Google
 

Rabu, 30 November 2005

ATV Bergelimang Dolar

“Amazing. It’s Wonderfull,”demikian Angela Teresa Bernaben Paswal, 31 tahun, berkomentar pendek tentang petualangan seru yang baru saja diselesaikannya, 14 Oktober 2005 lalu. Perasaan tegang, takut, dan kagum beraduk setelah 1,5 jam lamanya menyusuri areal persawahan dan perbukitan terjal di Penebel, Tabanan, Bali. Bersama pasangannya, Jose, perempuan asal Spanyol itu mengaku telah mendapat pengalaman luar biasa. Bagaimana tidak, dengan ATV yang dikendarai Jose, Angela yang duduk di boncengan belakang dapat menikmati keindahan alam Bali meski rasa takut sesekali menghantui.

Bila ingin menikmati alam Bali dengan cara yang berbeda, ATV Ride mungkin bisa jadi alternatif menarik. ATV sebenarnya kepanjangan dari all terrain vehicle (kendaraan segala medan). Mungkin karena bentuknya yang menyerupai traktor, para turis Rusia kerap menyebutnya mini traktor. Sesuai namanya, ATV mampu melewati berbagai medan, serumit apapun.

Salah satu tempat di Bali yang menyediakan jasa ATV Ride adalah Paddy Adventure. Lokasi startnya berada di Desa Wongaya Gede, Penebel, Tabanan, sekitar 57 km dari Kota Denpasar. Jalur yang bisa dilewati cukup panjang, mencapai 9 km. Untuk menelusuri jalur yang melalui dua desa, yakni Wongaya Gede dan Tengkudak itu, waktu yang dihabiskan umumnya berkisar 1,5 hingga 2 jam. Jalur yang dilewati sangat menantang, mulai dari jalanan tanah yang landai, jalanan berbatu, jalan berkapur, jalanan becek, hingga melewati jalur irigasi (subak). Jalur yang paling memacu adrenalin adalah jalan sempit dengan tikungan tajam dan curam. Bila tak hati hati, bisa jatuh ke tebing, atau paling tidak nyangkut di semak-semak.

Di sepanjang perjalanan, kita akan ditawarkan pesona alam pedesaan yang khas dengan corak agrarisnya. Hamparan padi yang luas, akan menyapa kita dengan ramahnya. Beruntung kalau kita juga berkesempatan melihat aktivitas para petani. Perkebunan kopi, kelapa, hingga kakao, juga sesekali menyapa secara bergantian. Memasuki areal permukiman, beberapa rumah tradisional Bali juga terlihat berdiri tegak. Di tengah perjalanan, kita juga bisa membeli kelapa muda yang dipetik langsung dari pohonnya.

Meski jalur yang dilalui tergolong cukup rawan, namun keselamatan tamu tetap dijaga. Kalaupun terjadi apa-apa, para tamu juga diasuransikan. Antisipasi untuk keselamatan tamu bahkan telah dilakukan sejak awal, ketika tamu hendak registrasi. Aturannya, tamu yang diperbolehkan mengendarai ATV sendiri setidaknya harus sudah berumur 12 tahun hingga maksumal 65 tahun. Untuk yang punya penyakit jantung, tak diperbolehkan mengikuti petualangan ini.

Cukup umur saja bukan berarti bisa langsung jalan. Sebelum berangkat, tamu juga harus melalui sesi instruksi, di mana para pemandu menjelaskan seluk beluk tentang ATV. Tamu diberitahu tentang bagaimana cara mengendarai di mana posisi strater, rem depan, rem belakang hingga bagaimana posisi bbadan yang aman saat mau menemui tanjakan. Setelahnya, tamu wajib memperlihatkan kemampuannya mengendarai ATV di areal start. Kalau dinilai tak mampu dan membahayakan, maka tamu akan disarankan untuk tandem (boncengan). Entah itu dengan rekannya ataupun dengan staf setempat. Helm, tentu saja wajib dipakai. Dalam perjalanan, kecepatan kendaraan akan diatur oleh pemandu yang berada di posisi paling depan. Ada juga seorang post guard atau biasa disebut sweeper, yang bertugas memastikan jalan aman untuk dilewati.

Paddy memiliki sedikitnya 16 unit ATV dengan jenis mesin Yamaha. Ada tiga tipe kendaraan yang bisa dipilih sesuai kemampuan dan selera. Tipe pertama biasa disebut bigbear tracker dengan fourwil drive (4x4) dan 350 cc. Tipe kedua disebut bear tracker dengan hanya tuas roda depan yang bergerak (2X2) dan 250 cc. Tipe terakhir biasa disebut tipe sport. Tipe mesin jenis sport sebenarnya sama dengan fourwil. Hanya saja, penampilannya terlihat jauh lebih sportif. “Kekuatannya sebenarnya sama. Hanya masalah kebiasaan aja,”jelas Joe Michael Abast, Operation Manager Paddy Adventure.

Tertarik? Tunggu dulu. Kita harus merogoh kocek cukup dalam untuk menikmati petualangan ini. Bayangkan saja, untuk sekali perjalanam, konsumen harus membayar 69 dolar AS. Tetapi untuk tamu yang ingin tandem, harganya sedikit lebih murah, yakni 115 dolar AS untuk dua orang. Harga itu sudah termasuk asuransi keselamatan, snack, makan, serta transportasi dari dan ke hotel. Syaratnya, masih berada di kawasan Nusa Dua, Kuta, Sanur, Denpasar, dan Ubud. Untuk wisatawan domestik, Paddy bisa menawarkan diskon tertentu. “Kalau ada domestik, bisa diberi diskon,”jelas Michael tanpa mau merinci.

Menurut Michael, tamu yang menggemari ATV Ride cukup beragam. Entah itu wisatawan Rusia, Australia, Taiwan, ataupun domestik. Meski demikian, wisatawan Rusia tercatat paling banyak menikmati wisata alternatif itu. Lonjakan turis asal Rusia biasanya terjadi antara Desember Januari di mana sebagian besar dari mereka datang dengan chartered flight. Maklum, hingga kini belum ada flight yang melayani rute Rusia-Denpasar. Mereka umumnya datang ke Bali melalui Singapura.

Bila berkunjung ke Bali, tak ada salahnya mencoba petualangan ATV Ride. Kalaupun tak tertarik dengan ATV, Paddy Adventure juga menyediakan beberapa alternatif bertualang, masih di kawasan Tabanan. Diantaranya wisata bersepeda sepanjang 15 km dengan tarif 45 dolar AS per orang, trekking sepanjang 7 km dengan tarif 40 dolar AS, serta tur dengan Land Rover sehari penuh dengan tarif Rp 77 dolar AS.[ Komang Erviani / pernah dimuat di Majalah GATRA, November 2005]

Senin, 28 November 2005

Generasi Kencur Bareng Macan Panggung

Bali Jazz Festival meriah dengan kehadiran musisi asing. Banyak musisi bau kencur yang unjuk kebolehan, tak mau kalah dengan seniornya. Direncanakan jadi ajang tahunan.

Panggung sempit di Hard Rock Café, Kuta, Bali, jadi fokus perhatian ketika jarum jam menunjuk pukul 8 malam, Minggu pekan lalu. Semua kursi di lantai I kafe dengan interior dominasi kayu itu, ludes. Lengkingan suara saxophone yang ditiupkan duo saxophonist cilik, Gadis V ((13 tahun) dan Bass G (11 tahun), membuat riuh suasana. Ada suara tepuk tangan, siulan panjang, hingga teriakan kekaguman. Lagu “Song for Mama” hingga “Kopi Dangdut” dilantunkan secara apik dengan iringan suara keyboard, drum, dan gitar dari The G & B All Star, mengundang decak kagum.

Satu jam lamanya, duo kakak beradik yang tampil sportif itu sukses membius penonton Bali Jazz Festival di hari terakhir. Keduanya tak canggung meski harus tampil di antara 37 grup musisi jazz lokal, nasional, dan dunia, yang ikut meramaikan festival tiga hari, 18-20 November 2005. Memang, tak sedikit musisi jazz yang tampil dalam ajang acara yang oleh panitia pelaksana, Matapro dan Idekami Communications, dicita-citakan jadi pesta berkelas internasional,. Panggung di Hard Rock Café hanyalah salah satu panggung yang disediakan bagi para musisi tersebut. Sebuah panggung utama berukuran besar juga dibangun di Sand Island Hard Rock Hotel.

Hari terakhir pesta jazz yang disponsori Produsen Rokok Kretek Dji Sam Soe itu masih menyisakan kemeriahan bagi peminat jazz tanah air maupun asing. Sebanyak 11 grup musisi jazz tampil di kedua panggung. Di panggung Hard Rock Café, Gadis V harus tampil bergantian dengan Jazzyphonic, Rio Sidik bersama Saharadja, dan Bali Lounge. Iringan Saharadja, membuat penampilan Rio Sidik makin mantap. Bagaimana tidak, band jazz yang dibentuk di Bali pada 2002 itu, oleh 7 awaknya yang lintas negara (violist kelahiran Australia) mampu menampilkan musik yang asyik dari perpaduan beragam isntrumental seperti terompet, biola, jembe, gitar flamenco, dan lainnya. Perpaduannya mampu menghadirkan musik dengan nuansa tradisional India, Eropa, Irlandia, Amerika Latin, dan tentu saja Indonesia.

Di panggung utama, Balawan dan Batuan Ethnic Fusion tampil sebagai pembuka. Koko Harsoe Band kemudian menyusul, diikuti Tommorow People Ensemble (TPE), Kelompok anak muda pecinta jazz yang mampu memberi nuansa jazz yang berbeda dari biasa. Urs Ramsmeyer asal Swiss tak mau kalah, meski penampilannya tak mendapat sambutan sehangat Gadis V dan Bass G yang pada waktu hampir bersamaan juga tampil di panggung Hard Rock Café. Jurasik Big Band mendapat sambutan lumayan dari penonton. Saat tengah malam hampir tiba, saxophonist asal Amerika, David Sills, tampil dengan straight a head jazz berkolaborasi dengan grup asal Yogyakarta, Jaco Quartet. Indra Lesmana bersama Pra Budhi Darma dan Gilang Ramadan tampil di urutan terakhir, sekaligus menutup ajang pentas jazz tersebut.

Dari banyaknya nama besar yang tampil jhari itu, tentu saja penampilan Gadis V dan Bass G yang sukses mengundang decak kagum penonton, patut diacungi jempol. Apalagi bila mengingat usia mereka yang masih sangat muda. Namun,Gadis V dan Bass G bukan satu-satunya musisi bau kencur yang sukses membius penonton. Di hari pertama, pianis cilik F. Zefanya Hartani Putra tak kalah sukses saat tampil dengan iringan gitar dan drum dari musisi dewasa, Rudi Aru dan Ari Aru. Dari atas panggung utama, bocah kelahiran Bandung, 16 April 1994, itu memainkan lima komposisi instrumental seperti Freedom Jazz Dance, Periscope, All The Think You Are, Bud Powell dan Blue Bossa. Tepukan tangan yang diterimanya, tentu saja, tak kalah heboh dengan yang diterima Gadis V dan Bass G. Bagaimana tidak, kepolosan penampilan Zefa ternyata hanya “tipuan” ketika ia mulai menekan tuts pianonya. Ia sama sekali tak canggung meski harus tampil dari panggung yang sama dengan musisi-musisi seniornya. Untuk urusan musik jazz, selain berguru kepada ayahnya, Zefa yang awalnya mengaku harus dipaksa belajar piano, juga menyebut nama Andy Wiryantono.

Dari panggung yang sama, di hari pertama itu, Imam Prass Quartet tampil mengawali dengan alunan pianonya. Diiringi akustik bass Rudi Aru, drum Ari Aru, dan saxophone Boyke, tak banyak yang menyadari kalau mereka adalah pendatang baru yang masih segar dalam kancah musik jazz di Indonesia. Nuansa yang berbeda diberikan Soul mate, kelompok jazz lokal yang tampil dengan petikan Harpa dari Maya Hasan dan gitar dari Riwin. Unsur jazznya mudah sekali terasa, terutama dalam format yang lebih modern dan dihiasi dengan corak musik dunia dan generasi baru. Gaya-gaya seperti ini sering dilakukan dalam kampanye tentang isu-isu kemanusiaan, perdamaian, dan masalah lingkungan hidup. Kelompok yang terdiri dari Eko Soemarsono (akustik bass), Boogie Prasetyo (drum), Gede Yudhana (gitar), Ketut Rico (keyboard), Amy Rosady (vokal), dan Barokh Khan (sitar dan tabla) memang tergolong band bau kencur, baru terbentuk 2005. Meski demikian, mereka sukses menampilkan komposisi mereka sendiri berjudul Dewiku, Kesari, Fashion, dan Meith.

Para penonton juga diajak memasuki wilayah yang lebih abstrak dalam musik jazz melalui penampilan Joe Rosenberg Quartet. Joe Rosenberg yang bermain sopran saxophone dan bass klarinet, diiringi piano Masako Hamamura, drum Sri Aksana Sjuman, dan bass Peter Scherr menghasilkan nuansa musik yang cenderung gelap, berkabut, namun dengan tingkat emosional yang cukup peka. Terutama saat mereka menampilkan sebuah komposisi yang dipersembahkan untuk musisi jazz Indonesia yang beberapa waktu lalu meninggal dunia karena menjadi salah satu korban bom di AmmanYordania, Perry Pattiselano.

Dua penampil terakhir di panggung utama pada hari pertama itu adalah dua tokoh dan kelompok terkemuka dalam blantika musik jazz Indonesia, Bubi Chen dan Krakatau. Permainan Bubi Chen yang oleh majalah jazz Downbeat sebagai “Art Tatum-nya Asia”, tak dapat disangsikan lagi. Di usianya yang sudah 66 tahun, pianis yang tergabung dalam Indonesian All Star pada tahun 1967 ini sepertinya tetap ingin menunjukkan diri sebagai tipe pianis jazz yang perfeksionis. Bubi yang tampil lentur dan ekspresi matang, diiringi rekan-rekan lamanya seperti Oele Pattiselano (gitar), Jacky Pattiselano (drum), Jeffrey Tahalele (akustik bass), Benny Likumahua (trombone) dan bintang tamu vokalis Bertha. Momen mengesankan kembali ditorehkan dalam ajang ini, ketika Bertha tampil dengan putri kecilnya dengan melantunkan lagu Over The Rainbow.

Krakatau Band yang sejak dua tahun terakhir disibukkan oleh tour mereka di kawasan Amerika Utara dan Eropa, tampil menarik ketika malam makin larut. Mereka mencoba mempertemukan system diatonik barat dan pentatonik dari sebagian kawasan tradisi kesenian Indonesia yang khas dan diperkuat dengan improvisasi musik jazz dalam formasi lazimnya sebuah band. Visinya memang terlihat jauh berbeda dengan apa yang kita kenal dengan awal-awal pembentukannya 24 tahun silam. Formasinya terdiri atas Dwiki Darmawan (piano dan keyboard), Pra Budi Darma (bass), Adhe Rudhiana (kendang dan perkusi), Yoyon Dharsono (instrumen tradisional), Zaenal Arifin (gamelan dan perkusi), Gerry Herb (drum), dan Nya Ina Raseuki atau akrab disapa Ubiet (vokal). Mereka tampil dalam beberapa komposisi yang menantang dari beberapa album terakhirnya, Mystical Mist dan Engrang Shuffle. Sebanyak 6 grup lainnya tampil di panggung Hard Rock Cafe di hari pertama Bali Jazz Festival, diantaranya kelompok band anak muda asal Jepang Peace of Cake, sejumlah mahasiswa ISI Yogyakarta yang tergabung dalam Jaco Quartet yang tampil bareng Tuti Ardi, serta Yuri Mahatma Band yang tampil dengan eksplorasi cukup berani. Riza Arshad dengan keyboard, Tohpati dengan gitar, Aditya dengan bass dan Endang Ramdan dengan perkusinya, terlihat kompak dalam Simak Dialog yang tampil setelahnya. Juga ada Park Drive dan Nera yang menutup sesi hari pertama di Hard Rock Café.

Hari kedua Bali Jazz Festival tak kalah meriah. Ada penampilan Ensemble d Etudiant, Eye 2 Eye Jass Mix, Kul Kul, Rudesh Mahanthappa MSG, Sova, dan Cherokee di panggung Hard Rock Cafe. Sementara di panggung utama, tampil Anane, Idang Rasyidi dkk, Xinau feat Dian Pratiwi, Eero Koivistoinen Trio asal Finlandia, Jan De Hasdari Belgia, Ron Davis Quartet bersama Daniel Nafdi, dan Yokohama Artist Asociation Orchestra dari Jepang.

Meski baru pertama kali digelar, ajang Bali Jazz Festival sedikitnya telah mampu memberi ruang yang sangat luas bagi banyak sekali musisi jazz pendatang baru yang layak berkiprah di level internasional. Tentu saja, banyak pihak mendukung rencana Koordinator ajang ini, Arief ”Ayip” Budiman untuk menjadikannya ajang tahunan. Tak hanya untuk lebih mengembangkan dan mengasah bakat banyak potensi musisi jazz tanah air dan membawa musik jazz untuk lebih memasyarakat, tetapi juga untuk memberi nilai lebih terhadap pariwisata Bali. Ajang musik internasional semacam Bali Jazz Festival, setidaknya, telah membantu memberi support kepariwisataan Bali paska aksi para teroris 1 Oktober silam. [Komang Erviani]

Rabu, 09 November 2005

Jika Methadone Lebih Baik, Kenapa tidak?

LP Kerobokan jadi satelit program methadone. Diharapkan dapat membantu para napi IDU untuk pulih dari kecanduannya, selain mengurangi resiko penularan HIV/AIDS di dalam LP. Sayang, belum dilengkapi program dukungan.

Jarum jam menunjuk angka 11, ketika Mul (31 tahun) keluar dari selnya di blok H, Lembaga Pemasyarakatan (LP) Klas IIA Denpasar, yang akrab disebut LP Kerobokan. Bermodal surat bon dari petugas klinik yang dibawakan taping (sebutan untuk napi yang membantu petugas), Mul bersama beberapa rekannya diizinkan meninggalkan sel untuk beberapa jam saja. Ia pun bergegas menuju klinik, beberapa puluh meter dari blok yang telah ditempatinya sejak 14 bulan lalu itu. Mul yang sudah kedua kalinya menjadi warga binaan LP karena kasus narkoba, seperti tak sabar meneguk cairan methadone.

Sejak lebih dari dua bulan lalu, Mul telah menjadi peserta program methadone di dalam LP, program yang bertujuan melakukan pemulihan terhadap pecandu narkoba melalui pemberian methadone sebagai zat substitusi. Methadone merupakan bentuk sintesis (tidak alami) opiate, termasuk heroin, codein, dan morfin. Bagi pemakainya, khasiat methadone nyaris sama dengan heroin. Bedanya, methadone memiliki daya tahan dalam tubuh yang lebih lama, mencapai 24 jam. Sementara daya tahan heroin biasanya hanya sekitar 3 sampai 4 jam. Hal ini membuat pengguna methadone dapat hidup lebih teratur. Pemberian methadone juga dilakukan dengan cara diminum, untuk menghindari risiko penularan HIV/AIDS lewat jarum suntik. Dengan begitu, klien methadone bisa hidup dengan lebih teratur, sekaligus terhindar dari HIV/AIDS. Dalam jangka waktu tertentu, juga dilakukan penurunan dosis hingga klien bisa lepas dari kecanduannya secara perlahan.

Sejak 2003 lalu, program rumatan methadone telah resmi dilakukan di Indonesia melalui dua rumah sakit (RS), yakni Program Rumatan Methadone (PRM) Sandat RS Sanglah Denpasar dan RS Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta. LP Kerobokan menjadi salah satu satelit PRM Sanglah. Tujuannya untuk mempermudah akses methadone di kalangan penyalahguna narkoba suntik (injecting drug users/IDU) yang jadi warga binaan LP Kerobokan. Dengan begitu, LP Kerobokan menjadi LP pertama Indonesia yang melaksanakan program methadone secara efektif.

Keberadaan satelit methadone di LP Kerobokan, sebenarnya telah diluncurkan secara resmi oleh Dirjen Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM pada 10 Desember 2004 lalu. Namun, penerapannya baru dilaksanakan efektif pada Agustus 2005 lalu. Hal itu karena belum ada kepastian pasokan methadone. “Sekarang kita (LP) dipastikan dapat 157 ribu cc methadone sampai Desember 2006. Dananya dari Global Fund,” kata Anak Agung Gde Hartawan, Ketua Pokja Lapas, pokja yang khusus melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dan narkoba di LP Kerobokan.

Sejak dibuka, program methadone di LP Kerobokan menurut Hartawan yang juga dokter di klinik LP, direspon positif warga binaanya. Jumlah klien program ini telah mencapai 16 orang. Empat belas orang diantaranya mengikuti program di LP sejak dosis awal. Sedangkan 2 orang hanya melanjutkan program yang diikutinya di PRM Sandat RS Sanglah. Untuk mengikuti program, warga binaan LP memang cukup dipermudah. Mereka tak dikenai biaya apapun, alias gratis. Sedangkan klien methadone di PRM Sandat RS Sanglah dikenai biaya Rp 5.000 sekali minum.
Menurut Koordinator PRM Sandat RS Sanglah, Nyoman Hanati, biaya itu dikenakan untuk mengganti operasional program-program dukungan dalam upaya membantu proses pemulihan klien.

Prosedur yang harus dilalui calon klien methadone LP, tak jauh beda dengan klien methadone di Sanglah. Standar prosedur operasional (SOP) yang digunakan, sama dengan yang diterapkan PRM Sanglah tapi dengan sedikit modifikasi Pokja Lapas. Misalnya, umur lebih dari 20 tahun, berkelakuan baik, dan diutamakan bagi mereka yang sudah sering keluar masuk rehab. Ini bertujuan untuk memastikan klien methadone benar-benar orang yang membutuhkannya, apalagi mengingat jumlah methadone yang disediakan pemerintah sangat terbatas.

Khusus untuk methadone di LP Kerobokan, diberikan beberapa syarat tambahan. Selain sudah pernah keluar masuk LP, juga diutamakan bagi warga binaan yang sisa masa hukumannya lebih dari satu tahun sejak ikut program. Hal tersebut untuk menghindari terjadinya keterputusan program. Namun demikian, syarat yang satu ini dikecualikan bagi warga binaan dengan sisa masa hukuman kurang dari setahun yang memiliki wali keluarga. Wali itulah yang nantinya akan bertugas menjamin kelanjutan program methadone napi di PRM Sanglah saat ia sudah bebas. Satu lagi syarat tambahannya, klien harus bersedia rambutnya dipangkas. “Cuma biar mereka merasa jadi orang baru sepenuhnya,” tutur Hartawan.

Selain mengisi identitas diri, termasuk riwayat kesehatan, calon klien juga diwajibkan menandatangani surat pernyataan setuju mengikuti program dengan berbagai efek sampingnya. “Sebelumnya kita jelaskan dulu apa saja efek sampingnya. Jadi mereka benar-benar paham. Kalau mereka terima, ya tanda tangan,” jelas Putu Asih Primatanti, dokter lapas yang bertugas melayani program methadone di LP.


***

Putus dari heroin, memang bukan hal mudah. Hal itu bahkan masih dirasakan Mul hingga sekarang, meski masa programnya sudah menginjak bulan ketiga. “Saya mencret terus tiap pagi, dok. Kalau tidur juga gelisah,” keluh Mul kepada Asih. Bahkan beberapa poin yang ditanyakan Asih langsung diiyakannya. Mulai dari keluhan masih suka menguap, cemas, mata berair, pilek, gemetar, tulang otot sakit, dan sebagainya. “Kamu benar-benar sudah nggak pake (heroin)?” tanya Asih. Maklum, menurutnya ada beberapa klien yang masih membandel dan masih tetap menggunakan heroin, meski dengan porsi yang lebih sedikit. Padahal, penggunaan methadone yang masih disambi dengan heroin justru akan menghambat program.

Yang jelas, jangan coba-coba berbohong dalam menjalani program. Tercatat, satu orang klien telah dikeluarkan karena terbukti seringkali berbohong. “Kalaupun mereka sempat make (heroin), mereka harus jujur. Kalau make tapi bilang nggak make, itu yang masalah karena dosing (penyesuaian dosis) kami bisa salah,”Asih menjelaskan. Setahun dua kali juga akan dilakukan tes urine bagi klien.

Pada tahap awal program, pemberian dosis memang masih harus disesuaikan dengan kondisi badan klien. Dosis induksi, begitu biasa diistilahkan, diberikan hingga klien benar-benar nyaman dengan satu dosis tertentu. Karena Mul masih tidak merasakan kenyamanan dengan 65 miligram (mg), dosisnya pun dinaikkan menjadi 70 mg. “Menaikkan dosis induksinya harus sedikit demi sedikit. Kalau klien sudah tidak merasakan keluhan, berarti dosisnya sudah stabil,” tutur ibu tiga anak ini. Proses penurunan dosis juga tak boleh asal-asalan. Paling tidak, klien harus sudah menjalani dosis stabilnya minimal enam bulan. Ini untuk menghindari risiko gagal karena program yang terburu-buru.

Sayangnya, Pokja Lapas belum memiliki program-program dukungan untuk program methadone. Menurut Hartawan, program-program tersebut sedang dirintis. Namun Hartawan secara tegas menyatakan bahwa keberadaan satelit methadone di LP Kerobokan bukan sekadar sebagai pendistribusi methadone. Lebih dari itu, tujuan utama program adalah perubahan perilaku di kalangan IDU di LP.

Pokja Lapas hingga saat ini belum membuat evaluasi menyeluruh atas programnya. Namun setelah hampir 3 bulan berjalan, ada perilaku yang cukup berubah dari diri klien. “Setelah minum, terasa sekali perubahannya. Mereka tenang di bloknya, sudah bisa merawat diri, perhatikan temannya. Mereka mulai berkarya,” ungkap Hartawan. Maklum, kecanduan pada heroin membuat IDU harus selalu memutar otak untuk mencari sumber uang dalam jumlah besar. Wajar bila tipu menipu dan keributan karena utang piutang kerap terjadi. Namun yang terpenting, program ini dapat mengurangi resiko penularan HIV/AIDS di kalangan mereka, karena kebiasaan berbagi jarum suntik. [Komang Erviani / Dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUl Edisi 10, November 2005]

Jangan Biarkan Narkoba Merenggut Kehidupan

Penyalahgunaan narkoba di Indonesia terbukti mengakibatkan kerugian di segala bidang. Selama 2004 saja, besaran biaya ekonomi dan sosial akibat penyalahgunaan narkoba di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 23,6 triliun. Dari jumlah itu, 78 persennya merupakan kontribusi biaya ekonomi. Biaya terbesar timbul dari konsumsi narkoba, sebanyak Rp 11,3 triliun.

Begitulah sepenggal isi hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) tentang biaya ekonomi dan sosial akibat penyalahgunaan narkoba pada 10 kota besar di Indonesia tahun 2004 yang disosialisasikan kepada para pengurus dan staf Badan Narkotika Provinsi (BNP) Bali, awal Oktober 2005 lalu. Selain Denpasar, penelitian juga menyasar Medan, Batam, Manado, Jakarta, Semarang, Makassar, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta.

Dalam penelitian itu juga disebutkan, biaya sosial dari penyalahgunaan narkoba pada tahun 2004 telah mencapai sekitar Rp 5 triliun. Kontribusi terbesar terhadap biaya tersebut adalah untuk kriminalitas, terutama di tingkat keluarga. Hal itu diketahui dari survei terhadap siswa SMA, penyalahguna narkoba di masyarakat, di panti rehabilitasi, petugas kepolisian, mantan penyalahguna, serta keluarga penyalahguna.

Masih dari survei tersebut, juga diketahui bahwa ganja merupakan jenis narkoba yang banyak dipakai. Pada kelompok coba-pakai, penggunaan ganja mencapai 71 persen. Sementara pada kelompok teratur-pakai dan pecandu msing-masing sebanyak 71 persen dan 75 persen. Jenis narkoba lain yang juga banyak dipakai yakni heroin, shabu, ekstasi, dan obat penenang.

Di tahun yang sama, besaran penyalahguna narkoba teratur-pakai dan pecandu di Indonesia diperkirakan telah mencapai sekitar 3,2 juta orang, atau setara dengan 1,5 persen jumlah penduduk. Komposisinya, 79 persen laki-laki dan 21 persen perempuan. Dari jumlah itu, 69 persennya adalah kelompok teratur pakai dan 31 persen pecandu. Ironisnya, lebih dari separuh dari kelompok pecandu (56 persen), atau sekitar 572 ribu orang merupakan penyalahguna narkoba suntik. Diantara para penyalahguna narkoba suntik itu, 400 ribu orang diperkirakan telah terinfeki Hepatitis B, 458 ribu orang terinfeksi Hepatitis C, dan 299 ribu orang telah terinfeksi HIV.

Itu baru satu hasil penelitian BNN. Dalam kesempatan berkunjung ke Bali, BNN melalui Staf Puslitbang dan Info BNN, Kompol Deden Pramana, tak hanya membawa hasil penelitian. Empat buah hasil penelitian disosialisasikan sekaligus. Selain tentang biaya ekonomi dan sosial akibat penyalahgunan narkoba, BNN juga menyosialisasikan hasil penelitian tentang masalah narapidana narkoba di lembaga pemasyarakatan (LP) dan rumah tahanan (rutan) tahun 2003, hasil survei nasional penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba tahun 2003, dan hasil survei nasional penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba pada pekerja formal dan informal di 15 provinsi tahun 2004.

Dalam penelitian masalah narapidana narkoba di LP dan Rutan, BNN yang bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) menyasar 9 LP dan 1 rutan di 9 provinsi. LP Kerobokan termasuk salah satu lokasi dengan mengambil 88 responden napi narkoba di LP terbesar di Bali itu. Dari para napi narkoba, ternyata 82,6 persennya mengaku pertama kali menyalahgunakan narkoba karena diberi teman. Hanya 12,4 persen yang mengaku mengawali dengan membeli sendiri. Sebagian besar diantaranya (61,3 persen), mengawali dengan menyalahgunakan ganja. Disusul kemudian jenis putaw sebanyak 12,5 persen. Hampir dua pertiga penyalahguna narkoba memulai kebiasaan buruknya itu di kisaran umum 15-24 tahun. Hanya 10,7 persen yang mengawali di umur kurang dari 15 tahun. Melihat kondisi itu, maka peneliti merekomendasikan pentingnya peningkatan kampanye tindakan preventif kepada anak-anak usia sekolah. Kata kuncinya, jangan pernah mencoba dan jangan mau dikasi teman.

Survei tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba pada tahun 2003, mengungkap sebaran penyalahgunaan narkoba per ibukota provinsi secara nasional. Hasilnya, ada tiga kota yang memiliki besaran persentase penyalaguna narkoba paling tinggi. Yakni Jakarta (23 persen), Medan (15 persen) dan Bandung (14 persen). Beberapa kota lain yang mengikuti diantaranya Medan (6,4 persen), Surabaya (6,3 persen), Maluku Utara (5,9 persen), Padang (5,5 persen), Kendari (5 persen), Banjarmasin (4,3 persen), Palu (8,4 persen), Yogyakarta (4,1 persen), dan Pontianak (4,1 persen).

Heran karena Denpasar tak terlihat dalam data itu, Kepala Satuan Pembinaan dan Penyuluhan (Satbinluh) Dit. Narkoba Polda Bali, AKP Ketut Masmini langsung bertanya,”Saya jadi ragu. Bali kok tidak kelihatan. Lalu kenapa program-program WHO justru dilaksanakan di Bali dan Jakarta?“. Deden mengakui, pihaknya tidak tahu persis kenapa Bali tak tampak di data tersebut. Diperkirakan, itu karena metode yang digunakan. ”Tapi studi ini setiap 5 tahun akan kita ulang. Mungkin tahun 2008 nanti Bali akan kelihatan,”jawabnya ringan.

Survei terhadap 13.710 responden dari 26 ibukota provinsi itu, juga memperlihatkan kaitan yang lebih signifikan antara faktor sosialisasi dalam lingkungan teman sepergaulan yang menyalahgunakan narkoba dengan penyalahgunaan narkoba dibandingkan faktor-faktor kondisi dan sosialisasi keluarga. Pada kelompok responden yang semua teman bergaulnya mempunyai kebiasaan merokok, 24,9 persen di antara responden pernah menyalahgunakan narkoba. Sementara pada kelompok responden yang seluruh teman bergaulnya mempunyai kebiasaan minum-minuman keras, persentase penyalahguna narkoba sebanyak 38,1 persen.

Kenyataan itu diperkuat dengan hasil survei tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba pada pekerja formal dan informal di 15 provinsi tahun 2004. Kebiasaan merokok dan minum minuman keras disimpulkan sebagai perilaku awal yang biasanya menjadi pemicu orang mencoba narkoba. Sebanyak 94 dari 100 responden penyalahguna narkoba adalah perokok, sementara 91 dari 100 orang adalah peminum minuman keras. Sayang, penelitian terakhir ini tak mengikutsertakan Bali sebagai sasaran. Survei hanya dilakukan di Medan, Jambi, Palembang, Bengkulu, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Balikpapan, Palangkaraya, Makassar, Kendari, Manado, dan Mataram. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 10, November 2005]