Google
 

Selasa, 30 Mei 2006

Memandang Karang dari Jendela Odyssey

Petualangan alam bawah laut seputar Pulau Bali dengan kapal selam Odyssey. Melesak hingga kedalaman 35 meter dari permukaan laut. Melihat penyelam bercengkrama dengan segala jenis biota laut.

Jalan tanah yang sempit dan berbatu, memaksa bus yang kami tumpangi mengurangi kecepatan. Rumah-rumah penduduk di sela pepohonan rindang, terlihat di sisi kanan dan kiri jalan, mengingatkan kami akan suasana khas pedesaan. “Wah, kita mau ke mana nih? Kok jalannya begini,“ celetuk seorang teman, seolah tak percaya kalau kendaraan kami tengah melaju menuju sebuah wahana wisata.

Tak lama, bus berhenti. Bentangan laut biru langsung menyambut kami. Sebuah tebing menghijau, mematahkan pandangan kami ke sisi kanan. Sementara di sisi kiri pandangan kami lepas menuju jejeran kapal-kapal besar pengangkut minyak milik Pertamina. Jalanan tanah sepanjang 1,5 km yang barus aja kami tempuh, jadi terlupakan. Yap, kami tiba di di Labuhan Amuk.

Labuhan Amuk terletak di Desa Antiga Karangasem, sekitar 75 menit dari Denpasar. Di tempat inilah, Pemerintah Kabupaten Karangasem rencananya akan membangun dermaga kapal pesiar internasional. Dermaga itu diharapkan bisa menjadi pintu masuk potensial untuk kunjungan turis asing ke kabupaten sebelah timur Pulau Bali itu. Tapi tentu saja kedatangan kami ke sana bukan untuk meninjau kesiapan pembangunan yang masih dalam rencana di atas kertas itu. Kami akan menikmati panorama bawah laut Labuhan Amuk.

Tidak bisa menyelam? atau bahkan tidak bisa berenang? bukan masalah! Untuk bisa melihat panorama bawah laut Labuhan Amuk, kita bahkan tak harus berbasah-basah. Jadi, tak perlu memakai wet suit, mengangkut oksigen seberat lebih dari 5 kg, dan segala tetek bengek alat menyelam. Kok bisa?

Adalah kapal selam Odyssey Submarine yang menawarkan wisata selam ini. Kecanggihan kapal buatan Victoria Machinery Depot Co. Ltd. Canada yang berbobot 72,6 ton itu, memberi kesempatan bagi wisatawan untuk melihat keindahan bawah laut tanpa keahlian khusus. Bahkan anak-anak pun dimungkinkan untuk ikut. Du dinia, kapal sejenis hanya beroperasi di dua tempat, yakni di Bali dan Hawaii , AS.

Untuk keamanan, pengelola kapal tak mau main-main. Saat check in, kami langsung disodori jaket keselamatan. Prosedur penyelematan tak selesai di situ. Sebuah timbangan besar sudah menunggu untuk kami naiki. Untuk alasan keamanan, berat badan semua calon penumpang harus ditimbang, termasuk dengan semua barang yang akan dibawa. Kapal berdimensi panjang 17 meter, lebar 4 meter, dan tinggi 5,5 meter itu, memiliki kemampuan angkut 3.500 kg. Kapasitas maksimum yang dimungkinkan, sebanyak 36 orang penumpang.

Usai timbang badan, melalui sebuah layar televisi, kami dijelaskan tentang detil kapal tersebut. Mulai dari tata cara masuk ke kapal selam, hingga aturan-aturan yang wajib dipatuhi penumpang. Untuk menhindari hal yang tidak diinginkan, semua barang berharga diharapkan agar dibawa. Untuk barang bawaan yang tidak penting, pengelola menyediakan lemari penitipan. Kami juga diingatkan untuk tidak makan atau minum di dalam kapal, untuk menjaga kebersihan kapal. Dilarang merokok, jelas. Satu lagi yang kelihatan sepele tapi penting, kapal selam tidak menyediakan toilet. ”Tolong yang ingin ke toilet, ke toilet dulu, karena di dalam kapal tidak ada toilet,” begitu Zulkarnaen Lubis, Koordinator Operasional Odyssey Submarine.

Setelah seluruh persyaratan di darat terpenuhi, kami pun berangkat. Sebuah perahu motor (boat) yang sedari tadi sudah bersandar di pantai, ternyata digunakan untuk mengangkut kami menuju kapal selam. Jarak yang kami tempuh dengan perahu motor tidak panjang, hanya sekitar 500 meter. Dalam lima menit, perahu motor kami sudah merapat di kapal selam Odyssey. Sekilas, kapal itu terlihat seperti rakit besi di tengah laut. Maklum, kapal ini memang bukan kapal biasa. Bila sedang tidak digunakan, Odyssey menempel pada kapal induknya. Dari kejauhan, kami melihat kapal besar. ”Itu kapal induknya,” ujar pemandu kami.

”Selamat sore semua, selamat datang,” begitu seorang laki-laki gagah dengan balutan pakaian putih menyapa kami. Namanya Surata, pilot kapal. Ia membantu kami melompat dari perahu motor. Gelombang Labuhan Amuk yang tenang, membuat guncangan kapal tak seberapa. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan pengelola memindahkan operasional kapal ini ke Labuhan Amuk. Sebelum beroperasi di Labuhan Amuk dua tahun lalu, Odyssey Submarine sempat beroperasi di perairan Nusa Dua. Sayang, gelombang di perairan Nusa Dua terlalu besar sehingga membahayakan.

Surata lantas meminta kami berdiri berjejer di atas kapal. Seorang petugas memotret kami dari perahu motor yang kami tumpangi tadi. Jadi, buat yang tidak bawa kamera, jangan khawatir. Pengelola menyediakan foto untuk dibawa pulang. Tapi tentu saja, tidak gratis. Harga per lembar foto tentu tidak murah, mencapai sekitar Rp 50.000. Ini tentu sesuai dengan tarif tour kapal selam Odyssey yang memang tidak murah, mencapai 69 dolar AS untuk wisatawan asing, atau Rp 450 ribu untuk wisatawan domestik.

Satu per satu kami kemudian memasuki kapal selam. Untuk masuk, kami harus melewati tangga kecil menurun. Sesuai briefing, berjalan mundur agar tangga yang kami injak bisa jadi pegangan.

Di dalam kapal, pilot kapal lainnya, sudah bersiap di kemudinya, bagian depan kapal. Dalam perjalanan, kapal Odyssey memang dihandle 2 pilot. Sebanyak 18 jendela kaca di lambung kanan dan kiri kapal, seolah bersiap menyajikan keindahan alam bawah laut Labuhan Amuk hari itu. Sambil menunggu pemberangkatan, sejumlah ikan kecil yang berenang di air berwarna biru kehijauan lumayan menghibur kami.

Tak lama, tiba-tiba pemandangan yang kami lihat berganti. Tak terasa, kapal selam itu ternyata sudah bergerak. ”Mesin kapal ini memang tidak bersuara, karena memakai baterai sebagai sumber tenaga,” jelas Surata menjawab rasa penasaran. Ada 250 baterai yang digunakan kapal selam tersebut. Baterai-baterai itu harus di-charge setelah 5 kali penyelaman. Dengan baterai, ikan-ikan diharapkan tidak merasa terganggu.

Pelan-pelan, kapal mengantar kami ke dalam laut. Saat monitor besar di dalam kapal menunjukkan angka 20 (artinya 20 meter), ikan-ikan mulai berseliweran di hadapan kami. Ada ikan coreflower sergent major yang terlihat indah dengan balutan warna putih dan hitamnya, black sergeant yang memukau dengan hitam pekatnya, hingga crown fish dan nemo fish yang menawan. Kami sempat kaget ketika melihat dua penyelam di antara ikan-ikan itu. Ternyata, ikan-ikan itu mengejar kedua penyelam karena mereka membawa pakan. Keduanya memberi pakan instan kepada ikan-ikan itu. Sayang ya……

Di kedalam akhir, 35 meter, kami justru tidak melihat banyak ikan. Menurut Surata, ikan-ikan memang lebih senang berada di kedalaman 20-25 meter. Diperkirakan, hal itu terkait dengan suhu yang bisa disesuaikan ikan-ikan itu.

Dalam penjelahan selama 45 menit itu, kami juga bisa melihat kerang, karang, dan biota laut lainnya. Tak terkecuali ikan tongkol yang biasa kita konsumsi. “Mmm, enak tuh,” begitu seorang teman. Sayangnya, kondisi terumbu karang yang kami lihat ternyata dalam keadaan rusak. Kata Surata, kerusakan itu sudah terjadi sejak lama akibat perburuan ikan hias menggunakan bahan peledak. “Untung masyarakat setempat bisa menyelamatkan lingkungannya dari ancaman pemburu ikan yang merusak,” terangnya. Salah seorang anggota masyarakat setempat, Paklik, juga mengakui kerusakan itu akibat kebiasaan lama warga setempat mencari karang untuk dijadikan kapur. “Tapi itu dulu. Sekarang sudah tidak boleh,” tambahnya.

Perjalanan kami berakhir menjelang matahari tenggelam di Labuhan Amuk. Kami menyadari, kekayaan laut kita memang luar biasa. Tapi itu tidak akan ada artinya bila tidak dijaga. [Komang Erviani, dimuat di Majalah GATRA No. 28 Tahun XII, beredar 27 Mei 2006]

Sabtu, 20 Mei 2006

Kartini dan Cacing-Cacingnya

Tumpukan cacing tanah pemakan sampah, jadi bagian tak terpisahkan dari sosok Dr. Ir. Luh Kartini, M.S.S. Sebagian besar harinya dihabiskan untuk mengakrabkan kembali para petani dengan cacing-cacing yang nyaris musnah oleh gencarnya kampanye pupuk kimia. Ia terobsesi memasyarakatkan kembali pertanian organik. Ini ia juga mencoba mengakrabkan masyarakat dengan kotoran sapi. .

Beberapa petak lahan di belakang rumah potong hewan milik pemerintah daerah Bali , jadi pusat perhatian sejak tujuh tahun belakangan. Siswa segala umur, mulai dari TK sampai mahasiswa, kerap datang berkunjung. Ada juga peneliti-peneliti muda dari penjuru dunia. Tak tanggung, pejabat negara dari Eropa, Afrika, Balkan, bahkan Euthopia, juga sempat mampir. Tak ada alasan yang ruwet. Mereka hanya ingin tahu seluk beluk cacing, serta cara hewan kecil menjijikkan itu menyuburkan tanah. Tentu saja, menyuburkan tanah secara alami tanpa bahan kimia.
Adalah Dr. Ir. Luh Kartini, M.S.S, sosok yang berinisiatif membangun tempat pembuatan pupuk kascing (pupuk dari kotoran cacing) itu. Langkah yang diambil sejak 1998 tersebut, dilakukan sebagai upaya mewujudkan idealismenya, melepaskan alam dari keterikatan bahan kimia. Ia bermimpi suatu hari Bali kembali pada sistem pertanian tradisionalnya, tanpa pupuk kimia ataupun pestisida.
Angannya tak mucul begitu saja tanpa sebab. "Ini keinginan dari kecil,"kata dosen Jurusan Ilmu Tanah Universitas Udayana ini memulai cerita masa lalunya. Sebagai anak petani di Desa Bulian, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Bali , Kartini kecil selalu diakrabkan dengan alam. Di umur 5 tahun, ia sudah dapat tugas membuang abu dapur ke tegalan untuk menyuburkan tanah. Saat menginjak usia 6 tahun, kelahiran 21 April 1962 bersama kakak-kakaknya sudah diberi tanggung jawab memelihara bebek. Satu anak, bertanggung jawab atas 100 ekor bebek. Bagi Kartini saat itu, tak sulit menggembala bebek. Ia hanya perlu mencari beberapa ekor cacing di lahan pertanian ayahnya, dan melepas bebeknya di sungai untuk memberinya minum. Tak jarang, ia pun dengan bebas meminum air sungai yang jernih pada masa itu.
Tapi, perubahan besar terjadi di era akhir tahun 1970. Ketika itu, pertanian tradisional mulai diganti dengan pertanian modern. Pupuk urea dan pestisida ditawarkan pemerintah dengan janji peningkatan hasil produksi. Tak hanya itu, petani yang menyemprotkan pestisida pun digaji. "Karena digaji, mereka kan jadi mau nyemprot,"kenang Kartini. Tak lama setelah program itu dilakukan, Kartini terkesiap. Pupuk urea yang disiramkan ke lahan pertanian sang ayah, membuat cacing-cacing menggelepar. Kematian cacing-cacing itu membuat bebek-bebeknya tak lagi mendapat pasokan makanan yang cukup. Kemampuan bebek-bebeknya untuk bertelur juga turun drastis. Tak hanya itu, ia bersama bebek-bebeknya juga sempat tak sadarkan diri, beberapa saat setelah meminum air sungai. Sayangnya lagi, tak ada satu pun orang yang mampu memberikan penjelasan atas keganjilan-keganjilan itu. Dari sana , rasa penasarannya dimulai.
Kartini kecil tak pernah melepas rasa penasarannya. Satu pertanyaan Kartini yang tak pernah terjawab oleh siapapun waktu itu, apa yang menyebabkan cacing-cacing itu mati setelah tersiram pupuk urea? "Saya coba cari jawabannya. Tanya bapak, tanya guru, bahkan tanya mahasiswa yang KKN di desa, juga tidak terjawab. Sampai kemudian ada tenaga sarjana turun lapangan saya tanya, dia bilang, kamu kuliah di jurusan tanah aja. Nanti dapat gelar Insinyur,"cerita Kartini. Dari sana , ia terus terobsesi untuk kuliah di Jurusan Ilmu Tanah, Universitas Udayana. Pendidikan SD , SMP, hingga SMA ia lewati dengan kecaman keras dari sang ayah. Maklum, pada masa itu masih ada persepsi kuno di masyarakat bahwa perempuan tidak perlu bersekolah. "Untungnya ibu dukung. Dari sana , saya akhirnya berhasil kuliah di Ilmu Tanah, dan lulus,"
Tak sia-sia ia mewujudkan keinginannya kuliah di Ilmu Tanah. Begitu kuliah semester 1, ia langsung mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya yang terpendam. "Ternyata pestisida dampaknya merusak,"tandasnya pendek. Di tahun 1985, dalam sebuah pertemuan dengan petani, Kartini akhirnya mencoba menyuarakan kampanye pupuk kimia berbahaya dan perlunya pupuk organik. Tapi momentum pernyataan Kartini di depan umum kala itu, dirasa tak tepat. Itu karena penggunaan pupuk kimia dan pestisida sat itu telah membuktikan suksesnya menjadikan Indonesia sebagai negara swasembada beras. "Pikir dulu dong dik. Kalau perlu 1.000 ton, ada nggak yang bisa sediakan pupuk organik sebanyak itu?" tegas salah seorang penyuluh pertanian dari pemerintah saat itu. Ia bahkan sempat disebut sebagai orang gila yang mimpi di siang bolong, saat terus menerus menggembor-gemborkan tekadnya mengembalikan petani pada sistem pertanian tradisional. Ia disebut sebagai orang ortodox. Hujatan terhadap idenya itu, tentu saja menjadi cambuk kuat baginya untuk benar-benar merealisasikan keinginannya, mengembalikan kembali kehidupan manusia pada alam dan lingkungan. “Saya ingat waktu saya kecil, kita merasa snagat kaya. Mau cari belut gampang, cari madu sudah ada tawonnya, cari air apa lagi. Alam berikan kehidupan. Kebetulan kakek seorang dukun pengobatan, jadi betul-betul diajarkan untuk dekat dengan alam,”ungkap perempuan yang menyelesaikan mengambil gelar doktornya di Unpad.
Tekadnya makin kuat ketika dalam mata kuliah kesuburan tanah, ia diajarkan bahwa cacing merupakan indikator kesuburan tanah. Secara logika, pupuk urea yang justru membunuh cacing-cacing, secara otomatis juga merusak kesuburan tanah. Tak heran bila kini banyak sekali lahan pertanian yang tak lagi produktif.
Lulus S1, ia mulai mengamati jenis-jenis cacing. Pada saat menjalankan pendidikan S3-nya, barulah ia mulai serius menekuni masalah cacing. Ia menemukan satu jenis cacing paling rakus, Lumbricus Rubellus, jenis cacing pemakan sampah. Jenis itulah yang kini makin diakrabinya. “Ternyata cacing luar biasa. Dia makhluk lemah tapi perkasa. Selain indikator kesuburan tanah dan dalam tubuhnya mengandung 80 persen protein yang dapat meningkatkan produktivitas ternak, cacing juga punya kemampuan degradai luar biasa. Ia mampu makan selama 24 jam seberat badannya sendiri. Dari situlah, cacing memiliki semua mikroorganisme yang menguntungkan di alam tanah. Enzin lumbricunase yang ada dalam tubuhnya, mampu menormalkan metabolisme sel dalam tubuh yang memakan. “Kita manusia juga bias memanfaatkan. Saya sudah buktikan, dulu mata saya minus 5 dan silinder. Setelah saya mengkonsumsi cacing, mata saya normal. Nggak perlu lagi pakai kaca mata,”tandas ibu 3 anak ini. Selain memproduksi pupuk kascing (pupuk dari kotoran cacing), Kartini juga telah mencoba membuat tepung cacing untuk dijadikan obat. “Saya sudah buat, tapi belum dipasarkan karena belum ada izin depkes. Saya awalnya pakai sendiri. Tapi sekarang sudah banyak orang yang minta kapsul tepung cacing ini,”tandasnya sambil menunjukkan sekotak tablet berwarna merah putih.
Hasil penelitian seorang peneliti asing dari Amerika, Dr. Henry Chang, menambah keyakinannya. Survei itu menyebut, sebagian besar orang saat ini telah menyimpan kandungan logam dalam tubuhnya akibat konsumsi makanan yang tidaksehat. Itu karena racun yang telah masuk dalam tubuh, tidak bisa keluar. Sementara kandungan logam dalam makanan akan tertinggal di perut. Dari 100.000 orang yang diteliti, hanya 6 persen orang yang metabolismenya normal. Peneliti itu juga menyimpulkan cacing sebagai makanan yang dapat mengurang kandungan logam dalam tubuh. “Dari sana saya lihat bahkan teknologi bidang pertanian yang ada sekarang tidak lengkap. Teknologinya terpotong, dan ini berbahaya bagi kehidupan di dunia,”ungkapnya. Ia berkeyakinan, seberapa pun besar kemampuan pengetahuan manusia, tetap ada kekurangan, ketergantungan, dan keterbatasan yang diberikan Tuhan. “Kita tidak akan pernah tahu kapan gunung meletus, kapan banjir banding, karena kita punya keterbatasan. Alam jauh di atas kita,”ujarnya berfilosofi.
Bagi Kartini, tidak ada lagi toleransi penggunaan bahan-bahan kimia dalam pertanian. “Kalau terus begini, kita bisa habis. Kalau sudah habis, bagaimana? Kita akan kelaparan seperti Euthopia,”tambahnya. Ia sadar betul, bukan hal mudah untuk menawarkan kembali konsep pertanian organic kepada petani, di tengah jaman yang sudah membiasakan pemikiran instant. Tapi, pelan tapi pasti, Kartini telah menggaet banyak petani, dan ke depan akan jauh lebih banyak lagi. Pusat pembuatan pupuk kascing yang dirintisnya, kini menjadi pusat pendidikan bagi banyak sekali orang.
Apa keuntungan Kartini? Secara tegas Kartini menyebut belum ada keuntungan uang yang pernah didapatnya. Yang ada justru sebaliknya. Modalnya Rp 100 juta yang ditanam dalam usaha berbendera CV Sarana Petani Bali ini, secara pelan terus berkurang. Itu karena dia tak mematok harga kaku bagi petani-petani yang ingin menggunakan pupuknya. “Justru banyak petani yang minta, saya kasih. Saya senang mereka mau meninggalkan pupuk kimia. Malah saya mengarahkan mereka untuk memproduksi sendiri pupuk kascing untuk konsumsi sendiri,”ujarnya sembari menyebut kalau ia telah mematenkan produk pupuk kascingnya. “Petani bisa memproduksi pupuk kascing untuk dipakai sendiri. Asal tidak dijual,”tambah perempuan yang pernah menerima award dari Rotary Club Bali ini berkat komitmennya terhadap pelestarian alam.
Memang, pembuatan pupuk kascing tak memerlukan proses yang sulit, apalagi bahan yang mahal. Petani hanya perlu kotoran sapi dan sampah-sampah organik. “Kotoran sapid an sampah dicampur dulu. Diamkan beberapa hari sampai suhunya normal. Setelah itu diberi cacing. Dalam beberapa hari, hasil berupa pupuk itu sudah bias disebar di lahan pertanian,”jelas Ketua Bali Organic Association (BOA) ini mendetil.
Rugi materi, bukan masalah buat Kartini. Ia justru masih punya banyak cita-cita-cita lain yang akan dilakukannya. Dengan pupuk kascing, ia berharap para petani jeruk di Buleleng Bali yang sejak bertahun lalu mandek karena gangguan hama CVPD, bisa kembali berproduksi. Ia optimis, hama CVPD itu tidak akan kembali bila petani mau konsisten untuk meninggalkan bahan kimia.
Tak berhenti di situ. Melihat ancaman terjadinya krisis bahan bakar, ia kini tengah berupaya memasyarakatkan kotoran sapi kepada masyarakat. Dengan teknologi biogas, kotoran sapi milik petani tidak perlu dibuang percuma, tetapi bisa digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak. Suami dari I Made Agustina ini berharap, masyarakat menyadari betapa dunia makin terancam dengan tradisi instan yang makin mendarah daging. Semoga, Kartinia benar-benar menjadi Kartini-nya Bali yang mengembalikan Bali pada alamnya.[Komang Erviani]

Senin, 08 Mei 2006

Anak-anak Odha,Jangan Abaikan Mereka

Yuda (bukan nama sebenarnya), 3,5 tahun, bersikap manja di pangkuan Sari ibunya. Peluh yang menetes dari tubuh kecilnya gara-gara udara panas yang berhembus hari itu, sepertinya tak tak terlalu dipedulikan. Yuda seperti larut dalam kehangatan cinta yang diberikan Sari.

Sejak beberapa tahun belakangan, Yuda memang makin lengket dengan sang ibu. Itu terutama terjadi sepeninggal ayahnya yang meninggal dunia karena AIDS, syndrome munculnya berbagai gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan virus HIV. HIV/AIDS telah membuat Yuda tak lagi memiliki keluarga utuh. Tak cuma itu, belakangan Sari yang kini berusia 28 tahun juga diketahui positif HIV. Diperkirakan, Sari tertular virus itu dari suaminya. Semasa hidup, suami Sari memang gemar berganti pasangan seks.

Gara-gara HIV/AIDS, Yuda kini jadi anak yatim. Meski demikian, Yuda masih cukup beruntung. Setidaknya ia masih punya ibu yang sehat, berbeda dengan beberapa anak lain di kawasan tempat tinggalnya, Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng. Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), LSM yang bergerak di bidang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, mencatat ada 18 anak di Gerokgak yang kini menjadi yatim dan yatim piatu karena orang tuanya terinfeksi HIV/AIDS. Mereka berada di kisaran usia 6 bulan sampai 15 tahun. Sebagian besar diantaranya kini diasuh oleh paman atau bibi mereka.

HIV/AIDS ternyata memang bukan hanya permasalahan orang dewasa. Hal itu mulai disadari para petugas lapangan YCUI yang menjangkau sejumlah wilayah di Bali, setelah melihat ada banyak anak-anak yang ternyata menjadi korban. Banyak anak-anak yang telantar akibat kehilangan orang tua mereka karena HIV/AIDS. Karena itu pula, dukungan care support and treatment yang awalnya hanya diberikan Suryakanta YCUI kepada orang dengan HIV/AIDS (Odha), sejak 2003 lalu juga menjangkau anak-anak. “Pertimbangannya, dampak dari HIV/AIDS tak hanya kepada Odha tetapi juga Ohidha (orang yang hidup dengan Odha), termasuk anak-anak mereka,”jelas Kadek Carna Wiratha, Koordinator Suryakanta YCUI.

Beruntung, program dukungan bagi anak-anak Odha telah disupport beberapa pihak. Mulai dari Penggerak PKK Kabupaten Buleleng, para ekspatriat, hingga support dari Bali Community Cares (BCC), komunitas yang terdiri dari personal maupun perusahaan yang memiliki kepedulian terhadap HIV/AIDS dan narkoba. Pemberian dukungan salah satunya diarahkan pada pemberian nutrisi dan gizi yang memadai. Ada juga bantuan untuk peningkatan pendidikan mereka. BCC memberikan bantuan beasiswa kepada anak-anak tersebut, untuk membantu mereka meraih masa depan yang lebih baik.

Putu Desi Wulandari, adalah salah satu contoh potret nyata seorang remaja putri yang kini menjadi yatim karena sang ayah meninggal akibat AIDS, namun Desi optimis dengan masa depannya. Berkat bantuan beasiswa yang diperolehnya, Desi yakin cita-cita menjadi guru bakal diraihnya.

Ancaman HIV/AIDS bukan main-main. Data UNAIDS menunjukkan, sebanyak 40,3 juta penduduk dunia sudah terinfeksi HIV. 17.5 juta diantaranya adalah perempuan Di Bali sendiri, berdasar data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali, diperkirakan ada 3000 orang terinfeksi HIV/AIDS. 1900 orang terinfeksi dari hubungan seksual, sementara 1100 orang terinfeksi dari penggunaan jarum suntik bergantian di kalangan pengguna narkoba suntik.

Tak berhenti di situ. Setiap 15 detik, anak-anak telah kehilangan salah satu orang tuanya karena AIDS. Saat ini telah ada lebih dari 15 juta anak yatim piatu karena AIDS. Sebanyak 25 juta anak-anak dunia dipastikan akan menjadi yatim piatu karena HIV/AIDS di tahun 2010. Ada diantara mereka adalah anak-anak kita. Tidak ada wilayah dan manusia yang kebal dari virus yang sampai sekarang belum ditemukan obat untuk mengatasinya secara total. Tepat di Hari Yatim Piatu karena AIDS se-Dunia (World AIDS Orphans Day), 7 Mei, mari kita bangun komitmen bahwa anak-anak Odha itu juga punya hak untuk mendapat kehidupan mereka yang layak, dan mari melindungi anak-anak dari HIV/AIDS. Agar tak ada generasi yang hilang. [Komang Erviani / dimuat di Koran Tokoh Edisi 7 Mei 2006]