Google
 

Senin, 20 Februari 2006

Prostitusi Tak Pernah Mati

Tempat transaksi seks tersebar di seluruh kabupaten di Bali. Sasarannya desa-desa. Operasi penertiban malah membuat masalah.

Wayan S, 25 tahun, tak punya firasat jelek malam itu. Seperti malam minggu sebelumnya, ia datang ke lokasi favoritnya, jejeran warung remang-remang di pinggiran Kota Tabanan. Kerinduannya pada Rini, sebut saja begitu, salah satu penghuni warung, membuat langkahnya makin bersemangat menuju salah satu warung di sisi barat. Setengah jam berhubungan seks dengan Siti, cukup memuaskan lajang yang sejak SMP hobi ”berpetualang” itu. Masih seperti biasa, tanpa kondom. Tapi ia kena getahnya. Kelaminnya diserang Raja Singa (sifilis). Beruntung, infeksi pada kelaminnya bisa disembuhkan. Tapi Wayan tak kapok. ”Sementara begini dulu. Nanti kalau udah punya cewek, nggak lagi,” elaknya.

Wayan S tak sendiri. Survei Yayasan Kerthi Praja mencatat, setiap tahun ada setidaknya 100 ribu pelanggan seks di Bali. Ironisnya, 10 persen diantaranya diperkirakan telah terinfeksi HIV/AIDS. Tak jelas, kapan pertama kali industri seks terbangun di Bali. Yang pasti kabupaten/kota se- Bali telah membuat perda untuk mencoba mengatasi praktik ini. Denpasar misalnya, melahirkan Perda No. 2 Tahun 2000 tentang pemberantasan pelacuran. Hal yang sama dilakukan oleh kabupaten/kota lain di Bali. Operasi penertiban jadi andalan. Tak hanya oleh Satuan Polisi Pamong Praja, tetapi juga oleh aparat kepolisian. Dinas Tramtib dan Satpol PP Kota Denpasar misalnya, telah menangkap 84 pekerja seks komersial (PSK) dalam operasi penertibannya selama 2005. Pada 2004, jumlahnya lebih banyak, 131 orang. Mereka yang tertangkap umumnya dikenakan sanksi administrasi, berupa pembinaan di panti rehab selama sekitar 3-6 bulan dan pemulangan ke daerah asal. Ada juga yang harus membayar denda sekitar Rp 250 ribu untuk bebas.

Kabupaten lain tak mau kalah. Bupati Buleleng, Putu Bagiada mengaku selalu menurunkan tim yustisi untuk menertibkan dengan dalih mengadakan pembinaan. Klungkung tak jauh beda. “Biasanya upaya kami berawal dari penertiban penduduk,” jelas Bupati Klungkung, Wayan Candra.

Toh, praktik prostitusi tetap ada, bahkan makin meluas. Yayasan Kerti Praja (YKP), LSM pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, mencatat ada delapan lokasi prostitusi yang kini dijangkaunya di Denpasar. Mulai dari di wilayah Blanjong dan Semawang, Jl Danau Tempe, Carik (Ubung), Gatot Subroto, serta tiga lokasi di Padanggalak. Itu belum termasuk bungalow, losmen, panti pijat, kafe, serta karaoke yang kadang menyediakan layanan seks itu. Tak kurang dari 600 pekerja seks komersial (PSK) dijangkaunya.

Selain Denpasar, aktivitas seksual berisiko itu juga menyebar ke seluruh pelosok Bali. YCUI yang rutin menjangkau pelanggan seks di sebagian wilayah Denpasar, Buleleng, Karangasem, Jembrana, Tabanan, dan Badung, juga menjangkau desa-desa yang sarat aktivitas seks komersial. Di Buleleng misalnya, YCUI menjangkau 12 desa di Kecamatan Gerokgak. Selain itu lokasi prostitusi itu juga tersebar di seluruh kecamatan yakni Seririt, Banjar, Sukasada, Sawan, Buleleng, Kubutambahan, dan Tejakula. Jangkauan YCUI juga mencapai Jembrana, Karangasem, dan Badung. Penjangkauan dilakukan dengan kampanye safe sex untuk peningkatan kesadaran para pelanggan. Mereka diharapkan memahami bahwa perilaku berisiko yang mereka lakukan sangat berbahaya. “Salah satunya dengan meningkatkan penggunaan kondom,” tambah Efo.

Direktur YCUI, Efo Suarmiartha menegaskan, sebagian besar laki-laki pelanggan seks berasal dari desa. Selain faktor pekerjaan yang membuat mobilitas mereka tinggi, juga karena hiburan di desa masing-masing cenderung menggiring ke aktivitas seksual. “Seperti metuakan,” ujar Efo menyebut kebiasaan minum minuman keras di Bali. Kondisi itu banyak dilihat sebagai peluang oleh para pemodal bisnis seks dengan mendekatkan diri ke desa-desa melalui bentuk kafe. Tentu saja, itu belum seluruhnya. Masih banyak wilayah di pelosok Bali yang belum mampu dijangkau YCUI.

Pemberantasan atau penertiban membuat kening pejabat daerah setempat berkerut. “Prostitusi, saya rasa, di manapun ada di dunia ini,” aku Bagiada. Demikian juga di Klungkung. Bupati Wayan Candra mengaku tak cukup mampu memberantas prostitusi di Klungkung. “Memang masih ada. Itu manusiawi. Sejak dulu kan memang sudah ada. Hanya masalahnya menonjol atau tidak,” kilahnya.

Sulitnya memberantas praktik prostitusi, menurut Astawa, tak lepas dari peranan banyak pihak yang membekingi. “Beratnya, banyak pihak di balik mereka. Paling tidak ada 15 pihak membekingi mereka. Mulai dari preman kelas berdasi sampai sandal jepit,” ungkapnya. Aksi beking membekingi, memang tak bisa lepas dari bisnis ini. Gde Dharma, sebut saja demikian, mengakuinya. Meski mengaku tak punya beking khusus, namun kakek dua cucu yang menyewakan wisma di komplek Danau Tempe itu harus menyisihkan sedikitnya Rp 20.000 setiap hari untuk membayar petugas. Sore itu misalnya. Dua pria berpakaian coklat muda, seragam PNS, datang dengan sepeda motor. Menurut Gde, setiap hari sekitar 20 orang dari berbagai instansi datang minta ”uang rokok”. Pengeluaran bulanan ini bisa membengkak bila ada razia. Padahal, Gde mengaku menghasilannya tak seberapa. Untuk setiap transaksi yang dibuat “pegawainya”, Gde hanya dapat Rp 15 ribu. Sementara ia juga harus membayar sewa wisma Rp 3 juta per bulan, plus pungutan-pungutan liar oknum petugas.

“Sulit memberantas ini (prostitusi). Karena ini masalah klasik,” jelasnya. Dengan personil aktif hanya 161 orang, sementara ada 47 Perda yang harus diamankan, Astawa mengaku kesulitan memberantas prostitusi. Sebagai daerah pariwisata, tambah Astawa, Bali tak bisa dilepaskan dari 3S, yaitu sea, sun, dan sex. Tak bisa dipungkiri, keuntungannya lumayan. “Jadi, ini sudah jadi bisnis,” tambahnya.

Sekretaris Kota Denpasar, Made Westra, berdalih penertiban-penertiban saja tidak cukup. “Kita harapkan masyarakat mendukung,” tegasnya. Tentu saja, tak mudah mengharap dukungan penuh masyarakat. Apalagi, masih ada banyak Wayan Wayan lain yang tersebar di Bali. [Komang Erviani / pernah dimuat di Koran Tokoh]

Rabu, 15 Februari 2006

Musik Bali Naik Gengsi

Musik Bali yang dulu terkesan kampungan, kini disukai anak muda Bali. Tak kalah tenar dengan musik pop Indonesia. Sayang, produk bajakan membanjiri pasar.

Ruang Praja Madya Kantor Walikota Denpasar penuh sesak, awal Februari 2006 lalu. Sejumlah siswa berseragam SMA mendominasi ruangan. Saking ramainya, beberapa dari mereka meluber sampai ke luar ruangan. Beberapa kali, riuh suara tepukan terdengar dari kejauhan. Ada apa? Ternyata, di dalam ruangan tengah terjadi adu bakat nyanyi. Bukan lomba lagu Peterpan, atau bahkan Kerispatih. “Lomba Nyanyi Lagu Wedhasmara dan Gung Cakra,”begitu tertulis di panggung.

Hari itu, Pemkot Denpasar memang tengah berupaya meningkatkan kecintaan anak muda Bali terhadap hasil karya kedua musisi Bali itu. Lagu-lagu Wedhasmara yang belakangan kembali dipopulerkan Yuni Shara dan Rani dengan hits Kau Selalu di Hatiku, jadi favorit sejumlah ibu dan bapak setengah baya. Sementara lagu Gung Cakra yang lebih kental nuansa Bali , tanpa disangka, ternyata banyak diserbu ABG (anak baru gede). Sedikitnya, 41 siswa SMA mengikuti lomba lagu berbahasa Bali milik Gung Cakra. Gung Cakra yang meninggal tahun 1999 di usi 75 tahun, merupakan komposer sekaligus penyanyi yang populer tahun 1970-an lewat band Putra Dewata. Lagu-lagu Balinya yang hingga kini masih sangat digemari diantaranya Kusir Dokar, dan Bungan Sandat.
Ada perubahan yang sangat mendasar dalam perkembangan musik Bali sejak beberapa tahun belakangan. Anak muda Bali kini tak lagi malu menyanyikan, atau minimal menggemari, lagu-lagu Bali . “Saya memang suka lagu Bali ,”tegas Kadek Mirah Ishaka Putri, siswa SMAN 4 Denpasar yang akhirnya menduduki peringkat pertama dalam lomba itu. Hadiahnya memang tak seberapa, hanya Rp 1 juta ditambah sebuah piagam penghargaan. Tapi bagi peraih 5 besar KDI 2006 itu, kemenangannya merupakan kebanggaan sebelum memulai karantina di Jakarta .

Bangkitnya eksistensi lagu Bali , juga terasa dalam siaran radio Gema Merdeka yang mengudara di Denpasar dan sekitarnya. Sang penyiar, Gusti Ngurah Putra Murjaya yang biasa disapa Bagus Renaldi itu, sampai harus kewalahan menerima telpon dari pendengarnya sore itu. Belum rampung lagu Melasti dari AA Raka Sidan diputar sebagai pembuka acara, telpon sudah berdering dari penggemar. “Minta lagu Jaya Tangus, Matepuk Asibak Lima (bertepuk sebelah tangan),” begitu laki-laki di ujung telpon yang mengaku bernama Putu Galih. Mengikuti Galih, beberapa pendengar lain terus “meneror” Renaldi dengan permintaannya. Penyiar yang juga sempat menelorkan album musik Bali itu mengaku, belakangan makin banyak penelpon anak muda yang request lagu. Dalam satu jam, ada tak kurang dari 30 penelpon.

Hal itu juga yang menjadi pertimbangan bagi Desak Nyoman Suryani, Marketing Manager Radio Gema Merdeka, untuk menambah porsi siaran lagu Balinya. “Kita putar lagu Bali sejak 1981 selama 2 jam sehari. Sekarang jadi 4 jam, tiap pagi dan sore. Soalnya permintaan dari masyarakat bertambah. Banyak yang suka,”jelasnya. Tak hanya itu, setiap 2 minggu sekali pihaknya juga selalu mengundang artis ke studio, sekaligus untuk berpromosi. Khusus pada hari minggu, disiapkan waktu khusus untuk siaran lagu Bali anak-anak. Gema Merdeka mengklaim pihaknya memasukkan unsur lagu Bali dalam 30 persen waktu siarannya. Selebihnya, 30 persen digunakan untuk dangsut dan 40 persen untuk lagu Indonesia .

Tak jelas kapan persisnya lagu berbahasa Bali ”naik pamor” hingga bisa menyentuh kaum muda Bali. Tetapi menurut pengamat musik Bali, Made Adnyana, lagu berbahasa Bali mulai terdengar di mall-mall dan kendaraan-kendaraan pribadi setelah kemunculan penyanyi Widi Widiana pada sekitar tahun 1995. Tak hanya itu, era Widi Widiana telah menjadikan musik Bali tidak lagi tabu dinyanyikan di kafe-kafe. Widi yang tampil dengan corak musik mandarin, memberi nuansa baru dalam musik Bali yang selama bertahun-tahun telah dikuasai Yong Sagita dengan corak musik country. Hal yang sama sebenarnya juga sempat dilakukan Yong Sagita terhadap musik Ketut Bimbo di era akhir 90-an yang tampil dengan gaya slengean ala Doel Sumbang. Penampilan Ketut Bimbo di era 80-an, juga sempat melibat musisi sebelumnya, AA Cakra yang eksis di era 70-an. ”Semua musisi sebenarnya punya masa naik dan turun,”tambah Adnyana.

Meski kehadiran Widi Widiana diakui sebagai hal baru yang mulai membangkitkan musik Bali, namun ia tak menampik kalau kesan kampungan dalam musik Bali masih kental di masa itu. Yang paling terekam dalam memori Adnyana, justru ketika munculnya grup band Lolot di tahun 2003. Kemunculan band yang mengklaim sebagai pengusung aliran Bali rock alternatif itu, telah memperluas pasar lagu-lagu Bali. Ada pasar-pasar tertentu yang dulu tidak dijangkau oleh Widi Widiana, dijangkau Lolot. Dulu lagu Bali disebut kampungan, terkesan hanya digemari orang-orang pedesaan. Begitu muncul Lolot, anak muda yang mengaku perkotaan, jadi suka lagu Bali. Orang-orang yang dulunya tidak tersentuh lagu Bali, jadi tersentuh.

Sukses Lolot, memunculkan banyak sekali artis baru yang coba peruntungannya di dunia musik. Tahun 2004 saja, tercatat telah ada sebanyak 145 judul album baru yang beredar. 60 diantaranya adalah album grup band. Tingginya peredaran kaset, tak lepas dari ekses teru bertambahnya perusahaan rekaman di pulau dewata. Aneka Record yang dulunya ”bermain” sendiri, sekarang ditimpali Bali Record, Maharani Record, Januadi Record, Pregina Record, dan Jayagiri Record.
Produser Pemilik Aneka Record, Oka Swetanaya, mengakui ada perkembangan yang sangat pesat dalam produksi album di tempatnya sejak menggarap lagu pop Bali pada tahun 1995. Sebelumnya, sejak berdiri tahun 1968, Aneka Record hanya fokus pada rekaman musik-musik tradiional seperti gamelan, angklung, dan lain-lain. ”Waktu pertama coba pop, kurang sukses. Tapi kemudian album Kasmaran milik Widi Widiana ternyata dapat respon baik. Terjual 50.000 buah kaset. Dari sana, mulailah Oka Swetanaya memantapkan peruntungannya dalam produki musik pop Bali. Sejumlah album lain disponsorinya. Sembilan album kompilasi dan 3 album solo Widi Widiana, teru memberi rejeki padanya. Tak berhenti di itu, kemudian muncul penyanyi-penyanyi lain yang sukses dimodalinya, seperti Panji Kuning, Sridana, Yan Mus, Srikandi, Eka Jaya, Nia Prasetya Dewi, dan lainnya. ”Alirannya macam-macam. Ada pop, mandarin, dan dangdut,”tambah pria asli Tabanan itu.

Penjualan? Tentu saja tinggi. Dalam setahun, Lebih dari 200.000 kaset dan VCD dari sekitar 30 artis dan 10 grup band telah berhasil dijual Aneka Record. Bisa dibayangkan, berapa uang yang berputar dalam bisnis ini dengan harga Rp 15.000 per buah untuk kaset dan Rp 25.000 untuk VCD. Sayang, itu belum termasuk produk bajakan yang jumlahnya diperkirakan jauh lebih besar. Tentu saja, Penjualan paling sukses diraih oleh album Widi Widiana. Namun seiring berkembangnya tren, Oka Swetanaya terus berupaya merekrut artis-artis berbakat untuk memperkuat usaha recordingnya. Penyanyi terbarunya, AA Raka Sidan, misalnya, kini menjadi artis andalannya setelah sukses dengan album perdananya Suud Memotoh (berhenti bertaruh). Sejak diluncurkan September 2005, kini sudah 40.000 kasetnya terjual. Rata-rata, setahun Aneka Record bia menghasilkan sebanyak 18-20 album. Itu belum termasuk kumpulan hitsnya.

Sukses yang diraih banyak artis di dunia musik Bali, memunculkan makin banyak artis baru. Salah satunya adalah Ari Kencana. Pria 27 tahun yang pertama kali bergabung dalam album kompilasi pada tahun 1999 ini, kini sudah menelorkan sedikitnya 2 album solo. Ia tercatat sebagai salah satu penyanyi yang album terbatunya tobat, sedang digemari di pasaran. Pria yang kini nyambi jadi guide korea iniawalnya juga tak menyangka bisa sukses. Tapi saat album solo pertamanya keluar dengan hits ”Kutang Rerama”, tanpa disangka sebanyak 50.000 kaset terjual. Tak hanya untung di penjualan kaset, musik Bali juga memberinya keuntungan lebih lewat konser-konser. Sebulan, rata-rata ia dapat job manggung sebanyak 6 kali. ”Lumayanlah untuk rokok,”jawabnya malu-malu. Di bawah bendera Januadi Record, ia bertekad untuk terus mengembangkan musik Bali dengan beragam aliran. ”Setelah ini saya akan buat album, perpaduan musik RnB, pop, dan blus,”terangnya. Tentu saja, diperlukan lebih banyak artis muda lainnya yang lebih kreatif untuk melestarikan dan makin mengembangkan musik Bali. [Komang Erviani]

Siapa Lolot N’ Band?
Kemunculan Lolot Band di industri musik Bali, sekaligus pionir band modern Bali, membawa grup band yang beranggotakan 4 personil ini kini berada di atas angin. Setidaknya, itulah yang terlihat dari penampilan Made Bawa pada vokal dan gitar, Lanang pada bass, Donie pada gitar dan Deni pada drum itu kini. Para personil yang bertemu dalam persaingan di festival-festival musik itu, kini mengaku mendapat rejeki yang lumayan dari musik. Untuk setiap kali peluncuran albumnya, mereka bisa mencapatkan penghasilan masing-masing hingga puluhan juta rupiah, hanya dari honor dan royalti penjualan. Dari konser, jangan tanya. Grup band yang kabarnya bertarif puluhan juta rupiah ini, mengaku bisa dapat ratusan juta rupiah dari hasil setiap albumnya. Tentu, itu bukan nilai yang sedikit untuk ukuran artis musik berbahasa Bali.

Siapa sangka, band yang kini telah menelorkan 3 album ini dulunya ternyata dapat penolakan dari semua perusahaan rekaman di Bali. Made Bawa, pentolan grup musik ini, mengaku dulunya sempat menawarkan lagunya ke semua perusahaan rekaman. Tetapi semuanya menolak karena melihat konsep musik Lolot yang nyeleneh. Di saat lagu pop Bali sedang mencapai puncak, Lolot malah menawarkan konsep baru berupa perpaduan musik modern dengan lagu berlirik bahasa Bali. ”Malah ada yang minta konsepnya diubah. Saya nggak mau. Idealis lah sedikit,”kenangnya. Idealisme Lolot muncul karena ia merasa proses pencarian musiknya tidak mudah. Ia menghabiskan setidaknya 2 tahun untuk menyesuaikan musiknya dengan lagu Bali.

Tak mau putus asa, Made Bawa yang akrab disapa Lolot, akhirnya memutuskan untuk melakukan rekaman sendiri dengan biaya sendiri. Sepeda motor kesayangannya dijual seharga Rp 4,5 juta, untuk membiayai rekamannya. Tapi ternyata, uang itu tak cukup. Lamanya proses rekaman oleh Lolot N’ Band di studio Pregina yang disewanya, ternyata memberi berkah. Bo studio itu, Agung Bagus Mantra, lantas tertarik setelah mendengar lagu-lagu yang dimainkan Lolo dan bandnya. ”Saya perhatikan, kok lama sekali orang ini nyewa studio. Waktu saya lihat penampilannya, kok asyik. Akhirnya saya coba tawarkan ke dia untuk kerjasama,”terang Gus Mantra, sapaan akrabnya.

Dari pertemuan itulah, baik Lolot maupun Gus Mantra sepakat untuk belajar. ”Saya bilang, ok, saya belajar jadi produser, kamu belajar jadi artis,”cerita Gus Mantra. Tak hanya jadi produser, Gus Mantra juga sekaligus bertindak sebagai manajer untuk artisnya.

Tak disangka, album pertama Lolot berjudul Tresna Memaksa (cinta memaksa) melesat bak meteor. Penjualan menembus 50.000 buah kaset. Dari sukses itu, Gus Mantra memutuskan mengembangkan sayapnya dengan artis-artis baru. Sebuah grup band berbahasa Bali, Joni Agung & Double T, kini telah menelorkan 2 album. Purusha Band, kini juga telah sukses dengan album berbahasa Bali dan Indonesia lewat manajemen Pregina. Saat ini, Pregine tengah mempersiapkan peluncuran 2 penyanyi pendatang baru, yakni Gede Kurniawan dan grup band Sajoejoe.

Hasilnya sekarang lumayan. Setidaknya, kini musik sudah bisa menghidupinya. ”Dulu bertahun-tahun main musik, nggak bisa hidup dari sana. Saya dulu malah jadi tukang sablon,”cerita Lolot. ”Awalnya saya nggak ada target. Biar keluar aja unek-uneknya. Nggak nyangka begini hasilnya,”tandasnya merendah.

Kini, Lolot yang sempat mendapat SCTV Award untuk kategori band independent ini tengah mempersiapkan album terbarunya, repackage dari 3 album sebelumnya. Beberapa lagu terbaik Lolot akan diproduksi ulang, beberapa lainnya akan diaransemen ulang agar lebih menarik. ”Ini berdasarkan permintaan masyarakat,”tandas Gus Mantra. Di album the best nanti, aransemennya akan ditambah dengan unsur-unsur tradisional. “Ada tambahan kecak, untuk memperlihatkan unsur tradisi. Biar kelihatan mahal. Kalau dikolaborasikan, kelihatan mahal,”tambah Gus Mantra.

Hingga kini, Pragine telah memproduksi sedikitnya 180.000 kaset yang masing-masing seharga Rp 15.000. ”Itu belum potong pajak, distributor, produki kaset, promosi, studio, royalti. Untungnya paling 10-15 persen,”jelas Gus Mantra. Yang jadi beban aat ini, yakni maraknya pembajakan. Jumlah bajakan yang beredar bahkan diperkirakan mencapai 3 kali lipat dari produk aslinya.

Lolot N’ Band masih punya obsesi. Yakni, meluaskan pangsa pasar sampai ke luar Bali, bahkan luar negeri. Itu karena selama ini sebenarnya cukup banyak permintaan untuk itu. Anehnya, Lolot tak punya keinginan untuk membuat album versi bahasa Indonesia. ”Soalnya nggak bisa bahasa Indonesia,”celetuk Lolot bercanda. ”Cukup bahasa Bali aja. Toh, banyak yang suka lagu bahasa inggris walaupun tidak tahu artinya. Lagu bahasa Jepang, Mandarin, kan juga sama,”tambah Lanang. Meski belakangan mulai banyak grup band musik Bali yang ingin mengekor jejak Lolot, namun Lolot N’ Band mengaku tak khawatir. “Yang susah kan justru buat ikon pertama. Dan kita sudah lakukan itu,”tambah Lanang. [Komang Erviani]

Kamis, 09 Februari 2006

Prostitusi Sanur yang Termashur

Sanur jadi tempat bisnis prostitusi paling terkenal di Bali. Pemerintah melarang tapi oknum yang bertugas menertibkan mendapat keuntungan dari sana. PSK tetap saja jadi korban aturan yang tak jelas ini.

Pukul 23.45 Wita. Denpasar baru saja diguyur hujan. Pepohonan masih basah dan jalanan becek. Suasana di Sanur tampak lengang. Beberapa tempat yang biasanya ramai, akhir Januari lalu seperti tak berpenghuni. Di salah satu cafe, beberapa perempuan dengan dandanan menor duduk bersenda gurau. Tak ada pengunjung datang. Suasana baru terlihat ramai di sebuah tempat [rumah? Cafe? Atau apa?]. Areal parkir cukup penuh dengan kendaraan, di kawasan Jl Danau Tempe. Di pintu masuk, beberapa laki-laki keluar dengan senyum sumringah. Suasana di dalam ternyata jauh lebih ramai. Tampak wisma-wisma [kamar atau cottages?] berjejer. Gelak tawa perempuan-perempuan muda itu ditelan musik Banyuwangian cukup keras mengalun di ujung gang. Sementara para laki-laki lalu lalang dari wisma satu ke wisma yang lain mencari yang cocok. Petualangan baru saja dimulai...
Jl Danau Tempe adalah kawasan yang cukup terkenal sebagai daerah postitusi. Menurut Gusti Made Kentri, Kepala Dusun Tanjung, Sanur, Danau Tempe termasuk kawasan yang baru berkembang. ”Saya tidak tahu kapan tepatnya, yang jelas, prostitusi ini sudah lama sekali ada di Sanur. Awalnya dari Semawang, dekat Angkatan Laut itu, lalu menyebar ke Blanjong, Bet Ngandang, sampai di Jalan Danau Tempe,” ujarnya.
Bagi sebagian orang, Sanur pun identik dengan hal mesum. Kalau ada laki-laki pergi ke Sanur malam-malam, orang akan berpikir bahwa laki-laki itu pergi ke tempat prostitusi. Warga setempat pun kadang jadi korban. ”Kasihan anak-anak kami yang SMA juga jadi korban. Karena mereka berpakaian seragam dan lewat depan kompleks, mereka juga dikejar-kejar, dikira cewek begituan,” kata Kentri.
Belakangan diketahui bahwa ternyata yang menjalankan bisnis prostitusi ini tidak hanya orang luar Bali, karena ternyata 50% wisma di Jl Danau Tempe dimiliki orang Bali. [data dari mana? Memang yg mulai pertama orang dari mana?] Salah satunya Gde Dharma. Kakek dua cucu ini menempati wisma di Jl Danau Tempe sejak setahun lalu, setelah sewanya di Blanjong habis. Ia punya tujuh kamar, satu kamar dipakai sendiri. Dia sempat 26 tahun jadi buruh bangunan dan sopir. Tertarik usaha baru ini setelah anaknya yang memulai duluan, bangkrut. ”Setelah anak bangkrut, saya coba teruskan. Namanya orang cari duit,” ujarnya.
Penghasilan Gde tidak tentu per harinya. Saat ini ia memiliki lima orang pekerja seks komersil (PSK) dan ia mendapatkan bagian Rp 15 ribu per pekerja per transaksi. Kalau sedang ramai, jumlah ini bisa sangat besar. Namun kalau sedang sepi, katakanlah hanya ada lima tamu per malam selama sebulan, Gde bisa hanya dapat Rp 2.250.000. Jumlah ini tak banyak mengingat biaya-biaya yang harus dikeluarkan seperti sewa wisma Rp 3 juta per bulan dan pungutan-pungutan liar oknum petugas.
Sore itu misalnya. Dua pria berpakaian coklat muda, seragam PNS, datang dengan sepeda motor. Mereka disambut laki-laki di ujung gang yang langsung menyerahkan beberapa lembar uang ribuan. Menurut Gde, setiap hari selalu ada orang datang minta ”uang rokok”. Karena itu setiap wisma menyerahkan sekitar Rp 20.000 per hari pada laki-laki di ujung gang yang akan membagikannya pada ”petugas” yang jumlahnya bisa sampai 20 orang.
Pengeluaran bulanan ini bisa membengkak bila ada razia Dinas Ketentraman dan Ketertiban (Tramtib) ataupun Kepolisian. Karena denda Tindak Pidana Ringan (Tipiring) yang nilainya minimal Rp 250 ribu per orang kadang harus dikeluarkan dari kocek Germo jika “pegawainya” digelandang ke pengadilan.
Kalau dipikir-pikir bisnis prostitusi ini cukup melelahkan juga. Gde Dharma mengatakan lebih enak jadi buruh ketimbang jadi germo, ”Enakan jadi buruh. Nggak banyak berpikir. Kalau ngurus usaha begini, pusing,” tuturnya. Tapi show must go on.
Fitri, salah seorang PSK di wisma itu mengatakan keadaan sekarang cukup susah. Ia mendapatkan sekitar Rp 35 ribu bersih per pelanggan. Awalnya ia sama sekali tidak terpikir jadi PSK di Sanur. Fitri diceraikan suaminya karena setelah 10 tahun menikah mereka belum juga punya keturunan. Kejadian ini membuatnya stres, hingga ketika beberapa temannya pergi ke Bali untuk jadi PSK, ia ikut. Belakangan, ketika bom meledak dan daya beli masyarakat menurun, pendapatan para pekerja juga menurun. “Sekarang sepi banget. Sejak bom itu dah,” ujar Fitri.
Jl Danau Tempe, Gde Dharma ataupun Fitri hanyalah sebagian kecil bagian dan bisnis prostitusi yang tidak pernah mati. Di Bali, selain beberapa titik yang sudah jadi tempat langganan pengguna bisnis seks seperti PSK di Lumintang dan Gatsu (Jalan Gatot Subroto), waria di Gatsu dan Renon, gigolo di Kuta. Di luar Denpasar/Badung, ada Terminal Pesiapan di Tabanan hingga Bungkulan di Singaraja, Kabupaten Buleleng.
Variabel yang terlibat di dalam industri seks ini bukan hanya PSK, germo, dan pelanggan. Ada juga oknum pihak desa dan adat dan pemerintah. Secara institusi pemerintahan, prostitusi adalah hal yang harus diberantas. Tapi secara pribadi, prostitusi adalah keuntungan tambahan di luar gaji yang bisa didapatkan oknum petugas institusi tersebut. Ini belum termasuk razia resmi yang cukup sering dilakukan namun tak terlihat hasilnya karena tempat prostitusi tersebut masih saja berdiri di sana.
PSK adalah variabel yang paling dirugikan dalam bisnis ini. Tenaga mereka dikuras untuk menghasilkan uang. Uang ini sebagian berputar lagi untuk kepentingan industri, mulai dari membayar kamar hingga membayar denda Tipiring. Belum lagi mereka berhadapan dengan pelanggan yang berlaku kasar atau mau enaknya sendiri, menolak untuk menggunakan kondom. Resiko terjangkitnya penyakit mulai dari Infeksi Menular Seksual (IMS) hingga HIV sangat tinggi. Mereka juga orang pertama yang disalahkan dalam praktek prostitusi ini sebagai pelacur. Lantas, bagaimana harusnya kita menyebut variabel lain yang mengambil kesempatan dalam kesempitan ini?
Pukul 00.15 Wita. Suasana masih ramai. Akan terus ramai sampai dua atau tiga jam ke depan. Para laki-laki masih bergantian datang. Beberapa diantara mereka masih hilir mudik mencari sasaran. Laki-laki itu datang dan pergi, tapi perempuan-perempuan itu tetap di sana, menjadi saksi betapa tidak tegasnya aturan di provinsi ini. [Komang Erviani dan Ni Luh Dian / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 13, Februari 2006]

Lokalisasi Ada di Seluruh Bali

Tempat transaksi seks tersebar di seluruh kabupaten di Bali. Sasarannya desa-desa. Operasi penertiban malah membuat masalah.

Wayan S, 25 tahun, tak punya firasat jelek malam itu. Seperti malam minggu sebelumnya, ia datang ke lokasi favoritnya di pinggiran Kota Tabanan. Jejeran warung remang-remang di terminal di kota itu. Kerinduannya pada Rini, sebut saja demikian, salah satu penghuni warung, membuat langkah kakinya makin bersemangat menuju salah satu warung di sisi barat. Setengah jam berhubungan seks dengan Siti, cukup memuaskan lajang yang sejak SMP hobi ”berpetualang” itu. Masih seperti biasa, tanpa kondom.

Tak disangka, malam yang menyenangkan itu sekaligus menjadi malam naas baginya. Keesokan hari (?), ia merasakan panas pada kelamin, disertai nanah saat kencing. Beruntung, infeksi pada kelaminnya bisa disembuhkan.

Tapi Wayan S tak kapok datang ke tempat itu. ”Sementara begini dulu. Nanti kalau udah punya cewek, nggak lagi,” elaknya. Wayan S tak sendiri. Survei [apa data darimana?] mencatat, setiap tahun ada setidaknya 100.000 pelanggan seks di Bali. Ironisnya, 10 persen diantaranya diperkirakan telah terinfeksi HIV/AIDS.

Tak jelas, kapan pertama kali industri seks terbangun di Bali. Yang pasti, Pemerintah Provinsi Bali telah merespon keberadaannya dengan membentuk Peraturan Daerah tentang pemberantasan pelacuran itu, secara tegas menyatakan pelarangan terhadap kegiatan prostitusi. Sejumlah kabupaten/kota di Bali juga merespon dengan membuat Perda serupa. Pemerintah Kabupaten Klungkung misalnya melahirkan Perda No 7 Tahun 1995. Denpasar melahirkan Perda No. 2 Tahun 2000. Pemerintah Gianyar tak mau kalah dengan Perda No. 2 Tahun 2002. Kabupaten Badung dengan Perda Nomor 6 Tahun 2001. Sementara Jembrana menegaskan pemberantasan kegiatan prostitusi melalui Perda No. 3 Tahun 2003.

Operasi penertiban jadi andalan pelaksanaan perda-perda itu. Alhasil, penggerebekan, sidak, razia, atau apapun istilahnya, kerap dilakukan. Tak hanya oleh Satuan Polisi Pamong Praja, tetapi juga oleh aparat kepolisian. Dinas Tramtib dan Satpol PP Kota Denpasar misalnya, telah melakukan operasi penertiban selama 2005. Hasilnya, 84 penjaja seks komersial (PSK) terjaring dalam operasi. Pada 2004, jumlahnya lebih banyak, 131 orang. Sebagian besar mereka yang tertangkap dikenakan sanksi administrasi, berupa pembinaan di panti rehab selama sekitar 3-6 bulan dan pemulangan ke daerah asal.

Kepala Dinas Tramtib dan Satpol PP Kota Denpasar, Anak Agung Ngurah Gde Astawa menjelaskan, Perda No. 2 Tahun 2000 sebenarnya juga mengatur pemberian sanksi pidana ringan berupa kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp 5 juta. “Biasanya denda yang dikenakan minimal Rp 250.000. Tapi itu jarang. Kebanyakan kami bina dan pulangkan. Dengan begitu, kami harap ada efek jera,” ujarnya.
Tak hanya Denpasar, kabupaten lain juga gencar melakukan penertiban. Bupati Buleleng, Putu Bagiada menjelaskan, pihaknya menurunkan tim yustisi untuk menertibkan dengan dalih mengadakan pembinaan. Klungkung tak mau kalah. “Biasanya upaya kami berawal dari penertiban penduduk,” jelas Bupati Klungkung, Wayan Candra.

Toh, praktik prostitusi tetap ada. Penyebarannya bahkan makin merata di seluruh wilayah Bali. Yayasan Kerti Praja (YKP), lembaga yang melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, mencatat ada delapan lokasi prostitusi yang kini dijangkaunya di Denpasar. Mulai dari di wilayah Blanjong dan Semawang, Jl Danau Tempe, Carik (Ubung), Gatot Subroto, serta tiga lokasi di Padanggalak. Itu belum termasuk bungalow, losmen, panti pijat, kafe, serta karaoke yang kadang menyediakan layanan seks itu.

Di wilayah Blanjong dan Semawang saja, selama Desember 2005 YKP menjangkau 101 PSK di 13 cluster (sebutan untuk masing-masing tempat. Satu tempat dipimpin sat germo.). Jumlah itu naik dibandingkan Januari 2005 yang hanya 93 PSK. Jumlah itu tak seberapa dibandingkan data di Jl Danau Tempe. Setidaknya, terdapat 28 cluster dengan 245 PSK di lokasi yang paling tinggi transaksi seksnya di Bali itu.

Tiga lokasi di Padanggalak (biasa diistilahkan padanggalak bawah, padanggalak atas, dan padanggalak pasir), ada 192 orang bekerja melayani birahi laki-laki. Berbeda dengan Sanur, aktivitas jual beli seks di Padanggalak tak terkonsentrasi di malam hari. Separuh lebih PSK di sana juga menerima job di siang hari. Di Carik (kawasan Lumintang), lebih unik lagi. Lokasi dengan 142 PSK yang bekerja di 29 cluster ini, hanya buka di siang hari. Sementara di kawasan Gatot Subroto, ada 31 PSK di tiga cluster. Ada juga dua lokasi bertameng losmen di Denpasar yang ternyata menyediakan sedikitnya 50 PSK.

Selain lokasi-lokasi prostitusi, kalau tidak mau disebut lokalisasi, itu ada 1001 cara lain untuk melakukan transaksi yang rentan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS ini. Bisa lewat bungalow, losmen, panti pijat, kafe, maupun karaoke. YKP mencatat ada 14 cluster siap menyediakan 260 PSK kepada tamu-tamu di sejumlah bungalow di Denpasar. Karena tarif yang ditetapkan cenderung lebih tinggi dibandingkan lokasi-lokasi prostitusi, maka transaksi seks di bungalow cenderung dilakukan tamu kelas menengah ke atas. Masih di wilayah Denpasar, Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI) juga mencatat satu lokasi prostitusi di wilayah Denpasar Timur, serta sejumlah tempat aktivitas seksual di Kecamatan Denpasar Barat.

Selain Kota Denpasar, aktivitas seksual berisiko itu juga menyebar ke seluruh pelosok Bali. YCUI yang rutin menjangkau pelanggan seks di sebagian wilayah Denpasar, Buleleng, Karangasem, Jembrana, Tabanan, dan Badung, juga menjangkau desa-desa yang sarat aktivitas seks komersial. Di Buleleng misalnya, YCUI menjangkau 12 desa di Kecamatan Gerokgak. Selain itu lokasi prostitusi itu juga tersebar di seluruh kecamatan yakni Seririt, Banjar, Sukasada, Sawan, Buleleng, Kubutambahan, dan Tejakula.

Lokasi bisnis seks di Kabupaten Jembrana tak kalah banyak. Jangkauan YCUI ada di Kecamatan Melaya, Negara, Mendoyo, dan Pekutatan. Sementara di Karangasem, satu kelurahan dan dua desa di Kecamatan Karangasem, tiga desa di Manggis, serta satu lokasi di Bebandem. Tiga desa Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung, juga jadi target.
Masih menurut catatan YCUI, tempat-tempat untuk melakukan aktivitas seksual tak hanya di lokasi-lokasi prostitusi. Tapi juga menyebar ke hotel, panti pijat, hingga kafe-kafe. Sementara tempat mangkal para pelanggan seks juga beragam, mulai dari terminal, pos ojek, biliar, pasar, tempat parkir, wartel, warung kopi, bengkel, hingga wantilan.

Direktur YCUI, Efo Suarmiarta menegaskan, sebagian besar laki-laki pelanggan seks berasal dari desa. Selain faktor pekerjaan yang membuat mobilitas mereka tinggi, juga karena hiburan di desa masing-masing cenderung menggiring ke aktivitas seksual. “Seperti metuakan,” ujar Efo menyebut kebiasaan minum minuman keras di Bali. Kondisi itu banyak dilihat sebagai peluang oleh para pemodal bisnis seks dengan mendekatkan diri ke desa-desa melalui bentuk kafe. Tentu saja, jumlah itu belum seluruhnya. Masih banyak wilayah di pelosok Bali yang belum mampu dijangkau YCUI.
Pemberantasan atau penertiban membuat kening pejabat daerah setempat berkerut. “Prostitusi, saya rasa, di manapun ada di dunia ini. Masalahnya kan tempat-tempat begitu tersembunyi dan sulit dipantau. Sekalipun kadang ada yang dianggap lokasi, saat diadakan operasi, juga kadang-kadang nggak ada hasilnya. Mereka kadang-kadang lebih pintar,” aku Bagiada.

Demikian juga di Klungkung. Bupati Wayan Candra mengaku tak cukup mampu memberantas prostitusi di Klungkung. “Memang masih ada. Itu manusiawi. Sejak dulu kan memang sudah ada. Hanya masalahnya menonjol atau tidak,” kilahnya.

Sulitnya memberantas praktik prostitusi, menurut Astawa, tak lepas dari peranan banyak pihak yang membekingi. “Beratnya, banyak pihak di balik mereka. Paling tidak ada 15 pihak membekingi mereka. Mulai dari preman kelas berdasi sampai sandal jepit,” ungkapnya. Menurut Astawa, sudah jadi hal biasa setelah penangkapan, banyak pihak ingin menjamin, juga pejabat.

Sering kali, operasi penertiban bocor di lapangan. “Bisa saja dari anggota yang bocorkan itu. Saya tak menutup mata,” cerita Astawa blak-blakan. Namun ia mengancam memecatan bila ada anggotanya terlibat. “Sulit memberantas ini. Karena ini masalah klasik,” jelas Astawa yang punya 161 personil aktif. Dengan jumlah personil terbatas, sementara ada 1001 masalah di Denpasar, Astawa mengaku kesulitan memberantas praktik prostitusi. Apalagi Tramtib tak hanya bertugas mengamankan Perda Pemberantasan Pelacuran.

Masih ada 47 perda lainnya harus diamankannya. “Mulai dari PSK, izin usaha, sampai tunggakan pajak. Semua diserahkan ke kita,” keluhnya. Lebih dari itu, Astawa mengakui bahwa sebagai daerah pariwisata, Bali tak bisa dilepaskan dari 3S, yaitu sea, sun, dan sex. Tak bisa dipungkiri, keuntungannya lumayan. “Jadi, ini sudah jadi bisnis,” tambahnya.
Sekretaris Kota Denpasar, Made Westra, berdalih penertiban-penertiban saja tidak cukup. “Kita harapkan masyarakat mendukung,” harap Westra. Tentu saja, tak mudah mengharap dukungan penuh masyarakat. Apalagi, masih ada banyak Wayan lain yang tersebar di Bali. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 13, Februari 2006]

Komitmen Jangan Terbentur Kemunafikan

“Memangnya ada lokalisasi di Bali?” tanya salah seorang anggota DPRD Bali bernada hipokrit saat dengar pendapat fraksi soal Rancangan Perda Penanggulangan HIV/AIDS, akhir Januari lalu. Kalimat itu memang bukan pertama kita dengar. Di banyak pembicaraan soal praktik prostitusi, kata lokalisasi selalu mengundang pro kontra. Ada yang sepakat bahwa lokalisasi memanga ada di Bali, namun lebih banyak yang tak mengakui keberadaan lokalisasi itu. Maka banyak orang kemudian mengganti istilah itu dengan lokasi. Maklum, penggunaan kata lokalisasi mengesankan adanya pelegalan terhadap aktivitas jual beli seks itu.

Tapi, apa bedanya? Keduanya memiliki fungsi sama, tempat aktivitas seksual. Diakui atau tidak, kegiatan prostitusi ada di mana-mana, tak terkecuali di Bali. “Itu sudah lazim. Sulit kita berantas,” kata Bupati Buleleng, Putu Bagiada. Menyadari sulitnya memberantas kegiatan prostitusi, Bagiada bahkan mengaku terkadang membuka layanan kesehatan di tempat-tempat itu. “Bagi mereka yang melakukan kegiatan seperti itu, kita layani kesehatannya. Jadi walaupun sudah ditangkap, tetap kita cover dengan upaya penanggulangan HIV/AIDS. Karena itu sulit diberantas,” akunya.

Kegiatan prostitusi sangat rentan mengakibatkan penyebaran infeksi menular seksual dan HIV/AIDS. Diperkirakan sekitar 100 ribu pelanggan seks di Bali telah terinfeksi HIV/AIDS. Jika dibiarkan, mereka sangat berisiko menularkan kepada istri dan bayinya, atau pun perempuan lain pasangan seksnya.

Kegiatan penjangkauan bagi pekerja dan pelanggan seks, juga telah rutin dilakukan dua yayasan, Yayasan Kerti Praja (YKP) dan Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), sejak puluhan tahun lalu.

Selama tahun 2005 YCUI lebih cenderung mengembangkan penjangkauannya ke pedesaan. “Sekarang kami juga jangkau perempuan sebagai secondary outreach. Kami yakin peran lingkungan akan sangat membantu,” ujar Direktur YCUI, Efo Suarmiartha.

Penjangkauan dilakukan dengan kampanye safe sex untuk peningkatan kesadaran para pelanggan. Dengan begitu, mereka diharapkan memahami bahwa perilaku berisiko yang mereka lakukan sangat berbahaya. “Salah satunya dengan meningkatkan penggunaan kondom,” tambah Efo.

Hasil penjangkauannya tak sia-sia. Setidaknya, kini banyak germo telah membuka outlet kondom yang didistribusikan YCUI. Dari 82 outlet kondom YCUI, 55 diantaranya digawangi oleh para germo. Hasilnya lumayan. Selama 2005, total kondom yang terdistribusi sebanyak 39.484 buah. Sebanyak 15.462 kondom berhasil dijual, sementara 24.022 kondom dibagikan gratis.

YCUI juga membangun jaringan rujukan IMS untuk melayani para pelanggan seks itu. Sejak dibangun pada tahun 2000, jaringan rujukan IMS YCUI telah mencapai 62 unit, tersebar di Buleleng, Jembrana, Karangasem, Badung, dan Tabanan. Jaringan rujukan IMS itu terdiri dari puskesmas, rumah sakit, dokter praktik swasta, bidan, dan mantri. Selama Januari – Desember 2005, jaringan rujukan itu telah dimanfaatkan oleh sedikitnya 723 orang pelanggan. Sebanyak 655 orang diantaranya datang sendiri, sementara 68 orang diajak oleh petugas lapangan YCUI.

Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Denpasar juga melakukan upaya pencegahan penyebaran HIV/AIDS dan IMS. Salah satunya dengan menyasar sejumlah panti pijat. Setiap tahun, Dinkes Denpasar melakukan pelatihan pada para karyawan panti pijat, termasuk melakukan tes kesehatan. Tujuannya, tentu saja untuk mencegah meluasnya penyebaran penyakit dalam kegiatan prostitusi yang bertameng panti pijat itu.

Meski dilarang, sejumlah langkah pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS telah membuktikan adanya kegiatan prostitusi di Bali. Tanpa lokasi khusus pun, prostitusi tetap bisa dilakukan. Selama ada permintaan, akan selalu ada penawaran. Hukum ekonomi itu tampaknya juga berlaku dalam bisnis seks.

Kita boleh saja menutup mata atas keberadaan bisnis ilegal itu. Nyatanya, saat ini diperkirakan ada 3000 orang yang terinfeksi HIV/AIDS di Bali. Dari jumlah itu, 1900 orang diantaranya terinfeksi akibat hubungan seks tak aman. Sementara 1100 orang telah terinfeksi akibat kebiasaan berbagi jarum suntik di kalangan pengguna narkoba suntik (injecting drug user/IDU).

Pembuatan ranperda tentang penanggulangan HIV/AIDS oleh Pemerintah Provinsi, merupakan salah satu upaya mencegah makin meluasnya penyebaran HIV/AIDS. “Karena HIV/AIDS termasuk sindrom penurunan kekebalan tubuh yang perjalanannya amat panjang, yaitu sekitar 5-15 tahun selama hidupnya. Bila tidak diambil langkah-langkah cepat dan tepat, maka 3000 penduduk yang saat ini telah tertular HIV bisa menularkan virusnya kepada puluhan atau bahkan ratusan ribu penduduk lainnya,” ungkap Wirawan yang juga Ketua Pokja Perencanaan Program dan Monitoring Evaluasi, Komisi Penanggulangan AIDS (KPAD) Bali.

Salah satu poin dalam ranperda yang kini tengah digodok DPRD Bali itu, yakni mewajibkan penggunaan kondom dalam setiap aktivitas seksual berisiko. Pasalnya, HIV sebenarnya tak mudah menular bila masyarakat tak melakukan kegiatan berisiko seperti aktivitas seksual dengan banyak pasangan, atau penggunaan jarum suntik yang tidak steril. Ada juga poin yang mengatur upaya pencegahan, serta pengobatan, perawatan dan dukungan bagi orang dengan HIV/AIDS (Odha). “Ranperda HIV/AIDS ini amat mendesak dibuat,” sambut Nengah Sudirta, salah seorang anggota Fraksi Kertha Mandala DPRD Bali mewakili fraksinya.

Fraksi Golkar menegaskan hal senada. “Saat ini sekitar tiga ribu penduduk Bali hidup dengan HIV/AIDS. Keadaan ini tak hanya menimbulkan masalah kesehatan, tetapi juga menimbulkan masalah sosial, ekonomi, dan politik bagi daerah Bali,” tandasnya.

Sementara Fraksi PDI Perjuangan (PDI P) melalui juru bicaranya mengatakan Penanggulangan HIV/AIDS di Bali belum perlu digariskan dalam Perda karena kasusnya masih kecil. PDI P menganggap beberapa penyakit menular lainnya seperti flu burung dan TBC juga membutuhkan perhatian. Fraksi dengan anggota terbanyak di DPRD Bali ini menyarankan penanggulangan HIV/AIDS diatur dengan aturan setingkat keputusan atau Instruksi Gubernur.

Namun secara garis besar fraksi PDI P dan Kertha Mandala bimbang dengan program yang terkait dengan prostitusi itu. Takut terkesan melegalkan bisnis seks. Padahal justru makin tumbuh subur ketika perda pemberantasan pelacuran dilaksanakan.

Pun demikian, komitmen datang beberapa kepala daerah. “Klungkung siap mengimplementasikan,” tegas Bupati Klungkung, Wayan Candra jika Perda itu berhasil lolos. Namun Candra menambahkan, Perda HIV/AIDS hanya akan menjadi alat. “Yang terpenting di hatinya,” tandas Candra. “Sesuai aturan, kami sangat dukung upaya perda,” tambah Sekkot Denpasar. Made Westra. Semikian pula Bupati Buleleng, Putu Bagiada. Apapun bentuk payung hukumnya, semoga komitmen tak hanya di atas kertas. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 13, Februari 2006]