Google
 

Sabtu, 31 Desember 2005

Otot Arnawa Taklukkan Dunia

Delapan tahun berjuang sendirian. Komang Arnawa menyabet gelar juara dunia. Tak mau hanyut dalam perseteruan dua induk organisasi.

Segelas lemon squash yang diantar seorang waitres, langsung disambar Komang Arnawa. Tangan berototnya lantas meraih beberapa bungkus kecil soda bubuk yang tersedia di meja untuk dibubuhkan ke minuman favoritnya itu. Tak perlu menunggu lama buat binaragawan itu menghabiskan campuran soda dan perasan jeruk nipis itu. Lemon squash bukan sekadar pilihan pelepas dahaga buat Arnawa, di tengah mendungnya cuaca Kuta, Kamis lalu. Itu justru jadi salah satu cara “menikmati hidup” sambil tetap jaga bodi. Maklum, olahraga binaraga sudah jadi kesehariannya sejak 8 tahun silam. Ada banyak aturan asupan gizi yang harus dipatuhinya untuk tetap eksis sebagai atlet seni olah otot itu.

Nama Komang Arnawa mungkin terdengar asing di telinga kita. Tapi coba buka situs www.naturalbodybuilding.com. Ada nama pria 29 tahun itu di sana. Namanya tercatat sebagai pemenang pertama Natural Olympia VIII dalam kategori Profesional Men, yang digelar di Las Vegas AS, 19 November lalu. Tak mau tanggung, 11 orang lawannya yang sukses ditaklukkan ternyata berasal dari Amerika Serikat. Ia sekaligus jadi atlet binaraga asal Indonesia pertama yang menembus kejuaraan yang diselenggarakan International Natural Body Building Association (INBA). Pria asal Gianyar itu dinyatakan sah sebagai juara setelah tes doping yang dilakukan World Anti Doping Agency (WADA) menyatakan Arnawa bebas doping, sekitar 18 hari setelah kejuaraan berakhir. Bebas doping merupakan standar yang disyaratkan International Olympia Committee (IOC) dalam kejuaraan tersebut. Sebuah plakat berlapis emas, cincin emas berlogi PNBA, medali, dan uang tunai jadi miliknya. “Jumlah uangnya nggak usah lah, nggak enak. Cuma cukup buat tiket aja pulang pergi,”ujar Arnawa malu-malu. Ini bukan prestasi pertama Arnawa di tingkat dunia. Pada 2004, ia sempat menggondol juara pertama kelas professional di ajang Musclemania Pro World Championship di Los Angelas, California, AS. Kemenangan yang tak pernah diduga karena merupakan kali pertama ia bertanding di kelas professional. Itu pun tanpa modal kemenangan di kejuaraan amatir dunia. Berdasar aturan, atlet yang akan bertanding di kelas professional dunia harus sudah pernah menang kejuaraan amatir dunia. “Tapi saya diberi kesempatan karena dari Indonesia, tetapi sudah menang kejuaraan di Australia,” tandas lulusan Sastra Inggris, Universitas Warmadewa Denpasar itu.

Perjalanan Arnawa hingga jadi juara dunia, bukan cerita singkat. Setidaknya, perlu waktu 8 tahun baginya untuk memberi bukti. Awalnya, sejak kenal olahraga beban di usia 14 tahun, ia tak pernah berencana jadi atlet binaraga. Cabang karate justru lebih menarik minatnya. Namun sejak 1996, saat menyandang Dan 1 Karate Kushin Ryu, pikirannya mulai digelitik oleh banyaknya gambar atlet dengan otot-otot tubuh menonjol di sebuah majalah milik Mansyur, temannya yang atlet angkat berat. “Sejak itu saya coba. Awalnya, otot sakit,”ceritanya.

Memulai seni oleh tubuh memang bukan hal mudah. Apalagi Arnawa belum dapat informasi pasti tentang bagaimana pengaturan gizi yang tepat. Saat merasa ototnya sakit, beberapa teman mengatakan itu karena ototnya yang mulai membesar sehingga lapisan otot robek. “Kata mereka, obatnya cuma protein. Makanya saya langsung makan banyak telur, ikan laut, juga yang lainnya. Tapi kan gak tahu jumlah yang pas berapa,”tuturnya. Belum lagi ada banyak “godaan” karena beberapa temannya ternyata memakai pemacu otot. Beruntung, ia diperkenalkan dengan sejumlah atlet binaraga asal Australia yang kemudian banyak memberikan Arnawa buku panduan menjadi atlet binaraga. Rasa percaya dirinya untuk serius di olahraga yang membuat geli banyak perempuan itu, makin bertambah. Ia jadi makin jelas tentang pengaturan gizi, dan proses latihan yang benar.

Arnawa sempat kaget ketika tahu gambar pria berotot kekar yang sempat menginspirasinya jadi atlet binaraga, ternyata ditunjang oleh bahan tambahan steroid pemicu otot. Tapi Arnawa terus bertekad membentuk tubuhnya secara alami. Daging panggang, ikan laut panggang, ayam panggang, kentang, sayuran (semua tanpa minyak), jadi konsumsi kesehariannya. Tak tanggung, ia harus makan 6-7 kali sehari. Kecuali saat sibuk, ia mentolerir suplemen multivitamin, mineral dan vitamin C masuk ke tubuhnya. Tentu saja, suplemen tertentu yang sudah dipastikan aman.

Gagal dapat juara satu di ajang PON pada awal-awal latihan, tak membuat nyalinya ciut. Justru gara-gara para penonton cuek dengan keberadaannya yang hanya di peringkat 4 waktu itu, makin memotivasinya untuk bangkit. “ Penonton hanya mau salaman sama juara 1. Di sana muncul keinginan besar untuk jadi juara,” tutur Arnawa menceritakan perjalanan keatletannya. Kerja kerasnya bukan tanpa guna. Pada 1997, ia menyabet penghargaan sebagai juara spertama National Championship –Ade Rai’s Cup Bandung kelas 80 kg.
Selanjutnya, mendapat rangkin dua dalam seleksi Sea Games Jakarta, kelas 75 kg. Gara-gara harus menyelesaikan kewajibannya sebagai mahasiswa, Arnawa sempat mandek. Tapi di tahun 2002. saat kembali di panggung kejuaraan binaraga, ia langsung dapat prestasi baru, juara pertama dan overall pada kejuaraan National Pesta Raga di Jakarta.

Prestasi demi prestasinya di dalam negeri, belum membuatnya puas. Tak mau prestasinya mentok di tingkat nasional, Arnawa nekat ekspansi ke Australia. Jadilah ia juara pertama dan overall pada Western Australian State Championship di Perth Australia. Dua minggu berikutnya, ia kembali mengukir prestasi di Australia, kali ini di Sydney, dalam kejuaraan Australia terbuka an menjadi juara pertama pada kelas 80 kg. Melihat potensinya, promotor kejuaraan itu tertarik memberi kehormatan kepada Arnawa untuk mewakili Australia pada kejuaraan Mens World Cup/Mr Universe Amateur di India, 2 minggu setelahnya. Sayang, kesempatan itu terbuang sia-sia karena tidak ada dana.

Dana memang menjadi masalah besar buat Arnawa, meski ia secara tegas menyatakan tidak bermaksud mencari keuntungan materi dari kiprahnya di olahraga binaraga. Yang jelas, banyak sekali materi yang harus dikorbankannya demi meraih kemenangan di tingkat dunia. Bahkan untuk mengikuti kejuaraan Musclemania Pro World Championship di LA, AS, 2004 lalu, ia harus merelakan sebuah mobilnya untuk dijadikan modal. Padahal jauh hari sebelum kejuaraan, ia sudah gembar gembor ke media massa. Sayang, tak ada sponsor yang datang sampai hari H. Kenekatannya memang menghasilkan prestasi yang cukup membanggakan. Tapi itu tak cukup menutup modalnya yang mencapai sekitar Rp 50 juta (untuk tiket dan biaya akomodasi). Jumlah hadiah uang yang menurut Arnawa tidak seberapa dibanding modalnya, bahkan tidak pernah dibayarkan panitia hingga sekarang gara-gara kekacauan dari organizernya. “Tapi nggak masalah, saya ke kejuaraan dunia bukan karena hadiahnya. Tapi untuk melihat sampai di mana posisi kita berada,”tegasnya. Pernah Arnawa mendapat sponsor dari perusahaan produsen suplemen. Tapi perusahaan itu hanya siap mensponsori kejuaraan-kejuaraan di nasional.

Untuk mengikuti kejuaraan di Las Vegas, ia juga harus merogoh kocek sendiri. Kali ini, ia dibantu tunangannya yang orang Australia. “Kejuaraan kemarin ada hadiahnya sih, tapi seharga tiket PP saja,”jelasnya. Arnawa mengakui, tak ada upaya khuus untuk menarik sponsor, seperti yang pernah dilakukannya tahun 2004. Itu karena ia belajar dari pengalaman gagal di tahun tersebut. Dari sana bisa dilihat, belum ada interest orang ke bidang binaraga. Menariknya, Arnawa sempat dapat janji-janji dari beberapa orang yang menyatakan siap mensponsorinya. Sayang, itu hanya janji-janji kosong yang tak pernah terbukti.

Dualisme induk organisasi binaraga di Indonesia, Federasi Binaraga Indonesia (FBI) dan Persatuan Angkat Besi, Angkat Berat, Binaraga Seluruh Indonesia (PABBSI), cukup menganggu Arnawa. Ketidakcocokan antar kedua organisasi, sempat membuatnya terhambat. Ia yang awalnya memilih bertahan di PABBSI, terhalang ikut kejuaraan di luar negeri karena penyelenggaranya bukan organisasi yang berafiliasi dengan PABBSI. “Kejuaraan di Asia cenderung dibawah International Federation Body Building (IFBB) yang jadi afiliasi IFB. Jadi kita nggak bisa ikut kejuaraan di Asia,”keluhnya. Meski sempat terhambat, Arnawa mengaku selalu berupaya berpikir positif. Kini ia memilih berjalan secara independen, tidak di bawah organisasi manapun. “Bukannya merasa mampu atau tidak mau bergabung, tetapi saya ingin berkiprah lebih luas, meraih peluang yang lebih jauh,”tandasnya. Keputusannya itu mengandung konsekuensi, tak ada bantuan dana apapun dari organisasi untuk mengikuti kejuaraan. Tapi lagi-lagi, Arnawa mengaku itu bukan masalah besar. Padahal untuk makan sehari-hari saja, sesuai aturan gizi atlet binaraga, ia menghabiskan sedikitnya Rp 6 juta per bulan. “Binaraga memang belum bisa menghasilkan uang. Sekarang saya masih dalam tahap promosi. Saya berharap tahun depan saya mau tanding lagi ke Amerika, jadi tahapan pengembalian dana saya,”tandas Arnawa yang sejak awal tak pernah punya pelatih khusus. Sejak beberapa tahun lalu, ia hanya didampingi oleh 2 orang partner latihannya, Peter Tolsten dan Wolfgang Nemack, keduanya asal Jerman. Peter adalah mantan juara binaraga Eropa tahun 1980-an yang sekarang memilih menggeluti bisnis perak di Bali.

Meski masih harus berkorban sendiri, padahal untuk mengharumkan nama bangsa, Arnawa tetap mengambil hikmah dari olahraga yang digelutinya. “Paling tidak, saya menyadari kalau binaraga tak sekadar bodi gede, tapi nutrisi harus juga diperhatikan. Semakin pelajari nutrisi baik, usia lanjut bisa tahu makanan yang baik untuk kita. Paling tidak, itu keuntungannya,”jawabnya santai. Ia menyadari, binaraga masih merupakan hal baru di Indonesia, kalah dengan bulutangkis yang sudah berpuluh tahun ada di negara ini sehingga para atletnya yang telah menyabet juara bisa menerima bonus dari negara. “saya harus lebih buktikan lagi. Mudah-mudahan bidang binaraga bisa lebih dapat perhatian”, tandas atlet dengan berat 82 kg itu.

Arnawa berjanji untuk terus membuktikan eksistensi di bidang binaraga. Pembentukan otot tetap rutin dilakukan dua kali sehari, pagi dan sore, di sebuahgym di Legian Kuta. Untuk membiayai aktivitasnya, ia aktif sebagai personal trainer dan konsultan gizi bagi para calon binaragawan, berbicara di seminar-seminar, dan menjadi model inspirasi untuk foto artistik beberapa seniman foto Bali. “Hasilnya, cukup lah,”jawabnya. Bagi Arnawa, tak ada konsentrasi yang rusak dari bekerja sambil tetap meraih prestasi. Ia bahkan bertekad sagar lebih banyak masyarakat Indonesia yang mengharumkan nama bangsa di bidang binaraga. Arnawa bahkan telah sukses mengirim 2 atlet binaraga Bali tanding ke Australia, pada acara Bodiku yang digelarnya di ajang Kuta Karnival 2005 lalu. Kegiatan itu diharapkan bisa jadi ajang tahunan yang terus mengirim atlet-atlet binaraga baru di Bali. Satu obsesinya, ingin mempunyai studio sendiri untuk kliennya yang serius ingin berlatih memperbesar otot. [Komang Erviani / dimuat di Majalah GATRA edisi 07 Tahun XII, 31 Desember 2005]

Selasa, 20 Desember 2005

Bermodal Rompi dan Lencana

Dua kali bom yang meledak di Bali, memberi pelajaran berharga buat Polda Bali. Kunci pengamanan ternyata ada di masyarakat sendiri. Pertama di Indonesia, Polda Bali membentuk Polisi Kehormatan. Modalnya cuma rompi dan lencana.

Marto Kilov tersenyum sumringah. Kerut di wajah kakek tujuh cucu itu, tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya. Sebuah rompi kecoklatan dan lencana keemasan bertuliskan “Polisi Kehormatan”, membuatnya terlihat masih cukup gagah. Setelah bertahun-tahun nganggur dari kegiatan kemiliteran, pensiunan ABRI asal Poso itu kini kembali menggeluti bidang yang nyaris sama. Bekerja layaknya intel, tapi tanpa embel-embel plat merah.

Bersama 78 orang lainnya, kakek 67 tahun yang sudah sekitar 20 tahun menetap di Bali itu kini menjadi anggota keluarga baru di Polda Bali. Ia diberi mandat menjadi Polisi Kehormatan, polisi swasta bentukan Polda Bali. Sebanyak 40 kepala keluarga yang tergabung dalam Paguyuban Poso Morowali Sulawesi Tengah di Bali, mempercayai Marto untuk jadi “polisi” di lingkungan mereka. “Sekarang saya punya kesibukan baru lagi. Walaupun sudah tua, tenaga masih kuat,”seru Marto, tak mau kalah dengan beberapa rekannya. Apalagi ia mengaku sudah punya pengetahuan bidang intelejen yang didapatnya dari almamaternya, ABRI. “Dari ABRI sudah diajarkan, tinggal kita terapkan lagi,”tandasnya, sesaat usai hadir dalam serah terima pataka Polda Bali terkait pergantian Kapolda Bali, Kamis. Tapi Marto sadar betul, kewenangannya kali ini tak lagi sebesar dulu. “Kewenangan kita di sini memang terbatas, khusus untuk membantu kepolisian setempat. Terutama untuk menangkal terorisme,”jelasnya.

Polisi Kehormatan bisa dibilang jadi warisan terakhir mantan Kapolda Bali Irjen Pol. Made Mangku Pastika yang cukup menoreh sejarah. Bagaimana tidak, konsep Polisi Kehormatan baru pertama kali diterapkan di Bali, bahkan di Indonesia. Sebelum dilantik menjadi Ketua Pelaksana Harian (Kalakhar) Badan Narkotika Nasional, 19 Desember 2005, Pastika menyempatkan diri melantik 79 orang Polisi Kehormatan, dari 200 yang direncanakan, pada 16 Desember 2005 malam. Ini jadi salah satu reaksi atas terjadinya kembali peledakan bom di Bali, 1 Oktober lalu. Buah dari “kecolongan” yang dialami kepolisian, Pastika menggagas Polisi Kehormatan yang juga menjadi salah satu bagian dari Bali Security Council (Badan Koordinasi Keamanan Bali). Bali Security Council, sebuah sistem koordinasi antar seluruh unsur pengamanan di Bali, sukses terbentuk beberapa minggu paska bom.

Berbeda dengan polisi yang sebenarnya, Polisi Kehormatan tak perlu pendidikan khusus di akademi kepolisian. Bahkan tak perlu fisik kuat, mental teruji, apalagi bisa mengoperasikan senjata. Mereka hanya perlu punya kharisma dan wibawa di lingkungan masyarakatnya. Mereka juga tidak akan dibekali senjata, juga tak ada kewenangan untuk menangkap. Anggota Polisi Kehormatan memang dicomot dari berbagai kelompok masyarakat di luar kepolisian. Ada dari Forum Komunikasi Paguyuban Etnis Nusantara (KPEN) yang membawahi 27 paguyuban etnis di Bali, Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB), dan perwakilan dari konsulat asing di Bali.

Ketua I KPEN, Budi Argawa, bercerita kesempatan jadi polisi kehormatan awalnya disampaikan pihak Polda Bali saat diundang akhir Oktober lalu. Dari sana disepakati, anggota Polsi Kehormatan akan diambil dari masing-masing paguyuban yang ada. “Kalau ketua paguyuban berhalangan, diwakilkan kepada anggota yang dianggap mampu, punya kharisma dan wibawa di masyarakat,”jelas Argawa yang mendapat nomor induk anggota 001 di Polisi Kehormatan. Jadilah, Polisi Kehormatan terdiri atas berbagai etnis. Mulai dari Tionghoa, Minang Saiyo, Banyumas, Madura, Sulawesi Selatan, Minahasa, Sumatera Utara, Aceh, Papua, dan lainnya. Pelibatan KPEN, menjadi upaya polisi agar tokoh-tokoh di masyarakat membantu tugas polisi dalam mengamankan Bali.

Warga asing juga jadi target Polda dalam membangun community policing. Karenanya, ada dua nama warga Jepang yang sudah resmi jadi Polisi Kehormatan, yakni Nagaya Mitsuo dan Osamu. “Polisi Kehormatan kita harapkan bisa membantu polisi dalam menjalankan tugas tugasnya,”tegas Pastika. Pastika menilai warga asing juga perlu mendapat perhatian, mengingat sebanyak ekspatriat yang tinggal di Bali. Dengan mengangkat Polisi Kehormatan dari warga asing, setidaknya aparat kepolisian dapat dengan mudah mengawasi gerak-gerik di kalangan mereka.

Pengamanan perayaan Natal, menjadi tugas pertama buat Polisi Kehormatan. Tapi sayang, bekal yang diberikan Polda ternyata baru sebatas rompi dan lencana. Belum ada pelatihan formal yang memperjelas hubungan tata cara kerja mereka dengan Polda Bali. “Kita sudah diminta Bantu Poltabes Denpasar untuk pengamanan Natal,”jelas Budi Argawa. Menurutnya, Polda sudah berencana menggelar pelatihan khusus untuk memperjelas hak dan kewajiban Polisi Kehormatan. “Misalnya tentang pengamanan di TKP bila terjadi satu perkara. Apa yang akan kita lakukan. Apa yang akan kita amankan sebelum petugas datang. Dan apa-apa yang penting untuk kita sampaikan kepada polisi,”tambah Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia Pengurus Daerah Bali itu. Baik Budi maupun rekannya sesama Polisi Kehormatan menyadari, yang terpenting dilakukan adalah menjaga hubungan di antara etnis yang ada, membantu pengamanan, serta memberi informasi yang dibutuhkan kepolisian.


Bachtiar Idrus, Ketua Lembaga Adat dan Kebudayaaan Aceh Propinsi Bali, juga mengaku belum tahu persis tugas-tugasnya. Yang jelas, Polisi Kehormatan lebih berperan kepada perpanjangan tangan kepolisian dalam pembinaan anggota dan keluarga. “Yang penting, bagaimana kita membina keluarga agar mereka tahu apa sih keamanan, di mana sih mereka bisa ikut berperan sehingga mereka juga tidak terabaikan dengan situasi sekitarnya. Ini kan perlu. Umpama ada orang baru yang tidak dikenal, mereka kita harap berperan,”tegas wartawan yang sudah bertugas di Bali sejak tahun 1979 itu.

“Kalau ada hal-hal baru, hal mencurigakan, atau informasi tertentu, kita akan informasikan ke Polda,”begitu Mateus Maia, dari paguyuban warga eks Timor Timur, Uni Timor Asuing (Unitas), mencoba menjelaskan tugas yang sudah dinantinya. Mantan Walikota Dili periode 1996-1999 yang memutuskan bergabung dengan Indonesia paska Referendum itu, mengaku senang bisa menjadi bagian dari Polisi Kehormatan. Apalagi jumlah warga eks Timtim yang kini tinggal di Bali tidak sedikit, mencapai 27.000 orang. “Kita akan lebih mengupayakan pembinaan intern,” janji pria yang kini jadi staf ahli Walikota Denpasar itu.

Meski konsepnya sederhana, ada tanggung jawab berat yang menanti Polisi Kehormatan. Masyarakat berharap banyak dari Polisi Kehormatan, terutama untuk menangkal aksi terorisme yang berdasarkan pengalaman, banyak dilakukan orang yang hanya “mampir” untuk mati di Bali. Polisi Kehormatan diharapkan bisa “mencium” gerak-gerik ke arah itu. “Ini ide bagus.Tapi tergantung bagaimana mekanismenya nanti. Ini penting untuk menangka terorisme. Saya optimis ini akan berhasil,”tegas Ketua Kamar Dagang dan Industri Daerah Bali, I Gde Wiratha, yangsalah satu usahanya, Paddys Pub, sempat jadi sasaran aksi teroris 2002 lalu.

Tugas berat, tapi namanya juga kehormatan, Polda tak menyediakan gaji buat mereka. Hanya ada bekal Surat Keputusan dari Kapolda Bali Made Mangku Pastika yang kini sudah diganti Brigjen Pol Sunarko Danu Ardanto. Dalam SK, mereka dinyatakan akan bertugas setahun, sampai 16 Desember 2006 mendatang.Bachtiar secara tegas menyatakan tak perlu gaji untuk kerjanya. “Kita ini masyarakat Bali, penduduk Bali, kita hidup di sini, makan di sini. KTP kita Bali. Kita jadi masyarakat Bali etnis Aceh. Inilah kenapa kita. Mau tidak mau, secara moral kita pun bertanggungjawab terhadap situasi ataupun keamanan di Bali. Bagaimanapun kalau Bali terganggu, kita pun yang tinggal di Bali akan terganggu. Apalagi kami yang dari Aceh ini sebagian besar bergerak di swasta, jadi pedagang atau yang lainnya,”jelas bapak 2 anak itu. Di Bali, saat ini tercatat ada sedikitnya 60 kepala keluarga asal Aceh.

Marto setali tiga uang. Menjadi Polisi Kehormatan menurutnya merupakan wujud sama rasa sebagai warga negara. “Bila kira-kira nanti berhasil di Bali, kita harapkan di daerah sendiri (Poso) juga diterapkan karena di sana masih kacau. Masih banyak penembakan-penembakan gelap lagi.,”tambahnya. “Kalau dibilang tugas berat, sebenarnya nggak juga. Kami adalah tokoh-tokoh masyaraakat yang biasa bhakti social. Memang tugas kami ngemong masyarakat. Ini bukan hal baru yang harus kita jalani. Hanya saja, kita sekarang lebih lengkap dan lebih formal,” tegas
Budi Argawa. [Komang Erviani / pernah dimuat di Majalah GATRA,Desember 2005]

Minggu, 11 Desember 2005

Akhir Kisah Air Paradise, Mati di Pasar Bebas

Empat unit pesawat Airbus, masing-masing dua unit jenis A 300-600 dan dua unit jenis A310 300, milik Air Paradise Internasional terparkir rapi di apron Bandara Ngurah Rai, Bali. Sejak 23 November lalu, Keempat pesawat yang hingga kini masih nunggak angsuran dari leasing di Perancis, itu sudah tak lagi beroperasi. Istilah sederhananya, nganggur. Semua rutenya, Denpasar-Adelaide, Denpasar-Brisbane, Denpasar-Incheon, Denpasar-Melbourne, Denpasar Perth, dan Denpasar-Sydney, tak lagi diterbangi. Sebanyak 2.000 calon penumpang yang masih mengantongi tiket, dialihkan ke penerbangan Qantas Airlines.

Nihilnya aktivitas awak pesawat di Bandara Ngurah Rai, juga terlihat di markas maskapai penerbangan milik pengusaha lokal Bali itu di Jalan Gunung Tangkuban Perahu no. 66 Kerobokan, Kuta, Bali. Pintu masuknya yang berpagar coklat, Kamis kemarin tertutup rapat dan dijaga empat petugas. Dua aparat kepolisian dari Poltabes Denpasar dan dua orang satpam setempat. Sejumlah kertas tertempel acak. “Closed“, begitu isi salah salah satu kertas. Kertas lain menyebutkan beberapa nomor telepon yang bisa dihubungi bila ingin meminta informasi.“Kami belum boleh terima tamu. Sebab masih ada audit,“jelas Simon Hasibuan, staf di bagian sales saat dihubungi per telepon. Namun dengan sedikit mengecoh petugas, GATRA sempat masuk ke dalam kantor areal kantor yang berjarak hanya sekitar 300 meter dari Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan itu.

Sepuluh unit mobil jenis Kijang, 1 minibus, dan sebuah mobil boks berlogo Air Paradise, terparkir rapi di areal parkir, di antara beberapa mobil pribadi milik pegawai. Beberapa diantaranya ditempeli kertas putih bertuliskan “Dijual, Hubungi 0361-730088“. Sejumlah pegawai terlihat sibuk dengan mobil Kijang biru yang terparkir persis di depan lobi kantor. Masing-masing memegang cutter. Stiker Air Paradise yang melekat erat di mobil itu jadi sasaran.“Disuruh bersihin, biar nggak ada logonya,“jelas salah seorang diantaranya. Keputusan direksi PT. Air Paradise International untuk menutup usahanya, diumumkan kepada pers pada Rabu sore, 23 November 2005. Pengumuman disampaikan langsung oleh Kadek Wiranatha selaku owner, didampingi Deputy Manager Berry Hass, serta General Manager Affair, I Putu Oka. “Pada prinsipnya saya mohon maaf sebesar-besarnya karena untuk sementara kami merasa tidak bisa menjalankan Air Paradise ini. Semua akibat kejadian bom Bali 1 Oktober lalu'', tutur Kadek Wiranatha lesu.

Keputusan yang mengejutkan itu, diambil setelah perusahaan menerima banyak sekali pembatalan penumpang paska bom Bali II. Sedikitnya, 12.800 penumpangnya mengajukan pembatalan dengan alasan khawatir dengan serangan teroris susulan.

Paska peledakan bom di Kuta dan Jimbaran, 1 Oktober lalu, okupansi penumpang dalam penerbangan Air Paradise sangat rendah. Kursi yang terisi hanya mencapai 10-30 persen. Tentu saja, kondisi itu memberi kontribusi kerugian yang sangat besar bagi Air Paradise. Jika dihitung kasar, untuk satu penerbangan pulang pergi (PP) dengan okupansi 10 persen, Air Paradise harus menangguk rugi 150 ribu dolar AS. Kerugiannya membengkak karena Air Paradise harus merefund seluruh tiket yang sudah terjual, sesuai isi perjanjiannya dengan travel agent.

Kondisi itu tentu saja “mengagetkan” sistem keuangan perusahaan. Padahal sebelum kejadian bom, load factor penumpang pesawat AP rata-rata mencapai 75 persen dari jumlah tempat duduk setiap pesawat yang mencapai 277 seat. ''Setelah bom, kursi yang terisi hanya mencapai 10-30 persen penumpang saja sehingga memaksa kami menutup sementara penerbangan sampai kondisi memungkinkan'', paparnya. Wiranatha meyakinkan, Manajemen Air Paradise telah melakukan segala upaya demi tetap bisa operasional, termasuk melakukan penciutan jadwal penerbangan. “Namun usaha itu mentok,”keluhnya.

Keputusan tersebut tentu saja mengundang tanda Tanya besar. Apalagi, maskapai penerbangan milik pengusaha lokal Bali itu sudah mereguk banyak prestasi, meski belum genap dua tahun beroperasi. Air Paradise Internasional yang mulai beroperasi 16 Februari 2003, sudah dianugerahi PATA (Pacific Asia Travel Association) Award kategori “Excellent“ dari PATA Bali, 23 Oktober 2003. Sebulan kemudian, November 2003, penghargaan internasional juga datang dari Travel Trade Gazette (TTG) atas keberanian dan kesuksesan Kadek Wiranatha meluncurkan maskapai penerbangan. Atas alasan yang sama, Dinas Pariwisata Bali juga menganugerahi Kadek Wiranatha sebuah penghargaan Karyakarana Pariwisata atas jasa kepeloporannya bagi pariwisata Bali. Sejumlah pengusaha bahkan sempat berencana menanamkan saham di Air Paradise, guna mewujudkan cita-cita agar Bali memiliki maskapai penerbangan sendiri. Tujuannya, agar rute-rute potensial yang tak dipedulikan Garuda Indonesia, dapat diterbangi.

Langkah berani Kadek Wiranatha memang patut diacungi jempol. Pengusaha kelahiran Singaraja yang sukses membesarkan Bounty Hotel, Barong Hotel, Restoran Gado-Gado dan Restoran Kudeta itu,“menyelamatkan“ pariwisata Bali dengan kehadiran maskapai penerbangannya di tengah banyaknya maskapai yang mengurangi frekuensi penerbangan ke Bali. Puncaknya, saat terjadi serangan terhadap World Trade Center tahun 2001. Maskapai penerbangan Ansett Australia Airlines yang memiliki lebih dari 15 penerbangan di jalur Bali-Australia dalam seminggu, memutuskan berhenti terbang karena pailit. Tentu saja, kondisi itu membuat para calon wisatawan asal Australia yang terkenal “bandel“, tak peduli dengan travel warning yang dikeluarkan negaranya, kesulitan mencari cara berangkat ke Bali. Maklum, bagi sebagian besar warga Australia, Bali sudah dianggap sebagai rumah kedua. Kehadiran Air Paradise yang dijadwalkan Oktober 2002, sempat tertunda oleh peledakan bom di Kuta pada 12 Oktober 2002. Aksi Amrozi dan kawan-kawannya itu membuat Air Paradise makin mantap melangkah hingga diputuskan mulai beroperasi Februari 2003. Sekali lagi, karena wisatawan Australia yang “bandel“ makin kesulitan mencari sarana transportasi ke Bali. Perusahaan yang bermarkas di Kerobokan, Kuta, Bali itu, sejak awal memang mengkhususkan diri menggarap pasar Australia. Awal terbang, Air Paradise Internasional melayani rute Denpasar-Perth empat kali seminggu dan Denpasar-Melbourne dua kali seminggu. Meski sempat menerbangi wilayah Taipei, Jepang, dan Korea, namun Air Paradise kelihatannya hanya berjodoh dengan Australia. API mengklaim telah menerbangkan sedikitnya 20.000 penumpang Australia per bulannya.

Wisatawan Australia selama ini memang tergolong cuek. Kedekatan mereka secara emosional dengan masyarakat Bali, membuat banyak warga Australia ogah mendengar peringatan dari pemerintahnya untuk bepergian ke Indonesia. Padahal, sebagian besar korban bom Bali I adalah warga Australia. Sebanyak 88 orang wisatawan asal negeri kangguru itu, tewas dalam aksi teroris di Paddy Pub dan Sari Club. Namun kenyataanya, Australia tetap menjadi pasar terbesar kedua yang datang ke Bali, setelah Jepang. Itu tak lepas dari sikap pemerintahnya yang tak seketat negara lain seperti Amerika atau negara Eropa lainnya. Buktinya, masih banyak perusahaan asuransi yang siap mengasuransikan warga Australia yang hendak bepergian ke Indonesia.

Namun kondisinya tak sama, paska tragedi bom Bali II. Isu ancaman bom akhir tahun, ditambah pemutaran video rekaman yang berisi pernyataan para pelaku bom bunuh diri dan menyebut nama Australia sebagai sasaran, membalik kenyataan. Negara tersebut memperketat kebijakan travel warningnuya sehingga tak banyak perusahaan asuransi yang siap menjamin warga Australia yang hendak bepergian ke Bali. Hasilnya jelas. Data Dinas Pariwisata Bali menunjukkan, jumlah kunjungan wisatawan Australia ke Bali selama Oktober 2005 hanya sebanyak 12.801 orang, turun drastic dari bulan sebelumnya yang mencapai 32.388 orang. Hitungan total kunjungan wisatawan asing ke Bali juga sangat rendah. Jika selama September angkanya mencapai 162.102 orang, pada Oktober dan November angkanya anjlok menjadi hanya 81.109 orang dan 74.164 orang. “VCD yang sudah banyak beredar di televisi, sangat memojokkan, terutama untuk citra pariwisata Bali,”tegas Wiranatha sembari mengatakan banyak travel agen dan calon penumpang di negeri Kanguru itu merasa khawatir.

Keputusan penghentian operasional Air Paradise, tentu saja mengagetkan karyawannya. Panca, 27 tahun, salah satunya. Sopir yang sudah bekerja setahun di Air Paradise itu, kaget ketika membaca pengumuman penghentian operasional perusahaan tempatnya bekerja di sejumlah surat kabar lokal.“Waktu jemput kru pesawat tanggal 22 November, udah dengar dari kru. Isunya sih, jalur Melbourne aja yang tutup. Eh, nggak tahunya tutup semua semua“ceritanya. Pria yang baru menikah empat bulan lalu itu, mengaku belum tahu apa yang akan dilakukan setelah ini. Setidaknya, ia merasa cukup beruntung karena masih bekerja. Paska penutupan, nasib 350 karyawan belum jelas. Sebagian diantaranya sudah dirumahkan, tanpa status pasti.“Mereka sementara ini tetap digaji,“jelas Simon. Panca mengaku belum berani mencari pekerjaan lain.“Saya masih nunggu aja, sambil jaga-jaga warung sama istri,“jelas pria yang biasanya bisa membawa uang Rp 800 ribu per bulan itu. Lain lagi yang dilakukan Ida Heriyanti, 36 tahun. Lajang yang telah menjadi pramugari Air Paradise sejak awal pembentukannya itu, kini memutuskan kembali ke rumah asalnya di Jakarta. Perempuan yang sudah belasan tahun menggeluti profesi pramugari itu, belum berencana mencari pekerjaan lain, sampai ada kejelasan dari pihak manajemen. Ia dan 135 pramugari dan pramugara lainnya sangat berharap Air Paradise bisa beroperasi lagi. Apalagi kondisi perusahaan sebelum bom menurutnya sedang bagus-bagusnya. Itu bisa dilihat dari gaji Ida yang mencapai Rp 8 juta per bulan. Kalau terbang, ia bisa dapat Rp 10-12 juta per bulan. “Standar kita memang sedang paling tinggi. Bahkan pilot aja sudah ada 30 orang, karena perusahaan sedang ekspansi,“jelasnya. Beruntung, Ida mengaku belum punya banyak tanggungan hidup.“Saya cuma nanggung ibu,“jelas perempuan yang sempat bekerja di Sempati Air, Jatayu, dan Air Mark itu.

Hingga kini, langkah pihak direksi Air Paradise tak juga jelas. Terhadap aset-aset yang dimilikinya, belakangan Wiranatha tak mau menjelaskan. “Nanti dulu ya mbak. Saya masih pusing, belum bisa bicara,”jelas Wiranatha bernada berat di telepon. Sebelumnya, ia hanya mengatakan bahwa urusan karyawan akan diupayakan penyelesaian secara kekeluargaan. ''Kami mungkin akan bangkit kembali sambil menunggu investor yang bisadiajak kerjasama'', janjinya. [Komang Erviani /pernah dimuat di Majalah GATRA Edisi 04 Tahun XII, 10 Desember 2005 ]

Minggu, 04 Desember 2005

Tiket Bali Cuma Lima Ribu

Mengantisipasi terorisme, pintu masuk Bali diperketat dengan sistem pemeriksaan KTP. Biayanya Rp 640 juta. Jadi “lahan bisnis” petugas. Tetap jalan meski bom Bali II sudah meledak. Sudah mendarah daging, empat PNS diturunkan pangkat.

Dengan menggandeng kakak perempuannya, Sulamto (29 tahun), berjalan pelan menjauhi pos pemeriksaan KTP, kembali ke pintu masuk penumpang di Pelabuhan Gilimanuk. Di sana, dua orang petugas Pol PP terlihat sibuk memulangkah sejumlah orang tanpa KTP yang hendak masuk Bali. Sulamto tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk lolos. Setengah berlari, langkah kakinya berbelok menjauhi pintu masuk pelabuhan menuju Terminal Gilimanuk. Pedagang es di depan terminal kemudian menghentikan langkah mereka.Dua gelas es dipesan, sebungkus nasi pecel di dalam tas langsung jadi sasaran. “Makan dulu lah, capek,”ungkap sang kakak, Isnaiya.

Hari itu, Sulamto dan Isnaiya berencana mengunjungi saudara mereka yang sudah lama tinggal di Karangasem, Bali. Namun keduanya datang tanpa identitas jelas. Modalnya hanya surat keterangan bepergian, itu pun tanpa tanda tangan dan stempel aparat kelurahan.“Saya sudah lama di Bali. Ayolah pak, sebentar aja, saya mau jenguk adik,” begitu Isnaiya, saat mencoba membujuk petugas di pos pemeriksaan KTP. Debat usir tak berlangsung lama, hingga keduanya diminta kembali ke pintu masuk pelabuhan. “Tadi mau dianter sama petugas, tapi saya nggak mau,”tutur Isnaiya, membagi resep suksesnya lolos dari petugas. Perempuan yang sehari-harinya bertani itu, mengaku hanya bawa uang pas-pasan untuk sampai di Bali. “Saya naik kapal aja nggak bayar. Ada saudara kerja di Ketapang,”tandasnya.

Najian, tak seberuntung Sulamto dan Isnaiya. Gara-gara Kartu Identitas Penduduk Sementara (KIPS) yang diperolehnya dari Banjar Batur, Kelurahan Ubung, Denpasar sudah mati sejak September lalu, seorang petugas Pol PP mengawalnya kembali ke pintu masuk. “Sekarang ibu pulang dulu, urus dulu KTPnya, baru kembali ke sini,”bentak petugas tersebut. Padahal uang yang tersisa di kantong Najian hanya Rp 10.000. “Terserah ibu. Masa ibu sudah datang nggak bawa identitas, sekarang saya disuruh bayarin ongkos pulang,” Juliarto, remaja asal Jember yang datang bersama temannya No, sama sialnya. Meski Juliarto masih memiliki KIPS yang berlaku hingga Desember, namun rekannya No ternyata tidak. KIPS milik No sudah kedaluarsa September lalu. “Saya masih tunggu saudara. Mau balik, udah nggak bawa uang,”jelasnya sambil duduk di bangku kayu, persis di depan loket pembelian karcis kapal.

Petugas tak mau kecolongan. Mereka sadar tengah disorot paska terungkapnya praktik korupsi kecil-kecilan di tempat kerja mereka. Korupsi yang menyeret empat rekan mereka pada sanksi penurunan pangkat. Selama setengah hari, mereka telah memulangkan 80 orang tanpa identitas lengkap yang ingin masuk Bali. Umumnya, para penumpang itu berasal dari Jawa Timur. Sebagai gambaran, selama arus balik 7 -14 Nov lalu, sudah dipulangkan sebanyak 1.566 orang tanpa identitas.

Pos pemeriksaan KTP di Pelabuhan Gilimanuk, sebenarnya dibangun sebagai reaksi atas terjadinya peledakan bom di Legian Kuta, 12 Oktober 2002 silam. Pemeriksaan KTP yang mulai dilancarkan 12 Oktober 2002 itu, diharapkan dapat meminimalisir aksi terorisme di Bali. Setidaknya, pos tersebut bisa memastikan bahwa orang-orang yang masuk Bali adalah orang orang dengan identitas jelas. Selain pemeriksaan KTP, pemeriksaan kendaraan dan surat-suratnya juga dilakukan terhadap kendaraan yang hendak keluar atau masuk Bali. Namun pemeriksaan hanya dilakukan oleh kepolisian. Sebanyak 7 orang personil dari Polsek KP3 Pelabuhan Gilimanuk, dikerahkan di pintu keluar pelabuhan. Jumlah yang sama juga disiagakan di pintu masuk pelabuhan. Khusus untuk truk pengangkut barang, pemeriksaan dilakukan di sebuah tempat penimbangan di Desa Cekik, sekitar 3 km dari pelabuhan.

Menurut Kepala Badan Kependudukan Propinsi Bali,Tjok Gde Putra, pemeriksaan KTP itu merupakan inisiatif Bupati Jembrana, Gde Winasa. Program serupa kemudian dilakukan di Pelabuhan Padangbai, pintu masuk sebelah timur Bali. Untuk memperlancar program, pemerintah provinsi memberikan dana yang tidak sedikit. Rp 440 juta untuk Gilimanuk dan Rp 200 juta untuk Padangbai. Sayang, maksud itu tak ditangkap oleh para petugas di pos itu. Pos tersebut belakangan justru dijadikan “lahan bisnis” untuk meraup untung lebih. Bahkan hingga Bali dibobol lagi oleh bom di Kuta dan Jimbaran,1 Oktober 2005, para petugas tetap tak mau kehilangan “lahannya” itu.

Banyaknya indikasi petugasnya menerima suap dari penumpang kapal tanpa identitas, memaksa Bupati Jembrana, Gde Winasa mlakukan penyelidikan kecil-kecilan. 1 November 2005, dua orang kepercayaannya dikirim dari Banyuwangi, sengaja tanpa KTP. Benar saja, keduanya bisa lolos dengan modal Rp 10.000. “Begitu keluar pos pemeriksaan, mereka nelpon saya. Langsung saya gerebek di situ,”jelasnya. Sembilan orang yang bertugas pada shift tersebut, langsung ditarik. Terdiri dari 3 petugas Pol PP, 2 staf sekretariat, 1 pecalang, 1 anggota TNI, 1 anggota Polri, dan 1 anggota anggota lembaga swadaya msyarakat.

Empat orang diantaranya yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) bahkan dikenakan sanksi penurunan pangkat, yakni 2 petugas Pol PP berinisial MSS (pangkat III B) dan SGT (pangkat IIIA), serta staf sekretariat berinisial KW (pangkat II D) dan KS. Seorang petugal Pol PP lainnya, berinisial KP, tak dapat sanksi serupa karena hanya berstatus pegawai harian. Sehari-hari, semuanya bertugas di Kantor Camat Melaya. KW bertugas sebagai petugas pungut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sementara KS merupakan penyuluh lapangan keluarga berencana (PLKB) dari Pemkab Jembranas, yang diperbantukan di Kecamatan Melaya. Selain kelima orang itu, ada sedikitnya 37 orang staf lain di kantor camat yang membawahi Kelurahan Gilimanuk itu yang mendapat bagian shift jaga di Pos Pemeriksaan KTP Gilimanuk.

Toh, aksi penjebakan 1 November lalu itu tak membuat jera. Winasa yang setelah itu menyamar sebagai petugas pemeriksa KTP, masih menemukan praktik itu. Suami Bupati Banyuwangi yang ngetop karena kebijakan pendidikan bebas SPP di Jembrana itu sempat menemukan seorang ibu tua asal Jawa yang datang tanpa membawa KTP. Perempuan itu pun mengakui masa berlaku KTPnya sudah mati, tapi kemudian ia menunjukkan sepucuk surat domisili. “Saya bilang, wah, nggak bisa bu,”begitu Winasa menceritakan kembali kejadian itu kepada GATRA. Tak lama, perempuan itu lantas merogoh dompet, dan menyerahkan selembar uang uang Rp 5 ribu kepada Winasa yang saat itu berpakaian dinas PNS, lengkap dengan tanda bintang besar di dada sebagai lambang kepala daerah. “Kurang bu, saya bilang gitu,”katanya. Tanpa diduga, ibu tersebut menjawab, “Tapi, biasanya Rp 5 ribu lho pak.” Bagi Winasa, itu jelas membuktikan bahwa aksi suap itu sudah mendarah daging di Pelabuhan Gilimanuk.

Korupsi kecil-kecilan yang menurut Winasa berdampak besar pada keamanan Bali itu, diperkirakan telah memberi keuntungan besar kepada para pelakunya. Setiap hari, diperkirakan tak kurang dari 10 orang bisa didapat. “Itu kalau sepi. Kalau ramai, bisa dapat 50 orang,”tegasnya. Dengan ketetapan harga Rp 5 ribu untuk KTP mati dan Rp 10 ribu untuk orang tanpa KTP tentu bukan uang kecil bagi mereka. “Orang di bus itu kenek ngomong kok, yang nggak bawa KTP supaya siapkan uang Rp 10 ribu,”keluhnya.

Rapuhnya pengamanan di salah satu pintu masuk ke Bali itu, makin diperparah dengan rendahnya kesadaran masyarakat setempat. Bagaimana tidak, para pecalang (pengamanan swakarsa dari desa adat,red) dan Linmas yang ditugaskan menjaga pos, juga menyalahgunakannya untuk mencari untung serupa. Mereka yang diminta mengantar penumpang tanpa identitas kembali ke pintu masuk pelabuhan untuk dipulangkan, justru mengantarnya ke tukang ojek. Akibatnya, anggota pecalang dan Linmas yang ditugaskan di pos, juga ditarik. Diganti dengan petugas Pemkab Jembrana dengan sistem bergantian.

Tukang ojek memang menjadi masalah tersendiri di Pelabuhan Gilimanuk. Bagaimana tidak, tukang ojek bisa dengan sangat leluasa mencari penumpang di dalam pelabuhan. Artinya, dengan hubungan pertemanan tukang ojek dengan petugas pos pemeriksaan, penumpang ojek tak perlu lagi diperiksa indentitasnya. Tak ada yang tahu, siapa orang-orang yang menumpang ojek itu. Tentu, trik yang mudah dan murah untuk lepas dari pemeriksaan petugas. Hanya perlu Rp 5.000 per orang untuk mengantar mereka ke terminal bus di seberang pelabuhan.

Gelagat adanya suap dalam operasional pos pemeriksaan itu sebenarnya telah tercium sejak lama, sejak tahun pertama, 2002. Kecurigaan itu membuat Winasa memutuskan mengganti semua personil yang saat itu adalah staf Pemkab Jembrana. Petugas diganti dengan kombinasi Pol PP, staf sekretariat, pecalang, Linmas, dan anggota LSM. Sehari dibagi dalam 2 shift di mana satu shiftnya terdiri 9 orang. Namun aksi suap itu rupanya sudah jadi penyakit turunan sehingga 8 Juli 2005 lalu, semua aparat yang bertugas diminta menandatangani surat pernyataan. Isinya, berjanji untuk melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan, tidak menerima suap, dan tidak meloloskan penduduk pendatang yang tidak berKTP atau KTPnya mati. Bila janji diingkari, mereka menyatakan siap diberhentikan sebagai petugas pada pos penertiban KTP di Gilimanuk tanpa menuntut ganti rugi dalam bentuk apapun. Ternyata, surat itu hanya formalitas, meski ikut mengetahui Camat Melaya dan Kepala Dinas Tenaga Kerja, Kependudukan, Catatan Sipil, dan Keluarga Berencana Kabupaten Jembrana.

Langkah penindakan kepada petugas, menurut Winasa merupakan bentuk punishment yang sesuai buat mereka. Apalagi pemeriksaan itu dilakukan untuk kepentingan bersama, mengantisipasi terorisme. Pengamanan di Gilimanuk menurutnya memberi pengaruh yang sangat besar. “Kita kan tidak bisa menahan bom, tapi setidak-tidaknya kita tahu siapa yang masuk Bali. Nggak mungkin kan orang mau ngebom naik pesawat. Pasti masuk dari sini,”jelasnya. Kalaupun ada pelabuhan kecil di Jembrana, seperti Pengambengan, menurut Winasa justru akan berisiko besar buat para teroris tersebut. Artinya, Pelabuhan Gilimanuk yang berjarak sekitar 130 km dari Kota Denpasar merupakan pintu masuk utama yang paling mungkin dilewati para teroris. Kepala Dinas Tenaga Kerja, Kependudukan, Catatan Sipil, dan Keluarga Berencana Kabupaten Jembrana , Nyoman Candrama, mencatat rata-rata jumlah kendaraan yang melewati Pelabuhan Gilimanuk mencapai 2.200 kendaraan per hari. Jumlah penumpangnya sekitar 8.000 orang. Itu belum termasuk angka pada hari-hari libur panjang, seperti saat arus mudik dan balik Lebaran lalu.

Karenanya, Winasa sangat menyayangkan sikap petugas yang menurutnya telah mendapat penghasilan cukup. “Mereka mencari keuntungan sesaat. Kalau kita lihat, kan mereka sudah dapat lebih. Tunjangannya 25 ribu per hari. Ditambah gaji mereka, kan sudah cukup. Kalau segitu masih kurang, mau berapa lagi?”keluhnya. Toh, Camat Melaya, Wayan Sadnya, yang mengaku belum menerima surat resmi tentang hukuman kepada stafnya, meminta agar sanksi yang diberikan tak sampai pada penurunan pangkat. “Harapan kami tentu pengenaan sanksi daripada staf kami bisa diperingan. Dengan tugas-tugas kami yang cukup kompleks sekali. Memang langkah-langkah ini sangat baik untuk memperingatkan petugas di sana agar bisa melakukan tugas sesuai dengan aturan yang benar,”kilahnya.

Kasi Pemerintakan Kecamatan Melaya, Warga, juga mengeluhkan kebijakan Pemkab yang menurutnya tak sesuai dengan isi perjanjian yang ditandatangani Juli lalu. “Di perjanjian kan tercantum, siap diberhentikan dari tugas di Gilimanuk. Tidak menyinggung PP 30 tahun 80 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil,”keluhnya. Berdasarkan PP 30/80, sanksi penurunan pangkat diberikan kepada PNS yang melakukan pelanggaran berat. Apapun komentar orang, yang jelas Winasa berjanji akan menelusuri kembali orang-orang yang terlibat dalam penyuapan itu. “Kita akan ditelusuri lagi. Kalau kita temukan bukti lagi, kita ambil tindakan lagi. Kalau masih nggak kapok-kapok, ya susah kita,” jelas profesor yang juga dokter gigi ini.

Sistem yang dibuat untuk pemeriksaan, bagi Winasa sudah baik. Sayang, tidak ada kontrol atas sistem itu. Pihaknya juga mengakui, pengawasan oleh Dinas Kependudukan belum berjalan optimal. Petugas Pol PP misalnya, seharusnya tak boleh melakukan pemeriksaan. Tugasnya hanya mengarahkan penumpang ke pos pemeriksaan. Pemeriksa KTP, dari staf sekretariat, seharusnya juga tak boleh keluar dari loket yang tersedia. Kenyataannya, Pol PP,staf sekretariat, dan lainnya, ikut memeriksa, di luar loket yang tersedia. “Kalau sudah begitu, pasti terjadi kolusi itu sudah. Kondisi itu juga tak lepas dari situasional di gilimanuk. “Kita tertib, ojek tidak tertib, polisi tidak tertib, ASDP tidak tertib, sudahlah. Saya sudah berkali-kali minta koordinasi tentang semua pihak, demi kepentingan kita bersama. Bukan kepentingan orang per orang,”tambahnya.

Meski sulit, upaya ke arah perbaikan tetap akan dilakukan. Sebuah pintu kontrol yang lebih canggih akan dibuat. Hanya satu pintu, yang diharapkan tidak bisa meloloskan orang-orang tanpa identitas. Nantinya juga diharapkan ada sistem scan KTP, sehingga ada data jelas tentang siapa saja yang masuk Bali. “Saya sedang pikirkan gimana biar pihak ketiga bisa dilibatkan. Semacam relawan relawan,”jelasnya. Upaya perbaikan terus dilakukan, meski diakui tak semudah membalik telapak tangan. Dengan begitu, anak buah DR. Azahari yang masih tersisa tidak punya kesempatan untuk meledakkan bom ketiganya di Bali. Semoga. [Komang Erviani / pernah dimuat di Majalah Gatra Edisi 03 Tahun XII, 3 Desember 2005, dengan judul artikel “Pungutan di Filter Pertama”]

Kamis, 01 Desember 2005

Hari AIDS Sedunia, Bukan Sekadar Momentum

Buat apa sih hari AIDS diperingati? Hari AIDS Sedunia sebenarnya disusun dan disetujui dengan suara bulat oleh 140 negara yang mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dunia Menteri Kesehatan mengenai AIDS pada Januari 1988 di London, Inggris. Hari tersebut direncanakan sebagai kesempatan bagi para pemerintah, program AIDS nasional, LSM dan organisasi setempat untuk menunjukkan pentingnya mereka ikut serta dalam perang terhadap AIDS dan solidaritasnya dalam upaya ini. Kemudian pada tahun yang sama, pada pertemuan paripurna Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-38 pada 27 Oktober 1988, resolusi nomor A/RES/43/15 tentang pencegahan dan penanggulangan AIDS mencatat bahwa World Health Organization (WHO) menyatakan 1 Desember 1988 sebagai Hari AIDS Sedunia. Di sana juga ditekankan pentingnya menghormati peristiwa tersebut.
Momentum ini berangkat dari kesadaran bahwa HIV/AIDS sudah menjadi ancaman biologis terbesar di dunia. Setiap harinya diperkirakan muncul 14.000 infeksi baru HIV. Sebanyak 95 persen lebih berasal dari negara dengan pendapatan menengah ke bawah. Di Indonesia, saat ini diperkirakan ada 90.000- 130.000 orang dengan HIV/AIDS. Hingga 2010 diperkirakan jumlahnya meningkat jadi 1 – 5 juta orang. Bali termasuk salah satu dari 6 propinsi yang berstatus epidemi HIV/AIDS terkonsentrasi, selain Papua, Riau, Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Di Bali sendiri, diperkirakan ada 4.000 orang telah terinfeksi HIV/AIDS. Tentu bukan angka yang sedikit.
Peringatan Hari AIDS Sedunia, hanya merupakan satu langkah kecil untuk mengingatkan masyarakat atas besarnya ancaman AIDS bagi dunia. Karena HIV/AIDS selalu mengintai di sekitar kita. [Komang Erviani]