Google
 

Rabu, 20 Desember 2006

Mati Muda Bunuh Asa

Dalam lima bulan, empat siswa di Bali mengakhiri hidupnya dengan gantung. Ada yang depresi ditinggal pacar, ada juga yang bosan disuruh belajar. Pola pengasuhan anak kini lebih mementingkan faktor materi.

Tak ada hujan, tak ada angin, Wayan Yasmini, 40 tahun, tiba-tiba merasa seperti disambar petir Selasa sore, 6 Desember 2006 lalu. Niatnya bertemu dengan sang putra, Made Sukadana, setelah hampir seharian membantu tetangga yang sedang menggelar upacara adat, tak terkabul. Berharap melihat keceriaan Sukadana, Yasmini justru menemukan bocah 13 tahun itu tergantung dengan sebuah dasi pramuka berwarna merah putih di plafon kamarnya. Berteriak, hanya itu yang bisa dilakukannya.

Ayah Sukadana, Wayan Wirka, 43 tahun, tak kalah kaget. Mendengar teriakan istrinya, Wirka yang sedang menunggui warung sayuran di depan rumah bergegas menuju kamar.. “Saya langsung angkat tubuhnya, tapi sudah tidak bernyawa lagi,”tuturnya. Terpukul, tentu saja. Apalagi selama iniYasmini dan Wirka merasa tak ada masalah dengan anaknya yang duduk di bangku kelas 2 SMP 1 Kerambitan, Tabanan itu. Hari itu, Sukadana tak menunjukkan perangai berbeda dari biasa. Sepulang sekolah, penari cilik yang pernah tampil di ajang Pesta Kesenian Bali 2003 itu beraktivitas seperti biasa. Makan siang, kemudian berangkat ke sawah mencari kangkung untuk pakan dua kelinci kesayangannya.Terakhir, Wirka melihat Sukadana menonton serial kungfu di televisi. Karena sudah makan, Wirka tak lagi memperhatikan gerak-gerik Sukadana. Ia tak mengira itu jadi saat terakhir bertemu dengan sang anak.

Aksi bunuh diri tersebut, tak hanya menggemparkan warga Dusun Penarukan Kaja, Penarukan, Kerambitan, Tabanan, tempat tinggalnya. Kenekatan Sukadana yang tidak diketahui penyebabnya itu, juga mengemparkan masyarakat Bali. Bagaimana tidak, ulah Sukadana telah menambah daftar panjang aksi bunuh diri di Bali, khususnya yang dilakukan oleh siswa. Sebelumnya, pada 11 September 2005, seorang siswa SMAN 1 Denpasar, AA Trisna Putra, juga telah ditemukan tewas gantung di kamar mandi rumahnya. Diduga, Tisna merasa frustasi setelah ditinggal pacarnya yang bersekolah di SMAN 4 Denpasar. Tidak itu saja. Seorang siswa kelas 5 SD di Dusun Siyakin, Kintamani, Bangli, juga mengalami nasib tragis 25 Agustus lalu. Wayan Tara, 12 tahun ditemukan tewas tergantung di pohon di sebuah tegalan. Penyebabnya sepele. Tara kelihatannya kesal karena sering disuruh rajin belajar oleh orang tuanya. Peristiwa bunuh diri oleh Sukadana, tampaknya tak akan jadi yang terakhir. Terbukti, hanya berselang sehari, pada Rabu 7 Desember, duka kembali berselimut gara-gara aksi bunuh diri. Kali ini menimpa keluarga

Made Paing, warga Banjar Nyaweh, Selulung, Kintamani, Bangli. Putranya, Ketut Ratmadi, 14 tahun, yang bersekolah di SMP Negeri 2 Kintamani, ditemukan tewas di pohon jeruk miliknya. Lagi-lagi, tak jelas apa penyebabnya. Sebelum ditemukan, Ratmadi terlihat baik-baik saja, malah tengah asyik menonton TV. Aksi bunuh diri, menurut psikiater dari Poliklinik Jiwa Rumah Sakit Sanglah, dr. Lely Setyawati, Sp.KJ., tak lepas dari kepribadian anak bersangkutan. Anak yang mudah emosional, cenderung sangat mungkin melakukan aksi-aksi nekat seperti bunuh diri. Meski demikian, faktor lingkungan justru dapat memegang peranan penting. Terutama terkait dengan pola pengasuhan oleh orang tua. Dikatakan Lely, banyak sekali anak-anak sekarang ini yang harus hidup di tengah kesibukan kerja orang tuanya. Akibatnya,. Pola pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua juga cenderung berubah.

Selain kuantitas pertemuan dengan orang tua yang menjadi barang langka, orang tua sekarang juga cenderung mengukur kemampuannya mengasuh anak dari sisi materi. Akibatnya, anak-anak tumbuh dengan lingkungannya masing masing. Lely menyebut anak-anak sekarang cenderung belajar dari dirinya sendiri, atau teman teman seumurannya yang notabene masih memiliki tingkat emosional kurang lebih sama. “Orang tua jarang di rumah, anak diberi materi untuk memenuhi semua kebutuhannya. Orang tua biasanya melupakan faktor emosional. Minta apa-apa selalu dikasi. Sekalinya nggak dikasi, anak jadi emosi,”jelas ibu satu putri itu. Untuk tipe anak dengan emosional yang tidak stabil, menurut Lely, sangat mungkin mengambil jalan pintas (bunuh diri). “Tayangan-tayangan TV mungkin juga bisa mempengaruhi, tapi peranannya kecil sekali,”tambah Lely yang sudah 3 tahun menggeluti profesinya.

Secara medis, penyebab seseorang membunuh dirinya sendiri dapat dikelompokkan menjadi 3, yakni karena depresi, gangguan jiwa berat yang disertai halusinasi (sisofremia), serta impulsif (kecenderungan untuk bereaksi dengan cepat tanpa memikirkan akibatnya). Sekitar 80 persen kasus bunuh diri yang “sukses”, biasanya terjadi karena depresi. Namun sebagian besar kasus bunuh diri di kalangan siswa, disebabkan sifat impulsif yang memang umum dialami anak-anak dan remaja. Menariknya, sebagian besar pasien percobaan (gagal) bunuh diri yang kini tengah dikonseling Poliklinik Jiwa RS Sanglah, dipicu oleh sifat impulsif. “Yang masuk kelompok Impulsif biasanya anak-anak muda,”jelasnya. Dikatakan Lely, jumlah kasus bunuh diri yang “sukses” dan terungkap media, sebenarnya tergolong kecil dibandingkan total kasus percobaan bunuh diri. Setiap harinya, Poliklinik Jiwa RS Sanglah menerima sedikitnya 1 orang pasien baru. Modus yang diusahakan juga beragam. Mulai dari minum racun serangga, menyilet nadi, hingga gantung diri. “Jadi, sebulan kita rata-rata dapat 25 orang pasien yang gagal bunuh diri,”tutur Lely. Kisaran umurnya antara 10 tahun-75 tahun. Sebagian besar diantaranya berumur antara 20-23 tahun.

Lely mengaku, tak mudah melakukan pencegahan terhadap aksi-aksi bunuh diri. Apalagi untuk mereka yang cenderung impulsif. Ironisnya, ia melihat ada kecenderungan di masyarakat yang tidak peduli dengan sinyal-sinyal dari mereka yang hendak melakukan bunuh diri. Bagi mereka yang depresi misalnya, umumnya memperlihatkan kesedihan luar biasa, perasaan cemas, keluhan sakit, hilangnya nafsu makan, dan lainnya. Sementara di kalangan mereka yang mengalami sisofremia umumnya memperlihatkan perilaku sehari-hari yang nyeleneh. Berpenampilan aneh dan cenderung ngomong sendiri untuk merespon halusinasinya. Meski kecenderungan bunuh diri karena impulsif tidak dapat dideteksi semudah depresi dan sisofremia, namun secara umum anak-anak yang cenderung sering emosional perlu dapat perhatian lebih. Orang tua harus mampu memanajemen emosi anak, sehingga sewaktu-waktu tak mengarah pada tindakan nekat. Bagaimanapun, orang tua akan selalu menjadi faktor penentu masa depan anak-anaknya.[Komang Erviani]

Selasa, 12 Desember 2006

Pengobatan Tersandung Masalah

Kompleksitas masalah yang dihadapi perempuan HIV positif, membuatnya makin terpuruk. Banyak kendala kesehatan yang jadi batu sandungan pada pengobatannya.


Hasrat Tini ( 28 tahun) untuk untuk memiliki anak dengan pasangannya, ternyata tak mudah diwujudkan. Ternyata, obat antiretroviral (ARV) jenis Evafirenz yang dikonsumsi sejak mengetahui dirinya terinfeksi HIV, membuyarkan keinginannya memberi adik laki-laki bagi dua anak perempuannya. Perempuan yang diduga terinfeksi HIV dari penggunaan narkoba suntik itu, mengaku tak tahu kalau obat yang sebenarnya dikonsumsi untuk menekan perkembangan virus dalam tubuhnya akan membuat kandungannya kering.

Meski demikian, Tini tak putus asa. Atas pertimbangan dokter dan konselornya, Tini memutuskan untuk mengganti obat ARV-nya dengan kombinasi jenis lain. “Walaupun kita statusnya Odha (orang dengan HIV & AIDS), harapan untuk punya anak kan ada,” pikirnya saat itu. Tak lama setelah mengganti obatnya, Tini malah mengalami efek samping yang lumayan berat. Tumbuh bercak kehitaman di sekujur tubuhnya, kandidiasis (sejenis jamur) pada lidahnya dan permukaan bibirnya pecah-pecah. Tini bahkan tak bisa menyantap makan. Tini berpikir ulang. Ia akhirnya memutuskan kembali pada jenis obat lamanya, Evafirenz.

Tak cuma Tini yang mengalami masalah itu. Pokja Care Support and Treatment Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Tuti Parwati Merati, mengaku sering menemukan kasus serupa. Dokter penemu kasus HIV pertama di Indonesia pada 1987 itu mengakui, ada beberapa jenis obat ARV yang berefek pada keringnya kandungan. Hal itu disebabkan karena ada reaksi yang menyebabkan respon hormon menjadi lambat. Jenis Evafirenz misalnya, tidak boleh dikonsumsi oleh Odha perempuan yang ingin memiliki anak. Pada perempuan, obat jenis ini membuat hormon tidak normal sehingga pematangan sel telur tidak terjadi. Ini membuat pengkonsumsinya sulit hamil.

Permasalahan Odha perempuan, menurut Tuti, sangat kompleks. Tak cuma menyangkut masalah medis, tetapi juga sosial dan psikologis. Sebuah kasus sempat membuat Tuti miris. Seorang Odha perempuan, sebut saja Wayan Parni, awalnya sudah dengan tegas menyatakan bahwa ia tak ingin lagi memiliki anak. Ketegasan itu membuat Tuti yakin untuk memberikan obat jenis evafirenz kepada pasiennya yang sudah cukup berumur itu. Namun setelah lama berselang, Parni tiba-tiba datang meminta obatnya diganti dengan jenis lain. Alasannya, suaminya ingin punya anak lagi. Pertimbangan efek samping yang terlalu keras, membuat Tuti enggan memenuhi keinginan pasiennya itu. “Saya bilang, pikir dulu. Efek sampingnya nggak ringan,” kenang Tuti. Karena terus mendesak, Parni akhirnya diperbolehkan mengganti obatnya. Benar saja, tak lama setelah menggenti obatnya, Parni lantas mengalami efek samping luar biasa yang membuatnya tergolek berhari-hari di rumah sakit. “Dia cuma bilang, saya harus bagaimana lagi. Suami saya ingin punya anak lagi,” jelas Tuti.

Direktur Klinik Kesehatan Reproduksi Yayasan Rama Sesana, Luh Putu Upadisari, juga menegaskan besarnya dampak sosial dan psikologis yang membuat Odha perempuan terpuruk dalam proses pengobatannya. Tekanan sosial dan psikologis yang kuat, cenderung menghambat pengobatan dan perawatan Odha perempuan.
Sejumlah perempuan HIV positif juga kerap mengalami berbagai macam masalah saat haid. Mulai dari pendarahan yang berlangsung lebih lama daripada biasa, pendarahan waktu tidak haid, masa haid yang lebih cepat, haid yang lebih ringan dengan lebih lama antara masa haid, haid yang kadang kala tidak terjadi, bahkan haid yang tidak terjadi sama sekali. Ayu misalnya. Perempuan HIV positif yang juga mantan pengguna narkoba suntik itu, mengaku haidnya tidak teratur. Ia juga mengalami sakit perut luar biasa saat haid. Menurutnya, itu terjadi sejak ia tahu dirinya terinfeksi HIV. Marni, sebut saja begitu, juga pernah bermasalah dengan haidnya. Akibat terinfeksi HIV, perempuan asal Buleleng yang terinfeksi HIV dari suaminya, sempat tidak haid berbulan-bulan. Namun sejak mengikuti terapi ARV, Marni tak lagi mengalami masalah haid. “Sekarang lancar-lancar aja. Rutin tiap bulan,” ujar ibu satu anak itu.

Dokter Sari, sapaan akrab Upadisari, menjelaskan permasalahan haid pada Odha pada dasarnya disebabkan oleh sistem hormon yang tidak normal. Bisa karena efek obat ARV, gangguan trombosit, ditambah lagi dengan sistem kekebalan tubuh yang menurun. Pada perempuan HIV positif yang mengalami gangguan trombosit (pembekuan darah), perdarahan saat haid dapat menjadi jauh lebih banyak. Gangguan trombosit juga bisa terjadi karena efek samping terapi ARV. Kalau sudah begini, anemia atau kekurangan hemoglobin (Hb) bisa terjadi. Anemia menyebabkan kelelahan, sesak napas dan pusing. “Secara alami, Odha sudah mengalami penurunan kekebalan tubuh. Jadi jumlah leukosit di dalam tubuhnya sudah rendah. Itu akan menambah keterpurukan daya tahan tubuhnya. Dia akan menjadi lemah, menjadi gampang terinfeksi, gampang kena penyakit lain,” terang sari.

Beberapa perempuan HIV positif juga tidak menstruasi dalam jangka waktu lama. Ini terjadi karena secara umum pada perempuan HIV positif, respon hormonnya cenderungb lambat. Bisa karena efek ARV, bisa juga karena daya tahan tubuh yang berkurang. Pasalnya, menstruasi sangat berhubungan dengan pembentukan hormon estrogen dan progesteron. Perempuan pada tahap AIDS, lebih mungkin mengalami perdarahan yang tidak teratur. Kehilangan berat badan, terutama kehilangan lemak, juga dapat mempengaruhi haid. Penggunaan narkoba dan stress terus menerus, juga dapat menyebabkan haid yang tidak teratur.

Jenis infeksi oportunistik lain, jelas Sari, menghantui kesehatan Odha perempuan. Kanker leher rahim misalnya. HIV memudahkan seorang perempuan HIV positif menderita kanker leher rahim. Ini karena sistem kekebalan tubuhnya yang terganggu. Dijelaskan Sari, dengan infeksi virus HIV, sifat leher rahim menjadi lebih rentan terhadap infeksi menular seksual. Salah satu infeksi yang disinyalir menyebabkan kanker leher rahim adalah ppapiloma virus, atau katrib disebut jengger ayam. Perempuan yang pernah terkena IMS, cenderung lebih mudah terkena kanker leher rahim. Karenanya, penting bagi setiap perempuan, terutama perempuan HIV positif, untuk rutin melakukan papsmear. “Karena perubahan sel yang terjadi di leher rahim bersifat periodik. Jadi kalau kita lengah di saat tertentu, siapa tahu saat itu justru terjadi perubahan sel, infeksi atau yang lain, tegas Sari mengingatkan.

Odha perempuan perokok, memiliki kecenderungan yang sangat tinggi untuk terkena kanker leher rahim. Kandungan nikotin dalam rokok, memudahkan terjadinya perubahan sel secara umum. Rokok juga berhubungan dengan radikal bebas yang beredar di tubuh, yang juga menyebabkan perubahan sel berlebihan.
Akses informasi yang sangat minim, menjadi kendala serius dalam pengobatan dan perawatan perempuan HIV positif. Bahkan, cenderung terjadi persaingan pengobatan yang menghambat pengobatan oleh dokter. Contoh sederhana, pengobatan keputihan yang dianggap cukup dengan daun sirih. Beban sosial yang lebih berat di puindah perempuan Odha, menambah kendala. Di komunitas masyarakat Bali misalnya, masih ada kecenderungan mengutamakan pendidikan laki-laki. Meski kecenderungan itu sudah berkurang, namun menurut Sari, masih ada sebagian masyarakat yang cenderung mengutamakan pendidikan anak laki-lakinya. “Itu yang membuat, secara tidak langsung, perempuan menjadi semakin terpuruk dengan informasinya,” tandasnya.

Permasalahan yang dihadapi perempuan HIV positif, tidak sesimpel kelihatannya. Meski demikian, dukungan orang sekitar akan sangat penting untuk mewujudkan harapan mereka. Seperti Tini, yang masih berharap mendapat anak ketiga dari rahimnya. “Siapa tahu nanti, kalau kita punya rejeki, Tuhan menghendaki, umur kita masih panjang, Aku masih ingin punya anak laki-laki,” begitu Tini. [Komang Erviani, Ikha Widari / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 23,Desember 2006]

Pengobatan Tersandung Masalah

Kompleksitas masalah yang dihadapi perempuan HIV positif, membuatnya makin terpuruk. Banyak kendala kesehatan yang jadi batu sandungan pada pengobatannya.


Hasrat Tini ( 28 tahun) untuk untuk memiliki anak dengan pasangannya, ternyata tak mudah diwujudkan. Ternyata, obat antiretroviral (ARV) jenis Evafirenz yang dikonsumsi sejak mengetahui dirinya terinfeksi HIV, membuyarkan keinginannya memberi adik laki-laki bagi dua anak perempuannya. Perempuan yang diduga terinfeksi HIV dari penggunaan narkoba suntik itu, mengaku tak tahu kalau obat yang sebenarnya dikonsumsi untuk menekan perkembangan virus dalam tubuhnya akan membuat kandungannya kering.

Meski demikian, Tini tak putus asa. Atas pertimbangan dokter dan konselornya, Tini memutuskan untuk mengganti obat ARV-nya dengan kombinasi jenis lain. “Walaupun kita statusnya Odha (orang dengan HIV & AIDS), harapan untuk punya anak kan ada,” pikirnya saat itu. Tak lama setelah mengganti obatnya, Tini malah mengalami efek samping yang lumayan berat. Tumbuh bercak kehitaman di sekujur tubuhnya, kandidiasis (sejenis jamur) pada lidahnya dan permukaan bibirnya pecah-pecah. Tini bahkan tak bisa menyantap makan. Tini berpikir ulang. Ia akhirnya memutuskan kembali pada jenis obat lamanya, Evafirenz.

Tak cuma Tini yang mengalami masalah itu. Pokja Care Support and Treatment Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Tuti Parwati Merati, mengaku sering menemukan kasus serupa. Dokter penemu kasus HIV pertama di Indonesia pada 1987 itu mengakui, ada beberapa jenis obat ARV yang berefek pada keringnya kandungan. Hal itu disebabkan karena ada reaksi yang menyebabkan respon hormon menjadi lambat. Jenis Evafirenz misalnya, tidak boleh dikonsumsi oleh Odha perempuan yang ingin memiliki anak. Pada perempuan, obat jenis ini membuat hormon tidak normal sehingga pematangan sel telur tidak terjadi. Ini membuat pengkonsumsinya sulit hamil.

Permasalahan Odha perempuan, menurut Tuti, sangat kompleks. Tak cuma menyangkut masalah medis, tetapi juga sosial dan psikologis. Sebuah kasus sempat membuat Tuti miris. Seorang Odha perempuan, sebut saja Wayan Parni, awalnya sudah dengan tegas menyatakan bahwa ia tak ingin lagi memiliki anak. Ketegasan itu membuat Tuti yakin untuk memberikan obat jenis evafirenz kepada pasiennya yang sudah cukup berumur itu. Namun setelah lama berselang, Parni tiba-tiba datang meminta obatnya diganti dengan jenis lain. Alasannya, suaminya ingin punya anak lagi. Pertimbangan efek samping yang terlalu keras, membuat Tuti enggan memenuhi keinginan pasiennya itu. “Saya bilang, pikir dulu. Efek sampingnya nggak ringan,” kenang Tuti. Karena terus mendesak, Parni akhirnya diperbolehkan mengganti obatnya. Benar saja, tak lama setelah menggenti obatnya, Parni lantas mengalami efek samping luar biasa yang membuatnya tergolek berhari-hari di rumah sakit. “Dia cuma bilang, saya harus bagaimana lagi. Suami saya ingin punya anak lagi,” jelas Tuti.

Direktur Klinik Kesehatan Reproduksi Yayasan Rama Sesana, Luh Putu Upadisari, juga menegaskan besarnya dampak sosial dan psikologis yang membuat Odha perempuan terpuruk dalam proses pengobatannya. Tekanan sosial dan psikologis yang kuat, cenderung menghambat pengobatan dan perawatan Odha perempuan.
Sejumlah perempuan HIV positif juga kerap mengalami berbagai macam masalah saat haid. Mulai dari pendarahan yang berlangsung lebih lama daripada biasa, pendarahan waktu tidak haid, masa haid yang lebih cepat, haid yang lebih ringan dengan lebih lama antara masa haid, haid yang kadang kala tidak terjadi, bahkan haid yang tidak terjadi sama sekali. Ayu misalnya. Perempuan HIV positif yang juga mantan pengguna narkoba suntik itu, mengaku haidnya tidak teratur. Ia juga mengalami sakit perut luar biasa saat haid. Menurutnya, itu terjadi sejak ia tahu dirinya terinfeksi HIV. Marni, sebut saja begitu, juga pernah bermasalah dengan haidnya. Akibat terinfeksi HIV, perempuan asal Buleleng yang terinfeksi HIV dari suaminya, sempat tidak haid berbulan-bulan. Namun sejak mengikuti terapi ARV, Marni tak lagi mengalami masalah haid. “Sekarang lancar-lancar aja. Rutin tiap bulan,” ujar ibu satu anak itu.

Dokter Sari, sapaan akrab Upadisari, menjelaskan permasalahan haid pada Odha pada dasarnya disebabkan oleh sistem hormon yang tidak normal. Bisa karena efek obat ARV, gangguan trombosit, ditambah lagi dengan sistem kekebalan tubuh yang menurun. Pada perempuan HIV positif yang mengalami gangguan trombosit (pembekuan darah), perdarahan saat haid dapat menjadi jauh lebih banyak. Gangguan trombosit juga bisa terjadi karena efek samping terapi ARV. Kalau sudah begini, anemia atau kekurangan hemoglobin (Hb) bisa terjadi. Anemia menyebabkan kelelahan, sesak napas dan pusing. “Secara alami, Odha sudah mengalami penurunan kekebalan tubuh. Jadi jumlah leukosit di dalam tubuhnya sudah rendah. Itu akan menambah keterpurukan daya tahan tubuhnya. Dia akan menjadi lemah, menjadi gampang terinfeksi, gampang kena penyakit lain,” terang sari.

Beberapa perempuan HIV positif juga tidak menstruasi dalam jangka waktu lama. Ini terjadi karena secara umum pada perempuan HIV positif, respon hormonnya cenderungb lambat. Bisa karena efek ARV, bisa juga karena daya tahan tubuh yang berkurang. Pasalnya, menstruasi sangat berhubungan dengan pembentukan hormon estrogen dan progesteron. Perempuan pada tahap AIDS, lebih mungkin mengalami perdarahan yang tidak teratur. Kehilangan berat badan, terutama kehilangan lemak, juga dapat mempengaruhi haid. Penggunaan narkoba dan stress terus menerus, juga dapat menyebabkan haid yang tidak teratur.

Jenis infeksi oportunistik lain, jelas Sari, menghantui kesehatan Odha perempuan. Kanker leher rahim misalnya. HIV memudahkan seorang perempuan HIV positif menderita kanker leher rahim. Ini karena sistem kekebalan tubuhnya yang terganggu. Dijelaskan Sari, dengan infeksi virus HIV, sifat leher rahim menjadi lebih rentan terhadap infeksi menular seksual. Salah satu infeksi yang disinyalir menyebabkan kanker leher rahim adalah ppapiloma virus, atau katrib disebut jengger ayam. Perempuan yang pernah terkena IMS, cenderung lebih mudah terkena kanker leher rahim. Karenanya, penting bagi setiap perempuan, terutama perempuan HIV positif, untuk rutin melakukan papsmear. “Karena perubahan sel yang terjadi di leher rahim bersifat periodik. Jadi kalau kita lengah di saat tertentu, siapa tahu saat itu justru terjadi perubahan sel, infeksi atau yang lain, tegas Sari mengingatkan.

Odha perempuan perokok, memiliki kecenderungan yang sangat tinggi untuk terkena kanker leher rahim. Kandungan nikotin dalam rokok, memudahkan terjadinya perubahan sel secara umum. Rokok juga berhubungan dengan radikal bebas yang beredar di tubuh, yang juga menyebabkan perubahan sel berlebihan.
Akses informasi yang sangat minim, menjadi kendala serius dalam pengobatan dan perawatan perempuan HIV positif. Bahkan, cenderung terjadi persaingan pengobatan yang menghambat pengobatan oleh dokter. Contoh sederhana, pengobatan keputihan yang dianggap cukup dengan daun sirih. Beban sosial yang lebih berat di puindah perempuan Odha, menambah kendala. Di komunitas masyarakat Bali misalnya, masih ada kecenderungan mengutamakan pendidikan laki-laki. Meski kecenderungan itu sudah berkurang, namun menurut Sari, masih ada sebagian masyarakat yang cenderung mengutamakan pendidikan anak laki-lakinya. “Itu yang membuat, secara tidak langsung, perempuan menjadi semakin terpuruk dengan informasinya,” tandasnya.

Permasalahan yang dihadapi perempuan HIV positif, tidak sesimpel kelihatannya. Meski demikian, dukungan orang sekitar akan sangat penting untuk mewujudkan harapan mereka. Seperti Tini, yang masih berharap mendapat anak ketiga dari rahimnya. “Siapa tahu nanti, kalau kita punya rejeki, Tuhan menghendaki, umur kita masih panjang, Aku masih ingin punya anak laki-laki,” begitu Tini. [Komang Erviani, Ikha Widari / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 23,Desember 2006]

Senin, 11 Desember 2006

Menebar Sejuta Informasi

Sejuta Flyer disebar. Sejuta informasi HIV & AIDS ditebar. Sebanyak 25 juta orang diharapkan terpapar informasi.

Perempatan Patung Catur Muka Denpasar, terlihat ramai 5 Desember 2006 lalu. Puluhan anak muda berkaos putih mengacungkan tangan kanan mereka, memberikan sebuah flyer mini dan setangkai mawar merah ke sejumlah pengendara yang lewat. Tangan satunya memegang ratusan flyer dan puluhan tangkai mawar merah lainnya.

Nola, salah satu diantaranya, seperti tak ingin melewatkan satu pengendara pun. Walau beberapa pengendara melaju kendaraannya dengan sangat cepat. “Yah.... nggak nyampe,” keluh waria tersebut setelah sebuah mobil luput mendapatkan flyer karena lajunya yang terlalu cepat. Senyum renyah lantas keluar dari bibir Nola, ketika seorang pengendara sepeda motor sengaja berhenti hanya untuk meminta flyer yang dibawanya. “Silahkan dibaca pak,” begitu Nola mencoba ramah.

“Stop AIDS,” begitu tertulis dalam flyer tersebut. Tak cuma itu, sejumlah informasi soal epidemi HIV & AIDS juga dipaparkan. Disampaikan pula cara-cara sederhana yang bisa dilakukan masyarakat untuk melindungi diri dari penularan HIV. Mulai dari anjuran seks aman, menghindari penggunaan narkoba, hingga memberi perlakukan yang wajar kepaa orang dengan HIV & AIDS.

Tak cuma di perempatan Patung Catur Muka Denpasar, penyebaran flyer juga dilakukan di sejumlah titik keramaian lain, seperti di perempatan Jalan Gajah Mada-Arjuna, serta di Mall Robinson Denpasar. “Hari ini kita sebar 36 ribu buah flyer,” jelas ketua panitia kegiatan, Yusuf Rey Noldy.

Sebar flyer yang dilakukan sejumlah pegiat HIV & AIDS dengan fasilitasi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Denpasar itu, merupakan bagian dari acara Sebar Sejuta Flyer. Kegiatan kampanye sebar satu juta flyer merupakan bagian dari kampanye komunikasi Hari AIDS Sedunia yang di koordinir oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional.”Kegiatan serupa juga dilaksanakan serentak di 22 provinsi di Indonesia, dipimpin Menteri Kesehatan dan dipusatkan di Bundaran Hotel Indonesia,” tegas Noldy.

Dalam menyukseskan kampanye sejuta flyer, Bali melalui Kota Denpasar mendapat jatah 36.000 flyer. Pelaksanaannya sendiri, diserahkan kepada kelompok dukungan sebaya (KDS) bagi orang dengan HIV & AIDS (Odha) dan orang yang hidup dengan Odha (Ohidha), Addict Plus. Sebanyak 5 KDS lainnya juga ikut bergabung, yakni Methadone Plus (dukungan bagi klien methadone), Warcan Plus (dukungan bagi waria), Home Boys (dukungan bagi gay), Hidup (dukungan bagi Odha), dan Tunjung Putih (dukungan bagi Odha perempuan.

Tak cuma menyebar satu juta flyer. Secara nasional, kegiatan juga disemarakkan dengan seri TV dan Radio talk show, roadshow dan movie preview di kampus-kampus, penempatan iklan layanan masyarakat, serta aktivitas media relation.
Ruddy Gobel, Staf Bidang Advokasi dan Komunikasi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional, menjelaskan kampanye sebar satu juta flyer bertujuan untuk penyebaran informasi kepada masyarakat umum dan mengingatkan kembali tentang HIV/AIDS.

Ruddy menyebut, tidak ada arti khusus dari angka satu juta. “Kita sebetulnya berharap lebih banyak dari itu,” jelasnya. Keterbatasan dana, membuat angka satu juta dianggap sudah cukup memadai. Perhitungannya, jika satu flyer dibaca oleh lima orang, dan masing-masing 5 orang tersebut menceritakan isi informasinya kepada 5 orang lainnya, maka secara teori akan ada 25 juta orang yang terekspos pada informasi.

Flyer dipilih sebagai medua komunikasi dan informasi karena murah, kompak, mudah untuk di sebar dan bisa dibaca oleh banyak orang. Kampanye lewat flyer cenderung jauh lebih murah. Dijelaskan, biaya cetak untuk satu juta flyer itu, kurang dari Rp 50 per lembar.”Untuk satu juta flyer, hanya mengeluarkan biaya cetak kurang lebih Rp 50 juta. Tapi, kita mampu menjangkau banyak orang. Bayangkan kalau menggunakan iklan, nilai seperti itu tidak ada artinya,” tegas Ruddy.

Penyebaran flyer yang dilakukan secara serempak di seluruh Indonesia, pada saat yang bersamaan, juga akan menimbulkan awareness (kepedulian) masyarakat. Kegiatan tersebut diharapkan dapat memberikan kesan positif terhadap upaya penanggulangan, dan mendorong semangat orang-orang yang bekerja dalam bidang penanggulangan AIDS di tanah air.

Masih menurut Ruddy, kampanye komunikasi yang paling ideal adalah kampanye yang menggunakan pendekatan integrated marketing communications. Pendekatannya berupa publikasi, promosi, media relations, advertising dan sejumlah kegiatan sejenis lainnya. “Sayangnya, biaya kampanye akan menjadi sangat mahal, sedangkan upaya penanggulangan selama ini masih kekurangan dana,” tukas Ruddy.

Keterbatasan sumber daya dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV & AIDS, memaksa semua pihak untuk mencari cara yang paling optimal, dengan budget yang terbatas, tetapi diharapkan bisa memberikan dorongan untuk melibatkan sebanyak mungkin masyarakat. “Sebar satu juta flyer ini salah satunya,” tegas Ruddy.

Menurut Ruddy, ada sejumlah cara kampanye lain yang paling efektif, mengutip pengalaman di India dan Kamboja. Yakni dengan membuat program-program TV atau radio populer dengan pesan yang soft mengenai HIV/AIDS. Di India, stigma dan diskriminasi, bisa ditekan sedangkan di Kamboja epidemi bisa dikendalikan. Tetapi kendalanya adalah biayanya mahal, membutuhkan pembangunan kapasitas, serta diperlukan dukungan politik dan keterbukaan dari berbagai stakeholder kunci. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 23,Desember 2006]

Minggu, 10 Desember 2006

HIV Pada Kaum Hawa

Sejumlah perempuan “baik-baik” kini hidup dengan HIV positif. Mereka tertular dari suami mereka. HIV tak cuma urusan orang-orang dengan perilaku berisiko tinggi. Perempuan 2,5 kali lebih rentan tertular HIV dibandingkan laki-laki


Saat kehamilannya menginjak bulan ke sembilan, sepuluh tahun lalu, Ni Luh (bukan nama sebenarnya) dikejutkan oleh kabar tak mengenakkan. Perempuan kelahiran 1974 itu divonis mengidap virus HIV (Human Immunodeficiency Virus), virus penyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Ni Luh sempat menyangkal.”Saya pikir, itu kan penyakitnya waria, pekerja seks. Nggak mungkin,” kenangnya.

Pikiran perempuan yang menikah di usia 19 tahun itu makin kalut, ketika dokter menyebut suaminya seorang biseksual. Dokter menyebut, suami yang dinikahi melalui proses perjodohan orang tua itu adalah lelaki dengan orientasi atau ketertarikan seks dengan sesama lelaki tetapi bisa juga dengan perempuan. Suaminya yang ketika itu tergolek lemah di salah satu ruang rawat inap Rumah Sakit Sanglah, ternyata telah terinfeksi HIV dan memasuki fase AIDS, fase di mana infeksi HIV mulai menimbulkan gejala-gejala penyakit karena menurunnya sistem kekebalan tubuh.

Ni Luh ingat, ada perlakuan ganjil terhadapnya sejak usia kandungannya lima bulan. Ia sempat diajak tes darah. Alasan dokter, tes darah untuk menjaga kondisi bayi dalam kandunganya. Tak cuma itu. Ia juga dianjurkan minum obat secara teratur. Dokter beralasan kalau obat tersebut obat mahal dan penting untuk menjaga kondisi bayi dalam kandungan. “Aku hanya ingat obat itu warnanya putih dan biru, dan aku disuruh minum. Tapi aku tidak tahu kalau obat itu adalah ARV, “ujarnya. ARV (antiretroviral) merupakan obat untuk menekan perkembangan virus HIV dalam darah. Ternyata, suami Ni Luh sudah mengetahui dirinya terinfeksi HIV jauh hari sebelumnya. Terapi ARV secara sembunyi-sembunyi itu dilakukan untuk mencegah penularan HIV ke tubuh si kecil nantinya.

Ni Luh amat terpukul ketika itu. Pikirannya kacau. Ia khawatir kalau kalau media massa memberitakan soal dirinya. Sempat tersusun strategi “melarikan diri” dari Bali setelah melahirkan nanti. Namun Ni Luh berusaha cuek. Hanya satu hal yang ingin dipikirkannya saat itu, yakni bagaimana agar proses persalinan berjalan lancar.
Agustus 1996, Ni Luh melahirkan bayi laki-laki dengan selamat. Meskipun rencana awal tim dokter yang menangani Ni Luh untuk melakukan operasi caesar, namun si jabang bayi ternyata tak sabaran untuk keluar dari perut sang ibu. Ni Luh melahirkan secara normal.

Dua minggu setelah melahirkan, suami Ni Luh meninggal dunia. Rupanya, kehadiran si kecil memperkuat semangat hidup NI Luh. Beberapa teman yang memberi dukungan, menambah semangat itu. Strategi ke luar Bali, urung dilaksanakan. Justru, Ni Luh mendapat kesempatan untuk aktif di yayasan penanggulangan AIDS. Ia kini menjadi aktivis dalam program-program penanggulangan HIV & AIDS.
Ni Luh bukan satu-satunya perempuan “baik-baik” yang terinfeksi HIV dari suaminya. Ketut Surya, sebut saja begitu, juga kaget luar biasa sekitar enam tahun lalu. Ketika itu, ia tengah mengandung 5 bulan. “Dokter bilang saya kena HIV. Waktu itu saya nggak tahu apa itu HIV,” terang perempuan asal Buleleng itu. Kabar itu diterima setelah suaminya tergolek di rumah sakit berbulan-bulan. “Suami ternyata kena AIDS. Makanya saya kena,” terang perempuan yang diduga terinfeksi dari suaminya yang doyan berganti pasangan di luar rumah.

Ketika itu, Surya mencoba tabah. Surya sadar, ia masih harus merawat suami yang kondisinya terus memburuk. Bahkan setelah suaminya meninggal dunia, ia mencoba kuat. Di benaknya, ia berpikir bahwa masih ada si kecil yang harus dirawat kelak.
Hal yang sama dialami Warni, juga asal Buleleng. Beberapa tahun lalu, Warni tak hanya harus kehilangan suaminya. Ia juga mendapat kabar tak mengenakkan. Tes HIV yang dijalaninya ternyata reaktif. Ia terinfeksi HIV dari suaminya.

Sampai dengan November 2006, kasus perempuan HIV positif yang didampingi oleh Yayasan Bali Plus, kelompok dukungan untuk orang dengan HIV & AIDS (Odha) mencapai 23 orang. Sedangkan data yang tercatat pada klinik VCT (Voulentary Counselling and Testing) Merpati Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wangaya sejak Oktober 2005, dari lima perempuan yang mengikuti tes HIV, tiga orang diantaranya positif HIV. Semuanya terinfeksi dari suaminya yang terlebih dulu dites. Data Dinas Kesehatan Provinsi Bali menyebutkan, hingga Oktober 2006 tercatat 233 perempuan HIV positif dari total 1182 kasus.

Ketua Pokja Care Support and Treatment (CST) Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali, Tuti Parwati menjelaskan, perempuan memiliki kerentanan 2,5 kali lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Itu karena secara fisik, alat kelamin perempuan seperti cangkir. “Bila pasangan seksualnya mengidap HIV, dia seperti penampung cairan yang mengandung HIV. Jadi perempuan memang gampang tertular,” ujar dokter penemu kasus HIV pertama di Indonesia itu.

Direktur Klinik Kesehatan Reproduksi Yayasan Rama Sesana, Luh Putu Upadisari, menegaskan hal senada. Menurut Sari, sebagian besar organ reproduksi wanita terdiri dari mukosa (dinding lapisan dalam yang sangat halus). Sebagian besar organ reproduksi perempuan juga terletak di dalam tubuh, tidak menonjol ke luar. Akibatnya, perempuan yang mengalami gejala IMS (infeksi menular seksual), termasuk HIV/AIDS, cenderung tidak mengeluhkan secara serius. Berbagai gejala tidak normal pada organ kelamin perempuan, cenderung dianggap sesuatu yang wajar.”Beda dengan laki-laki. Organ reproduksi laki-laki ada di luar dan salurannya sempit. Saluran kencing menjadi satu dengan saluran reproduksi. Jadi ketika mengalami infeksi, gejalanya sangat terasa. Karena infeksinya kalau kena air kencing, perih. Itu sangat membantu karena mereka umumnya segera mencari pertolongan,” jelas Sari.

Secara anatomis, kulit organ genetal laki-laki juga cenderung lebih keras. Berbeda dengan lapisan dinding mukosa yang mendominasi permukaan organ kelamin perempuan. “Kalau misal ada perlecetan pada kelamin si laki-laki, akan mempermudah penularan HIV & AIDS. Tapi kalau tidak ada perlecetan, dia cenderung lebih kuat,” tambah Sari yang kini aktif memberi pelayanan kesehatan bagi para pedagang dan pengunjung Pasar Badung sejak 2005 lalu.

Kerentanan perempuan tertular HIV & AIDS, juga disebabkan aspek sosial. Di masyarakat kita, masih ada kecenderungan umum menomorduakan perempuan dibandingkan laki-laki. Sari menjelaskan, ada kecenderungan perempuan dianggap kerjanya hanya di dapur sehingga tidak perlu melakukan pemeriksaan kesehatan. Keputihan misalnya, dianggap sesuatu yang biasa yang cukup diobati dengan jamu sirih. Padahal tidak semua keputihan adalah wajar. “Itu yang menambah serius,” keluh Sari.

Sari juga melihat adanya hambatan dalam aspek informasi. Akses informasi ke perempuan secara umum dikatakan masih minim. Ini dipengaruhi aspek sosial masyarakat yang berkiblat pada konsep patrilineal. Perempuan menjadi semakin terpuruk dengan informasinya.

Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) pada 2005 lalu juga mengeluarkan sejumlah pernyataan tentang rendahnya informasi kesehatan reproduksi dan HIV & AIDS bagi perempuan. Lemahnya posisi tawar perempuan pada saat bernegosiasi pemakaian kondom dengan pasangan, juga menjadi kendala yang dicatat dalam lokakarya IPPI yang diikuti perwakilan 17 provinsi itu.

Ada juga kecenderungan, perempuan HIV positif terinfeksi secara indirect (tidak langsung) dari suaminya. Entah karena suaminya pecandu narkoba suntik, atau karena suka ganti-ganti pasangan di luar rumah. “Perempuan yang secara kebetulan tertular secara indirect itu menjadi tidak ngeh, tidak menyadari kalau dirinya berisiko,” keluh Sari.

Menurut Sari, penting bagi kaum perempuan untuk lebih menyadari pentingnya melakukan pencegahan. Kaum perempuan juga harus menyadari, risiko tidak mesti datang dari dirinya sendiri. “Risiko bisa datang dari pasangannya. Jadi mereka harus sudah mengenali sejauh mana risiko terhadap dirinya melalui pasangannya. Seorang perempuan, diharapkan rajin memeriksakan organ reproduksinya secara rutin,” jelas Sari mengingatkan.

Tuti Parwati juga mengingatkan para perempuan untuk selalu menjaga kesehatan reproduksinya. “Misalnya dengan periksa, mendiskusikannya dengan suaminya,” ungkap Tuti.

Menjadi perempuan HIV positif, tak pernah terbayang di benak Ni Luh, Surya, maupun Warni sebelumnya. Tapi hidup tetap harus berjalan bagi ketiganya. Demi anak-anak dan keluarga baru mereka. [Komang Erviani, Ikha Widari / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 23,Desember 2006]

Jumat, 01 Desember 2006

Putu Utami Dewi,Membangun Dukungan ODHA Bali

Rumah berukuran sedang di kawasan Sidakarya, Denpasar, mulai terlihat riuh ketika hari menjelang siang. Ada yang datang berkelompok, ada juga yang sendirian. Ada yang bergaya funky, berambut punk, ada juga yang tampil seadanya. Keceriaan terpancar jelas dari wajah-wajah mereka. Seperti tak ada beban, meski ada infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) di tubuh mereka.

Nyaris setiap hari, kecuali Sabtu dan Minggu, rumah yang disulap menjadi Kantor Yayasan Bali+ (baca: Bali Plus) itu ramai didatangi orang dengan HIV/AIDS (Odha). Ada yang datang untuk berkonsultasi soal pengobatan, ada yang janjian bertemu teman, ada juga yang sekadar iseng. Kadang, ada juga teman atau keluarga para Odha yang datang hanya untuk berkonsultasi perihal kerabat mereka yang terinfeksi HIV.

Sejak berdiri awal 2004 lalu, Yayasan Bali+ memang seperti menjadi setetes air di padang pasir. Kelompok dukungan bagi Odha dan Ohidha (orang yang hidup dengan Odha) tersebut, seperti telah memberi satu harapan bagi mereka yang terinfeksi HIV. Ketika belum ada satu pun kelompok yang memberi dukungan bagi mereka, Bali Plus memberi ruang untuk itu. Tak cuma dukungan psikologis, akses untuk dukungan perawatan dan pengobatan juga dipermudah melalui lembaga ini.

***

Adalah Putu Utami Dewi, 32 tahun, yang menggagas kelompok dukungan bagi mereka yang hingga kini masih sering terstigma oleh masyarakat yang tak paham proses penularan HIV. Bersama empat rekannya, Putu Utami merintis Bali , awal 2003 lalu. Ketika itu, Putu Utami yang masih bekerja di sebuah yayasan penanggulangan AIDS di Bali menemukan banyak sekali Odha yang merasa denial (menolak) hasil tes HIV-nya. Pasalnya, banyak yang merasa tidak melakukan perilaku berisiko. Banyak diantaranya merupakan ibu rumah tangga “baik-baik” yang terinfeksi HIV dari suaminya yang hobi berganti-ganti pasangan atau pengguna narkoba suntik.

“Tujuan mendirikan Bali+ ini untuk mendukung Odha. Karena kita tahu, masalah yang dihadapi Odha sangat kompleks. Minim informasi, masalah diskriminasi juga. Ada konotasi di masyarakat, orang kena HIV itu adalah orang tidak baik-baik. Kalau baik-baik tidak mungkin kena. Ini jadi beban psikologis yang berat bagi mereka,” tegas Utami.

Banyaknya mis persepsi di masyarakat soal penularan HIV, membuat banyak orang ”baik-baik” yang merasa menolak ketika dinyatakan terinfeksi HIV. ”Jadi orang HIV butuh teman sesama mereka,” ujar ibu satu anak ini. Dari pemikiran itulah, Bali+ diharapkan membantu Odha mendapatkan dukungan psikologi. Meyakinkan bahwa dia tidak sendiri. Juga membantu menyampaikan ke pasangannya bahwa hidup dengan orang HIV bukanlah suatu masalah karena HIV tidak mudah menular. HIV hanya menular melalui pertukaran cairan kelamin dan darah.

Bali+ juga berupaya membantu mempermudah akses Odha ke layanan-layanan kesehatan. Pasalnya, tak sedikit tempat layanan kesehatan yang menolak menerima pasien Odha dengan beragam alasan tak masuk akal. ”Di Bali+, kami membukakan pintu, ke mana sih orang-orang yang positif bisa mendapatkan akses layanan. Di mana bisa akses obat. Dokter gigi mana yang bisa menerima pasien HIV. Rumah sakit mana yang bisa menerima pasien HIV? karena selama ini sebagian besar dokter saja masih takut menerima pasien Odha,” terangnya.

Satu hal penting yang selalu diupayakan Bali+, yakni membuka akses informasi ke keluarga Odha. Menurut Putu Utami, penting bagi Odha memberitahukan status HIV-nya kepada keluarga agar keluarga dapat membantu secara psikologis. Untuk itu, tentu saja perlu kesiapan mental dari Odha bersangkutan untuk mulai membuka diri dan statusnya kepada keluarga. ”Dukungan keluarga sebagai orang terdekat, sangat penting,”tegasnya.

Berkembangnya kasus HIV pada kelompok pecandu narkoba suntik, coba ditindaklanjuti dengan bekerjasama dengan yayasan penanggulangan narkoba. Secara terang-terangan, Putu Utami mengaku tak mampu menghandle Odha yang masih memakai drugs aktif. ”Kita hanya membantu dari segi HIV-nya,” jelasnya. Sampai di sini, Putu Utami ternyata masih menemui kendala. Banyak Odha mantan pengguna narkoba suntik yang merasa tidak nyaman berada di Bali+. ”Akhirnya kita rekrut beberapa pengguna narkoba suntik sebagai staf. Ternyata cukup berhasil membuat mereka nyaman,” ujarnya. Para Odha pengguna narkoba suntik mendapat tempat untuk sharing tentang pengobatan dan kontradiksinya dengan adiksi. Obat anti retroviral (ARV), obat penekan perkembangan Virus HIV, akan bereaksi negatif bila mereka make. ”Sekarang itu disadari sehingga beberapa orang yang sudah menjalani pengobatan, enggan untuk make (narkoba) lagi,” terang perempuan Bali itu.

Bercermin dari pengalamannya menangani Odha IDU, perempuan yang juga konselor HIV/AIDS ini juga melakukan upaya serupa terhadap kelompok waria, perempuan, dan kelompok-kelompok lainnya. Yakni, membuat mereka nyaman dengan salah seorang anggota kelompok mereka sebagai daya tarik. Cara ini ternyata efektif, hingga di akhir 2006 ini, sudah ada ratusan Odha memanfaatkan layanan dukungan Bali+.

Namun belakangan, Putu Utami kembali memutar otaknya. Bali+ tidak mungkin selamanya memberi dukungan satu arah bagi Odha, orang per orang. Putu Utami merasa perlu adanya dukungan sesama di antara para Odha. Kelompok dukungan sebaya untuk masing-msing kelompok kemudian di bentuk. Mulai dari kelompok dukungan sebaya bagi sesama Odha waria (Warcan+/ Waria Cantik Plus), sesama Odha perempuan (Kelompok Tunjung Putih), sesama Odha pecandu (Addict+ dan Club Hidup), dan sesama Odha pecandu yang menjalani terapi methadone (Methadone+).

Setelah hampir empat tahun, banyak hal yang dipelajari istri seorang pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM) bidang penanggulangan narkoba ini. Tentang bagaimana merangkul Odha dan menggali kebutuhan mereka, juga memberi dukungan buat mereka. ”Satu pelajaran berharga, sekarang saya tidak lagi membedakan kelompok-kelompok minor seperti gay, waria, atau bahkan pekerja seks. Saya merasa, kita ini manusia, sama. HIV membuka mata saya, bahwa nggak bisa ada kotak-kotak,” tegas Putu Utami.

Meski telah membangunkan sebuah kelompok dukungan bagi Odha di Bali, Putu Utami belum merasa puas. Informasi soal HIV yang terus berkembang, membuatnya merasa belum maksimal. ”Saya ingin ahli dalam bidang pengobatan orang HIV,” ungkapnya. [Komang Erviani]
--------------------------------------------------------------------

Luh Putu Ike: Aku Jadi Banyak Belajar

Luh Putu Ike, 23 tahun, sempat syok ketika tahu suaminya yang seorang pecandu narkoba suntik dinyatakan terinfeksi HIV, tiga tahun silam. Perasaannya semakin kacau ketika dokter juga menyatakan virus yang sama juga ada dalam tubuh ibu satu anak itu. Belum lagi ketika jenazah suaminya yang meninggal karena infeksi oportunistik akibat infeksi HIVnya, tak diurus secara layak. Alasannya, masyarakat takut terinfeksi HIV. Padahal kematian orang HIV, secara otomatis membunuh virus HIV dalam darahnya. ”Aku sempat parno (paranoid). Suamiku meninggal setelah dinyatakan positif HIV. Aku pikir, aku juga akan langsung meninggal,” kenangnya.


Beruntung, Ike mampu keluar dari keterpurukannya setelah mengenal Bali+. “Di sana aku ketemu teman positif lainnya. Setelah mengenal Bali+, aku merasakan manfaat yang besar banget,“ begitu Ike. Tak cuma bisa belajar soal virus yang ada dalam tubuhnya, perempuan yang terinfeksi dari suaminya ini juga belajar banyak soal kehidupan. “Ada teman-teman pengguna narkoba suntik, ada pekerja seks, ada waria. Aku ambil pengalaman mereka,” ujar Ike sumringah.

Tak cuma itu, Ike mengaku jadi tahu info-info baru soal pengobatan, efek samping obat, dan berbagai hal baru lainnya.“Aku sempat punya pasangan positif (HIV,red). Setelah di Bali+ aku baru tahu kalau berhubungan seks tetap harus pakai kondom karena tipe virus kita beda-beda dan bisa memunculkan sub tipe virus jenis baru,“ ujarnya.

Sosok Putu Utami sediri, menurut Ike, merupakan sosok yang mampu memotivasi para Odha perempuan menjadi aktivis HIV/AIDS. Berkat motivasi itu sendiri, Ike kini seringkali mengikuti pertemuan-pertemuan Odha perempuan, bergabung dengan Ikatan Perempuan Positif Indonesia, dikenal orang, bahkan sempat bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Hari AIDS tahun lalu. ”Di hadapan pak Jusuf, aku bisa keluarin unek-unek masalah perempuan odha di daerah,” kenangnya.

”Di Bali, Bali+ saat ini merupakan satu-satunya yayasan yang khusus bergerak di bidang dukungan bagi Odha. Bali+ juga memotivasi komunitas Odha untuk membentuk kelompok-kelompok kecil,” tegasnya. Keberadaan Bali+, menurutnya sangat penting terutama bagi Odha yang masih dalam masa penyangkalan. ”Perlu untuk penguatan mental Odha. Kayak aku sekarang. Aku perempuan positif. Padahal aku merasa nggak pernah berbuat salah (melakukan perilaku berisiko,red). Apalagi, bukan hanya stafnya aja yang beri dukungan. Kita semua saling memberi dukungan,” terang Ike. Ia berharap bakal lebih banyak lagi kelompok dukungan bagi Odha dan Ohidha di Bali. [Komang Erviani]

Senin, 20 November 2006

Remaja Bangkit Memprotes Kemiskinan

Kita di sini dengan bangga bangkit sebagai bagian dari generasi muda yang ingin ikut serta menghapuskan kemiskinan, yang merupakan tantangan terbesar dunia saat ini. Termasuk juga kemiskinan dan ketiadaan informasi tentang dunia kita, dunia remaja,” begitu Puspa Dewinta membaca secarik kertas putih di tangannya dengan gugup. Di hadapannya, ratusan teman sekolahnya di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kertha Wisata Denpasar tegap berdiri menyimak ucapannya. Sebuah pita putih melingkar rapi di pergelangan tangan kanan mereka.
“Kami adalah bagian dari enam miliar suara di dunia. Kami menginginkan keadilan sekarang. Keadilan juga buat remaja. Buat kami,” teriak lantang Puspa mengakhiri pembacaannya, disambut tepukan tangan siswa lain yang hari itu berkumpul di aula sekolah setempat.

Pertengahan Oktober lalu, menjadi hari istimewa bagi SMK Kerthawisata. Sebanyak 193 siswa, guru, dan remaja lain yang memenuhi aula sekolah pariwisata itu, berkesempatan menjadi bagian dari kampanye remaja dunia untuk menuntut penghapusan kemiskinan , terutama kemiskinan atas informasi tentang dunia remaja. Kampanye “Bangkit” (Stand Up), begitu nama kampanye dunia yang dilaksanakan serentak di seluruh dunia dalam waktu 24 jam pada rentang 15-16 Oktober 2006 itu.

Kampanye Bangkit merupakan sebuah prakarsa yang dilakukan untuk mengumpulkan masyarakat luas untuk bersama-sama berdiri menyatakan komitmen dan dukungan bagi penanggulangan kemiskinan. Kampanye Bangkit dilakukan untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap janji pemerintah untuk bersungguh-sungguh mengerahkan semua upaya dan sumberdaya untuk menanggulangi kemiskinan. Janji tersebut pernah dinyatakan 189 kepala negara, termasuk dari Indonesia, pada tahun 2000 melalui Deklarasi Milenium di New York.

Tak cuma pembacaan komitmen, informasi soal remaja juga diberikan kepada para siswa. Koordinator Kita Sayang Remaja (Kisara), Oka Negara, menyampaikan informasi seputar seksualitas, HIV/AIDS, hingga narkoba.
Purnayasa, salah seorang siswa, mengaku senang bisa bergabung dalam kampanye dunia yang diikuti ratusan ribu individu dari ratusan negara dunia. Apalagi dari kampanye yang juga dilakukan di Jakarta, Medan, Bandung dan Yogyakarta itu, ia mendapat banyak info baru. “Saya senang bisa dapat pengetahuan soal seks. Jadi tahu deh,” seloroh Purnayasa.

Kepala Sekolah SMK Kerthawisata, Ketut Suarka, menilai positif kegiatan kampanye di sekolahnya. “Dengan kegiatan ini, sekarang minimal mereka tahu tentang dunia mereka,” ujar Suarka sembari menyebut informasi yang diperoleh remaja soal dunia mereka kini terlalu deras melalui televisi maupun internet. Sayangnya, tak ada kontrol atas derasnya informasi tersebut sehingga para remaja kini cenderung menerapkan informasi yang salah. “Peran sekolah dan keluarga di rumah, penting bagi perkembangan remaja,” tegasnya.

Kampanye “Bangkit” dari Bali, memberi andil bagi pemecahan rekor dunia untuk jumlah terbanyak bangkit bersama, menuntut aksi yang nyata bagi penghapusan kemiskinan di segala bidang. “Kemiskinan akan informasi tentang dunia kami, dunia remaja, akan makin menyengsarakan hidup kami jika ini semua tidak mendapat perhatian dan aksi segera dan sekarang juga,” tandas Puspa. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 22,November 2006]

Made Suparja: Mungkin Ini Jalan Menemukan Tuhan

Sekitar tahun 2000, saya sudah mencret-mencret, berat badan menurun drastis. Saya memang curiga terinfeksi HIV/AIDS. Sebab saya dulu sebagai sopir, ke mana-mana (berperilaku seks tidak aman,red). Dulu saya juga kurang mengerti masalah itu (HIV). Mungkin sudah dulu sekali kena, tapi imbasnya baru sekarang.

Walau curiga terinfeksi HIV, terus terang saya tidak berani memeriksakan diri. Kok rasanya nggak (terinfeksi HIV,red), gitu saya. Tapi kemudian saya pikir, banyak sekali kawan-kawan saya yang terinfeksi HIV. Mereka kemudian kena AIDS dengan begitu cepat, lantas meninggal. Barangkali, karena pola hidupnya yang salah.
Dulu saya pikir, kalau saya HIV/AIDS pasti saya sudah mati. Makanya saya nggak periksa. Biasa aja lah. Kehidupan berlalu seperti biasa. Saya kan juga kena kencing manis. Jadi saya pikir, mungkin pengaruh dari kencing manis, badan saya selalu lesu, kadang-kadang ada mencret. Waktu itu saya sudah banyak baca-baca buku tentang HIV/AIDS yang saya dapat di yayasan (Yayasan Citra Usadha Indonesia, yayasan penanggulangan HIV/AIDS,red). Kok ciri-cirinya sama. Tapi saya selalu takut untuk secara jujur mengakui.

Sampai suatu saat, istri saya (Made Siti,red) sakit. Lidahnya pecah-pecah. Dia tidak bisa makan, tubuhnya kurus kering, kulitnya gatal-gatal. Sudah berobat ke banyak dokter, nggak sembuh. Dari sana, akhirnya saya terpaksa memeriksakan diri sendiri dulu. Hasilnya ternyata positif HIV. Jumlah CD4 (sel pembentuk sistem kekebalan tubuh, red) saya, 202.

Perasaan saya waktu itu luar biasa depresi, frustasi, dan putus asa. Itu terjadi Maret tahun lalu. Saya bahkan nggak berani keluar, nggak berani bergaul. Rasanya seperti dikucilkan. Entah mungkin perasaan saya saja. Tapi memang banyak sindiran-sindiran. Selama tiga bulan saya lebih banyak di rumah, nonton ceramah agama di TV. Saya dengarkan, saya petik hikmahnya. Barangkali ini jalan saya menemukan diri saya dan Tuhan. Mengubah perilaku untuk berbuat lebih baik lagi dari hari-hari sebelumnya.

Setelah merasa cukup kuat, baru saya ajak istri ke Denpasar untuk tes. Ternyata dia juga positif HIV. Awalnya saya takut sekali mengatakan pada istri saya, bahwa dia kena (HIV,red) karena saya. Sebab dia tidak pernah nakal, selingkuh. Jadi saya takut mendapat cacian. Takut nanti ada penyesalan dan lain sebagainya. Saya bingung bagaimana caranya. Saya minta kepada konselornya, agar saat konseling dirahasiakan saja soal status saya. Tapi konselornya bilang,”ooo...nggak bisa gitu. Harus terang-terangan.”

Saya pikir, ya sudahlah. Saya pasrah aja. Istri saya dikonseling, ternyata dia sudah siap menerima. Saya jadi lega. Setelah dites CD4-nya sekitar 136. Sejak itu dia mulai dapat penanganan. Juga ikut terapi ARV (antiretroviral untuk menekan perkembangan virus HIV,red). Sekarang bobot badannya sudah naik, CD4-nya naik. Sudah lega perasaan saya. Sementara saya sendiri sempat berusaha mempertahankan CD4 saya agar tetap di atas 200 sehingga tidak perlu terapi ARV.

Jadi saya pertahankan dengan pola hidup yang sehat. Tapi nggak tahan. Akhirnya jeblok juga sampai CD4 saya 138. Terpaksa saya harus terapi ARV. Terapi ARV ini kan beratnya, kita ketergantungan. Nggak dapat obat ini 3 x 24 jam, bisa resisten kita. Bisa mati. Itulah yang jadi masalah. Tapi karena memang harus begitu, kita harus patuh minum obat. Untungnya obat ini disubsidi oleh pemerintah.

Sesudah itu terpetik dalam pikiran saya, obat ARV ini mahal. Harganya bahkan sampai Rp 850 ribuan untuk satu bulan. Untuk satu bulan bersama istri, sudah satu juta tujuh ratus ribu. Sementara penghasilan saya tidak sampai sekian. Kalau tidak dapat subsidi dari pemerintah, saya berarti sudah mati. Karena itu saya ingin mengumpulkan kawan-kawan, membuat KDS (kelompok dukungan sebaya bagi orang dengan HIV/AIDS,red). Pada 23 Agustus 2006 kemarin, KDS Tali Kasih diresmikan. Selama 6 bulan pertama, kami dapat support dana penuh dari Yayasan Citra Usadha Indonesia. Kami sedang mengupayakan swadaya.

Di samping untuk mencari solusi dari permasalahan yang kita hadapi sebagai Odha, KDS sudah tentu juga untuk penanggulangan HIV/AIDS. Paling tidak kita jangan menularkan. Kita bisa sama-sama melakukan kampanye, sosialisasi kepada masyarakat luas, agar mengubah perilaku, memakai kondom, dan lain sebagainya. Agar HIV/AIDS ini tidak menular. Kalau semakin banyak yang terinfeksi HIV, mungkin pemerintah tidak kuat lagi mensubsidi obat ARV kepada orang kita. Kalau ini dihapus, kita nggak kuat beli, matilah kita.

KDS Tali Kasih juga jadi tempat untuk kami saling mengingatkan kepatuhan minum obat. Seperti yang kini saya lakukan bersama istri. Dalam hal minum obat, saya dan istri sekarang saling memperingatkan. Jadi saya sebagai pengawas minum obatnya ibu. Kalau ibu, saya yang ngawasi. Kadang-kadang kalau pagi kami pasang weker. Kalau sudah jam 8, minum obat. Kepatuhan minum obat kita tanamkan. Sebab sudah banyak kawan yang tidak patuh minum obat, akhirnya sakit, meninggal.
Sebelum membentuk KDS Tali Kasih, saya juga ikut aktif di kegiatan yayasan. Kadang-kadang juga diundang wawancara dengan berbagai media massa. Saya memang sengaja menyiapkan diri untuk membuka diri agar masyarakat luas tahu, bagaimana penularan HIV/AIDS. Bahwa HIV/AIDS tidak menular melalui kontak sosial. Dengan begitu, saya berharap masyarakat tidak lagi mendiskriminasi kami, orang-orang yang hidup dengan HIV. [Seperti Diceritakan Kepada Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 22,November 2006]

Jumat, 17 November 2006

Bersisik Karena Terik

Sejumlah kasus manusia bersisik muncul di pelosok-pelosok desa di Bali. Sinar matahari jadi musuh besar mereka.

Komang Gama, terbaring gelisah di salah satu bed, ruang rawat inap Kamboja, RS Sanglah Denpasar. Udara panas yang menyerang Kota Denpasar siang pekan lalu, Kamis 2 November 2006, membuatnya makin tak tenang. Gatal dirasakan Gama di beberapa bagian tubuhnya. Nengah Astiti (30 tahun), sang ibu, mengipasi Gama dengan sebuah kipas anyaman bambu.

Gama tak seperti bocah-bocah lain seusianya. Sekujur tubuh Gama, penuh dengan guratan-guratan kasar, seperti bersisik. Terik sinar matahari dan udara panas, menjadi momok bagi keseharian bocah asal sebuah desa di pelosok pegunungan Batur, Desa Suteg, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali itu. ”Kalau kena sinar matahari, kepanasan dia. Bingung,” cerita Astiti.

Sejak dilahirkan dengan bantuan bidan desa, 14 tahun lalu, Gama sudah menunjukkan gejala tidak wajar pada kulit. Menurut Astiti, kulit putra ketiganya itu sudah bersisik sejak lahir. Tak cuma itu, struktur tulang pada telapak tangan dan kakinya juga tak normal. Beruntung, Gama masih bisa berjalan, meski agak pincang. Astiti sendiri mengaku tidak mengerti, apa yang menyebabkan kulit Gama bersisik. Menurutnya, tak ada anggota keluarga lain yang mengalami kejadian serupa, selain putri keduanya. Namun sang putri yang mengalami kulit bersisik itu, telah meninggal si usia 1,5 bulan. ”Nggak tahu meninggal kenapa. Mungkin karena sakitnya ini (bersisik),” terangnya.

Paska kelahiran, Gama sempat menjalani pengobatan medis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bangli. Tapi cuma 3 minggu. ”Waktu itu dokter nggak bilang sakit apa. Cuma dikasi obat. Tapi nggak mau sembuh,” jelas perempuan petani itu. Karena keterbatasan biaya, Astiti dan suaminya yang cuma buruh tani di desanya, memutuskan memutuskan membawa pulang dan merawat Gama di rumah. Astiti bersama dan suami yang masih sepupu, hanya sesekali membawa Gama ke Balian (orang pintar/dukun). ”Biasanya dikasi boreh (ramuan minyak dan rempah-rempah). Mau agak lemas kulitnya,” jelas Astiti. Tiga kali sehari, tubuh Gama juga digosok halus dengan air kelapa muda. Baru akhir Oktober lalu, Gama dirujuk ke Rumah Sakit Sanglah untuk mendapat perawatan, atas bantuan Bupati Bangli.

Kasus kulit bersisik tak cuma dialami Gama. Persis di ranjang sebelahnya, Komang Gentos yang asal desa yang sama, terus saja merengek. Bayi 10 bulan itu juga terlihat sangat terganggu dengan teriknya matahari yang menembus jendela ruang Kamboja Rumah Sakit Sanglah siang itu. Kulit Gentos juga bersisik, sama seperti Gama. Struktur tulang di telapak kakinya pun terlihat tidak normal. Darmini (23 tahun) sang ibu dan Nerlin (60 tahun) sang nenek, sibuk menenangkannya.

Baik Darmini maupun Nerlin mengaku heran dengan penyakit Gentos. Pasalnya, tepat saat dilahirkan dengan bantuan bidan desa, kulit Gentos normal seperti bayi-bayi lain. “Setelah satu jam (sejak dilahirkan), baru kulitnya kering, terus mengelupas,“ cerita Darmini. Sebelumnya, anak pertama Darmini yang menikah dengan pria yang masih sepupu, juga mengalami sakit yang sama. Namun ketika baru berumur 17 hari, anak pertamanya itu meninggal. Beruntung, anak keduanya lahir normal dan kini sudah berusia 6 tahun.

Menurut Darmini, sejak lahir Gentos tidak pernah diajak keluar rumah. Pasalnya, Gento biasanya kepanasan bila dibawa keluar rumah. ”Kalau kena sinar, dia biasanya kejang-kejang. Makanya nggak berani,” tandasnya. Keterbatasan biaya, juga membuat Darmini dan suaminya yang buruh tani, tak mampu membiayai pengobatan Gentos. Pengobatan lebih banyak dilakukan melalui balian (dukun). Hanya sesekali Darmini membawanya ke puskesmas. ”Kalau punya uang, baru ke puskesmas. Nggak pasti. Pas ada uang lima ribu, ya dibawa ke puskesmas. Pas nggak ada uang, ya nggak,” terangnya.

Untuk perawatan harian, Gentos dimandikan dengan air kelapa muda. Ini sesuai saran sejumlah Balian yang pernah didatanginya. ”Satu hari bisa sampai 6 kali mandi yeh klungah (air kelapa muda),” jelas Nerlin. Kalau tidak dapat minta kelapa muda dari tetangga, orang tua Gentos biasanya terpaksa membeli dengan harga Rp 1.500 per butir. ”Soalnya kalau sudah dikasi yeh klungah, kulitnya mau lebih halus,” ungkap Darmini.

Kasus kulit bersisik tak cuma dialami Gama dan Gentos. Di ruangan yang sama, ada juga tiga orang kakak beradik asal Banjar Kayupad Desa Songan, Kintamani, Bali yang dirawat karena kasus serupa. Ketiganya adalah Gede Rai (20), Ketut Subur (8 tahun), Wayan Wirama (6 tahun). Bedanya, kulit ketiganya hanya bersisik di bagian wajah dan sebagian kaki atau tangan. Hingga kini, tercatat ada 19 kasus kulit bersisik yang tersebar di sejumlah kabupaten di Bali. Mulai dari Bangli, Tabanan, dan Karangasem. Namun diperkirakan masih banyak kasus serupa lainnya di luar kasus yang terekspos tersebut.

Menurut dokter yang menangani, dr AAGP Wiraguna SpKK, kasus kulit bersisik sebenarnya bukan kasus baru dalam dunia medis. Kasus ini bahkan telah tercatat sejak abad 17 dan terjadi di seluruh dunia. ”Tercatat pertama kali bukan berarti kasus pertama. Sebelum itu juga sudah banyak,” terang Spesialis Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Sanglah yang menamatkan pendidikan spesialisnya di Universitas Airlangga Surabaya itu. Rasio kemungkinan terjadinya kasus ini mencapai 1:300.000. Artinya, terjadi satu kasus di antara 300.000 kelahiran. Rumah Sakit Sanglah sendiri menangani kasus kulit bersisik rata-rata 6 kasus per tahun.

Dikatakan Wiraguna, kulit bersisik yang dalam bahasa kedokterannya dimasukkan dalam kelompok dermatosis eritroskuamosa, disebabkan oleh banyak penyakit. Dermatosis artinya penyakit kulit, sedangkan eritroskuamosa artinya kemerahan (eritema) dan bersisik (skuama). Jadi, dermatosis eritroskuamosa adalah penyakit kulit yang ditandai oleh kulit kemerahan dan bersisik. Yang dimasukkan dalam kelompok penyakit ini, diantaranya psoriasis vulgaris, pitiriasis rosea, eritroderma, dermatitis seboroik, dermatofitosis (jamur) serta iktiosis.

Berdasarkan foto dan hasil pemeriksaan histopatologi, kasus kulit bersisik di Bali kemungkinan berupa psoriasis vulgaris dan kelompok penyakit iktiosis. Psoriasis vulgaris adalah penyakit kulit yang ditandai oleh kulit yang bersisik tebal berlapis-lapis, berwarna putih, dan didasari oleh kulit kemerahan yang berbatas tegas dengan kulit nomal. Penyakit ini umumnya tidak gatal, walaupun beberapa penderita mengeluh sedikit gatal pada bagian yang bersisik. Penyakit ini berlangsung dalam jangka waktu lama, bersifat hilang timbul, tapi tidak mengancam jiwa dan tidak menular. Karena penyakit ini berlangsung lama, maka dapat menurunkan kualitas hidup dan gangguan psikis penderitanya.

Sementara itu, iktiosis dalam bahasa Yunani berarti menyerupai sisik ikan, yakni penyakit yang ditandai dengan kulit kering dan bersisik yang disebabkan gangguan keratinisasi herediter (genetik). Gangguan ini biasanya sudah diderita sejak lahir, diturunkan dengan sistem tungal. Berat-ringannya gejala yang timbul tergantung dari jenis iktiosisnya. Beberapa jenis iktiosis yang diderita sejak lahir dapat dilihat dari gejalanya, antara lain, kulit yang dilapisi seperti lem (collodion baby) sampai kulit yang bersisik sangat tebal, pecah-pecah, mulut seperti ikan (eclabium), dan mata menonjol (ectropion)---dikenal dengan sebutan harlequin fetus. Collodion baby biasanya dapat terus hidup dan kulit bersisiknya berkurang secara perlahan dengan bertambahnya usia, walaupun tidak akan hilang total. Sedangkan harlequin fetus tidak bertahan hidup, karena kesulitan bernapas dan meninggal setelah beberapa hari kehidupannya.
Walaupun penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti, tapi diduga disebabkan oleh faktor genetik dan faktor imunologik (autoimun). Karenanya, adanya unsur perkawinan dalam satu lingkungan keluarga diperkirakan memperbesar kemungkinan munculnya penyakit yang dikatakan tidak menular itu. Pada dasarnya, sisik terjadi karena kulit tidak memiliki kemampuan memproduksi minyak dan tidak mampu menghalangi penguapan air. Pada orang normal, jelas Wiraguna, lapisan kulit membentuk keratin (lapisan tanduk) dan lemak yang berfungsi sebagai pertahanan kulit terhadap rangsangan dari luar dan penguapan air yang berlebihan. Pada penderita iktiosis, terjadi mutasi gen pembentuk keratin yang bersifat autosomal dominan dan juga mutasi pada enzim yang diperlukan untuk memproduksi dan metabolisme lemak yang bersifat autosomal resesif. Akibat dari semua itu, terjadi gangguan pada fungsi pertahanan kulit, sehingga lapisan kulit bagian atas tidak mempunyai kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan antara kadar air yang ditahan di kulit dengan air yang menguap melalui lapisan kulit. Akibatnya, kulit tampak kering dan bersisik terus-menerus. Timbulnya kulit kemerahan dan bersisik umumnya dipicu oleh garukan atau tekanan yang berulang-ulang pada bagian kulit saat beraktivitas, obat minum seperti antihipertensi dan antibiotika, dan emosi tak terkendali.

Iktiosis sendiri dibagi dalam dua kelompok: iktiosis primer (timbul sejak lahir) dan iktiosis sekunder (timbul setelah dewasa). Iktiosis primer yang paling sering muncul adalah iktiosis vulgaris (umum) dan X-linked recessive ichtyosis. Sedangkan yang jarang adalah iktiosis lamelar (seperti dialami Gama dan Gentos,red) dan harlequin fetus. Sementara, iktiosis sekunder (timbul setelah dewasa) dijumpai pada penyakit infeksi seperti kusta, TBC, dan sifilis; kekurangan vitamin A, B6, asam nikotinat (pelagra); kulit kering yang berat pada orang tua. Ini seperti yang dialami Gede Rai, Ketut Subur dan Wayan Wirama yang dikatakan mengalami xeroderma pigmentosum, di mana kulit yang bersisik hanya muncul setelah adanya pemicu. Misalnya, kulit yang terkena sinar matahari.

Untuk menangani kulit bersisik, jelas staf pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fak. Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah tersebut, cukup sederhana. Yang penting adalah pemberian minyak (misal minyak kelapa) atau pelembab kulit yang berfungsi mempertahankan kondisi kulit yaitu sebagai pelumas (lubricant) dari lapisan kulit sehingga dapat melembutkan dan melemaskan permukaan kulit. Yang juga perlu diperhatikan, pada saat mandi sebaiknya memakai sabun yang tidak iritatif (lembut), dan banyak mengandung minyak (moisturizer). ”Kurangi tempaan sinar matahari yang terlalu lama untuk mencegah penguapan air terlalu berlebihan,” tegasnya mengingatkan.
Namun diakui bapak 1 anak itu, penyakit ini sulit disembuhkan karena berbagai alasan. ”Karena penyakit ini bersifat genetik dan belum ada obat yang efektif untuk mengobatinya secara sempurna, maka yang pertama perlu penjelasan kepada penderita dan keluarganya bahwa penyakit ini akan berlangsung seumur hidup, tidak menular, dan tidak mengancam jiwanya. Keluarga penderita perlu didukung secara moral, agar penderita bisa menjalani kehidupan secara normal seperti bersekolah dan berinteraksi sosial, karena penyakit ini tidak menular dan tidak mengganggu kecerdasan penderitanya,” jelasnya.

Adanya penanganan dari Rumah Sakit Sanglah, memberi harapan baru bagi Gama, Gentos, dan beberapa manusia bersisik lainnya. Gama mengaku senang bisa menjalani perawatan. ”Biar bisa sekolah,” jelas bocah yang tidak pernah merasakan nikmatnya bangku sekolah. Jangankan untuk sekolah, untuk keluar rumah pun Gama tidak pernah. Tak cuma karena takut terkena sinar matahari, ia juga mengaku malu keluar rumah. Ini yang membuatnya tak mau bersekolah. Ia ingin bisa sembuh, sehingga ia bisa memainkan mobil-mobilannya di luar rumah, dan bersekolah layaknya anak-anak lain seusianya. [Komang Erviani / pernah dimuat di Majalah GATRA Edisi November 2006]

Jumat, 10 November 2006

Made Siti, Ketika Seorang Istri Terinfeksi HIV dari Suami

Tahun 2005 saya mulai sakit. Sama sekali nggak ada nafsu makan. Badan gatal-gatal, bibir sampai lidah jamuran. Saya sudah ke mana-mana. Periksa ke dokter spesialis dalam, katanya ya nggak ada apa-apa. Sudah habis biaya banyak, tapi nggak sembuh-sembuh. Berat badan saya terus menurun. Dari 50 kg, jadi 35 kg. Sama sekali nggak ada nafsu makan. Bapaknya (suami, red) terus maksa-maksa saya makan. Dikasi bubur, susu, sampai disuapin. “Saya pingin kamu hidup,” begitu aja dia.

Saya sudah pasrah. Waktu itu kita belum tahu ini (terinfeksi HIV). Belum ada pengecekan darah. Akhirnya, bapaknya (suami, Made Suparja) mungkin cek lebih dulu. Mungkin dia tahu dirinya HIV positif, baru saya diajak ke Denpasar. Langsung masuk ke Rumah Sakit Sanglah untuk tes. Di situ diketahui saya positif HIV. Lantas, dibilang dah kita (Siti dengan suami,red) positif. Langsung ditangani.

Waktu pertama kali diberitahu dokter, sebenarnya saya tidak begitu kenal sekali apa itu HIV. Tapi sudah dengar-dengar. AIDS itu dalam pikiran saya sudah penyakit yang paling bahaya bagi saya dulu. Dulu saya nggak tahu bagaimana tertular. Tapi ya, lama-lama tahu. Cuma dengan hubungan dan jarum suntik. Jadi saya tanya sama bapaknya (suami, red). Saya kawin dengan bapaknya kan setelah suami saya yang dulu (pertama, red) meninggal. “Semenjak kawin sama saya, apa kamu pernah nyari orang di luar lagi,” saya tanya gitu sama bapaknya. Ya, dia sumpah-sumpah dia nggak pernah. Waktu bujangan itu kan memang hidupnya keliling. Di Jawa, Sumatera, dia sering bergaul sama tamu-tamu.

Awalnya saya sempat menyalahkan bapaknya sedikit. Tapi bagaimana pun, dia sudah minta maaf. “Harus bagaimana lagi, mungkin sudah nasib kita,” katanya begitu. Saya pikir, kalau kita terlalu menyalahkan cuma akan jadi pertengkaran. Toh kita sudah begini. Sudah nasib. Nggak pernah lagi saya mengutarakan soal-soal menyalahkan dia itu. Saya terima aja apa adanya. Saya sudah nggak pernah ada keluhan bagimana-bagaimana. Itu namanya sudah nasib, harus diterima.

Waktu sakit, keluarga juga sempat menanyakan hasil tes darahnya. Saya terus terang aja sama keluarga. Saya bilang HIV. Pertama-pertama bapaknya malu dan marah. “Kenapa kamu langsung bilang sama keluarga,” begitu dia bilang. Habis keluarga menanyakan, bagaimana saya harus sembunyikan, nggak bisa saya. Soalnya dari dulu saya memang nggak pernah bisa bohong. Yang penting saya nggak maling, saya bilang begitu sama bapaknya.

Saya merasa beruntung dapat penanganan. Mungkin kalau satu bulan terlambat, saya sudah nggak ada (meninggal). Ya…, mungkin Tuhan masih menginginkan saya hidup. Sekarang kita sudah banyak kenal dengan banyak kawan yang juga mengalami begini (HIV positif). Saya sudah biasa, jadinya menerima. Dulu, rasanya kita ke puskesmas aja malu. Tapi sekarang saya sudah biasa. Kawan-kawan juga merasakan, sekarang yang namanya diskriminasi itu sudah tidak ada. Teman-teman yang sudah mengerti bagaimana penularannya itu, sudah nggak mendiskriminasi. Pernah saya berobat ke Denpasar, naik motor, pinjam helm sama teman saya di pasar. Dikasi sama dia. Tapi ada yang tidak mengerti, teman saya itu ditegur. “Ih…, kamu kok dikasi dia pinjam helm. Dia kan kena AIDS,”. Tapi oleh teman saya dijawab, “Ya, saya tahu itu penularannya. Nanti kalau bagaimana, biar saya ditulari nggak apa.”

Sekarang saya dan bapaknya selalu saling mengingatkan minum obat (antiretroviral, obat penghambat pertumbuhan virus HIV). Kalau pas sibuk, kadang-kadang saya kan lupa. Ya.., telat 15 menit karena sibuk jualan di pasar. Malah kadang jam 8 bapaknya masih tidur. Dia itu agak malas. Akhirnya kita saling mengingatkan. Apalagi kita cuma hidup berdua, tidak ada anak.

Kami berdua sekarang cuma ingin menjalani hidup apa adanya. Kami sudah nggak lagi berharap ada anak. Namanya saya sudah tua, nggak nutup-nutupi, sudah lebih dari 15 tahun ini saya nggak berhubungan (seks,red) apa-apa sama bapaknya. Apalagi dia mengidap penyakit kencing manis, kan nggak mampu dia itu. Tapi saya nggak pernah nuntut. Saya cuma heran. mengapa baru satu tahun ini kami tahu kena penyakit ini? Padahal kami sudah lama nggak pernah berhubungan. Ya, mungkin dulu. Mungkin dia sudah kena dulu, saya nggak tahu. Saya juga nggak menyangka karena dia dulu kan sehat sekali. Badannya gemuk sekali.

Harapan saya untuk ibu rumah tangga lain, kita harus lebih berhati-hati walau dengan suami sekalipun. Umpamanya kita punya suami yang suka keluyuran, kalau berhubungan kita harus berusaha pakai kondom. [Seperti Diceritakan kepada Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 22,November 2006]

Jumat, 20 Oktober 2006

Ed-Eddy & Residivis Bersenandung, Polisi Tersinggung

Grup band E&R Bali terbelit dakwaan penghinaan. Lirik Lagunya meneriakkan kata ”anjing” setelah menyebut ”polisi”. Sudah berkali-kali dilantunkan. Baru diperkarakan justru saat konser amal.


“ Badan kekar, kumis melintang
Gayanya hey man, melebihi setan
Terang saja nyaliku tertantang
Tak pakai tunggu, langsung kuserang

Rambut panjang, dicat kuning kampungan
Berkaca hitam, padahal sudah malam
Kupikir preman, ternyata bukan
Kupikir rocker, ternyata polisi

Reff: Anjing !!!
Kukira preman
Anjing !!!
Ternyata polisi

Simpan borgol itu, jangan penjarakan aku
Cuma kebawa emosi
Siapa suruh pintar menyamar
Sampai-sampai kamu kusambar ”

Bait demi bait lagu berjudul “Anjing” itu, penuh semangat dilantunkan Sofian Hadi (32 tahun) dengan iringan hingar bingar musik rock alternatif, 1 Juli lalu. Ed-Eddy, sapaan akrab Sofian, bersama empat personil grup band “Ed-Eddy & Residivis (E&R), ketika itu tampil meramaikan Konser Amal Musik Kemanusiaan “Dari Bali untuk Jogja”. Lagu Anjing menjadi lagu kelima sekaligus lagu terakhir yang ditampilkan E&R di ajang yang sukses mengumpulkan dana Rp 10juta bagi korban gempa Yogyakarta itu.

Teriakan riuh ribuan penonton di Lapangan Sepakbola Pegok Sesetan Denpasar malam itu, awalnya membuat lega Ed-Eddy sang vokalis bersama Teguh Setia Budi alias Igo pada gitar, Gede Bagiarta alias Joe pada bass, Deni pada gitar, dan Agung Oka pada drum. Respon positif para penonton, menjadi indikasi rasa puas mereka terhadap penampilan E&R dalam ajang gelaran Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Bali, Pemerintah Kota Denpasar, Perguruan Sandhi Murti, dan Himpunan Mahasiswa Program Ekstensi Fakultas Hukum Universita Udayana itu.

Tak disangka, penampilan E&R malam itu ternyata membuat tersinggung aparat kepolisian yang bertugas di lokasi konser. Usai acara, sejumlah aparat kepolisian dari Polsek Denpasar Selatan, mencari para personil E&R. “Malam itu saya dihubungi teman. Katanya ada polisi yang nyari kami,” cerita Igo, pemain gitar yang sekaligus pencipta lagu “Anjing”. Malam itu juga, mereka berinisiatif mendatangi Polsek Denpasar Selatan untuk mengklarifikasi maksud lirik lagu tersebut. Selama 24 jam, mereka menjalani pemeriksaan di Mapolsek. Dua personil E&R, Ed-Eddy dan Igo, akhirnya ditetapkan sebagai terdakwa.

Dalam persidangan awal di Pengadilan Negeri Denpasar, 4 Oktober lalu, Tim jaksa Ridwan Kadir, SH dan Suparta Jaya, SH, mendakwa Ed-Eddy dan Igo dengan pasal 207 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penghinaan lembaga negara dengan ancaman hukuman satu tahun 6 bulan penjara. “Terdakwa telah secara bersama-sama dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan, menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, yakni Kepolisian Republik Indonesia,” begitu jaksa dalam surat dakwaannya.

Dalam surat dakwaan yang sama, juga dikutip lirik lagu yang menurut jaksa mengandung unsur penghinaan, yakni “Kukira Preman, Ternyata Polisi Anjing!!!”. “Terdakwa Sofian Hadi Als. Ed-Eddy bersama terdakwa sTeguh Setia Budi Als. Igo dengan sengaja menyanyikan lirik lagu tersebut secara berulang-ulang dengan menekankan pada kata-kata Polisi Anjing. Bahkan terdakwa Sofian Hadi Als. Ed-Eddy sambil memegang microphone mengarahkan microphone ke arah penonton dengan tujuan mengajak penonton ikut bernyanyi, namun dibalas dengan teriakan uuuuuh dari peninton. Hal ini membuat para anggota polisi yang mengamankan konser tersebut merasa terhina karena mendengar lirik lagu yang dinyanyikan oleh para terdakwa,” demikian diungkap dalam surat dakwaan.

Mendengar dakwaan jaksa, di hadapan majelis hakim yang diketuai Daniel Palinti, SH, Igo mengajukan protes atas pemenggalan lirik lagu yang salah. Pria yang juga personil grup band Telephone itu ngotot meminta waktu untuk bisa menyanyikan lagu versi aslinya. “Pak hakim, tolong berikan kesempatan kepada kami untuk menyanyikan lagu yang oleh pak jaksa dinilai menghina. Ini penting agar semuanya menjadi jelas,” ujar pria kelahiran Bandung itu.

Namun Jaksa Supartha Jaya langsung merespon permintaan Igo. “Interupsi majelis hakim. Seorang terdakwa tidak dibenarkan menyampaikan sesuatu selain menyampaikan eksepsi atas dakwaan jaksa. Itu pun harus dilakukan pada waktunya,” tegas Suparta disambut sorak para rekan dan penggemar Ed-Eddy dan Igo yang hadir di ruang sidang, yang menamakan diri sebagai Aliansi Seniman Bali Bersatu.

Di luar persidangan, Igo dan Ed-Eddy mengaku tidak pernah menyangka lagu mereka bakal dipermasalahkan. Padahal, lagu Anjing dibuat sebagai sebuah pesan sosial agar masyarakat tidak cepat berprasangka buruk. Dalam lagu yang diciptakannya tengah tahun 2005 lalu itu, Igo bermaksud menggambarkan seorang polisi yang tengah melakukan penyamaran, berpenampilan seperti preman. Karena diduga preman, ia yang terbawa polisi lantas memukul si polisi. “Sama sekali tidak ada niat menghina polisi. Hanya mengimbau orang-orang agar tidak mudah emosi. Justru kami ingin memuji kinerja polisi yang sukses melakukan penyamaran. Kata anjing hanya ekspresi kaget dan kesal pada diri sendiri,” jelas Igo.

Igo menyesalkan kalau hasilnya berkreasi dipasung dengan pasal-pasal hukum. Langkah-langkah hukum dari Polsek Denpasar Selatan itu, menurutnya merupakan bentuk mengekang kreativita seniman. ”Ini kan sebuah pentas seni. Framenya adalah karya seni. Ini hanyalah sebuah lirik. Tulisan yang bisa dinyanyikan, difilmkan. ”Malah lagu-lagunya Iwan Fals, lebih dari ini,” ungkap Ed-Eddy menyambung, sembari melantunkan sebait lagu Stasiun Kereta karya musisi legendaris Indonesia itu. ”Di depan ada Polantas, wajahnya begitu beringas, tangkap aku. Tawar menawar harga pas, tancap gas.”

Namun jaksa Ridwan Kadir tak begitu saja menerima. Kepada GATRA, Ridwan menegaskan bahwa dakwaan jaksa bukan tanpa alasan. Selain ada ketersinggungan dari pihak kepolisian yang diwakili Kapolsek Denpasar Selatan, juga ada 5 saksi di lokasi yang memperkuat dakwaan. Empat saksi mengaku mendengar langsung kalimat makian kepada polisi. Sementara satu orang saksi mengaku tidak mendengar langsung, melainkan hanya mendengar cerita teman. Tak cuma itu, ada juga kesaksian memberatkan dari saksi ahli, Dosen Sastra Universitas Udayana, I Nengah Sukartha. Menurut Ridwan, saksi ahli dengan tegas menyebut bahwa lagu anjing memang benar mengandung penghinaan terhadap kepolisian dan lirik ”Kukira preman ternyata polisi anjing” dapat diartikan bahwa polisi sama dengan anjing.

Sikap jaksa yang menolak terdakwa menyanyi di pengadilan, jelas Ridwan, sangat beralasan. ”Karena belum waktunya. Dalam susunan acara persidangan kan baru boleh menyampaikan eksepsi, tanggapan terhadap dakwaan. Kalau tiba saatnya, ada agenda pembelaan, ya silakan,” Ridwan beralasan. Menghargai kreativitas seni, bagi Ridwan bukan menjadi alasan menyinggung pihak lain. ”Kreasi sih boleh sepanjang tidak merugikan orang lain,” jelas Ridwan yang mengaku belum pernah menemukan kasus serupa. Melanjutkan kasus dari kepolisian yang sampai di kejaksaan, jelasnya, merupakan tugas yang harus dilaksanakan. Karenanya, ia tak memandang apakah persoalan ini krusial atau tidak. ”Kita hanya menjalankan tugas. Tentang bagaimana pembuktiannya, kita uji di pengadilan. Apakah nanti hakim sependapat dengan jaksa atau tidak, kita lihat nanti,” tambahnya.

Pengacara Igo dan Ed-Eddy, Agus Samijaya, SH, menilai tuntutan jaksa terlalu berlebihan dan mengada-ada. Menurutnya, lagu Anjing seharusnya dipandang sebagai sebuah kesatuah yang utuh, di mana ada dedikasi anak muda, para seniman musik, menggunakan keahliannya untuk peduli pada sesama di Yogyakarta. Terlebih banyak pihak yang memandang lirik lagu Anjing hanya sepenggal-sepenggal. ”Lirik lagu itu seharusnya diteliti lebih jauh secara utuh. Kata Anjing hanyalah bentuk penyesalan, pengumpatan terhadap diri sendiri. Tetapi kalau dilihat sepenggal-sepenggal, bisa salah mengartikan. Malah jangan-jangan mereka tidak melihat dan mendengar langsung,” keluhnya.

Agus juga menyesalkan kesaksian memberatkan dari aksi ahli. Tanpa mau memperkecil arti saksi ahli, Agus menilai keberadaan saksi ahli angat subjektif. ”Sebenarnya tidak perlu saksi ahli. Orang awam saja bisa menilai. Masalahnya lagi, apa benar saksi ahli mendapat lirik lagu itu secara utuh,” Agus mempertanyakan. Makna sebuah kara, menurutnya, sangat relatif, terbatas pada ruang dan waktu. Ia mencontohkan seorang Papua yang menggunakan koteka di Papua, adalah sesuatu yang dianggap sangat menjunjung budaya. Tetapi ketika menggunakan Papua di Bali atau Jakarta, maka responnya akan berbeda. ”Begitu juga kata-kata dalam lagu. Masalahnya adalah etis atau tidak. Konsep etika sendiri sangat relatif,” tegasnya. Bahkan kalaupun ada kalimat polisi anjing, perlu juga dilihat makna dibalik itu. ”Anjing pelacak yang jadi polisi kan juga ada,” tandasnya. Untuk membela kliennya, Agus mengaku akan menghadirkan saksi-saksi dan alat bukti yang meringankan.

Reaksi keras pihak kepolisian terhadap lagunya, membuat heran Igo dan Ed-Eddy. Pasalnya, lagu itu sudah beberapa kali dinyanyikan di beberapa panggung. Salah satunya, panggung konser penolakan RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi di Kuta, beberapa bulan sebelum kejadian. Pada Desember 2006, lirik lagu itu juga sempat dimuat utuh oleh sebuah media lokal di Bali.
Gara-gara terjerat kasus hukum, Igo yang sekaligus manager E&R mengaku menunda rilis album pertama mereka. Pasalnya, lagu anjing masuk dalam sala satu dari 8 lagu di album yang sudah selesai masterring itu. Rencana awal, album itu akan dirilis sekitar Agustus atau September tahun ini. ”Kita tunggu dulu sampai masalah ini clear. Agar kita bisa fokus,” ujar pria yang telah menciptakan hampir 100 lagu itu.

Ed-Eddy, Igo, dan kelompok mereka E&R, tak pernah menduga kalau grup yang awalnya dibentuk sebagai bentuk kekaguman mereka kepada polisi, justru bermasalah dengan aparat penegak hukum itu. Ed-Eddy mengaku, ide penamaan Ed-Eddy & Residivis muncul dari kesenangan mereka menyaksikan Bang Napi di tayangan kriminal. Bahkan bang napi menginspirasi mereka hingga gambar napi diborgol menjadi simbol grup band E&R. Mereka tak pernah menduga, borgol itu justru kini mengancam mereka.

Meski begitu, Ed-Eddy dan Igo mengaku tak gentar untuk terus berkreasi. Keduanya berjanji akan terus berkarya. ”Karena pada prinsipnya, kita hanya menceritakan realita saja,” ujar Igo. Keduanya berharap kebebasan berkreasi bisa dihargai di negeri ini. [Komang Erviani / pernah dimuat di Majalah GATRA Edisi No. 48 Tahun XII, 18 Oktober 2006]

Kamis, 12 Oktober 2006

Bila Tak Ada Subsidi Lagi…

Subsidi penuh obat antiretroviral (ARV) untuk orang dengan HIV/AIDS (Odha), menyelamatkan ratusan nyawa. Apa jadinya bila subsidi dihapus?

Ketika jarum jam mendekati angka tujuh, Renti (33 tahun) dan Sumastika (34 tahun), lahap menyantap beberapa potong ubi rebus, hasil kebun mereka sendiri di wilayah Gerokgak, Buleleng, Bali. Dua buah pil menyusul masuk ke mulut mereka. “Sejak ada obat ini, rasanya lebih baik,” seloroh Renti dengan bahasa Bali logat Bali Baratnya yang kental.

Pil-pil itu memang telah menjadi bagian dari keseharian Renti dan Sumastika sejak lebih dari setahun ini, sejak hasil tes darah menyatakan keduanya terinfeksi HIV. Setiap hari, pukul tujuh pagi dan pukul tujuh malam, keduanya wajib meminum obat-obatan antiretroviral (ARV) itu.

HIV (Human Immunodeficiency Syndrome) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, penyebab AIDS (Aquired Immuno Deficiency Syndrome). Virus ini membuat pengidapnya sangat rentan terserang penyakit. Obat ARV berfungsi menghambat kerja-kerja enzim yang membantu perkembangbiakan virus dalam tubuh, sehingga perkembangannya dapat ditekan. Obat ARV tidak membunuh virus HIV, sehingga pemakaian obat tak boleh dihentikan. Jangankan putus obat, terlambat minum obat saja akan dapat berakibat fatal bagi pengidap HIV. Putus obat atau keterlambatan minum obat dapat membuat virus kebal terhadap obat tersebut dan justru makin kuat menggerogoti tubuh yang ditempatinya. Dengan kata lain, ARV harus dikonsumsi seumur hidup.

Renti dan suaminya menyadari betul bahaya yang mungkin timbul bila mereka terlambat minum obat. Karenanya, mereka selalu berupaya disiplin. “Nggak pernah terlambat minum obat. Kalau terlambat, paling hanya lima menit. Kalau terlambat atau putus minum obat, sekali saja nggak minum obat, obat itu nggak ada artinya. Makanya saya harus rutin minum. Karena masih ingin hidup,” ujar Renti polos.
Yang pasti, Renti tak mau lagi mengalami sakit seperti dua tahun lalu. Diare hebat sempat membuat perempuan yang tertular HIV dari suaminya itu, hanya bisa tertidur lemas selama hampir setahun. Cairan tubuh yang terus terkuras, ditambah selera makan yang tiba-tiba menghilang, menggerogoti badannya. Segala bentuk pengobatan dicoba. Mulai pengobatan medis, sampai pengobatan tradisional oleh balian (orang pintar) dekat rumah. Namun semuanya gagal, sampai akhirnya hasil tes menyatakan Renti positif terunfeksi HIV. “ Saya kira sudah tidak akan sembuh,” kenang ibu tiga anak itu.

Berkat obat ARV, Renti kini bisa menjalani hari-harinya seperti biasa. Mulai dari mengasuh ketiga anaknya, melakukan pekerjaan rumah, memberi makan ternak sapinya, bahkan mencari rumput pakan sapi ke perbukitan yang berjarak sekitar satu kilometer dengan berjalan kaki.

Renti beruntung, ia tak perlu mengeluarkan sepeser uang pun untuk mendapat obat ARV. Setiap bulan, dua botol besar pil diterima Renti dan suaminya melalui staf Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), sebuah yayasan penanggulangan HIV/AIDS.
Sejak tahun 2005, pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan telah memberikan jatah ARV generik gratis bagi orang dengan HIV/AIDS (Odha). ARV disalurkan melalui 25 rumah sakit rujukan di seluruh Indonesia. Di Bali, ARV disalurkan melalui Rumah Sakit (RS) Sanglah. Oleh Sanglah, obat tersebut juga didistribusikan ke sejumlah rumah sakit. Jadi, selain di RS Sanglah, ARV generik gratis juga bisa diakses di RS Kapal, RSU Singaraja, dan RSU Wangaya.

Catatan Dinas Kesehatan Provinsi Bali, hingga Mei 2006, ada 216 Odha di Bali telah memanfaatkan ARV gratis. Dari jumlah itu, hingga kini hanya ada 142 Odha yang masih aktif menjalani terapi ARV. Selebihnya sudah meninggal dunia (32 orang), stop minum obat (3 orang), lolos dari follow up (26 orang), dan dirujuk keluar (13 orang).

Subsidi penuh terhadap obat ARV, tentu saja sangat membantu Odha seperti Renti dan suaminya. Renti tak terbayang kalau subsidi itu tiba-tiba dihapus oleh pemerintah. Maklum, kondisi ekonomi Renti pas-pasan. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Renti kesulitan. Untuk kebutuhan nutrisi anak-anaknya, ia kini bergantung pada bantuan dari Bali Community Cares, sebuah komunitas yang peduli terhadap kesejahteraan dan pendidikan. Setiap bulan ia menerima 15 kg beras, puluhan kaleng susu, dan 2 kg telur.

Ketua Pokja Care Support and Treatment (CST) Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Tuti Parwati, juga tak membayangkan bila subsidi dihapus. Yang jelas, penemu kasus HIV/AIDS pertama di Bali itu memastikan akan terjadi langkah mundur dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

Subsidi ARV menurut Tuti telah membantu ratusan Odha menerima akses pengobatan yang layak. Pasalnya, sebagian besar Odha berada dalam kondisi ekonomi pas-pasan. “Odha yang mampu, bisa dihitung dengan jari,” ujar perempuan asal Klungkung itu. Tuti masih ingat ketika tak ada subsidi ARV untuk Odha beberapa tahun lalu. Meski ARV sudah masuk ke Indonesia sejak tahun 2000, namun tak ada satu Odha pun yang saat itu berkesempatan minum obat jenis Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) itu. Penanganan Odha dilakukan seadanya. Bahkan obat untuk infeksi oportunistik pun (IO)—kondisi di mana gejala-gejala penyakit sudah tampak—, Odha masih harus membeli. “Jadi cuma satu dua orang saja yang bisa beli obat. Itu pun terbatas. Kadang kalau mereka sudah sakit beberapa kali, sudah nggak bisa beli obat,” kenangnya. Ketika itu, Tuti seolah menjadi terbiasa melihat kematian Odha. Odha umumnya hanya bertahan selama rata-rata 6 bulan sejak gejala penyakit mulai terlihat.

Baru pada Juli 2003, KPA Bali melakukan terobosan dengan membiayai terapi ARV. Dengan dana APBD Bali, obat ARV dibeli dari Kelompok Studi Khusus (Poldiksus) RSCM Jakarta sebagai satu-satunya lembaga penyedia ARV dalam negeri pada saat itu. Namun karena keterbatasan dana, hanya lima Odha yang bisa dibantu. Beruntung, komitmen lantas muncul dari pemerintah pusat dengan menyubsidi penuh pengobatan ARV bagi Odha sejak akhir 2005 lalu.

Dikatakan Tuti, subsidi ARV merupakan langkah penting dalam program penanggulangan AIDS di Indonesia. Tanpa subsidi, Tuti pesimis upaya peningkatan kualitas hidup Odha bisa berjalan efektif. Bila subsidi dicabut, seorang Odha harus menyediakan dana minimal Rp 300 ribu per bulan per orang. Itu belum termasuk dana untuk pemeriksaan CD4 (sel pembentuk kekebalan tubuh) yang harus rutin dilakukan setiap 6 bulan. Di awal terapi, Odha juga akan dibebankan biaya pemeriksaan fungsi hati dan foto torax yang bisa menghabiskan lebih dari Rp 250 ribu per orang. Selama ini, biaya untuk semua tes tersebut telah dibantu dengan dana dari Global Fund. “Kalau subsid-subsidi itu dihapus, ya... akan balik seperti dulu lagi,” ujarnya.

Sekretaris KPA Nasional, Nafsiah Mboi, secara tegas menyangkal adanya kemungkinan penghapusan subsidi ARV. Nafsiah menyebut subdisi ARV sebagai bagian dari komitmen jangka panjang pemerintah dalam penanggulangan HIV/AIDS yang dipaparkan secara gamblang dalam Komitmen Sentani pada 2004. Subsidi ini selain diberikan untuk meningkatkan kualitas hidup Odha, juga untuk mengurangi stigma terhadap mereka. Dikatakan Nafsiah, stigma yang ada selama ini tak lepas dari anggapan kalau HIV tidak ada obatnya. Ini membuat banyak orang enggan melakukan tes.”Banyak orang berpikir, untuk apa saya tes. Toh, kalaupun ternyata kena HIV, tidak ada obatnya. Jadi orang berpikir, lebih baik tidak tes,” jelasnya. Dengan ketersediaan ARV dan kemudahan mendapatkannya, diharapkan kesadaran masyarakat untuk melakukan tes akan makin meningkat.

Subsidi penuh ARV, terbukti membuat makin banyak Odha mencari pengobatan. Sebagian besar diantaranya bahkan sudah kembali aktif menjalani kehidupannya. Karenanya, Nafsiah meyakinkan tidak akan terjadi pencabutan subsidi. “Kalaupun dana yang ada kurang, jatah untuk ARV tidak akan dikurangi. Yang penting, teman-teman yang terinfeksi tidak sampai tidak dapat obat,”tegasnya.
Renti dan ratusan Odha lain boleh lega dengan penegasan Nafsiah. “Kalau beli sudah nggak mampu. Kalau disuruh beli, biar lah saya mati. Saya pasrah,” ujar Renti sambil tertawa. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 21,Oktober 2006]

Rabu, 11 Oktober 2006

Vonis Rehab Pecandu, Pentingkah?

Pasal 47 UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menyebutkan, hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat melakukan dua hal. Pertama, hakim dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. Kedua, hakim dapat menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.

Dalam ayat 2 pasal yang sama, disebutkan juga bahwa masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu dapat diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Sejak diundangkan dan berlaku pada 1 September 1997, belum pernah ada satu pun vonis hakim yang memberi hukuman rehab pada pecandu. Vonis rehab seperti sebuah vonis yang tabu bagi para hakim. Hukuman penjara menjadi satu-satunya pilihan yang diterapkan untuk memvonis para pecandu. Kebijakannya lebih pada lama masa tahanan.

Pentingkah vonis rehab bagi pecandu narkotika? Lalu kenapa tak ada satu pun hakim di negara ini yang pernah menjatuhkan vonis rehab? Simak pernyataan Wayan Yasa Abadhi, Hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang banyak menangani kasus narkotika, dan Denny Thong, Staf Ahli Badan Narkotika Provinsi (BNP) Bali.


Wayan Yasa Abadhi (Hakim PN Denpasar): Kita Juga Khawatir

Memang idealnya, kami memberi vonis rehab kepada pemakai. Apalagi keadaan di LP Kerobokan saat ini sudah tidak menguntungkan lagi. Di situ ada pengedar bahkan pengekspor. Kita juga khawatir kalau pemakai dimasukkan ke situ. Selama ini kami berusaha menjatuhkan pidana yang ringan kepada mereka.

Perlu diwacanakan ke depan, bagaimana dalam hal-hal khusus, pemakai direhabilitir saja. Sehingga kalau kita sudah masuk ke situ, harus disiapkan. Pemerintah harus betul-betul komit. Seperti Dinas sosial. Saat kasus narkotika sudah meningkat seperti sekarang, kalau dalam jangka pendek pemerintah pusat belum bisa membantu, jangan gepeng di jalanan itu aja yang diurusin.

Memang sudah ada lembaga rehabilitasi yang memadai. Tetapi tentunya harus ada koordinasi antara lembaga itu sendiri, pengadilan, kejaksaan, dan pihak terkait. Bahkan dengan lembaga pemasyarakatan.

Perkara (narkoba) yang masuk, memang banyak sekali mereka dapatkan dari dalam (lapas). Tapi di satu sisi, hakim kadang kadang dilematis. Menjatuhkan putusan ringan, kadang-kadang disorot. Dikira ada apa-apa. Padahal kita melihat itu kan bukan sekadar kesalahan

Dalam kasus Bali Nine, saya nggak ada kompromi lagi. Memang kalau sindikat pengedar itu sudah bisa kita habisi, sebetulnya di bawah sudah nggak ada. Pokoknya yang besar dengan tingkat kesalahan yang besar, saya jatuhi hukuman maksimal. Kalau mereka sebagai pemula, kita jatuhkan pidana yang bersifat mendidik. Karena pemidanaan itu kan memperhatikan sisi pendidikan juga.

Kendala utama untuk menjatuhkan vonis rehab, karena lembaga rehab belum tersosialisasi. Minimal dikoordinasikan dengan aparat penegak hukumnya. Kalau sudah ada koordinasi, dari kepolisian sudah bisa dilakukan rehabilitasi. Selama ini kan kalau mereka sudah masuk persidangan, rata-rata mereka sudah menjalani penahanan. Koordinasikan dengan masyarakat dan aparat sehingga keberadaannya diketahui dengan jelas.

Pecandu, untuk menghilangkan kecanduannya, kan harus pelan-pelan. Tidak bisa seketika. Sehingga diperlukan suatu proses. Memahami proses untuk menghentikan itu kan perlu melalui lembaga rehabilitasi.

Kalau ngomongin efek jera, kalau sudah ditangkap sekali, pasti merasa jera. Tapi kalau yang sudah benar-benar kecanduan, kan nggak bisa. Penanggulangannya yang perlu dibedakan. Karena untuk pemberantasan kejahatan, termasuk diantaranya narkoba, peran pencegahan yang penting. Kalau di bidang hukum kita sebut penanganan melalui penal (secara hukum), itu kurang. Penanganan non penal (di luar hukum) akan lebih efektif, lebih penting. Bagaimana pergaulan masyarakat. Kalau represif, umpamanya hakim memberi hukuman yang tinggi, nggak dijamin mereka tidak akan melakukan lagi.


Denny Thong (Staf Ahli BNP Bali): Mereka Sakit, Harus Diobati

Penting sekali menjatuhkan vonis rehab untuk pecandu. Itu kalau kita bisa membedakan sesuatu hal yang kelihatan simpel, tapi sulit. Yakni membedakan antara pengedar dengan pemakai. Karena di antara itu ada grey area di mana pemakai adalah pengedar juga. Itulah yang saya sebutkan sebagai pengedar kepepet. Sebenarnya kalau mau cari pengedar yang murni, orang-orang gede yang tidak pernah menyentuh barang. Jadi mereka melakukan murni hanya untuk uang. Orang-orang ini yang tidak pernah tertangkap. Sekarang yang ditangkap paling para pengedar kepepet.

Karena saya seorang dokter, saya tetap melihat dari sudut narkoba sebagai satu sakit. Jadi orang yang sakit harus disembuhkan. Ini di luar garis hukum legalitas. Orang yang sakit dan merasa disakiti, harusnya dibantu. Bukan dihukum. Dalam mengobati itu, ada banyak sekali taktik dan strategi. Dimana salah satu adalah memang rehabilitasi. Bukan terbaik, tapi itu salah satu. Jadi mereka yang telah ketangkep demikian, tetapi menunjukkan ada itikad ingin berhenti, seharusnya kita mengulurkan tangan. Itu juga tidak menjamin bahwa dia akan sembuh. Tapi paling sedikit berusaha menyembuhkan. Dari pada ngambil satu sikap di mana mereka hanya dilihat hitam putih, salah dan tidak salah, yang tampaknya dalam hal-hal tertentu, tidak menyembuhkan.

Efek jera sudah pasti perlu. Itu saya selalu setuju. Tetapi kalau kita lihat sebagai penyakit, tidak bisa melawan, maka mereka harus diobati juga. Bukan rahasia lagi, di LP (Lembaga Pemasyarakatan) Kerobokan mereka akan ketemu para profesional. Mereka belajar lagi. Jadi saya sangat setuju dengan UU narkotika, ada pasal yang menyatakan boleh diputuskan salah, tetapi dimasukkan rehabilitasi. Hanya pelaksanaannya yang belum sama sekali. Karena belum ada peraturan pelaksananya. Kalau dia lari dari tempat rehabilitasi, siapa yang nanggung. Karena ini kan namanya pidana. Terutama ya masalah uang. Untuk apa masuk rehabilitasi, gimana caranya bayar.

Sebenarnya narkoba masalah yang sangat kompleks di mana perlu kerjasama semua pihak termasuk pemerintah, swasta. Jadi saya sangat pro adanya rehabilitasi. Tempat-tempat rehab sebenarnya sudah ada, tetapi tidak ditunjang oleh undang-undang negara dan pelaksananya. Jarang sekali atau belum pernah saya dengar hakim memutuskan dengan vonis rehab. Sebaiknya divonis dengan rehab. Jadi hukumannya tetap enam bulan, tetapi di tempat rehab. Masalahnya, siapa yang menjamin mereka tidak lari.

Setahu saya di Malaysia dulu ada sikap begitu, masuk rehab semua. Kalau di Bali, relatif kita punya tempat rehab bagus. Yang saya tahu Yakita dan YBN. Cuma ya sekarang, hakim kan juga perlu pendekatan. Mereka perlu ada advokasi. Saya juga sudah beberapa kalu menganjurkan polisi untuk memasukkan rehab.

Pidana ringan, menurut saya nggak membantu. Karena ringan, toh dia masuk. Dia kan kontak dengan kelas berat. Itu yang berat sekali. Anak-anak yang masih di grey area, bisa ke sana bisa ke sini. Mereka harus ditarik ke bagian putih. Kalau mereka ke bagian hitam, akan hitam terus. Sangat berbahaya.



Karena Penjara Bukan Solusi

Awal 2006, Courtney Love, 41 tahun, divonis bersalah melakukan tiga kasus kriminal di mana dua diantaranya dilakukan di bawah pengaruh obat-obatan terlarang. Hakim Pengadilan Negeri Los Angeles Amerika Serikat memvonis mantan penyanyi grup band rock Hole itu dengan hukuman mengikuti program rehabilitasi selama enam bulan. Mantan istri dari rocker yang mati tertembak, Kurt Cobain, itu kemudian menjalani program di pusat rehabilitasi narkoba California. Tak cuma itu, selepas rehab ia juga diwajibkan menjalani ‘rawat jalan’, melanjutkan terapi penyembuhan ketergantungan narkoba dan harus menghindari segala hal yang berhubungan dengan alkohol sampai Maret 2007. Dua kali seminggu, Courtney Love wajib menjalankan tes narkoba dan alkohol.

Vonis rehab untuk pecandu narkoba, sudah menjadi hal biasa di banyak negara. Tetapi, tidak di Indonesia. Meski Pasal 47 UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah mengatur kemungkinan itu, toh hingga kini belum ada satu pun hakim yang menjatuhkan vonis rehab kepada pecandu.

I Gusti Ngurah Wahyunda, Ikatan Persaudaraan Pengguna Napza Indonesia (IPPNI) Representatif Bali, mengakui pentingnya vonis rehab bagi para pecandu. Lembaga pemasyarakatan (LP) yang ada selama ini menurutnya bukanlah tempat yang tepat bagi pecandu. Kecuali bagi pecandu yang melakukan tindakan kriminal seperti mencuri, merampok, dan lainnya. Apalagi sudah menjadi rahasia umum, LP merupakan tempat dengan peredaran narkoba terbesar. Justru di dalam LP, narkoba bisa dengan mudah didapat. “Kita memang salah. Kita juga kan korban. Kecuali kalau dia melakukan tindakan kriminal, ya jangan ditoleransi,” ujar Wahyu yang belakangan getol memperjuangkan hak-hak pecandu.

Belum adanya vonis rehab dari para hakim di negara ini, membuat kecewa Wahyu. Namun ia tak menyalahkan para hakim. “Masalahnya banyak. Pemerintah tidak punya tempat rehab. Terus kalau divonis, siapa yang nanggung? Ini yang belum dirumuskan secara serius,” ungkapnya. Meski begitu, kebijakan vonis rehab menurutnya makin mendesak untuk dilakukan, agar tidak semakin banyak masyarakat umum yang menjadi korban. [Komang Erviani pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 21, Oktober 2006]