Google
 

Kamis, 20 April 2006

Pasangan Odha Hidup Bahagia

Nyoman Renti (32) duduk santai di gubuk peristirahatan beratap ilalang di rumahnya. Ketut Yoga Hivartha Laksana tampak asyik di pangkuannya, sambil sesekali merengek minta susu. Renti senang karena Yoga sudah sehat, setelah beberapa hari sebelumnya sempat mengalami panas tinggi.

Sayang, tak demikian dengan saudara kembar Yoga, Komang Yogi Hivartha Laksana. Yogi hanya bisa terdiam lemah di gendongan neneknya. Suhu badannya yang lumayan panas, membuat Yogi tak bisa melepas senyum seperti yang dilakukan Yoga. Gara-gara sakit, berat badannya turun dari 5,9 kg menjadi hanya 5,7 kg. “Badannya panas. Sakitnya gantian sama Yoga. Sebelumnya Yoga yang sakit, Yoga sehat. Tapi setelah Yoga sembuh, malah Yogi yang sakit,”cerita ibu rumah tangga yang tinggal di sebuah desa kecil di Kecamatan Gerokgak, Buleleng, sekitar 100 km dari Denpasar.

Meski sering sakit, namun kehadiran kedua anak kembarnya sejak hampir 6 bulan, telah menambah kebahagiaan bagi kehidupan rumah tangga Renti dan suaminya, Putu Sumastika (33). Kehadiran Yoga dan Yogi telah melengkapi kebahagiaan keduanya, juga bagi putra pertama mereka Kadek Setiawan (6).

HIV positif
Renti sendiri tak pernah membayangkan kalau hidupnya akan kembali berwarna seperti sekarang. Dua tahun lalu, Renti sempat mengalami sakit luar biasa. Diare yang dialaminya, tak kunjung sembuh hingga berbulan-bulan. Banyaknya cairan tubuh yang hilang, membuat badannya makin hari makin lemah. Beruntung, seorang anggota Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), yayasan yang bergerak untuk pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, mengantarnya berobat ke Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Pengobatannya ke Denpasar tak sia-sia. Kesehatan Renti membaik.

Namun pengobatan itu berbuntut. Tes HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang dijalaninya menunjukkan hasil reaktif. Renti positif terinfeksi HIV, virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Bahkan jumlah sel pembentuk sistem kekebalan tubuh (CD4) yang ada dalam tubuhnya sudah merosot menjadi hanya 145. Padahal jumlah sel CD4 pada orang normal harusnya mencapai 500. Renti sendiri mengaku tak tahu pasti, di mana virus penyebab AIDS itu diperolehnya. “Ini salah saya,” begitu Sumastika tanpa segan. Saat masih menjadi buruh bangunan dan sering keluar Gerokgak untuk menggarap proyek, Sumastika memang sering berhubungan seks dengan banyak perempuan. Ia juga sering mendatangi lokasi prostitusi untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Benar saja. Dua bulan setelah Renti dinyatakan positif HIV, Sumastika pun menyatakan siap dites. Hasilnya, ia pun dinyatakan positif HIV.

Toh, Renti tak mau menyalahkan suaminya. Ia menerima kenyataan itu dengan pasrah. Apalagi setelah diberikan terapi antiretroviral (ARV) lewat kelompok dukungan Odha Suryakanta YCUI, kondisi kesehatannya makin membaik. ARV merupakan obat yang mampu menekan perkembangan jumlah virus HIV dalam darah. Renti harus meminum 2 tablet obat setiap 12 jam untuk mencegah berkembangnya kembali virus HIV dalam tubuhnya. Ia tahu benar risiko yang harus dihadapi kalau obat itu tak diminumnya. “Kalau nggak minum, virusnya bisa berkembang lagi,” jelas perempuan desa itu polos.

Hamil tanpa rencana
Sama-sama positif HIV ternyata tak membuat kehangatan cinta Renti dan Sumastika pudar. Hubungan seksual tetap dilakukan. Namun satu kali mereka sempat melakukan hubungan seksual tanpa kondom, yang berbuntut sebuah kabar bahagia pada awal 2005 lalu. Renti hamil. Kebahagiaan mereka bercampur perasaan was was, khawatir virusnya tertular pada sang bayi.

Tapi beruntung, sikap terbuka Renti dan Sumastika membuat mereka punya kesempatan mengikuti program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi (prevention of mother to child HIV transmission/PMPCT) di RS Sanglah. Tim dokter membantu program tersebut dengan pemberian obat pelemah virus, persalinan dengan sectio caesarea, dan tidak memberikan air susu ibu (ASI) kepada bayi. Pasalnya, selain lewat cairan kelamin, HIV dapat menular lewat darah dan ASI. Persalinan normal melalui vagina berisiko menjadi media penularan karena di vagina terdapat jumlah virus HIV sepuluh kali lebih banyak.

Meski harus repot bolak balik Gerokgak-Denpasar untuk check up, Renti tak menyesal. Sehari setelah Hari Raya Galungan pada 6 Oktober 2005 lalu, proses persalinan sectio caesarea yang dilakukan tim dokter berjalan lancar. Dua bayi kembar laki-laki sekaligus didapatnya. Keduanya sehat, meski berat badannya tergolong rendah (di bawah 2,5 kg). Yoga lahir dengan berat 2,45 kg dan Yogi hanya 2,05 kg. Berat badan yang tergolong rendah itu dinilai wajar, karena Renti melahirkan ketika usia kandungannya belum genap 9 bulan. Keduanya juga harus menjalani 30 hari perawatan di inkubator rumah sakit dan seminggu perawatan di shelter YCUI, sebelum kembali ke kampung halamannya. Yogi sempat mengalami pengelupasan kulit setelah hampir sebulan di rumah. Tapi itu tak mengurangi kebahagiaan Renti.

Andalkan donatur dan kebun jagung
Kehadiran Yoga dan Yogi, menambah kebahagiaan pasangan yang telah menikah 8 tahun lalu itu. Meski hidup pas-pasan dengan bergantung pada bantuan donatur, Renti mengaku menikmati hidupnya sekarang. Maklum, Sumastika kini hanya mengandalkan hasil kebun jagung yang dikelolanya. Maklum, hasil tanam di lahan setengah hektar itu harus dibagi dengan pemilik tanah. Sekali tanam, ia hanya mendapat 500 butir jagung. Padahal dalam setahun hanya bisa dilakukan 2 kali tanam. Gerokgak memang termasuk wilayah yang kering. ”Jadi cuma bisa nanam 6 bulan. Sisa 6 bulan sudah kering,” cerita Sumastika yang sejak Oktober 2005 lalu telah meminum obat ARV.

Renti bukan satu-satunya ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV dari suaminya. ””HIV/AIDS memang tidak menginfeksi orang berisiko saja. Ibu rumah tangga yang baik-baik juga bisa kena,”begitu Wakil Gubernur Bali selaku Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Bali, IGN Kesuma Kelakan, ketika berkunjung ke rumah Renti, asal Maret lalu. Kelakan menegaskan, hingga saat ini diperkirakan ada sebanyak 3.000 kasus HIV/AIDS di Bali. Penyebab terbesar terjadi dari hubungan seks, yakni sebanyak 1.900 kasus. Sementara 1.100 kasus lainnya disebabkan oleh kebiasaan berbagi jarum suntik di antara pecandu narkoba.

Renti dan Sumastika kini hidup bahagia. Apalagi warga di sekitar rumah mereka tak pernah mempermasalahkan status HIV keduanya. Namun keduanya masih diliputi was was. Keduanya harus sabar menunggu usia Yogi dan Yoga 18 bulan, untuk mengetahui apakah kedua anaknya itu tertular HIV atau tidak. Pasalnya, seorang bayi memerlukan waktu sedikitnya 18 bulan untuk membentuk antibodinya sendiri. Keduanya berharap Yogi dan Yoga bisa sehat seperti kakaknya. ”Biar nggak positif. Kepingin supaya kayak kakaknya, sehat,” jawab Renti polos ketika ditanya harapannya. Renti tak berharap muluk-muluk tentang masa depan Yogi dan Yoga. ”Jadi apa aja, yang penting berguna. Soalnya untuk menyekolahkan saja saya nggak bisa,”ujarnya. Yang penting baginya hanyalah, Yoga dan Yogi bisa menang melawan HIV. [Komang Erviani / pernah dimuat di Tabloid JELITA]
------------------------------------------------------------

Kadek Carna Wirata [Koordinator Suryakantha YCUI]
Renti Sosok yang Pasrah

Pasrah, begitulah sosok Nyoman Renti di mata Kadek Carna Wirata, Koordinator Suryakanta. Kesan itu sudah melekat dari sosok Renti, sejak Planet—sapaan akrab Carna Wirata—menemukan kasusnya pada Mei 2004 lalu.

Renti dicurigai terinfeksi HIV setelah Planet menemukan seorang ibu rumah tangga HIV positif yang mengalami diare berat. Oleh beberapa warga, Planet mendapat cerita tentang keberadaan Renti yang sudah berbulan-bulan mengalami sakit yang sama. Kecurigaan makin memguat ketika suami Renti diketahui sempat hobi cari cewek.

Setelah dilakukan konseling, hanya sekitar 2 minggu kemudian, Renti pun dites. Hasilnya, ternyata positif. Jumlah sel CD4-nya (sel pembentuk sistem kekebalan tubuh) juga sudah merosot, hanya 145 (normal 500). Kepasrahan Renti juga membuatnya cepat menerima kenyataan, hingga bersedia melakukan terapi anti retroviral (ARV) untuk menekan perkembangan jumlah virus dalam darahnya.

Kehamilan Renti, sempat membuat kaget pria asal Buleleng. Ia khawatir ada risiko penularan HIV kepada si bayi. ” Waktu dimintai pertimbangan untuk digugurkan, dia minta dipertahankan. Katanya ingin punya anak dan mudah-mudahan tidak tertular,” kenang Planet. Kepasrahan Renti mengundang kagum pria yang dibesarkan di kawasan wisata Lovina Buleleng itu. ” Semua dihadapinya dengan pasrah,” begitu Planet soal Renti. [Komang Erviani /pernah dimuat di Tabloid JELITA]

Sabtu, 08 April 2006

Anak-anak Odha,Jangan Abaikan Mereka

Yuda (bukan nama sebenarnya), 3,5 tahun, bersikap manja di pangkuan Sari ibunya. Peluh yang menetes dari tubuh kecilnya gara-gara udara panas yang berhembus hari itu, sepertinya tak tak terlalu dipedulikan. Yuda seperti larut dalam kehangatan cinta yang diberikan Sari.

Sejak beberapa tahun belakangan, Yuda memang makin lengket dengan sang ibu. Itu terutama terjadi sepeninggal ayahnya yang meninggal dunia karena AIDS, syndrome munculnya berbagai gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan virus HIV. HIV/AIDS telah membuat Yuda tak lagi memiliki keluarga utuh. Tak cuma itu, belakangan Sari yang kini berusia 28 tahun juga diketahui positif HIV. Diperkirakan, Sari tertular virus itu dari suaminya. Semasa hidup, suami Sari memang gemar berganti pasangan seks.

Gara-gara HIV/AIDS, Yuda kini jadi anak yatim. Meski demikian, Yuda masih cukup beruntung. Setidaknya ia masih punya ibu yang sehat, berbeda dengan beberapa anak lain di kawasan tempat tinggalnya, Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng. Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), LSM yang bergerak di bidang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, mencatat ada 18 anak di Gerokgak yang kini menjadi yatim dan yatim piatu karena orang tuanya terinfeksi HIV/AIDS. Mereka berada di kisaran usia 6 bulan sampai 15 tahun. Sebagian besar diantaranya kini diasuh oleh paman atau bibi mereka.

HIV/AIDS ternyata memang bukan hanya permasalahan orang dewasa. Hal itu mulai disadari para petugas lapangan YCUI yang menjangkau sejumlah wilayah di Bali, setelah melihat ada banyak anak-anak yang ternyata menjadi korban. Banyak anak-anak yang telantar akibat kehilangan orang tua mereka karena HIV/AIDS. Karena itu pula, dukungan care support and treatment yang awalnya hanya diberikan Suryakanta YCUI kepada orang dengan HIV/AIDS (Odha), sejak 2003 lalu juga menjangkau anak-anak. “Pertimbangannya, dampak dari HIV/AIDS tak hanya kepada Odha tetapi juga Ohidha (orang yang hidup dengan Odha), termasuk anak-anak mereka,”jelas Kadek Carna Wiratha, Koordinator Suryakanta YCUI.

Beruntung, program dukungan bagi anak-anak Odha telah disupport beberapa pihak. Mulai dari Penggerak PKK Kabupaten Buleleng, para ekspatriat, hingga support dari Bali Community Cares (BCC), komunitas yang terdiri dari personal maupun perusahaan yang memiliki kepedulian terhadap HIV/AIDS dan narkoba. Pemberian dukungan salah satunya diarahkan pada pemberian nutrisi dan gizi yang memadai. Ada juga bantuan untuk peningkatan pendidikan mereka. BCC memberikan bantuan beasiswa kepada anak-anak tersebut, untuk membantu mereka meraih masa depan yang lebih baik.

Putu Desi Wulandari, adalah salah satu contoh potret nyata seorang remaja putri yang kini menjadi yatim karena sang ayah meninggal akibat AIDS, namun Desi optimis dengan masa depannya. Berkat bantuan beasiswa yang diperolehnya, Desi yakin cita-cita menjadi guru bakal diraihnya.

Ancaman HIV/AIDS bukan main-main. Data UNAIDS menunjukkan, sebanyak 40,3 juta penduduk dunia sudah terinfeksi HIV. 17.5 juta diantaranya adalah perempuan Di Bali sendiri, berdasar data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali, diperkirakan ada 3000 orang terinfeksi HIV/AIDS. 1900 orang terinfeksi dari hubungan seksual, sementara 1100 orang terinfeksi dari penggunaan jarum suntik bergantian di kalangan pengguna narkoba suntik.

Tak berhenti di situ. Setiap 15 detik, anak-anak telah kehilangan salah satu orang tuanya karena AIDS. Saat ini telah ada lebih dari 15 juta anak yatim piatu karena AIDS. Sebanyak 25 juta anak-anak dunia dipastikan akan menjadi yatim piatu karena HIV/AIDS di tahun 2010. Ada diantara mereka adalah anak-anak kita. Tidak ada wilayah dan manusia yang kebal dari virus yang sampai sekarang belum ditemukan obat untuk mengatasinya secara total. Tepat di Hari Yatim Piatu karena AIDS se-Dunia (World AIDS Orphans Day), 7 Mei, mari kita bangun komitmen bahwa anak-anak Odha itu juga punya hak untuk mendapat kehidupan mereka yang layak, dan mari melindungi anak-anak dari HIV/AIDS. Agar tak ada generasi yang hilang. [Komang Erviani / dimuat di Koran Tokoh Edisi 7 Mei 2006]