Google
 

Senin, 20 Maret 2006

Menengok Ketegaran Gerokgak

Sudah pernah dengar tentang Komunitas Jurnalis Peduli AIDS (KJPA)? Komunitas yang sudah terbentuk pertengahan tahun lalu itu, di awal Maret punya gawe bareng Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Bali. Puluhan jurnalis yang peduli HIV/AIDS, berangkat bareng menengok beberapa orang dengan HIV/AIDS (Odha) dan anak-anak yang menjadi yatim atau yatim piatu karena orang tuanya mengidap HIV/AIDS. Gimana perjalanan sehari bareng Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Kesuma Kelakan itu?

06.30 wita
Nggak seperti biasa, kantor KPA Bali di Jalan Melati No. 21 Denpasar sudah ramai. Beberapa wartawan tulis, radio, dan fotografer, sudah duduk manis di area parkir. Mungkin karena diwajibkan bangun terlalu pagi, beberapa diantaranya masih kelihatan ogah-ogahan. Maklum, di jam itu harusnya mereka masih asyik di ranjangnya masing-masing. Tapi apa boleh buat. Demi sebuah perjalanan yang asyik, juga demi mendapat berita menarik, apapun rela dilakukan.
Tapi, tunggu dulu. Ternyata nyonya rumah, Media Relation KPA Bali, Mercya Susanto, malah datang telat dari waktu yang diumumkan ke wartawan. Tapi nggak masalah, karena Mercya “menyelamatkan” perut-perut kami yang sudah keroncongan dengan nasi kuning yang dibawanya. “Akhirnya, kita sarapan juga,” begitu Istifadah, wartawan Nusa Bali, dengan nasi kuning di tangannya.

07.35 wita
Akhirnya berangkat. Sayangnya, banyak teman wartawan yang batal ikut. Maklum, hari itu juga akan ada aksi menolak Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Alhasil, cuma sebanyak …. wartawan yang ikut, dari …. yang direncanakan.

10.45 wita
Sampai juga di tempat tujuan, di Kantor Kepala Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Buleleng. Ternyata Wakil Gubernur Bali selaku Ketua KPA Bali Kesuma Kelakan sudah menunggu kami, ditemani beberapa perangkat desa setempat. Wah, baru kali ini ya, wartawan ditunggu sama pejabat. Biasanya kan wartawan yang harus pontang panting mengejar pejabat.
Mungkin karena bosan menunggu, Kelakan lantas naik ke atas panggung dan mengambil stik drum. Mau ngapain? Ternyata ia ingin menunjukkan kebolehannya main drum. Relawan Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), Nyamprutlalu menyanyi dan bersama Kelakan memainkan dua buah lagu. Sampai-sampai Wakil Bupati Buleleng, I Gede Wardana, terlihat agak bingung saat datang dan melihat Kelakan sedang asyik bermain drum. Gaul banget ya Wagub kita. He.he.he…


11.05 wita
Acara dimulai. Penampilan Pembalut (Pemuda Bali Utara) dengan aksi genjek (sejenis pertunjukan tradisional Bali) peduli AIDS-nya, menandai dimulainya acara. Begini sebait lirik lagunya. “Apang tusing kena AIDS, Aduh duhhh…, ingetang je nganggen kondom (agar tidak kena AIDS, ingat pakai kondom).” Tak lama, Wabup Wardana, memberi sambutan. Dia menyebut sebanyak 14 Odha kini tengah dirawat di RSUD Buleleng. Sedangkan sebanyak 110 Odha tengah menjalani pengobatan jalan. “Karena hari ini tumpek landep, upacara untuk yang landep-landep, kita berharap agar komitmen kita untuk HIV/AIDS tambah landep,” ujar Wardana. Tumpek landep adalah perayaan Agama Hindu dengan makna menajamkan pikiran. “Kalau perlu, nanti kita upayakan agar PNS dites HIV,” ujar Wardana. Lho kok?
Pernyataan Wardana ini disentil Kelakan. Ia mengatakan, Indonesia sudah ikut meratifikasi piagam HAM PBB untuk tidak melakukan tes paksa. “Hak untuk tidak memaksa tes, merupakan urusan yang sangat prinsip,” ujarnya. Ia menceritakan seorang ibu hamil yang merasa sebagai orang baik-baik, diketahui positif HIV. Kekagetan luar biasa membuatnya bunuh diri. “Kasihan bayi dalam kandungan yang belum tahu apa-apa. Siapa tahu dia sebenarnya bisa jadi pemimpin besar. Karena itulah ada VCT. Sebelum dilakukan tes, ada konseling, Kalau belum siap, tidak dites,” jelas Kelakan. Alit Kelakan lantas memberi penjelasan panjang lebar soal HIV/AIDS. Mulai dari penularan HIV yang tak terlihat seperti flu burung atau SARS, sampai ke masalah pornoaksi. Apa hubungannya? Kelakan menegaskan perlunya pembedaan masalah moral, dengan masalah kesehatan dalam penanganan HIV/AIDS. “Apalagi ada UU pornoaksi, harus dibedakan antara kesehatan dan kesenian dengan pornoaksi,” kata Kelakan menyindir keberadaan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang sempat menghambat pengesaan Ranperda HIV/AIDS Bali karena dianggap akan bertentangan bila disahkan.
Wagub juga menyindir masih adanya orang-orang yang mendiskriminasi Odha. “Masih ada orang yang salaman saja nggak mau. Padahal dari agama, tidak dinilai dari kulit, tapi dari rohnya,” tegas bapak dua anak itu.

12.55 wita
Ini dia ajang curhat Odha dan Ohidha (Orang yang hidup dengan Odha) dengan Kelakan dan KJPA. YCUI sebagai yayasan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang menjadikan Gerokgak sebagai salah satu wilayah jangkauan, menghadirkan sejumlah Odha dan Ohidha. Mereka kelihatan sehat-sehat. Tak hanya dari Gerokgak, tapi dari sejumlah kawasan di Buleleng. Ada seorang kakek berusia 57 tahun yang mengaku senang berganti pasangan semasa muda. Ada juga dua orang ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV dari suami masing-masing. Selain itu, ada sejumlah anak yang menjadi yatim karena ditinggal salah satu orang tua mereka karena AIDS. Asih (bukan nama sebenarnya) salah satunya. Remaja berusia 17 tahun itu kini menghabiskan kesehariannya dengan merawat sang ibu yang belakangan juga diketahui positif terinfeksi HIV. “Lingkungan sekitar rumah nggak ada masalah. Cuma tesnya aja agak mahal,” jawab Asih saat Kelakan menanyakan masalah yang masih dihadapi. Memang, mahalnya tarif tes viral load membuat banyak Odha di Buleleng tak mampu menjalankan tes untuk mendeteksi jumlah virus HIV dalam darah itu. Sementara untuk tes sel CD4 (sel pembentuk sistem kekebalan tubuh) yang jadi salah satu indikator kondisi kesehatan Odha, sudah dilakukan setiap 3 bulan atas bantuan funding.
Untuk distribusi obat ARV? Direktur YCUI, Efo Suarmiartha, mengakui tak ada masalah dengan distribusi obat untuk menekan perkembangan jumlah virus HIV dalam darah itu. Yang masalah justru sarana pengantaran Odha sakit ke RS Sanglah Denpasar. Karena hanya tergantung pada ambulance milik Puskesmas setempat, maka pengantaran hanya bisa dilakukan untuk pengobatan Odha yang telah memasuki fase infeksi oportunistik (IO). Sementara ini, upaya yang dilakukan lebih kepada peningkatan pengadaan obat. Untuk kebutuhan Odha, termasuk pasokan susu untuk anak-anak mereka, masih mengandalkan bantuan donatur, seperti dari kelompok PKK Kabupaten Buleleng dan para ekspatriat. Kelakan berjanji untuk membantu hal-hal yang dibutuhkan Odha dan keluarga Odha di Gerokgak. Semoga nggak lupa sama janjinya ya..

12.25 wita
Bagian yang paling dinanti dari perjalanan sehari itu akhirnya tiba. Kunjungan ke rumah Odha. Rumah keluarga pasangan Odha, Nyoman Renti dan Putu Sumastika di Desa Pemuteran, jadi yang pertama kami kunjungi. Rumahnya lumayan masuk pelosok, sekitar 1 km dari jalan raya Singaraja-Gilimanuk. Jalan masuknya pun masih tanah dan berbatu sehingga mobil sedan dinas Wagub Kelakan dan Wabup Wardana tidak bisa masuk. Kedua pejabat itu kemudian “numpang” di mobil rombongan lain.
Tiba di tempat tujuan, Renti dan Sumastika sudah menunggu bersama dua bayi kembarnya. Kelakan langsung mengambil Yoga (5 bulan) dari gendongan Renti. Oktober tahun lalu, pasangan yang telah memiliki 1 putra ini dikaruniai dua putra kembar sekaligus. Namanya Komang Yogi Hivartha Laksana dan Ketut Yoga Hivartha Laksana. Maknanya, ternyata sangat mendalam. Kata Hivartha berasal dari kata HIV (virus HIV) dan artha (menang). Dengan begitu, Yogi dan Yoga diharapkan bisa menang dari virus HIV yang telah menginfeksi kedua orang tua mereka.
Sayangnya, waktu kami berkunjung ternyata Yogi sedang sakit. Kata Renti, Yogi sudah sakit panas tinggi sejak beberapa hari. “Badannya panas. Sakitnya gantian sama Yoga. Sebelumnya Yoga yang sakit, Yoga sehat. Tapi setelah Yoga sembuh, malah Yogi yang sakit,” cerita Renti.


……… [Dian]
Balik ke Kantor Desa Pejarakan. Setelah puas ngobrol dengan para Odha dan anak-anak Odha, dilanjutkan dengan dialog. Putri Bali 2005, Gusti Ayu Pradnyandari yang ikut dalam rombongan langsung mengacung saat sesi dialog itu dibuka. Ia penasaran dengan pernyataan Wabup Wardana yang menyatakan perlunya tes HIV bagi PNS. “Tadi pak wabup bilang kalau ada yang mau jadi PNS dan pegawai, harus dites. Bukankah itu diskriminasi?” tanyanya. Wabup Wardana kelihatannya cukup tergugah. “Sebenarnya memang melanggar HAM. Tapi persyaratan untuk jadi siswa, pegawai, tentara, memang kesehatan. Tapi kita berharap tidak ada HIV/AIDS di Buleleng. Kita pun berharap tidak ada diskriminasi. Sebagai manusia kita harus perlakukan sama,” jawab Wardana. Kelakan menambahi, “Kita sudah meratifikasi HAM PBB. Kalau itu dilanggar, sulit.”

Dialognya tambah hangat ketika Kelian Banjar dari Desa Banyu Poh menyambung dengan pertanyaan baru. Ia mengaku sempat memberi penyuluhan HIV/AIDS di malam Siwaratri. Penyuluhan dilakukan di Pura Desa Banyu Poh. Tapi, pro kontra muncul sesudahnya. Katanya, banyak yang protes karena penyuluhan dilakukan di jeroan (halaman) pura. Kelakan menanggapi. “Ini adalah proses penyadaran. Tuhan kita puja, tapi Tuhan tidak diskriminatif. Tuhan tidak ingin kita puja-puja terus. Yang penting juga pendekatan dengan manusia lainnya. Kalau seksualitas dilihat dari materi dilakukan di pura, salah. Tapi kalau pemecahan untuk jalan yang besar, saya yakin Tuhan akan senang,” paparnya.

14.20 wita
Balik ke Denpasar dengan membawa segudang kisah menarik dan inspiratif. Satu benang merah yang kami dapat, HIV/AIDS dapat menginfeksi siapa saja. [Komang Erviani dan Ni Luh Dian]

Minggu, 12 Maret 2006

Debentur Bodong Mengecoh Nasabah

Puluhan nasabah Bank Lippo Denpasar gigit jari. Surat berharga Lippo E-Net tak bisa dicairkan lantaran palsu. Siapa saja yang terlibat?

Punya simpanan duit Rp 2 miliar di bank, tahu-tahu raib tak berbekas, siapa yang tidak terkaget-kaget? Wayan Wirata yang ketiban apes itu, sampai terduduk lemas ketika gagal mencairkan duit tersebut di Bank Lippo Cabang Denpasar,Bali. Sertifikat piutang yang dipegangnya, rupanya bodong sehingga bank menolaknya.

Accounting Hotel Melia, Nusa Dua, tak pernah menyangka kalau dana perusahaan yang diinvestasikannya itu akan tamat tanpa kejelasan. Padahal saat memulai peruntungan dalam surat berharga yang diberi nama debentur dari program Lippo E-Net itu, ia bermimpi perusahaan akan mendapat untung besar. Bagaimana tidak, bunga yang ditawarkan mencapai 15 persen. Sebuah angka yang cukup menggiurkan di tengah rendahnya suku bunga deposito saat ini.

Adalah Nursainah Betty Maharani, pegawai Bank Lippo yang memperkenalkannya dengan produk Lippo E Net tersebut. Betty yang terakhir menjadi ATM Coordinator Bank Lippo Area Bali, sudah dikenalnya jauh sebelum ada penawaran promisorry notes, tepatnya saat Betty menjabat Kepala Kantor Kas Bank Lippo Nusa Dua. Tergiur untung besar dan dengan modal kepercayaan, Wirata mewakili perusahaan tak segan menyetorkan dana sebesar Rp 2 miliar pada 6 Oktober 2005 lalu. “Kita pilih deposito berjangka satu bulan,”begitu pria asal Pancasari Tabanan itu. Hasilnya tak mengecewakan. Hanya dalam tempo sebulan, dana yang diinvestasikan mendapat tambahan bunga Rp 24 juta. Dari sana, pada Januari 2006 lalu perusahaan memutuskan untuk kembali berinvestasi lewat promissory notes Lippo E-Net dengan nilai yang sama, Rp 2 miliar. Namun saat bunga dan setoran pokoknya akan ditarik pada 6 Februari lalu, pihak Bank Lippo ternyata menolak mencairkan dananya. “Kata manajemen, sertifikat yang kami berikan palsu,”keluh Wirata yang mengaku telah menyerahkan segala permasalahan kepada kuasa hukum perusahaan, Edward E Lontoh, SH.

Tak cuma Wirata yang tertipu. Setidaknya ada 31 nasabah Bank Lippo yang jadi korban dari program yang diluncurkan tahun 2000 lalu itu. Sebagian besar diantaranya adalah ekspatriat. Masing masing korban merugi puluhan juta hingga miliaran rupiah. Tak tanggung, totalnya diperkirakan mencapai Rp 30 miliar. Pertengahan minggu lalu, sebagian korban penipuan ini sudah diperiksa sebagai saksi di Mapolda Bali, Denpasar. Dalam kesaksian di Polda Bali, salah seorang korban, Tantra Jaya, mengaku rugi Rp 435 juta. Menurut Tantra, dirinya menjadi nasabah Bank Lippo Denpasar karena memiliki deposito di bank tersebut sejak tahun 2000. Pada 2001, karyawan Lippo yang juga diduga menipu Wirata, Betty, mendatanginya sambil menawarkan surat berharga milik PT Lippo E-Net Tbk. Tertarik dengan bunga yang ditawarkan, ia memutuskan membeli surat berharga itu dengan memotong depositonya di Bank Lippo. Awalnya, pembayaran bunga berjalan lancar. Bahkan, Tantra bisa menarik uangnya yang ada di Bank Lippo dengan lancar dengan bantuan Betty. Pada tahun 2002 ia mengambil uangnya sebesar Rp 66,5 juta. Tahun 2003 berlanjut dengan nilai Rp 170,5 juta. Berbeda dengan Wirata, pengiriman uang dilakukan lewat Bank Bhuana Denpasar. Saat itu Tantra tak menaruh curiga, karena dananya tak bermasalah. Namun pada 1 Februari, saat ia meminta Betty mencairkan Rp 150 juta dananya, Betty tak merespon. Telepon yang dihubungi Tantra juga tak mengangkat. Ia baru sadar telah tertipu setelah Bank Lippo mengatakan bahwa semua transaksi yang ia lakukan dengan Betty selama ini tidak diakui oleh Bank Lippo. Akibat peristiwa itu, pedagang sembako di Denpasar itu harus kehilangan uangnya sebesar Rp 435 juta.

Pengakuan para nasabah yang tertipu, memang mengarah pada satu nama, Nursainah Betty Maharani. Perempuan yang telah bertahun-tahun bekerja di Bank Lippo itu, menjadi satu-satunya nama yang menjalin kontak dengan para korban. Pihak Bank Lippo Denpasar juga menyebut hal yang sama. Bank Lippo Denpasar mengaku telah terjadi penyalahgunaan wewenang oleh karyawannya itu."Setelah kami telusuri, semua transaksi tersebut, baik surat berharga PT Lippo E-Net, Tbk, bukan produk Bank Lippo. Slip setoran Lippo Bank yang ada di tangan pengadu juga tidak ada validasi transaksi sehingga tidak sah sesuai aturan perbankan. Jadi semua transaksi itu tidak tercatat di Bank Lippo Denpasar," kata Putu Subada Kusuma, SH, KN, Kuasa Hukum Bank Lippo Cabang Denpasar. Manajemen Bank Lippo bahkan telah melaporkan Betty ke Polda Bali tanggal 16 Februari 2006. Tuduhannya, penyalahgunaan wewenang dan pemalsuan dokumen yang ada di Bank Lippo. Betty sendiri dikatakan telah mangkir dari pekerjaannya tanpa alasan jelas pada 27 Januari lalu. Paska mangkirnya Betty itulah, sejumlah nasabah korbannya mendatangi Bank Lippo untuk menagih dana yang tak tercatat di Bank Lippo. Betty sendiri sudah secara resmi dipecat dari pekerjaannya pada 3 Februari lalu.

Subada juga secara tegas membantah kalau Bank Lippo telah kebobolan. “Berdasarkan audit internal, Lippo Bank Cabang Denpasar tidak mengalami kebobolan karena semua transaksi yang ada sudah sesuai aturan perbankan,“jelasnya. Dikatakan, Lippo tak ada sangkut pautnya dengan kasus Lippo E-Net. “Produk surat berharga milik PT. Lippo E-Net Tbk bukan merupakan produk Bank Lippo,“Subada menegaskan, sambil memperlihatkan perbedaan kedua surat berharga itu. Namun melalui siaran persnya, pihak Bank Lippo sendiri mengaku sudah mengakui adanya aktivitas penjualan produk Lippo E –Net oleh karyawannya. “Lippo Bank sejak beberapa tahun lalu telah melarang para pegawainya melakukan penawaran dan penjualan produk-produk di luar produk Lippo Bank sendiri. Larangan tersebut juga mencakup penawaran dan penjualan produk-produk Lippo E-Net,“begitu tertulis di siaran pers itu. Lalu, bagaimana dengan dana nasabah? "Karena semua transaksi itu di luar produk perbankan, maka terkait ganti rugi, kita tunggu dulu hasil pemeriksaan oleh kepolisian," demikian Subada.

Penegasan pihak Bank Lippo tentang tidak adanya keterkaitan antara PT. Lippo E-Net Tbk dengan Lippo Bank, membuat panas kuping J. Robert Khuana, SH, kuasa hukum dari 4 nasabah korban Lippo E-Net yang mengalami kerugian total Rp 10 miliar. Menurut Khuana, pihak Bank Lippo tidak bisa lepas tangan begitu saja. Pasalnya,ketika produk itu dikeluarkan, menggunakan tangan-tangan orang Lippo.Diakui, keempat kliennya yang berkewarganegaraan Jepang dan Australia seringkali didatangi Betty. “Tapi dia datang dengan uniform Lippo. Pada jam kerja, bahkan sarana kendaraan Lippo, menggunakan atribut Lippo dan didukung oleh staf lainnya. Dalam praktek bank, apakah pernah bank Lippo menerapkan sistem jemput bola?” Khuana mempertanyakan. Khuana juga tak percaya kalau hanya seorang Betty, mampu menerima dan mengamankan sendiri uang miliaran. Apalagi sejumlah kliennya menyatakan bahwa transaksi kerap dilakukan melalui kasir Bank Lippo. “Bahkan ada nasabah yang uangnya di tabungan tiba-tiba lenyap. Ada beberapa transaksi pengambilan, tapi dia tidak pernah ngambil.Kalau itu tidak dibilang kebobolan, lalu apa,”keluhnya.

PT. Lippo E-Net yang telah terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ), juga jelas-jelas merupakan salah satu dari sekitar 20-an grup Lippo.”Namanya juga grup, pasti ada kolaborasi. Bukan rahasia lagi, hampir semua perusahaan atau grup-grup besar memiliki usaha bermacam-macam, transaksi keuangannya berbasis di banknya mereka,”jelas Khuana sambil mencontohkan salah satu grup perusahaan di mana usaha asuransi dan pembiayaannya berbasis pada bank yang berada dalam grupnya. Sebagai perusahaan dalam 1 grup, diakui tak ada hubungan langsung antara Bank Lippo dengan Lippo E-Net. Tetapi dari uraian transaksi yang dilaporkan kliennya, sebagian transaksi dilakukan melalui mekanisme bank. “Melalui rekening di bank. Melalui kasir di bank. Dengan melalui beberapa staf bank. Di dalam bank kan ada sistem kontrol. Bagaimana mungkin nasabah yang punya uang kemudian uang itu terambil. Kira-kira apa, kalau nggak dibilang pembobolan,”ujarnya geram. Secara tegas Khuana menyatakan, Betty tak sendirian. “Kami punya data bahwa tidak hanya bu Betty seorang diri.,”tandasnya.

Namun Khuana sendiri mengaku belum mau mengungkap lebih banyak tentang kasus itu. Pasalnya, ia bersama dua rekan nasabah korban Lippo E-Net lainnya, Anggia Lubis SH dan Ricky JD Brand, SH, tengah melakukan negosiasi dengan tiga orang direksi PT. Lippo E-Net, Tbk. Pertemuan dengan direksi dari Jakarta yang dilakukan di Bali itu, telah dilakukan 3 kali. “Pada dialog kami sepakat untuk saat ini mengesampingkan penyelesaian melalui jalur hukum. Dan berkomit untuk segera menyelesaikan tanpa mengungkap siapa yang benar dan siapa yang salah. Bagi klien saya, kemauan pihak Lippo E-Net untuk berdialog dan menyelesaikan melalui perundingan, kita hormati dan kita hargai. Dan itu memang yang diharapkan oleh para nasabah, agar penyelesaian tidak berlama-lama. Kalau perundingan itu buntu dan masuk area jalur hukum, di situlah kita akan buka seluruhnya,”tambah pengacara yang berkantor di Jalan Hayam Wuruk Denpasar itu. Dijelaskan, pihaknya akan selalu membawa misi dan kepentingan klien. “Bagi klien, kan yang penting uangnya kembali,”tandasnya. Lippo E-Net menjanjikan uang kembali? “ Mereka tidak menjanjikan. Tapi bagi kami, untuk apa kita duduk berunding kalau bukan untuk itu,”tegasnya. Atas hal ini, tak heran bila salah seorang nasabah yang jadi klien Khuana, Akiko Sibata yang mengalami kerugian sekitar Rp 1,75 miliar, enggan memberi keterangan. Dalam pembicaraan melalui telepon dengan GATRA, ekspatriat asal Jepang ini bungkam. “Saya nggak mau bicara itu. Bicara saja dengan pengacara saya,”begitu Akiko dari ujung telepon.

Terkait keterlibatan Betty dalam kasus itu, Dir. Reskrim Polda Bali Kombes Pol. Pol Dewa Bagus Made Suharya mengaku tengah menangani kasus itu. Hingga saat ini, sudah ada 2 korban yang melapor secara resmi ke polisi. “Sejumlah korban dari kalangan WNA baru melakukan konsultasi,'' katanya. Buntutnya, Polda serius melakukan pengejaran terhadap Betty. Namun senada dengan Khuana, Suharya menduga aksi penipuan Betty tidak dilakukan sendirian. "Modus penipuan yang dilakukan Betty mirip dengan multilevel marketing, jadi melibatkan beberapa orang. Kita berharap Betty cepat tertangkap sehingga kasus ini segera terungkap," katanya. [Komang Erviani / pernah dimuat di Majalah GATRA Edisi No. 17 Tahun XII, 11 Maret 2006]


Para Korban Lippo :

1. Percy V Berlace Rp 7 miliar
2. Jacob Mattoli Rp 2,5 miliar
3. Aulia Sofyan Rp 2,3 miliar
4. Ike Asasi Rp 2,4 miliar
5. Wirata Rp 2 miliar
6. Akiko Sibata Rp 1,75 miliar
7. Clune Rp 1,4 miliar
8. Paul Nicholas Ingram Rp 650 juta
9. Gijsbertus Rp 600 juta
10. Ruud Van Der Adel Rp 500 juta
11. Wulan Ningsih Rp 500 juta
12. Alan Christie Rp 450 juta
13. Tantra Jaya Rp 440 juta
14. Asako Wada Rp 400 juta
15. Michael Stuart Mellor Rp 400 juta
16. Chik Liu Joan Rp 300 juta
17. Yoshida Tomoko Rp 280 juta
18. Helmut Schafer Rp 260 juta
19. Ana Maria Kanginan Rp 200 juta
20. Andang Sugiarta Rp 200 juta
21. Jose Antonio Moral Rp 100 juta
22. Andrea Waldmeier Rp 80 juta