Google
 

Rabu, 14 Juni 2006

Stigma Membayangi Janji

Komitmen untuk penanggulangan HIV/AIDS muncul dari pimpinan daerah. Upaya memenuhi janji, memutus epidemi. Sayang, masih banyak stigma. “Perda seharusnya dibuat untuk mengatur masyarakat yang mayoritas. Untuk apa kita membuat regulasi untuk mengatur orang-orang HIV/AIDS yang notabene masyarakat minoritas? HIV/AIDS kan akibat dari dunia hitam. Kenapa tidak Departemen Kesehatan saja yang mengaturnya?” begitu Yuni Siswati, anggota DPRD Kabupaten Bogor, merespon tawaran untuk membuat Perda Penanggulangan HIV/AIDS.

Tak jauh beda dengan Yuni, rekannya yang juga dari Bogor, Muliyana, juga mempertanyakan perlunya Perda HIV/AIDS. “Kenapa mesti dibikin perda? Kan kasusnya berkaitan dengan prostitusi, perjudian, dan pornografi. Semua itu kan sudah ada aturannya,” tambah Muliyana.

M. Nasser, Kepala Deputi Pengembangan Kebijakan Program dan Hubungan antar Lembaga Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional buru-buru menjawab. “Perda HIV/AIDS jangan ditafsirkan hanya mengatur Odha (orang dengan HIV/AIDS). Perda HIV/AIDS justru mengatur dan melindungi masyarakat umum. Perda dimaksud mengakomodir hak-hak masyarakat,” ujarnya. Menurutnya, harus dilakukan upaya yang terintegrasi untuk penanggulangan HIV/AIDS dengan pendekatan peraturan perundangan.

Komitmen internasional dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, menjadi dasar pertimbangan kuat perlunya perda. Selain itu, Perda HIV/AIDS telah terbukti memberi dampak baik di banyak negara.

Namun Nasser menilai hingga kini belum ada peraturan perundangan di area HIV/AIDS yang secara tajam dan tegas mengatur permasalahan yang ada. Bahkan ia menyebut masih ada Perda yang diskriminatif dan tidak mengakomodir kebutuhan penanggulangan epidemi HIV di lapangan.

Provincial Technical Officer Indonesia HIV/AIDS Prevention Care Project (IHPCP) Nusa Tenggara Timur, Simplexius Asa, juga merespon tanda tanya besar tentang perlu tidaknya Perda. “Pengaturan harus lebih ditekankan pada pencegahan, bukan pengaturan untuk minoritas atau kelompok Odha saja. Melindungi masyarakat umum jauh lebih penting,” ungkap pria humoris itu.

Dalam pembuatan Perda, menurut Nasser, perlu pembahasan bersama pihak eksekutif dan legislatif. Perda juga harus disosialisasikan secara penuh untuk mengundang partisipasi masyarakat. Materi pokok dalam perda harus mengatur hak dan kewajiban daerah dan warga daerah, mengatur hukum kesehatan masyarakat, mengatur perdata, mengatur peraturan administratif, mengakomodasi masalah pidana dan HAM, dan organisasi penaggulangan.

Selain itu, penting diatur masalah krusial seperti kerahasiaan status Odha, testing dengan sukarela yang didahului konseling, universal precaution bagi tenaga medis, pengurangan dampak buruk, penyiapan obat antiretroviral (ARV) dan anti infeksi oportunistik, penanganan kehamilan, hingga pengaturan penanganan darah oleh Palang Merah Indonesia (PMI).

Upaya Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) mengadvokasi sejumlah kabupaten/kota untuk membuat Perda HIV/AIDS, mendapat respon beragam. Hal itu terlihat dari banyaknya perdebatan-perdebatan yang muncul dalam Lokakarya Pengembangan Perda Penanggulangan HIV/AIDS Kabupaten/Kota di Indonesia, pertengahan Mei lalu di Kuta.

Lokakarya empat hari yang diikuti pejabat eksekutif dan legislatif dari 10 kabupaten/kota yakni Bitung, Sukabumi, Samarinda, Madiun, Makasar, Balikpapan, Bogor, Yogyakarta, Pontianak, dan Bandar Lampung tersebut, akhirnya menghasilkan sebuah rekomendasi dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Masih perlu kerja keras mengikis stigma.[Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 17, Juni 2006]

REKOMENDASI KUTA DALAM RANGKA
PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
HIV/AIDS DI INDONESIA

Memperhatikan data terakhir perkembangan epidemi HIV/AIDS di Indonesia, yang telah menyebar ke seluruh kabupaten/kota secara eksponensial ditandai dengan semakin banyaknya kasus epidemi lanjut pada wanita dan anak maka dirasakan perlu untuk mengambil langkah-langkah konkrit dalam upaya pencegahan dan penanggulangan epidemi HIV/AIDS tersebut.

Pada tanggal 14-16 Mei 2006 di Kuta, Bali telah dilakukan pertemuan antara DPRD dan Bagian Hukum dari sepuluh Kabupaten/Kota di Indonesia. Dalam pertemuan ini merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:

1. Mendesak DPR RI dan Pemerintah Pusat memasukkan pasal-pasal tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dalam amandemen Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992.
2. Mengusulkan kepada Mendagri agar mendorong Pemda untuk melaksanakan upaya komprehensif dalam rangka penanggulangan HIV/AIDS.
3. Mendesak KPA Nasional agar melaksanakan koordinasi upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dengan memperhatikan karakter epidemik yang berbeda-beda di masing-masing daerah.
4. Untuk kepentingan tindak lanjut maka pertemuan selanjutnya disepakati dilaksanakan kembali pada bulan November 2006 di Surabaya.
5. Upaya-upaya untuk mengawal Pemda dalam rangka pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS diharapkan dilakukan secara intensif, sistematis dan terencana oleh DPRD setempat.
6. Direkomendasikan agar PERDA yang akan dibuat, mengacu kepada Strategi Nasional.
7. Untuk meningkatkan akselerasi penanggulangan di daerah, diharapkan melibatkan unsur legislatif secara aktif dalam struktur organisasi KPAD.

Kuta, 16 Mei 2006
Kami yang mewakili : John Dumais,BA (Bitung), Drs.Munandi Saleh,Msi (Sukabumi), H.Chairil Anwar,SH.,Msi (Samarinda), Shodiq Ba’abduh (Madiun), H.Andi Iskandar Tompo (Makasar),Drh. Joko Suseno (Balikpapan), H.Iwan Suryawan,S.Sos (Bogor), Drs.Najib M Saleh (Yogyakarta), Sebastian SE,MM (Pontianak), Darwin Djapri,SH (Bandar Lampung)

Senin, 12 Juni 2006

Merebut Hak di Dunia Kerja

Kebijakan pengusaha meniadakan hak asasi untuk bekerja. Jika dibiarkan larut, produktivitas ekonomi surut. Agung Mataram, Staf Personalia dan Hukum PT. Persero Pelindo III Cabang Benoa, punya rencana baru bersama rekan-rekannya. Ia berencana menggelar pojok info HIV/AIDS di tempat embarkasi dan debarkasi penumpang, Pelabuhan Benoa Bali.

Pojok info yang diharapkan menarik perhatian sekitar 200 orang penumpang kapal itu, akan digelar bulan Juni ini. Penyuluhan interaktif bagi sejumlah perusahaan perikanan di wilayah Benoa, juga direncanakannya. Program-program itu dibuat Agung bersama dua rekannya dari pelabuhan Benoa dan sebuah LSM HIV/AIDS dan narkoba, setelah mereka dilatih menjadi penyuluh HIV/AIDS di tempat kerja.
Pertengahan Mei lalu, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali bekerjasama dengan Indonesia HIV/AIDS Prevention Care Project (IHPCP) berinisiatif membentuk tim penyuluh HIV/AIDS di tempat kerja. Harapannya agar sosialisasi HIV/AIDS menjadi lebih efektif. Ada sedikitnya lima tim penyuluh yang dibentuk, dan ditargetkan memberi penyuluhan bagi para karyawan perusahaan, sopir angkutan, anak buah kapal (ABK), dan lainnya.

Angkatan kerja menjadi target penting dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, karena 50 persen kasus HIV berasal dari angkatan kerja. “Tetapi kelihatan tersembunyi karena tidak ada gejala. Orang tidak mengetahui. Ketika dia jatuh sakit, dianggap bukan AIDS. Tapi sakit diare, TBC, kanker, dan lain-lain. Faktanya, sudah banyak orang muda sekarang yang mati muda. Juga banyak orang muda yang sudah ditinggal teman sepermainannya. Selain itu, banyak juga orang tua yang menyaksikan anaknya meninggal lebih dulu,” cerita Ketua Pokja Humas dan Informasi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Mangku Karmaya, yang sekaligus bertindak sebagai Koordinator Program AIDS di Tempat Kerja.
Mangku Karmaya menyesalkan banyaknya anggapan bahwa orang HIV akan membuat pemborosan bagi perusahaan. Terutama ketika jatuh pada fase AIDS. Mulai dari biaya pengobatan, serta biaya-biaya lainnya. Banyak juga perusahaan yang menolak menerima orang HIV positif karena takut terjadi penularan. Pemahaman itu membuat upaya menghapus stigma dan diskriminasi bagi Odha di dunia kerja menjadi tidak berjalan mulus.

Bahkan Ketut Necher, Kasubdin Penempatan dan Perluasan Kerja Dinas Tenaga Kerja Provinsi Bali, menyebut penolakan tenaga kerja yang positif HIV sebagai hal wajar. “Kalau mbak punya perusahaan, apa mau mbak menerima orang HIV? Kalau mau, lucu. Kan dia jelas-jelas sudah tidak produktif,” ujar Necher.
Banyaknya pemahaman salah di masyarakat, membuat praktik mandatory test atau tes paksa terus terjadi.

Yang dimaksud dengan mandatory HIV test adalah tes HIV yang disertai dengan identitas klien tanpa disertai konseling sebelum tes dan tanpa persetujuan dari klien.
Melalui pengiriman tenaga kerja ke luar negeri saja, hampir 3.000 orang telah menjalani mandatory test tiap tahunnya. Mungkin karena tawaran gaji yang tinggi, bekerja di luar negeri menjadi angan banyak orang. Bayangkan, gaji yang diperoleh paling kecil 600 dolar AS per bulan (sekitar Rp 6,4 juta). Disnaker Bali mencatat pada 2004, ada 2.746 orang berangkat bekerja ke luar negeri. Pada 2005 meningkat menjadi 2.900 orang. Sementara pada 2006, hingga Mei, sudah ada 800 orang yang diberangkatkan.
Menurut Nyoman Restu Yasa, Operation Manager CTI Bali, perusahaan penyalur tenaga kerja ke kapal pesiar di Amerika Serikat, permintaan tenaga kerja dari Bali memang cukup tinggi. Permintaan kru untuk kapal pesiar saja, mencapai 500-600 orang per tahun. Hingga kini, tes HIV menjadi hal yang disyaratkan untuk bisa berangkat. Menurutnya, ketentuan itu berlaku bagi semua negara yang mengerahkan tenaga kerja. Ia mengaku tak tahu jika tes HIV memerlukan konseling dan kerahasiaan. Ia juga tak tahu cara kerja laboratorium yang memberikan layanan tes HIV.

Mangku Karmaya mengingatkan bahwa HIV Positif tidak bisa menjadiukuran mampu tidaknya seseorang bekerja. Menurutnya, seseorang yang negatif HIV di awal masuk kerja, dalam perjalanannya belum tentu seterusnya bebas HIV. Kesibukan kerja yang memicu stres ditambah berlebihnya pendapatan, berpotensi mengarah pada perilaku berisiko yang rawan HIV/AIDS. Itu sebabnya,orang yang kena HIV didominasi orang-orang usia produktif.

Pemilik atau pengelola perusahaan jangan merasa perusahaannya bebas HIV. Untuk itu, perusahaan perlu membuat regulasi tentang HIV/AIDS. Regulasi dimaksud bisa mengatur agar tidak ada stigma, serta menyarankan perilaku seksual ABCD (kependekan dari abstinence/tidak berhubungan seks sebelum menikah, be faithful/setia pada pasangan, condom/penggunaan kondom , dan don’t inject/tidak menggunakan narkoba suntik).

Bahkan bila perlu, perusahaan menurutnya selayaknya menyediakan kondom, akses pelayanan dan pendampingan, dan alternatif langkah lainnya. “Itulah pentingnya perusahaan diberikan pelatihan. Arahnya bagaimana perusahaan mau memahami tentang program pencegahan HIV/AIDS,” harapnya. Regulasi tersebut justru akan menjadi aspek sosial yang positif dari perusahaan. “AIDS tidak akan mengganggu aktivitas perusahaan,” jelasnya.

Banyak pihak yang mengganggap, bila tidak ada kasus HIV, maka regulasi dan pelayanan medis terkait HIV/AIDS tidak perlu disiapkan. “Padahal ini justru menyebabkan terjadinya pembusukan. Upaya-upaya penjangkauan HIV harus dilakukan sedini mungkin, untuk mencegah pembusukan. Daripada muncul masalah HIV kemudian, tanpa antisipasi, pasti akan menjadi masalah besar di perusahaan,” tegas Mangku Karmaya mengingatkan.

Perusahaan yang memiliki program AIDS di tempat kerja, dikatakan justru akan memiliki citra yang makin bagus. Perusahaan terlibat penanggulangan HIV, ikut memutus mata rantai dan melindungi masyarakat luas. “Hanya perusahaan-perusahaan yang sadar betul bahwa kekayaan utama perusahaan adalah karyawan, yang biasanya mau melakukan ini,” demikian Mangku Karmaya.
Sayangnya, sebagian besar perusahaan masih menunjukkan perhatiannya terhadap HIV/AIDS di tingkat wacana. “Wacana dan komitmen sudah, tapi keterlibatan belum. Action-nya belum optimal,” tandasnya.

Dengan adanya tim penyuluh di tempat kerja, diharapkan terjadi peningkatan pengetahuan tentang HIV/AIDS untuk meningkatkan kewaspadaan. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 17, Juni 2006]

Menjaga Rahasia Agar Berdaya

Pemberitaan media lokal tentang kematian Herman, sebut saja begitu, memberi suasana berbeda pada prosesi pemandian dan penguburan jenazahnya hari itu. Hanya satu orang anggota yayasan keagamaan setempat yang datang untuk mengantar kepergian Herman menghadap-Nya. Hal dampak dari pemberitaan media yang secara gamblang menyebut kematian Herman karena HIV/AIDS.

Kasus Herman dibuka gamblang pimpinan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas IIA Denpasar, tempat Herman menjalani masa tahanan sejak setahun lalu karena kasus narkoba. Pernyataan kepala LP terbesar di Bali itu kemudian menjadi berita utama di sejumlah media lokal di Bali.

Penderitaan Herman selama beberapa bulan akibat virus yang makin ganas menggerogoti tubuhnya, ternyata tak berhenti ketika jantungnya tak lagi berdetak. Stigma dan diskriminasi bahkan terjadi ketika ia harus menghadap Yang Kuasa.
Christian, konselor pendamping Herman kecewa karena kerahasiaan kliennya telah dibocorkan tanpa konfirmasi. Ia mengaku hal ini kerap terjadi.

Keluhan senada juga diungkap Ketua Pokja Care Support and Treatment (CST) Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Tuti Parwati. Penemu kasus HIV/AIDS pertama di Bali pada seorang turis Belanda ini menyesalkan kasus yang selalu terulang itu. Padahal kerahasiaan menjadi satu hal yang wajib dijaga, guna menghindari stigma dan diskriminasi di masyarakat.

Stigma dan diskriminasi menjadi hal yang sulit dilepaskan dari keberadaan orang dengan HIV/AIDS (Odha). Bahkan sampai meninggal pun, stigma masih terjadi. “Orang-orang dekat Odha juga tak luput dari stigma, meski itu dokter sekalipun,” jelas Tuti yang merasakan stigma tersebut. Beberapa pasiennya perlahan menjauh ketika tahu ia kerap menerima pasien HIV. Salah satu pasiennya yang telah bertahun-tahun berobat dengannya, bahkan sempat terang-terangan mempertanyakan kebiasaannya mengobati orang HIV. Pasien tersebut mengaku takut, dan sejak saat itu tak pernah lagi datang ke tempat praktiknya.
Tuti melihat hal ini karena ketidakpahaman. “Sebagian besar sebenarnya karena ketidaktahuan,” terang Tuti. Masih ada pihak yang tidak tahu, atau justru pura-pura tidak tahu. Karena itu menurutnya sosialisasi atas kerahasiaan, penting untuk terus dilaksanakan secara berkesinambungan,

Dalam sebuah forum, Anggota DPRD Kota Denpasar dari Fraksi PDIP, Yos Indra Wardana, menyinggung soal kerahasiaan ini. Anggota komisi B itu mendukung program penanggulangan HIV/AIDS. Tapi dengan catatan, materi sosialisasi didukung validitas data. “Gimana kita bisa mencegah penyebaran kalau data valid dirahasiakan? Kalau alasannya privasi, hak asasi manusia, sementara dia (Odha) juga melanggar hak asasi orang lain, gimana? Saya setuju diumumkan saja siapa yang kena HIV. Hanya saja, nanti pemantauan dipertegas. Masyarakat yang mendiskriminasi yang perlu kita tindak,” tandasnya.

Inilah tantangan yang dihadapi penanggulangan HIV/AIDS. Ketua Pokja Humas dan Informasi KPA Provinsi Bali, Mangku Karmaya mengatakan pada kasus yang sulit ditemukan, ahli epidemologi menghitung dengan perkiraan.“Karena kerahasiaan masalah HAM. Kita masih ada stigma, diskriminasi, cap buruk. Di luar negeri sudah terbuka, karena tidak ada stigma. Kita masih anggap ini sebagai penyakit kutukan tuhan. Berdosa. Padahal anak-anak tidak berdosa juga sudah kena,” paparnya.
Kerahasiaan menurutnya adalah privasi yang harus selalu dijaga pada setiap orang. Bahkan dokter pun tidak boleh memberitahu riwayat kesehatan pasiennya, apapun penyakitnya. “Orang sakit batu pun, seharusnya oleh dokter tidak boleh dijelaskan ke orang lain. Kecuali anak yang masih di bawah asuhan orang tuanya. Semua harus dirahasiakan semua. Apalagi untuk HIV/AIDS yang ada stigma,” jelasnya.

Kode etik kedokteran bahkan sudah secara gamblang menegaskan hal itu. “Setiap dokter harus merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasiennya. Bahkan sesudah pasien itu meninggal sekalipun. Tetapi bisa dibuka atas persetujuan yang bersangkutan, atau karena paksaan dari negara (hukum), “ begitu Mangku menyebut salah satu poin di dalam kode etik kedokteran Indonesia.

Mangku Karmaya menambahkan, banyak ketidaktahuan mendukung stigma terhadap Odha. Dalam sejarahnya, HIV/AIDS pertama kali ditemukan pada kelompok homoseksual yang notabene secara sosial dan agama masih ditolak karena dianggap tak lazim. Hingga kini, masih ada kesan bahwa HIV hanya menular melalui hubungan seksual berisiko.

Itu masih membekas di beberapa kalangan, termasuk dokter. Banyak dokter yang hingga saat ini masih takut menangani Odha. Akibatnya, terjadi stigma dan diskriminasi yang cenderung merendahkan orang HIV positif. “Karenatulah orang-orang HIV minta dijaga kerahasiaannya. Lagipula, privasi setiap orang memang harus dijaga. Bahkan dokter, tidak boleh memberitahu,” terangnya.

Stigma dan diskriminasi menjadi makin kuat, karena virus HIV tidak bisa disembuhkan. “Mereka mengira, orang yang sudah HIV, pasti akan menjadi AIDS. Padahal tidak,” keluh Mangku. Pemahaman masyarakat tentang karakter virus HIV, belum tuntas. Termasuk tentang cara penularannya.

Masih banyak masyarakat yang belum paham bahwa HIV merupakan virus yang berada dalam tubuh dalam waktu lama tanpa menunjukkan gejala, dan tidak bisa disembuhkan. “Ini yang masyarakat belum paham. Dia bisa menular dengan berbagai cara. Tapi pengetahuan tentang penularannya belum dipahami benar,” tambah Mangku. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 17, Juni 2006]

Minggu, 11 Juni 2006

Benalu Teh sebagai Alternatif Retroviral

Parasit yang Bisa Jadi Penolong

Benalu. Parasit pengganggu tanaman ini seringkali membuat kita kerepotan. Pertumbuhannya yang sangat cepat, membuat tanaman kesayangan menjadi rusak. Tapi, jangan terburu-buru membuang tanaman yang menyerap makanan dari tanaman tumpangannya itu.

Benalu yang tumbuh di tanaman teh, ternyata punya khasiat luar biasa. Tiga orang mahasiswa Kedokteran Universitas Udayana (Unud), menemukan kandungan-kandungan dalam benalu teh yang dapat menjadi antiretroviral dan imunostimulator bagi orang yang terinfeksi HIV.

Wayan Citra Wulan Sucipta Putri bersama dua temannya, Nyoman Sutarsa dan Made Siswadi Semadi, mengungkap penemuan mereka melalui karya tulis berjudul Pemanfaatan Ekstrak Benalu Teh sebagai Antiretroviral dan Imunostimulator Pada Penatalaksanaan HIV/AIDS. Karya tulis yang diikutsertakan dalam Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) 2006 itu mengungkap, kandungan-kandungan dalam benalu teh berpotensi menjadi antiretroviral atau penghambat pertumbuhan HIV karena kemampuannya merusak selubung virus HIV dan menghambat replikasi virus itu.
Penyusunan karya tulis yang hanya menggunakan metode studi pustaka itu, awalnya hanya menemukan adanya senyawa dalam benalu teh jenis viscum album. Di Eropa ternyata sudah digunakan untuk anti kanker dan anti HIV. Fakta itu diungkap peneliti Eropa, Gorter R, melalui bukunya, Anti-HIV and Immunomodulating Activities of Viscum Album. “Ternyata kandungan senyawa lektin dalam benalu teh itu yang menjadi kunci,” ujar Citra.

Dari analisa Gorter, Citra bersama temannya berinisiatif mencari benalu sejenis yang mudah didapat di Indonesia. Buku berjudul Senyawa Anti Kanker dari Benalu Teh karya Winarno, kemudian mengantar mereka pada satu spesies benalu teh, scurrula atropurpurea danser. Benalu teh jenis scurrula diketahui mengandung senyawa lektin dengan tipe yang sama dengan yang dikandung benalu teh Eropa.
Senyawa lektin dalam benalu teh Eropa dan scurrula menjadi istimewa karena kemampuannya menarik ikatan mamosa yang menyelubungi struktur luar virus HIV. “Ibarat manusia yang ditarik senjatanya, virus HIV akan melemah kalau ikatan mamosanya ditarik,” jelas perempuan berusia 22 tahun ini.
Tak hanya lektin, ada juga senyawa tanin dan asam lemak yang juga memiliki khasiat. Tidak hanya bisa dimanfaatkan sebagai antiretroviral, benalu teh juga disebut mampu menjadi peningkat sistem kekebalan tubuh (imunostimulator).
Temuan mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Ilmiah Hipokrates FK Unud itu makin diperkuat dengan fakta lain. Ternyata, banyak masyarakat di wilayah yang kaya tanaman teh, seperti di Jawa Timur dan Jawa Barat, telah memanfaatkan benalu teh secara tradisional untuk meningkatkan kekebalan tubuh penderita kanker.

Temuan dalam karya tulis yang telah lolos uji tingkat wilayah C (Bali,
awa Timur, NTB dan NTT) itu diharapkan memberi alternatif untuk mengatasi masalah keterbatasan akses obat antiretroviral (ARV) bagi orang HIV positif.
Di tengah mahalnya obat ARV yang kini ada, Citra dan kawan-kawannya menawarkan benalu teh. Cara pengolahannya tak jauh beda dengan pengolahan teh. “Cara pengolahan benalu teh lebih praktis dan ekonomis. Kalau hasil penelitian lanjutan untuk ini menunjukkan hasil bagus, benalu teh akan menawarkan pengobatan yang murah,” ungkap Citra.
Tentu saja, perlu penelitian lebih lanjut untuk membuktikannya. “ Perlu dikaji lagi secara ilmiah, harus diteliti,” ujar Tuti Parwati, Ketua Pokja Care Support and Treatment Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali, mengomentari. Menurutnya, kalau kajian terhadap benalu teh itu benar, maka hal itu akan memberi pilihan baru bagi upaya pengobatan HIV/AIDS. Terlebih dikatakan bahwa ada zat-zat penghambat sejumlah enzim yang membantu perkembangbiakan virus HIV. “Berarti kombinasi obat ARV sudah ada di benalu teh,” tambahnya.

Secara praktis, Tuti menilai perlu penelitian tentang bagaimana proses ekstraksi dari benalu teh tersebut, termasuk pengaturan dosisnya. Benalu teh diharapkan menjadi alternatif pilihan pengobatan, tanpa mengganggu proses pengobatan yang telah dijalani para Odha selama ini. Kreativitas ketiga mahasiswa Unud itu kedepannya diharapkan bisa memberi solusi atas keterbatasan dan mahalnya harga obat ARV. Agar keberlangsungan pengobatan terjamin.[Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 17, Juni 2006]

Jumat, 09 Juni 2006

Tes Paksa Mengubur Asa

Nyoman Sukma, 30 tahun, kalut. Perasaan kaget dan kecewa luar biasa terlihat jelas dari mimik wajahnya ketika mendatangi Klinik untuk tes HIV, Voluntary Counseling and Testing (VCT) Nusa Indah Rumah Sakit Sanglah. Beberapa bulir air mata menetes dari matanya ketika seorang konselor menemuinya. Dengan sedikit terbata, ia mengadukan hasil tesnya di sebuah lab di Denpasar. HIV/AIDS Reaktif, begitu isi salah satu poin di lembaran-lembaran hasil tes itu.

Poin itulah yang membuat Sukma kaget luar biasa. Apalagi belum ada pihak manapun yang menjelaskan tentang bagaimana virus yang merusak sistem kekebalan tubuh itu bisa ada di tubuhnya. Sukma tak mendapat konseling atas tes yang ia lakukan.

Tak ada pre test maupun post test seperti layaknya standar tes HIV. Ia bahkan tak tahu apa HIV/AIDS. Tes HIV itu menjadi bagian dari tes kesehatan lengkap yang dilakukannya untuk syarat mencari kerja.

Karena hasil tes kesehatan itulah membuatnya gagal berangkat ke Malaysia. Angannya mendapat penghasilan besar dari bekerja di sebuah usaha spa di negeri jiran, harus dibuangnya jauh-jauh. Hasil tes HIV adalah penyebab pembatalan itu. “Semuanya dites. Rontgen, tes kencing, tes darah. Macam-macam. Cuma tes darah yang bermasalah,” cerita Sukma.

Kaget, kecewa, dan perasaan tidak percaya bercampur aduk di benak perempuan muda itu. Tak cuma karena ia batal bekerja di Malaysia, tetapi juga karena ia sendiri merasa tak percaya virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh itu ada dalam tubuhnya. Tak pernah terbayang, bagaimana virus itu bisa masuk dalam tubuhnya.
Salah seorang konselor di klinik VCT RS Sanglah, Sagung Anom Suryani pun kaget mendengar cerita Sukma. Namun, ini bukan kali pertama VCT Nusa Indah menerima klien seperti Sukma. “Sering kali klien yang datang, mengaku sudah positif. Tetapi mereka tidak pernah dikonseling,” keluh Sagung. Akibatnya, pihaknya harus mengkonseling kembali klien bersangkutan, untuk dapat dilakukan tes ulang.
Ironisnya, dalam kasus Sukma, hasil tes yang dilakukan kembali melalui VCT Sanglah menunjukkan hasil negatif.

Kasus yang nyaris sama juga pernah dihadapi Novita, konselor dari Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), lembaga penanggulangan HIV/AIDS. Pertengahan 2005 lalu, ia mendapat seorang klien yang hendak bekerja ke luar negeri. Perempuan usia 25 tahun itu, tiba-tiba datang dengan hasil laboratorium. Ia dinyatakan positif HIV, tetapi tak pernah ada konseling dari lab bersangkutan. “Dokter yang menyerahkan hasil tes juga nggak ngasi penjelasan,” kenang Novita.

Akhirnya, atas keinginan kliennya itu, Novita melakukan konseling untuk menjalani tes ulang. Tak cuma untuk tujuan mencari kerja, ia juga sempat beberapa kali mendapat klien yang ingin tes untuk tujuan meminjam uang di bank.

Tes HIV tanpa konseling, memang tak jarang terjadi. Nengah Suardana misalnya, sempat emosi pada pihak tertentu di Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Jembrana. Petugas Lapangan YCUI yang bekerja di Kabupaten Jembrana, Bali, itu merasa kecewa atas kasus yang dialami seorang warga setempat.

Niat baik Sadia, sebut saja demikian, untuk mendonorkan darahnya untuk seorang teman yang sakit, berujung masalah. Dari tujuh kantong darah yang diterima PMI saat itu, dua kantong darah dinyatakan tak layak. Entah kabar dari mana, darah Sadia dikatakan sebagai salah satu darah yang tak layak itu. Ketika Sadia dan seorang rekannya datang ke PMI untuk mempertanyakan, temannya diinformasikan kalau darahnya terinfeksi hepatitis. Sementara hasil skrining darah Sadia sendiri, petugas PMI tak bersedia menjelaskan. Ia diminta bertanya langsung kepada seorang pegawai di Dinkes Jembrana.

Benar saja, pegawai bersangkutan ternyata mengetahui hasil skrining darah Sadia. Sebelum memberi hasil skrining darahnya, Sadia disajikan video testimoni orang dengan HIV/AIDS (Odha). Usai menyaksikan video itu, tak ada penjelasan lagi kepada Sadia. “Kamu positif,” begitu pegawai bersangkutan kepada Sadia.
Kaget? Tentu saja. Tak berhenti di situ, istri Sadia juga jadi kalut. Suatu hari pada pukul 4 pagi, sejumlah petugas dari Dinkes Jembrana tiba-tiba datang ke rumahnya. Tanpa memberi penjelasan, istri Sadia langsung diambil darahnya. Tak jelas apa maksud pengambilan darah itu. Namun kepada Nengah Suardana, istri Sadia mengaku diambil darahnya dua kali. Diperkirakan untuk tujuan tes HIV dan tes CD4. “Istrinya nggak tahu untuk apa, sampai dia ketakutan,” kenang Nengah.

Karena peristiwa itu, aktivitas penjangkauan Nengah yang akrab disapa Pion, terhambat. Tujuh orang dampingannya yang telah menyatakan siap tes HIV, berbalik menolak tes itu. “Mereka jadi takut orang-orang tahu status HIV mereka,” keluh Pion. Ia menyesalkan karena Dinkes sebenarnya tahu pentingnya konseling dalam tes HIV.

Ia curiga ada tujuan menarik sebuah lembaga donor untuk masuk ke Jembrana, dengan alasan adanya peningkatan kasus HIV di wilayah itu. Pasalnya, lembaga donor tersebut hanya mau masuk ke wilayah dengan kasus tinggi. “Semangatnya oke lah. Tapi mereka sayang main hantam. Mereka tidak memahami VCT, hanya utamakan kasus. Padahal pendampingan kan tidak mudah, “ Keluh Pion.

Ketua Pokja Humas dan Informasi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Mangku Karmaya, juga merasa geram terhadap kasus-kasus seperti itu. Karmaya menyebut hal itu sebagai bentuk mandatory test (tes paksa) yang melanggar hak asasi manusia (HAM).

Mandatory test merupakan tes yang dilakukan secara paksa. Segala macam tes untuk tujuan kerja, meminjam uang di bank, atau apapun, dikatakan termasuk kategori mandatory test. Ini tak sesuai dengan Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS.

Kecewaan juga disampaikan Ketua Pokja Care Support and Treatment (CST) Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Tuti Parwati. Apalagi prinsip kerahasiaan juga banyak sekali dilanggar oleh praktik-praktik mandatory test tersebut. Seyogyanya, hasil tes HIV hanya boleh diketahui oleh klien dan konselor saja. Tak boleh ada orang lain yang mengetahui hasil tes itu, tak terkecuali penyedia lowongan pekerjaan atau sejenisnya.

Nyoman Restu Yasa, Operation Manager CTI Bali, perusahaan penyalur tenaga kerja ke kapal pesiar di Amerika Serikat, mengakui syarat ketat terkait kesehatan calon tenaga kerja yang akan dikirimnya. Bila hasil tes kesehatan menyatakan positif HIV, dengan tegas Restu menyatakan tak bisa memberangkatkan calon tenaga kerja bersangkutan. Namun ia membantah hal itu sebagai bentuk diskriminasi terhadap Odha dalam mendapat pekerjaan. Penolakan tak hanya dilakukan terhadap orang yang positif HIV, tetapi juga terhadap orang dengan penyakit-penyakit lain. Baik itu hepatitis, jantung, bahkan infeksi menular seksual. “Kantor pusat sangat memperhatikan masalah kesehatan. Tidak cuma HIV/AIDS, masalah narkoba juga dijadikan syarat,” kilahnya.

Sejak tahun 2000, jelas Restu, CTI telah menetapkan syarat bersih penyakit kelamin dan narkoba sebagai kelengkapan tes kesehatan. Tak jelas apa motifnya. Menurut Restu karena dicurigai banyak penyebaran HIV/AIDS di Asia. Namun ia membantah hal itu sebagai paksaan. “Kalau tidak mau, jangan melamar kerja,” ujarnya.
Mangku Karmaya mengingatkan kepada semua pihak bahwa tes HIV/AIDS tidak relevan dipakai sebagai syarat kesehatan mencari pekerjaan. “Kalaupun saat ini diketahui negatif HIV, tidak jamin seumur-umur akan negatif. Tes negatif tidak menjamin seterusnya negatif. Bisa jadi masih masuk periode jendela,” katanya menjelaskan periode gejala HIV yang tak terdeteksi.

Namun dunia kerja berkata lain. Praktek syarat ketat tak hanya dilakukan perusahaan kapal pesiar. Lalu, apakah persoalan ini mendapatkan perhatian pembuat kebijakan atau menunggu diskriminasi membuncah? [Komang Erviani pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 17, Juni 2006]