkan, hingga tengah malam. Tak mau larut dalam kesedihan, sejumlah lagu dinyanyikan grup musik Apache untuk menghibur warga. Mangku Pastika bahkan ikut menghibur dengan jogged dangdutnya. Berharap semoga tak ada lagi serangan teroris di negeri ini. [Komang Erviani / merupakan versi asli yang pernah dimuat di Majalah GATRA No. 49 Tahun XI, 22 Oktober 2005 dalam artikel berjudul “Aksi Teror Negeri Jiran”]

Kamis, 13 Oktober 2005

Trauma Itu Belum Berlalu

Tawa lepas sejumlah anak-anak, memecah kesunyian jalan Legian, Kuta, yang baru saja mengharu biru oleh peringatan 3 tahun tragedi bom Bali yang dimotori pemerintah Australia, 12 Oktober lalu. Jalanan yang hari itu bebas kendaraan, menjadi tempat bermain asyik buat mereka. Mereka berlarian dari satu gerai ke gerai lain yang sedang tak beroperasi. Maklum, hari itu jalanan ditutup polisi, terkait peringatan tiga tahun Bom Bali.

Sepintas, tak ada yang istimewa dari mereka. Layaknya anak-anak, gerak dan tawa mereka lepas. Tapi saat diajak berbicara soal bom, dengan lantang mereka bercerita tentang kejadian yang hingga kini masih menjadi trauma. "Waktu itu saya tidur. Tiba-tiba dibangunin sama ibu,"Ni Nyoman Desi Damayanti, 9 tahun, bercerita. Bocah yang kini duduk di kelas 4 SD itu, awalnya mengaku tidak tahu apa yang terjadi. Ketika dibangunkan, ia lantas berlari mengikuti gerak sang ibu. Satu tangannya menggenggam tangan yang dikira tangan sang adik. "Waktu saya lihat, nggak tahu tangan siapa. Nggak ada badannya,"tutur bocah yang tinggal sekitar 15 meter dari lokasi itu. .

Kepanikan makin menjadi ketika sebagian bangunan rumahnya yang menyatu dengan art shop di bagian depan, ternyata telah roboh dan dilalap api. Desi dan keluarganya lantas memutuskan melompati tembok rumah bagian belakang yang tingginya mencapai 2 meter. "Adik saya sempat ketinggalan di dalam rumah. Tapi diselamatkan sama ibu,"jelas putri ke-3 dari 4 bersaudara itu. Dalam upaya menyelamatkan diri, Desi juga sempat mengalami luka di bagian kaki karena menginjak pecahan kaca. Saking paniknya, ia juga sempat terpisah dengan keluarganya. "Untung ketemu beli (kakak) misan. Langsung digendong. Di depan Matahari (Dept Store), ketemu bapak. Terus diantar ke rumah sakit,"begitu bocah yang mengaku hingga kini masih sering teringat dengan kejadian itu. "Kalau ingat, saya takut," tegasnya diiyakan sang adik, Ketut Luis Priambada, 8 tahun, yang juga masih mengingat peristiwa dengan korban tewas 202 orang itu. Putu Suryawan, 9 tahun, tak jauh beda. Beruntung, Suryawan dan keluarganya tinggal di rumah yang agak jauh dari lokasi, sekitar 150 meter. "Langsung lari ke Gianyar (rumah saudara),"jelasnya.

Peledakan bom di Kuta Square pada 1 Oktober lalu, sempat membuka kembali trauma Desi, Luis, Suryawan, dan sejumlah anak-anak lain di sana. Meski suara ledakan di lokasi yang berjarak sekitar 1 km dari rumahnya itu tak terdengar, namun mereka mengaku sempat ketakutan saat beberapa orang lari sambil berteriak ada bom di Kuta Square. "Takut sekali waktu itu. Inget sama bom yang dulu,"tandas Desi. Meski masih kanak-kanak, Desi tak canggung mengecam tindakan para teroris itu. Apalagi ketika tahu kalau pelakunya, Amrozi Cs, bukannya segera dieksekusi mati, tetapi malah dipindahkan ke LP Batu Nusa Kambangan. "Harusne matiang gen (harusnya dimatikan saja),"tegas bocah
itu.

Bom di Paddys Pub dan Sari Club ketika jarum jam menunjuk ke arah angka 11 itu, juga masih terngiang jelas di benak Made Yudana, 32 tahun. Yudana yang rumahnya hanya berbatasan tembok dengan Sari Club, saat kejadian tengah asyik menonton TV yang menyiarkan acara tentang yoga. Ia kaget ketika ledakan keras terjadi dan menerbangkan genteng-genteng rumahnya. "Untung gentengnya terbang ke luar. Nggak kena tempat tidur. Soalnya anak istri sedang tidur waktu itu,"jelasnya. Yudana juga sempat melihat sejumlah organ tubuh beterbangan ke halaman rumahnya. "Ada bola mata, ada tangan, kaki, macam-macam pokoknya,"cerita
Yudana yang mengaku istrinya masih trauma hingga sekarang.

Belum habis trauma yang dialami para korban bom Legian, serangan teroris di Kuta dan Jimbaran 1 Oktober lalu kembali membangun trauma baru. Muliati, kasir Rajas Bar and Restaurant, merasa kaget luar biasa oleh ledakan dari arah kanannya, ketika ia tengah asyik menghitung tagihan pembeli. Muliati hanya ingat ketika ledakan itu membuatnya terpental dari posisi berdirinya. "Setelah itu saya udah nggak sadar. Waktu sadar saya udah di rumah sakit," tutur perempuan yang telah mengabdi di Rajas selama 6 tahun itu. Akibat peristiwa itu, fungsi organ tubuh bagian kanan Muliati sedikit terganggu. Kaki dan tangan kanannya tak merespon. Begitu juga dengan gendang telinga dan mata kanannya, tak bisa berfungsi dengan baik.

Wayan Ani, sedikit beruntung. Sebuah gotri mampir di bagian bawah telinganya. Lebih dari itu, perempuan yang menjadi waitress di Kafe Kalanganyar, tak jauh dari Kafe Nyoman, tak pernah bisa lupa dengan peristiwa kelabu itu. Ia ingat betul saat tiba-tiba terjadi ledakan, kursi-kursi beterbangan bersama pasir, gotri, dan lainnya. Posisinya waktu itu, hanya sekitar 5 meter dari lokasi kejadian. "Waktu ledakan di Menega, saya sudah dengar. Tapi karena suaranya
kecil, saya santai. Tapi pas saya mau jalan ke bar, tiba-tiba ada ledakan lagi dari arah utara
saya,"ceritanya.

Berbeda dengan Muliati dan Ani yang masih bisa menceritakan peristiwa naas itu, Putu Swadesi, 25 tahun, hingga Rabu pekan lalu belum bisa bicara apa-apa. Trauma berat dialami perempuan asal Karangasem yang datang ke Kafe Menega dengan majikannya untuk makan malam. Sejak sekitar 6 tahun lalu, Swadesi telah bekerja sebagai baby sitter di keluarga pasangan Heru dan Juliet. Ia tengah menjaga dua anak majikannya, ketika peristiwa itu terjadi. Empat buah gotri mampir di leher, punggung, kepala, dan lengan dari perempuan yang tamatan SMP itu. Kadek Seniati, kakak Desi, bercerita bahwa sang adik sempat menelpon ayah mereka ketika peristiwa terjadi. "Pak, tolong Desi pak. Desi dapat kecelakaan di Jimbaran,"begitu isi teriakan Desi via seperti diceritakan Seniati. Sayang, Desi yang hingga masih terbaring lemah di RS Kasih Ibu, hanya bisa diam dan tak banyak bercerita tentang kejadian yang dialaminya malam itu. [Komang Erviani]

Minggu, 09 Oktober 2005

Melakonkan HIV/AIDS Lewat Arja Muani

Wayan “Codet” Sugama cukup terkejut, ketika ditantang kampanye HIV/AIDS lewat Arja Muani, sekitar 3 tahun lalu. Arja Muani adalah jenis teater tradisional Bali yang semua pemerannya laki-laki, pun untuk lakon perempuan. Tawaran dari Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Bali itu, membuatnya harus memutar otak. “Waktu itu saya berpikir, apakah mungkin sebuah pertunjukkan arja melakonkan cerita tentang HIV/AIDS. Itu kan merupakan suatu bentuk-bentuk baru dalam sebuah lakon. Apakah mungkin masyarakat bisa menerima?”cerita Codet. Pria berambut panjang ini lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar pada 1993 dan membentuk Arja Muani pada 1996 lalu.

Kesulitan yang dihadapinya terutama karena pertunjukan Arja Muani sudah punya lakon-lakon cerita rakyat dengan dua karakter berbeda, yakni karakter jahat yang menggunakan ilmu hitam, dan karakter baik yang menggunakan ilmu putih. Sementara dalam penampilannya, yang harus ditonjolkan adalah bahaya HIV/AIDS yang salah satu penyebarannya lewat narkoba. Belum lagi karena ia sendiri belum tahu apa-apa soal HIV/AIDS. “Waktu itu saya cuma tahu plesetan-plesetannya, seperti AIDS itu kepanjangan Aku Ingin di Atas Selalu,” pria satu putri itu tertawa.

Codet harus bolak-balik menemui para pakar di KPAD Bali untuk tahu lebih banyak tentang HIV/AIDS. Ia pun menyadari, penguatan karakter menjadi solusi terbaik untuk menampilkan Arja Muani yang benar-benar mampu memberi pesan bahaya HIV/AIDS pada penonton. Perpaduan konsepnya dan konsep KPAD, akhirnya sukses ditampilkan di salah satu banjar di kawasan Panjer, Denpasar Selatan.

Sejak itu, ia seolah sudah menjadi juru kampanye HIV/AIDS melalui seni pertunjukkan tradisional. KPAD kerap meminta Codet tampil mengampanyekan HIV/AIDS melalui pertunjukkannya, tentu dengan konsep berbeda-beda. Rabu, 28 September 2005 lalu, Codet tampil dalam Bondres bersama grup Salju bentukannya di Banjar Oongan, Denpasar Timur.

Meski hanya tampil sekali setahun, namun pria yang mulai menggeluti seni sejak tamat SMP ini mengaku senang bisa menghibur masyarakat sambil menyampaikan pesan-pesan untuk menghindari bahaya HIV/AIDS. “Waktu tahu soal HIV/AIDS, saya kaget. Ternyata sudah gawat. Saya seperti dapat dorongan untuk mengampanyekan. Jadi sama teman-teman, saya sering sempatkan cerita soal HIV/AIDS. Yang saya ajak ngomong sih mengerti. Tapi memang tidak semua mau meninggalkan perilaku berisikonya. Yang penting saya sudah mengingatkan,” tandasnya. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 9, Oktober 2005]

Melakonkan HIV/AIDS dalam Arja Muani

Wayan “Codet” Sugama cukup terkejut, ketika ditantang kampanye HIV/AIDS lewat Arja Muani, sekitar 3 tahun lalu. Arja Muani adalah jenis teater tradisional Bali yang semua pemerannya laki-laki, pun untuk lakon perempuan. Tawaran dari Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Bali itu, membuatnya harus memutar otak. “Waktu itu saya berpikir, apakah mungkin sebuah pertunjukkan arja melakonkan cerita tentang HIV/AIDS. Itu kan merupakan suatu bentuk-bentuk baru dalam sebuah lakon. Apakah mungkin masyarakat bisa menerima?”cerita Codet. Pria berambut panjang ini lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar pada 1993 dan membentuk Arja Muani pada 1996 lalu.

Kesulitan yang dihadapinya terutama karena pertunjukan Arja Muani sudah punya lakon-lakon cerita rakyat dengan dua karakter berbeda, yakni karakter jahat yang menggunakan ilmu hitam, dan karakter baik yang menggunakan ilmu putih. Sementara dalam penampilannya, yang harus ditonjolkan adalah bahaya HIV/AIDS yang salah satu penyebarannya lewat narkoba. Belum lagi karena ia sendiri belum tahu apa-apa soal HIV/AIDS. “Waktu itu saya cuma tahu plesetan-plesetannya, seperti AIDS itu kepanjangan Aku Ingin di Atas Selalu,” pria satu putri itu tertawa.

Codet harus bolak-balik menemui para pakar di KPAD Bali untuk tahu lebih banyak tentang HIV/AIDS. Ia pun menyadari, penguatan karakter menjadi solusi terbaik untuk menampilkan Arja Muani yang benar-benar mampu memberi pesan bahaya HIV/AIDS pada penonton. Perpaduan konsepnya dan konsep KPAD, akhirnya sukses ditampilkan di salah satu banjar di kawasan Panjer, Denpasar Selatan.

Sejak itu, ia seolah sudah menjadi juru kampanye HIV/AIDS melalui seni pertunjukkan tradisional. KPAD kerap meminta Codet tampil mengampanyekan HIV/AIDS melalui pertunjukkannya, tentu dengan konsep berbeda-beda. Rabu, 28 September 2005 lalu, Codet tampil dalam Bondres bersama grup Salju bentukannya di Banjar Oongan, Denpasar Timur.

Meski hanya tampil sekali setahun, namun pria yang mulai menggeluti seni sejak tamat SMP ini mengaku senang bisa menghibur masyarakat sambil menyampaikan pesan-pesan untuk menghindari bahaya HIV/AIDS. “Waktu tahu soal HIV/AIDS, saya kaget. Ternyata sudah gawat. Saya seperti dapat dorongan untuk mengampanyekan. Jadi sama teman-teman, saya sering sempatkan cerita soal HIV/AIDS. Yang saya ajak ngomong sih mengerti. Tapi memang tidak semua mau meninggalkan perilaku berisikonya. Yang penting saya sudah mengingatkan,” tandasnya. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 9, Oktober 2005]

Simple Passion, Gambar Perjuangan Perempuan Odha

Berjuang menghadapi virus HIV sekaligus stigma dan diskriminasi yang membuntuti, bukan hal mudah. Namun hal itu terbukti mampu dilakukan (Alm) Suzana Murni, sosok perempuan positif HIV/ yang justru kemudian menjadi aktivis HIV/AIDS. Puisi menjadi salah satu alat yang digunakan pendiri Yayasan Spiritia itu untuk “berdialog” dengan virus yang hidup dalam dirinya, sekaligus memberi kekuatan kepada rekannya sesama orang dengan HIV/AIDS (Odha).

Simple Passion, buku kumpulan puisi Suzana Murni yang diluncurkan di sela-sela Festival Pembaca dan Penulis Ubud 2005(Ubud Writers and Readers Festival 2005), 9 Oktober lalu, menggambarkan semangat menggebu dari perempuan yang meninggal 2002 lalu itu. Sebanyak 31 puisi yang sebagian besar ditulis dalam bahasa Inggris itu, secara tidak sengaja ditemukan ibunda Suzana, Meisny, beberapa hari setelah kepergian Suzana menghadap-Nya. Menurut Meisny, kumpulan puisi putrinya menggambarkan tentang perjuangan hidup Suzana dalam melawan stigma dan diskriminasi, tentang kemanusiaan, dan tentang kasih sayang. “Kami punya harapan, mudah-mudahan buku puisi ini dapat mengubah pola pikir kita. Suzana selalu menegaskan, bukan HIV atau orangnya yang seharusnya diangkat, tetapi lebih pada apa yang bisa iangkat dari orang-orang HIV positif,”tegasnya.

Kumpulan puisi yang digagas dan diterbitkan oleh Putu Oka Sukanta, penulis yang juga teman dekat Suzana itu, dilakukan setelah sesi pertemuan para penulis dengan para orang dengan HIV/AIDS (Odha) mengenai “Hidup dengan HIV/AIDS-sebuah prespektif perempuan”. Hadir dalam acara tersebut, para penulis seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Marianne Katoppo, dan lainnya. “Melalui puisi, Suzana berdialog dengan virus yang hidup dengan dirinya. Dia mengajarkan kita mengenai kekuatan,kehidupan, perjuangan, harapan, dan juga keterbatasan seseorang makhluk ciptaan-Nya,”begitu Putu.

Penerbitan Simple Passion didanai sepenuhnya oleh Asia Pacific Leadership Forum (APLF) on HIV/AIDS melalui UNAIDS di Indonesia, dan diterbitkan bersama oleh Taman Sringanis dan Yayasan Spiritia. Christina Yuliana, sahabat dekat Suzana, masih ingat betul bagaimana saat Suzana seringkali mengajaknya berjalan ke tempat-tempat dengan banyak orang berperilaku beriiko. Ia juga ingat saat Suzana mengupayakan mencari donatur untuk rekannya sesama Odha, guna membiayai pengobatan anti retroviral (ARV) sang teman. “Saya selalu kagum dengan keberaniannya,” tutur Christina.

Suzana sendiri baru mengetahui dirinya positif HIV setelah sang suami dinyatakan meninggal akibat virus itu. Tekadnya berjuang di jalur HIV/AIDS dan membangun Yayasan Spiritia, berawal dari perlakuan tidak wajar yang diterima suaminya saat diketahui positif HIV. Bahkan, tes HIV terhadap sang suami dilakukan pihak rumah sakit tanpa izin. Suzana menjadi orang yang sangat berperan dalam pemberian obat anti retroviral (ARV) gratis kepada para Odha oleh pemerintah saat ini. [Komang Erviani / Dimuat di Majalah Gatra Edisi 49 Tahun XI, 22 Oktober 2005]

Rehab Narkoba Bangli, Makin Dilupa

Rehab narkoba di Rumah Sakit Jiwa Bangli makin tak digemari setelah muncul program methadone. Hanya 10 persen pasien lulus tahap awal. Program lanjutan belum bisa digelar.

Gerbang sederhana di kawasan Jalan Kusumayudha Kabupaten Bangli, menjadi pertanda bahwa kita sudah memasuki areal Rumah Sakit Jiwa (RSJ) yang dipenuhi oleh ratusan orang dengan gangguan kejiwaaan. Tapi jangan salah, para pecandu narkoba juga bisa dirawat tempat itu. Salah satu gedung di areal 77.850 m2 itu, Paviliun Sri Kresna, memang khusus disediakan bagi pecandu narkoba. Sejak tahun 1995 lalu, pusat rehabilitasi medik ketergantungan narkoba itu khusus dibangun Pemerintah Provinsi Bali di RSJ Bangli untuk menyikapi makin tingginya tingkat penyalahgunaan narkoba di Bali.

Pembangunan rehab narkoba di areal rumah sakit jiwa, mengundang banyak pertanyaan. Apakah pecandu narkoba sama dengan pasien jiwa? “Pada dasarnya pecandu narkoba itu kan mengalami gangguan dalam jiwanya. Biasanya mereka paranoid, depresi, dan lain-lain,” ujar Direktur RSJ Bangli, I Gusti Rai Tirta.
Meski telah hampir 10 tahun beroperasi, namun dokter spesialis kejiwaan ini mengakui program rehab belum berhasil dilakukan. Program yang sudah terlaksana hanyalah program 1 bulan yang intinya hanya pada terapi medik dan diagnostik. Upaya dengan detoksifikasi, penggunaan obat-obatan terlarang diputus sama sekali.

Saat timbul gangguan-gangguan penyertanya, pasien hanya diberikan obat-obatan biasa di luar golongan yang sama dengan yang biasa dipakai oleh pasien, atau umum disebut terapi simptomatik. “Kalau dia merasa nyeri, ya kita beri obat nyeri. Tidak bisa tidur, beri obat tidur. Kalau depresi, kita beri obat anti depresi,” jelasnya.
Dalam jangka pendek, menurut Rai, program terapi medik dan diagnostik itu sangat efektif menghentikan pemakaian narkoba oleh pasien. Namun setelah keluar rehab, sebagian besar pasien umumnya kembali menggunakan obat terlarang itu. “Kalau keluar dari sini, 100 persen sudah tidak make. Tapi setelah itu, setelah keluar, make lagi,” tegas Rai. Banyaknya pasien yang relapse (kambuh) setelah keluar, menurutnya umum terjadi. Pasalnya, kebanyakan pecandu kesulitan menghilangkan sugestinya untuk terus memakai narkoba. Apalagi karena kebanyakan datang atas desakan keluarga.

Yang paling menjadi kendala menurutnya karena program lanjutannya belum bisa dilakukan. Selain program 1 bulan, Paviliun Sri Kresna sebenarnya juga mempunyai program lanjutan di bulan kedua dan ketiga. Meliputi program terapi seni, terapi kelompok, konseling keluarga, interaksi sosial, pendidikan mental, pengenalan diri, pengenalan lingkungan, belajar tanggung jawab, hingga monitoring dan kunjungan rumah. Ada juga program 6 bulan dan 1 tahun yang dilakukan lewat rawat jalan. Sayang, jangankan program lanjutan, progran 1 bulan pun hingga kini belum berjalan optimal. Menurut Rai, tingkat kelulusan pasien dari program 1 bulan hanya 10 persen. Selebihnya sudah keluar dari rehab sebelum menyelesaikan program.
Salah seorang mantan pecandu yang pernah bolak-balik mengikuti rehab di RSJ Bangli, Yogi Handoko, mengaku program yang diterapkan terlalu membosankan. Pasien menurutnya hanya makan dan tidur di tempat tersebut, dan hanya diberikan obat-obatan yang tak banyak membantu. Akibatnya, beberapa kali Yogi hanya mampu mengikuti program selama rata-rata 2 minggu. “Saya cuma dikasi obat. Di sana cuma makan, tidur aja,” ujar Yogi yang mengaku sudah menghabiskan jutaan rupiah untuk mengikuti program ini. Untuk keluar rehab juga tidak sulit. “Tinggal kita bayar, sudah bisa keluar. Pokoknya kita bilang aja sudah enakan,” tuturnya.

Biaya untuk mengikuti rehab di RSJ Bangli memang tidak murah. Secara umum, pasien rata-rata harus mengeluarkan kocek jutaan rupiah hanya dalam seminggu. Tentu saja, harganya sesuai dengan ruang perawatan yang dipilih dan jenis pengobatannya. Untuk kelas utama misalnya, pada minggu pertama pasien diperkirakan menghabiskan Rp 1.750.000. Pada minggu kedua sampai keempat, bebannya lebih ringan, yakni Rp 1 juta per minggu. Sebagai gambaran, harga sewa kamar perawatan saja untuk kelas utama senilai Rp 137.500 per hari, kelas I Rp 75.000 per hari, kelas II Rp 50.000 per hari, dan kelas III Rp 15.000 per hari.
Guna menngoptimalkan kualitas pelayanan, rehab narkoba RSJ Bangli memiliki 12 perawat, 2 psikolog, 1 tenaga administrasi, 1 dokter konsultan, dan 2 dokter umum. Tenaga perawat yang ditugaskan, sama dengan tenaga perawat untuk pasien jiwa. Bedanya, mereka sempat dilatih khusus untuk masalah narkoba.

Rai mengakui, masih banyak kelemahan dari program-program yang dilaksanakan.
Tetapi ia membantah bila tidak ada program dalam rehab. “Kita berikan terapi musik, sembahyang, macam-macam. Tapi karena mereka yang malas, kadang nggak jalan karena pasien sendiri tidak disiplin, jadi mereka bosan,” jelasnya. Terhadap pasien yang ingin keluar rehab sebelum waktunya, pihak rumah sakit menurutnya tidak bisa menolak. Rumah sakit tak bisa memaksa pasien melanjutkan program bila tak diinginkan. “Hak pasien memilih dan melepas. Tapi tetap kita berikan arahan sehingga dia bisa tetap mau lanjutkan program itu,” ungkapnya.
Pada awal didirikan, perkembangan rehab narkoba RSJ Bangli diakui Rai cukup baik. Terbukti, saat pertama didirikan, rehab medik narkoba hanya memiliki 1 unit gedung dengan 8 tempat tidur. Baru kemudian pada 2001, ruang perawatan diperluas jadi 25 tempat tidur. Namun belakangan, tepatnya sejak sekitar tahun 2003, jumlah pasien narkoba terus menurun. Pada 1999 misalnya, jumlah pasien yang dirawat mencapai 68 orang setahun. Namun terus berkurang menjadi 67 orang pada 2000, 55 orang pada 2001, 46 orang pada 2002, 39 orang pada 2003, 22 orang pada 2004, dan hanya 18 orang pada 2005 (hingga Agustus). Bahkan sejak September lalu, rehab narkoba RSJ Bangli tak mempunyai 1 pasien pun. Akibatnya, ruang Paviliun Sri Kresna dimanfaatkan pula untuk merawat pasien jiwa. “Karena kebetulan ada gedung yang direhab. Jadi beberapa pasien kita rawat di Paviliun Kresna,” kata Rai. Menurunnya peminat rehab narkoba RSJ Bangli diperkirakannya karena banyak pasien yang beralih menggunakan methadone.

Menariknya, ternyata RSJ Bangli sudah digunakan untuk merawat pecandu narkoba sejak tahun 1970-an. Hal itu diakui mantan Direktur RSJ Bangli pada tahun 1967-1986, dr. Denny Thong. Namun saat itu, tak ada program khusus bagi mereka yang menjadi pasiennya. Penggunaan RSJ sebatas tempat, mengingat keterbatasan sarana pada waktu itu.

Pemilihan tempat rehab narkoba di RSJ menurutnya justru tak efektif, karena penanganannya harus berbeda. Diakui, masalah kejiwaan menjadi salah satu persoalan dari pecandu narkoba. Namun masalah kejiwaan bukan yang pokok yang harus diatasi. “Sakaw-nya dulu yang jadi pokok. Bukan kejiwaannya,” jelas Staf Ahli Badan Narkotika Propinsi Bali yang kini menjadi dokter langganan pecandu narkoba untuk memutus ketergantungan itu. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 9, Oktober 2005]