Google
 

Kamis, 20 Juli 2006

Prostitusi Tak Pernah Mati

Tempat transaksi seks tersebar di seluruh kabupaten di Bali. Sasarannya desa-desa. Operasi penertiban malah membuat masalah.

Wayan S, 25 tahun, tak punya firasat jelek malam itu. Seperti malam minggu sebelumnya, ia datang ke lokasi favoritnya, jejeran warung remang-remang di pinggiran Kota Tabanan. Kerinduannya pada Rini, sebut saja begitu, salah satu penghuni warung, membuat langkahnya makin bersemangat menuju salah satu warung di sisi barat. Setengah jam berhubungan seks dengan Siti, cukup memuaskan lajang yang sejak SMP hobi ”berpetualang” itu. Masih seperti biasa, tanpa kondom. Tapi ia kena getahnya. Kelaminnya diserang Raja Singa (sifilis). Beruntung, infeksi pada kelaminnya bisa disembuhkan. Tapi Wayan tak kapok. ”Sementara begini dulu. Nanti kalau udah punya cewek, nggak lagi,” elaknya.

Wayan S tak sendiri. Survei Yayasan Kerthi Praja mencatat, setiap tahun ada setidaknya 100 ribu pelanggan seks di Bali. Ironisnya, 10 persen diantaranya diperkirakan telah terinfeksi HIV/AIDS. Tak jelas, kapan pertama kali industri seks terbangun di Bali. Yang pasti kabupaten/kota se- Bali telah membuat perda untuk mencoba mengatasi praktik ini. Denpasar misalnya, melahirkan Perda No. 2 Tahun 2000 tentang pemberantasan pelacuran. Hal yang sama dilakukan oleh kabupaten/kota lain di Bali. Operasi penertiban jadi andalan. Tak hanya oleh Satuan Polisi Pamong Praja, tetapi juga oleh aparat kepolisian. Dinas Tramtib dan Satpol PP Kota Denpasar misalnya, telah menangkap 84 pekerja seks komersial (PSK) dalam operasi penertibannya selama 2005. Pada 2004, jumlahnya lebih banyak, 131 orang. Mereka yang tertangkap umumnya dikenakan sanksi administrasi, berupa pembinaan di panti rehab selama sekitar 3-6 bulan dan pemulangan ke daerah asal. Ada juga yang harus membayar denda sekitar Rp 250 ribu untuk bebas.

Kabupaten lain tak mau kalah. Bupati Buleleng, Putu Bagiada mengaku selalu menurunkan tim yustisi untuk menertibkan dengan dalih mengadakan pembinaan. Klungkung tak jauh beda. “Biasanya upaya kami berawal dari penertiban penduduk,” jelas Bupati Klungkung, Wayan Candra.

Toh, praktik prostitusi tetap ada, bahkan makin meluas. Yayasan Kerti Praja (YKP), LSM pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, mencatat ada delapan lokasi prostitusi yang kini dijangkaunya di Denpasar. Mulai dari di wilayah Blanjong dan Semawang, Jl Danau Tempe, Carik (Ubung), Gatot Subroto, serta tiga lokasi di Padanggalak. Itu belum termasuk bungalow, losmen, panti pijat, kafe, serta karaoke yang kadang menyediakan layanan seks itu. Tak kurang dari 600 pekerja seks komersial (PSK) dijangkaunya.

Selain Denpasar, aktivitas seksual berisiko itu juga menyebar ke seluruh pelosok Bali. YCUI yang rutin menjangkau pelanggan seks di sebagian wilayah Denpasar, Buleleng, Karangasem, Jembrana, Tabanan, dan Badung, juga menjangkau desa-desa yang sarat aktivitas seks komersial. Di Buleleng misalnya, YCUI menjangkau 12 desa di Kecamatan Gerokgak. Selain itu lokasi prostitusi itu juga tersebar di seluruh kecamatan yakni Seririt, Banjar, Sukasada, Sawan, Buleleng, Kubutambahan, dan Tejakula. Jangkauan YCUI juga mencapai Jembrana, Karangasem, dan Badung. Penjangkauan dilakukan dengan kampanye safe sex untuk peningkatan kesadaran para pelanggan. Mereka diharapkan memahami bahwa perilaku berisiko yang mereka lakukan sangat berbahaya. “Salah satunya dengan meningkatkan penggunaan kondom,” tambah Efo.

Direktur YCUI, Efo Suarmiartha menegaskan, sebagian besar laki-laki pelanggan seks berasal dari desa. Selain faktor pekerjaan yang membuat mobilitas mereka tinggi, juga karena hiburan di desa masing-masing cenderung menggiring ke aktivitas seksual. “Seperti metuakan,” ujar Efo menyebut kebiasaan minum minuman keras di Bali. Kondisi itu banyak dilihat sebagai peluang oleh para pemodal bisnis seks dengan mendekatkan diri ke desa-desa melalui bentuk kafe. Tentu saja, itu belum seluruhnya. Masih banyak wilayah di pelosok Bali yang belum mampu dijangkau YCUI.

Pemberantasan atau penertiban membuat kening pejabat daerah setempat berkerut. “Prostitusi, saya rasa, di manapun ada di dunia ini,” aku Bagiada. Demikian juga di Klungkung. Bupati Wayan Candra mengaku tak cukup mampu memberantas prostitusi di Klungkung. “Memang masih ada. Itu manusiawi. Sejak dulu kan memang sudah ada. Hanya masalahnya menonjol atau tidak,” kilahnya.

Sulitnya memberantas praktik prostitusi, menurut Astawa, tak lepas dari peranan banyak pihak yang membekingi. “Beratnya, banyak pihak di balik mereka. Paling tidak ada 15 pihak membekingi mereka. Mulai dari preman kelas berdasi sampai sandal jepit,” ungkapnya. Aksi beking membekingi, memang tak bisa lepas dari bisnis ini. Gde Dharma, sebut saja demikian, mengakuinya. Meski mengaku tak punya beking khusus, namun kakek dua cucu yang menyewakan wisma di komplek Danau Tempe itu harus menyisihkan sedikitnya Rp 20.000 setiap hari untuk membayar petugas. Sore itu misalnya. Dua pria berpakaian coklat muda, seragam PNS, datang dengan sepeda motor. Menurut Gde, setiap hari sekitar 20 orang dari berbagai instansi datang minta ”uang rokok”. Pengeluaran bulanan ini bisa membengkak bila ada razia. Padahal, Gde mengaku menghasilannya tak seberapa. Untuk setiap transaksi yang dibuat “pegawainya”, Gde hanya dapat Rp 15 ribu. Sementara ia juga harus membayar sewa wisma Rp 3 juta per bulan, plus pungutan-pungutan liar oknum petugas.

“Sulit memberantas ini (prostitusi). Karena ini masalah klasik,” jelasnya. Dengan personil aktif hanya 161 orang, sementara ada 47 Perda yang harus diamankan, Astawa mengaku kesulitan memberantas prostitusi. Sebagai daerah pariwisata, tambah Astawa, Bali tak bisa dilepaskan dari 3S, yaitu sea, sun, dan sex. Tak bisa dipungkiri, keuntungannya lumayan. “Jadi, ini sudah jadi bisnis,” tambahnya.

Sekretaris Kota Denpasar, Made Westra, berdalih penertiban-penertiban saja tidak cukup. “Kita harapkan masyarakat mendukung,” tegasnya. Tentu saja, tak mudah mengharap dukungan penuh masyarakat. Apalagi, masih ada banyak Wayan Wayan lain yang tersebar di Bali. [Komang Erviani / pernah dimuat di Koran Tokoh]

Mendekatkan HIV/AIDS Lewat Bazaar

Apa yang kita dapat bila datang ke acara bazaar amal di banjar-banjar? Kalau jawabannya makan, itu sudah biasa. Berkumpul dengan teman lama, juga bisa. Tetapi anak muda yang tergabung dalam Sekaa Teruna Teruni Banjar Tegaltamu, Desa Batubulan, Sukawati, Gianyar, mencoba menawarkan hal yang tidak biasa dalam bazaarnya di banjar setempat, akhir Juni 2006 lalu.

Setumpuk media komunikasi informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS, menyambut para pengunjung bazar di meja penerima tamu. Ada pula sekotak kondom yang digratiskan untuk siapa saja yang membutuhkan. Tentu saja, bagian ini hanya khusus bagi mereka yang sudah cukup umur. Solusi yang ditawarkan untuk pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS tetap berpegang pada konsep ABCD. Abstinence (tidak melakukan hubungan seks) bagi yang belum menikah, Be faithfull (saling setia) bagi yang sudah memiliki pasangan, Condom (kondom) bagi yang tidak bisa melakukan A dan B ataupun ingin mencegah kehamilan, serta Don’t Inject (jangan menyuntik dengan jarum bekas) bagi pengguna narkoba suntik.

“Siapa yang melakukan penanggulangan HIV/AIDS?” begitu pertanyaan kuis yang terdengar jelas dari ujung mikrofon. Ada tiga pilihan jawaban yang ditawarkan, yakni siapa saja, dokter dan perawat, serta pemerintah dan yayasan AIDS. “Tulis jawaban di kertas tisu yang ada di meja,” jelas pembawa acara memberi petunjuk. Tak butuh waktu lama bagi pengunjung bazaar untuk menjawab. Beberapa orang langsung berlari menyetor jawabannya ke depan panggung. Beberapa jawaban ternyata benar, yakni setiap orang bisa melakukan penanggulangan HIV/AIDS. Namun tak sedikit pula pengunjung yang menyebut penanggulangan HIV/AIDS hanya bisa dilakukan oleh pemerintah dan yayasan AIDS. Spontanitas pengunjung bazaar dihargai dengan hadiah merchandise.

Selama tiga hari penyelenggaraan bazaar, panitia sengaja melontarkan pertanyaan-pertanyaan guna memancing peningkatan pengetahuan pengunjung soal HIV/AIDS. Pertanyaannya pun beragam, mulai dari bagaimana cara penularan HIV/AIDS, bagaimana kasus AIDS pertamakali ditemukan di Indonesia, hingga bagaimana HIV/AIDS dicegah.

“Ini hanya untuk shock therapy, agar mereka tahu apa itu HIV. Dengan tahu, mereka mengenali, sehinga bisa melakukan pencegahan,” jelas IGN Pertu Agung, inisiator acara. Menurut pria yang menjadi penyiar di sebuah stasiun radio swasta di Denpasar itu, ide penyelenggaraan pos informasi HIV/AIDS dalam acara bazaar itu muncul secara tidak sengaja. Ide itu tiba-tiba muncul setelah ia memandu sebuah diskusi interaktif tentang HIV/AIDS. Perkenalan dengan narasumber dari Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), LSM pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, akhirnya menelorkan ide yang kemudian didukung oleh YCUI itu.

Agung yang juga anggota Sekaa Teruna Teruni (STT) Banjar Tegaltamu menjelaskan, tempat berkumpulnya anak-anak muda kini tidak terbatas di kota besar. Bahkan di pedesaan pun, ada “pergaulan” yang berpotensi menularkan HIV/AIDS. Dengan melakukan sentuhan langsung ke desa-desa, ia optimis pemberian informasi tentang HIV/AIDS bisa lebih efektif. Apalagi melalui acara bazaar, di mana pengunjungnya biasa menghabiskan banyak waktu . “Kita beri brosur, paling tidak iseng-iseng pasti dibaca,” jelasnya. Pemberian kuis berhadiah, diharapkan bisa menjadi daya tarik tersendiri sehingga tidak hanya terjadi komunikasi satu arah. Respon dari pengunjung terhadap pertanyaan kuis, bisa menjadi parameter efektivitas pemberian informasi tersebut.

Dari hanya tiga hari bazaar, paling tidak dipastikan ada sekitar 1000 orang warga dalam dan luar Banjar Tegaltamu yang mendapatkan sedikit informasi soal HIV/AIDS. Itu belum termasuk jumlah orang yang datang tanpa membawa undangan. “Padahal satu undangan biasanya datang dengan dua sampai lima temannya. Jadi, ya lumayan banyak juga kan,” tandasnya. Ada yang tertarik mengikuti jejak STT Banjar Tegaltamu? [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 18, Juli 2006]

Ketika Pecandu Jera Oleh Penjara-2-

Inneke Jesica:Enaknya Cuma Sesaat

Awalnya, saya cuma ikut-ikutan kegiatan di klinik lapas. Sejak tertangkap membawa 4 butir ineks, April 2004, dan divonis penjara 4 tahun 6 bulan, saya sumpek. Jadi kalau ada kegiatan klinik, seperti pelatihan narkoba dan HIV/AIDS, saya ikut.
Di sana kita pelajari macam-macam drugs, terbuat dari apa, juga penyakit yang diakibatkan. Memang sih kita sudah tahu bahaya narkoba sejak awal, sejak kita masih di luar. Tapi kan di sini lebih jelas lagi. Terus kita juga diingatkan akibat kenal drugs, contohnya ya, kita di sini (Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan). Jauh dari orang tua, jauh dari orang-orang yang kita sayangi, jauh dari teman. Dari kegiatan-kegiatan itu, saya kemudian jadi peer educator (penyuluh sebaya) pada pertengahan 2005.

Sejak jadi peer educator, kalau ada anak baru, saya bikin meeting. Saya jelaskan ke mereka tentang bahaya narkoba dan HIV/AIDS. Jadi apa yang saya dapat itu, saya ajarin lagi. Tapi masing-masing orang, lain caranya. Kadang bisa bikin pertemuan seminggu sekali, kadang juga sama teman ngobrol biasa di kamar. Biasanya kan ada anak yang nggak tahu efek-efek obat itu.

Memang kalau kita ngasih tahu teman, eh, kamu itu berhenti dong. Kadang yang punya anak saya bilangin, inget anakmu. Kamu nggak kapok-kapok ya. Aku bilang, di sini kita nggak kerja. Beda kalau dulu. Di sini ngarepin orang dari luar. Di luar pun lagi susah.

Pernah ada yang ngomong, “Ah, lo munafik. Dulu juga kan elo make. Lagian duit duit sendiri, bukan duit elo.” Karena jengkel saya lalu bilang, “Iya sih, duit-duit lo. Sakit-sakit lo sendiri aja. Aku cuma ngingetin. Jadi terserah kamu. Lagian yang mati lo sendiri,”. Saya bilang, kalau kalian mau make, silahkan. Tapi tolong jangan mengganggu teman yang lain. Kadang ada teman yang udah nggak make, karena ngelihat barang, muncul sugest.

Terus terang, nggak munafik, kadang kalau saya lihat barang, bawannya juga tangan langsung dingin, sakit perut. Udah dingin duluan, padahal belum make. Tapi dalam hati saya bilang, “ah nggak nggak!”.

Ada teman sudah kayak adik sendiri, bilang mau make. Tapi saya bilang, ya terserah kamu. Itu hak kamu. Kamu juga bukan siapa-siapa saya. Tapi kalau kamu mau baik, jangan. Katanya kamu mau berhenti. Kasihan uang kamu. Lebih baik kamu pake makan.

Beda kalau di luar, kita kan bisa cari uang sendiri. Apalagi kalau anak-anak yang kerja di kafe, di karaoke. Mereka itu dapetin barang tanpa ngeluarin uang. Dikasih orang. Tapi kalau di sini, pikir-pikir dulu.

Di dalam lingkungannya susah. Latar belakang orang beda-beda. Jadi kalau stres, ada masalah sedikit, berantem. Saya pernah down, nggak mau lagi bilangin bahaya narkoba ke teman. Tapi setelah itu, saya lanjut lagi. Pernah ada teman sudah berhenti make, saya nggak pernah ngingetin lagi. Tiba-tiba dia datang lagi, mengeluh sakit gara-gara make lagi. “Aku kan udah bilang, itu enaknya cuma sesaat,” saya gituin aja.

Syukur nggak ada yang merespon terlalu buruk. Kadang kalau sudah kesal, saya kasih aja mereka makalah-makalah tentang narkoba dan HIV/AIDS yang saya dapat di pelatihan. Aku kasih aja dia baca dengan daya nalarnya. Karena masing-masing orang kan daya nalarnya beda. Daripada capek ngomong.
Yang penting sudah diingetin sekali. Kalau dia nggak terima, ya sudah. Itu hak-hak dia. Tapi kalau dia sudah sakit, baru datang. Aku bilang aja, tu garam di dapur, bakar aja.

Kadang teman yang di luar pun aku beritahu. Kamu kalau kerja, kerja aja. Tapi jangan ngedrugs. Nggak usah jauh-jauh, aku ini lihat. Kamu kira di penjara itu enak? Memang kalian datang besuk di sini, kelihatannya enak. Tapi jangan salah. Di penjara itu apa-apa dibatasi. Tidur ya bisa, TV juga ada. Tapi semua itu percuma kalau kita nggak bisa keluar. Sama kayak burung, dalam sangkarnya ada makanan, ada apa-apa. Tapi kalau di dalam situ terus, kan marah? Lagian entar kalau kita keluar gimana?

Tapi untuk berhenti, memang nggak bisa langsung. Harus bertahap. Seperti saya, dulunya pecandu ineks berat. Kadang juga ada keinginan make. Cuma biasanya pas ngobrol sama teman, jadi ringan. Kenapa aku di sini. Coba kalau aku masih di luar, pasti masih sama teman-teman jalan. Masih bisa ketemu siapa, ya pacar, orang-orang yang kita sayangi.

Di sini memang kita nggak terkekang. Memang sih di sini kata orang kayak di luar. Cuma bedanya, kita di sini nggak bisa keluar. Mainnya di situ-situ aja. Karena lingkungannya di situ-situ aja, kadang ada yang berantem.

Kalau keluar dari lapas, saya ingin berubah. Saya ingin berumah tangga, punya suami, punya anak. Saya hidup kemarin kan terlalu glamor. Di penjara ini baru merasakan. Saya ingin hidup normal. Tapi sebelumnya, saya ingin pulang dulu ke Sulawesi, nemuin orang tua. Mereka tidak tahu, dan tak ingin mereka tahu, kalau saya di penjara. Sampai sekarang, mereka cuma tahu saya ke Bali untuk main. Saya tidak ingin mereka kecewa punya anak seperti saya. [Seperti diceritakan pada Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 18, Juli 2006]

Ketika Pecandu Jera Oleh Penjara

Dita: Semuanya Saling Mengisi

Sejak masuk Lapas Kerobokan tahun 2005 lalu, aku mulai kenal Inneke. Tapi baru belakangan ini aku mengenal lebih dekat. Karena kebetulan kamar kami bersebelahan. Secara pribadi, dia baik, ramah. Enak sih diajak gaul. Nggak canggung.

Kalau ngumpul, kami biasanya cerita-cerita tentang pengalaman yang dulu. Cerita-cerita tentang bahaya narkoba memang nggak terlalu sering. Yang sering, paling cerita-cerita pengalaman yang dulu. Kami lebih banyak bercanda. Kayak waktu nyuci, kami ngobrol. Waktu sore-sore, kami biasanya kendangan (main kendang) rame-rame.

Kami, napi narkoba di blok W, memang sering saling berbagi pengalaman. Bicara dari narkoba ke narkoba, kita sudah biasa. Sudah biasa kita saling mengisi. Dari aku sendiri, aku sudah nggak mau make itu barang. Makanya kami paling ngobrol tentang masa lalu aja. Tentang bagaimana waktu kita kerja dulu. Itu saja. Selebihnya nggak.

Waktu pertamakali make, memang saya tetap ingin make terus. Kalau ada ya pake, tapi nggak sampe menggebu-gebu. Kalau ada ya make, tapi kalau nggak, nggak memaksakan lagi kayak dulu waktu lagi parah-parahnya. Apalagi sekarang ini, lebih baik mikir dua kali.

Kalau aku mikirnya gini, kita di sini nggak ada siapa-siapa. Yang membesuk juga jarang. Kalau aku pribadi, kalau kena itu (narkoba) lagi, takutnya uang juga nggak ada. Sementara utang di mana -mana. Sementara kita di sini perempuan, yang jelas lebih banyak kebutuhannya dibandingkan laki-laki.

Tapi kadang-kadang iya juga. Kita pengen make. Tapi biasanya kalau aku ada keinginan itu, nggak aku teruskan. Kalau kita ada keinginan, lebih baik kita lari. Ngobrol aja sama teman-teman.

Sejak pertamakali masuk lapas, aku ikut kegiatan narcotic anonymus (NA) di lapas. Awalnya sih karena dikasi tahu petugas. Karena setiap ada NA, napi dan tahanan narkoba harus kumpul. Dari ikut-ikut NA itu lah, sangat membantu penyembuhan saya. Apalagi karena ada program just for today (hanya untuk hari ini). Just for today itulah yang akhirnya terus mengingatkan.

Tinggal di lapas juga tidak lepas dari godaan narkoba. Sama Inneke, kadang sih kita pernah ngomong. Inginnya seperti itu. Tapi keadaan nggak memungkinkan. Kadang masalahnya kan duit. Kalau aku sih, masa-masa pengen make itu ada. Tapi lama-lama berpikir keras sama anak-anak, oh iya-iya, Ngapain buang uang buat beli yang beginian. Sedangkan utang ada. Jadi kadang kalau pas inget pingin make, inget dah sama NA. NA itu sangat membantu bagi saya.

Dulu juga waktu ditawari NA pertama datang, aku pikir, ih ngapain sih dengerin ocehan orang. Tapi lama-lama, asyik juga. Ternyata lebih enak di situ.
Aku tahu betul bahaya narkoba dari pengalaman. Kalau ineks, berisiko overdosis. Kalau shabu, bikin saraf. Kalau putaw sih aku nggak tahu. Belum pernah coba. Tahunya dari pengalaman. Yang jelas, peranan NA dalam kehidupan saya sekarang, sangat besar.
Di dalam blok, sebenarnya yang ngasih tahu soal bahaya narkoba dan HIV/AIDS memang banyak. Soalnya semuanya saling mengisi.
Just for today itu bagi saya sih sangat membantu sekali karena setiap kita mau gerak sedikit, inget. Awas, hanya untuk hari ini. Terus berlanjut-berlanjut, akhirnya juga sembuh.

Kalau aku selesai menjalani hukuman 4 tahun 4 bulan di sini, belum kepikiran apa yang akan aku lakukan. Inginnya sih di sini belajar bahasa asing. Jadi kalau keluar dari sini, kalau ada tawaran pekerjaan, bisa coba. Yang jelas, saya nggak mau lagi terjerumus. [Seperti diceritakan kepada Komang Erviani/ pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 18, Juli 2006]

Rumput Laut Demi Karang

Para nelayan di sekitar kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB) beralih profesi menjadi petani budidaya rumput laut. Meninggalkan budaya pengeboman ikan demi menyelamatkan terumbu karang. Keuntungan ekonomis memperkuat motivasi.

Di tengah perairan Bali barat, sekitar satu kilometer dari pesisir Pantai Sumber Pao, Desa Sumberkima, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali, Latief (32 tahun) asyik duduk di atas sampan kayu mungilnya. Jari jemarinya yang terlihat kekar, sibuk memetik rumput laut dari ikatan-ikatan tali yang dijadikan media tanam. Senyumnya mengembang. Rupanya, sampan kecilnya sudah hampir penuh dengan rumput laut. Beratnya diperkirakan sudah mencapai 2 kwintal. Ratusan ribu rupiah sudah terbayang di benak Latief.

Panen perdana yang dilakukan Latief dari usaha budidaya rumput laut yang dimulainya sejak awal 2006 ini, telah memberi keuntungan melimpah baginya. Apalagi bila dibandingkan dengan hasilnya melaut yang tak seberapa. Untuk melakukan budidaya, ia hanya perlu merakit bibit-bibit rumput laut di sejumlah tali dengan panjang masing-masing 40 meter. Dengan hanya membiarkan rakitannya mengapung di perairan selama sekitar 45 hari, Latief sudah bisa mendapat hasil dalam jumlah yang cukup banyak. Nilai ekonomisnya juga dihargai cukup tinggi. Untuk hanya satu kilogram rumput laut basah, ia bisa mendapat Rp 3.600. Tetapi bila dikeringkan, harganya bisa mencapai dua kali lipat.

Rumput laut telah menjadi ladang pencaharian yang menggiurkan bagi Latief dan sejumlah nelayan di wilayah Bali Barat sejak awal 2006 ini. Maklum, keuntungan yang didapat jauh lebih tinggi daripada sekadar melaut. Bahkan, panen perdana secara besar-besaran telah dilakukan bersama-sama oleh sekitar 91 nelayan pada Juni lalu. Hasilnya tak tanggung, mencapai 50 ton rumput laut basah. Sebuah perusahaan pemasok rumput laut, CV Kembang Kidul, juga telah membuka diri untuk membeli semua hasil panen tersebut. “Ini adalah rumput laut jenis Kafaphicus Alvarezi yang punya kandungan serat karaginan paling tinggi. Jenis ini paling baik,”jelas Dewa Gede Pastika dari CV Kembang Kidul. Karaginan merupakan zat dengan kandungan serat yang penting dan sehat dalam rumput laut.

Naiknya popularitas rumput laut di kalangan nelayan sekitar Taman Nasional Bali Barat (TNBB) itu, tak cuma memberi harapan ekonomis yang tinggi bagi masyarakat pesisir Bali Barat. Setidaknya, ancaman terhadap kelestarian terumbu karang di wilayah TNBB juga telah berkurang.

Sejak puluhan tahun lalu, aktivitas penangkapan ikan menggunakan bom dan potasium di TNBB telah mengancam kehidupan terumbu karang dan ekosistem laut kawasan itu. Berdasarkan catatan WWF-Indonesia, tutupan karang yang tersisa dalam kondisi baik pada 1998 hanya sekitar 25 persen. Community Alternative Livelihood Officer WWF-Indonesia, Manu Drestha, kegiatan penangkapan ikan dengan bom dan potasium, telah menjadi perusak paling besar bagi ekosistem bawah laut TNBB. Ini berbahaya karena TNBB pada dasarnya merupakan bank bagi semua spesies hewan dan tanaman laut Bali.

Bom dan potasium awalnya dianggap sebagai solusi atas minimnya hasil tangkapan saat melaut. “Paling banter dapat 10 kg ikan. Itu juga jarang. Kadang nggak dapat ikan. Mancing nggak bisa. Terpaksa pake potas. Terpengaruh teman-teman, ikut,” kenang Sutrisno, nelayan lain yang kini telah beralih ke rumput laut. Kini ia mengaku tak mau lagi ngebom ataupun motas. “Bom, saya takut. Rugi ama polisi,” begitu ia kini.

Kegiatan budidaya rumput laut mulai digiatkan di kawasan Bali barat sejak Agustus 2003 oleh masyarakat bersama Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir (FKMPP) dan WWF-Indonesia. FKMPP merupakan forum yang terbentuk pada 2002 sebagai respon atas banyaknya bentrokan-bentrokan kepentingan antara nelayan, masyarakat, industri pariwisata, dan kegiatan pelestarian lingkungan TNBB. “Kegiatan ini dipilih sebagai mata pencaharian alternatif yang tidak membahayakan kawasan TNBB setelah melalui proses pengkajian yang dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat,” jelas Misnawiyanto, Ketua FKMPP.

Awalnya, budidaya rumput laut direspon baik oleh 30 orang nelayan. Namun banyaknya kendala, membuat para nelayan itu tumbang satu per satu. Pertumbuhan rumput laut yang tidak bagus, membuat banyak nelayan putus asa. Adalah Daeng Hayak, 70 tahun, satu-satunya nelayan yang tetap bertahan. Ayah dari 10 orang anak asal suku Bugis itu telah optimis dengan usaha budidaya rumput laut sejak awal. Karenanya, dalam berbagai kesempatan, ia selalu mencoba mencari jenis rumput laut yang sesuai dengan kondisi TNBB.

Awalnya, ia membeli bibit di Madura Jawa Timur. Namun sebanyak 2 kuintal bibit yang dibelinya dengan harga Rp 2.500 per kg itu, tak memberikan hasil memuaskan. Lantas ia membeli bibit ke petani rumput laut di kawasan Nusa Dua-Badung. Sebanyak 6 kuintal bibit dengan harga Rp 2.000 per kuintal itu pun, terbuang percuma. “Waktu nanam, dimakan penyakit,” cerita Daeng Hayak.
.
Baru pada pertengahan 2005, ketika mengikuti studi banding ke petani rumput laut di Pulau Besar, Maumere NTT, Daeng Hayak menyempatkan membeli 10 kg bibit rumput laut. Harganya tak terlalu mahal, cuma Rp 1.500 per kg. ”Saya lihat hasil rumput laut di sana, kok bagus. Lantas saya bawa pulang 10 kg,” kenangnya. Satu cerita yang tak bisa dilupakan Daeng Hayak, sepasang sepatunya harus dibuang di bandara demi membawa lebih banyak bibit.

Tak percuma nelayan yang dulunya juga sering menangkap ikan dengan bom dan potasium itu membuang sepasang sepatunya. Hanya dalam hitungan 20 hari sejak ditanam, 10 kg bibit rumput lautnya telah tumbuh menjadi 1 kuintal. Menyadari kalau budidayanya kali ini berhasil, Daeng Hayak lantas fokus pada upaya memperbanyak bibit. Hasil budidayanya ditebar dan ditebar lagi. Sampai-sampai, banyak nelayan lain yang kembali tertarik membudidayakan rumput laut. ”Nelayan lain nempil bibit sama saya. Waktu sudah banyak, saya kasi harga Rp 5.000 per kg,” jelasnya.

Sejak Maret 2006, Daeng Hayak baru menikmati hasil budidayanya. Ia mulai mampu menjual rumput laut basah. Hasilnya pun cukup besar. Ia mengaku telah mendapat keuntungan total Rp 6 juta sejak menggarap bibit rumput laut jenis Kafaphicus Alvarezi asal Maumere.

Kini, pria yang mendapat gelar “Pahlawan Rumput Laut Bali Barat” dari FKMPP dan WWF-Indonesia pada Juni 2006 lalu itu, telah memperluas budidayanya di lahan 2,5 hektar. Meski mengaku menghadapi berbagai kendala, masalah permodalan dan hama penyakit, namun Daeng Hayak mengaku sudah cukup senang. ”Sekarang sudah enak dah. Cukup untuk bayar-bayar. Waktu masih mancing, dulu ikan nggak laku. Sekarang sudah ada tabungan. Agak tenang,” jelas pria yang masih menanggung biaya sekolah tiga anaknya. Setidaknya, kini Daeng Hayak bisa panen dua kali seminggu.

Tak cuma kehidupan Daeng Hayak yang ”disulap” oleh rumput laut Maumere. Sebanyak 91 nelayan dari 6 kelompok nelayan di Desa Sumberkima dan Desa Pejarakan Gerokgak, kini menggantungkan hidup dari budidaya rumput laut berukuran besar itu.Tak terbatas pada usaha budidaya dan penjualan, tetapi juga pada usaha pengolahan rumput laut. Oleh para istri nelayan yang tergabung dalam kelompok Sumber Laut Putri, rumput laut diolah menjadi berbagai makanan seperti krupuk, dodol, manisan kering dan basah, selai, kue donat, kue bolu, kue lumpur, asinan, agar-agar, sirup, hingga es rumput laut.

Lahan seluas 15 Ha di perairan Desa Sumberkima dan Desa Pejarakan, kini telah ditutupi budidaya rumput laut. Namun potensi budidaya rumput laut di kawasan luar TNBB itu masih terbuka lebar, mengingat masih banyak potensi lahan yang belum tergarap. Berdasarkan perhitungan, potensi lahan budidaya rumput laut di sekitar kawasan TNBB bisa mencapai sekitar 250 Ha, dengan potensi menghasilkan rumput laut kering sebesar 500-750 ton setiap panen.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, I B Wisnawa Manuaba, juga mengakui potensi pasar rumput laut masih cukup luas. Hal itu terutama karena banyak permintaan rumput laut dari sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea, Hongkong, dan lainnya. ”Karena manfaat rumput laut banyak sekali,” jelas Wisnawa sembari menyebut wilayah Buleleng sebagai salah satu kabupaten penghasil rumput laut potensial.

Meningkatnya ekonomi masyarakat berkat budidaya rumput laut, membuat pengeboman ikan telah ditinggalkan nelayan Bali barat. Akibatnya, pertumbuhan terumbu karang di wilayah Bali Barat pun makin membaik. Pada Agustus 2005 misalnya, berdasar catatan WWF-Indonesia, tutupan karang hidup sudah mencapai 58 persen. Jumlah itu meningkat pada Februari 2006 menjadi sebesar 62 persen.

Meski kesadaran masyarakat akan kelestarian alam telah meningkat, antisipasi atas pelanggaran-pelanggaran tetap dilakukan. Untuk itu, bekerjasama dengan Polisi Hutan TNBB, Polair, Pecalang, dan nelayan setempat, FKMPP melakukan patroli rutin dua kali sebulan di perairan Bagi nelayan yang kepergok menangkap ikan dengan bom atau potasium, akan dikenakan sanksi administrasi atau denda.

Kepala Balai TNBB, Hendrik Siubelen, juga menyambut positif kegiatan budidaya rumput laut oleh nelayan sekitar. ”Salah satu solusi yang harus dilakukan untuk mengurangi tekanan terhadap terumbu karang, masyarakat perlu mencari alternatif mata pencaharian yang ramah lingkungan,” ujarnya. Hendrik cuma mengingatkan bahwa budidaya hanya boleh dilakukan di luar kawasan TNBB. TNBB dengan ekosistem yang sangat beragam, merupakan penunjang bagi kawasan Bali barat khususnya dan Bali pada umumnya. Kerusakan kawasan TNBB sama artinya dengan merusak kawasan penunjang kelestarian alam Bali. [Komang Erviani]

Minyak Oles Membawa Sukses

Bermodal teknologi sederhana yang diadopsi dari Jepang, teknologi EM (effective microorganism), Gede Ngurah Wididana kini jadi tenar. Tetapi orang lebih mengenalnya dengan sebutan Pak Oles, berkat produk minyak olesnya yang dipercaya dapat menyembuhkan segala penyakit. Temuan-temuan barunya, seolah tak pernah berhenti membuat sensasi.

Wididana sebenarnya bukan pengusaha tulen. Ia memulai karir usahanya sebagai peneliti. Program beasiswa mengantar anak petani lulusan Fakultas Pertanian Universitas Udayana ini untuk mengikuti program master of agriculture di University of the Ryukyus, Okinawa, Jepang. Di situlah Wididana jatuh cinta dengan teknologi EM, teknologi fermentasi dengan menggunakan 80 jenis mikroorganisme menguntungkan. Ia belajar langsung dari penemunya, Prof Dr. Teruo Higa.
Pulang dari Jepang tahun 1990, Wididana langsung menerapkan teknologi EM di Bali, sekaligus membuatnya jadi orang pertama yang memperkenalkan teknologi itu di Indonesia. Pria kelahiran Singaraja, 45 tahun silam ini, masuk ke pasar lewat produk pupuknya yang diolah dari sampah. Tekadnya, memperkenalkan pertanian masa depan tanpa zat kimia, hemat energi, dan akrab lingkungan. Namun produk pertamanya itu sempat dicibir. Pupuk yang mengandalkan peran bakteri itu, belum bisa diterima para petani maupun peneliti pada waktu itu.

Rasa penasaran memperkuat tekad Wididana. Setelah sempat menjadi Ketua Laboratorium Lapangan Fakultas Pertanian Universitas Nasional Jakarta selama setahun, Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) dibangunnya pada 1997 di tempat kelahirannya, Desa Bengkel, Busungbiu, Buleleng, Bali. IPSA dijadikan pusat penelitian serta pelatihan dan pendidikan teknologi EM kepada masyarakat. Tempat itulah yang kini menjadi ”dapur” dari segala jenis racikannya.

Hasil racikan pertamanya di IPSA pada 1998, minyak oles bokashi, mengantar sukses Wididana. Produksi minyak oles di bawah bendera PT. Karya Pak Oles Tokcer itulah, yang membuatnya tenar sebagai Pak Oles, si juragan minyak oles. Minyak penyembuh serba guna hasil perpaduan teknologi EM dan teknik pengobatan tradisional Bali itu, diterima dengan sangat baik oleh masyarakat. Maklum, ia berangkat dari obat tradisional Bali hasil fermentasi rempah-rempah, lengis arak nyuh, yang memang telah dikenal. Apalagi banyak fungsi yang dimiliki, mulai dari menyembuhkan sakit kulit, rematik, sakit gigi, sakit perut, luka, hingga meningkatkan vitalitas seksual. Kehadiran minyak oles karya Wididana juga menawarkan hal baru, yakni minyak oles yang diminum dua atau tiga sendok teh sehari.

Dari sebuah produk minyak oles, Wididana terus mengembangkan formulanya. Beragam ramuan dibuat untuk berbagai jenis penyakit dan kecantikan dengan bahan dasar minyak, madu, dan air. Mulai dari krim kecantikan alami untuk flek wajah, anggur tonikum rempah, minyak aroma untuk pijat, parem, hingga beragam jenis madu. Semua dikemasnya di bawah merek dagang yang sama, Ramuan Pak Oles. Hingga kini, tak kurang dari 17 ramuan untuk kesehatan dan kecantikan telah diproduksinya.

Selain ramuan obat tradisional, Wididana juga menawarkan produk khas yang sempat mengundang penasaran konsumennya, yakni gelang keramik. Gelang dari bulatan-bulatan keramik itu diklaim mampu mempercepat penyembuhan. Dasar pemikirannya, keramik mampu mengurangi proses oksidasi dalam tubuh yang menjadi penyebab penyakit. Walau awalnya banyak yang ragu, toh gelang keramiknya laris manis bak kacang goreng.

Orang makin dibuat geleng kepala ketika Wididana mulai merambah dunia otomotif sejak lebih setahun lalu. Pola kerja gelang keramik kesehatannya, diterjemahkan ke dalam dunia otomotif menjadi produk untuk mengirit bahan bakar kendaraan. ”Biar hemat energi,”begitu katanya. Terakhir, ia kembali tampil nyeleneh dengan produk vitamin oli mesinnya yang dibuat dari fermentasi tanaman obat, nyaris sama dengan produk kesehatannya. Vitamin oli mesin itu diklaim mampu mengawetkan mesin kendaraan.

Untuk apa merambah dunia otomotif? Ternyata itu menjadi salah satu bagian dari konsep teknologi EM yang dipelajari pria yang kini menjadi Direktur Representatif Office EM Research Organization (EMRO) ini. ”Teknologi EM adalah teknologi masa depan yang bukan saja dibutuhkan oleh petani, tapi juga oleh masyarakat luas untuk mengatasi pencemaran lingkungan, meningkatkan kesehatan masyarakat, dan untuk menghemat energi dalam bidang industri dan otomotif,” jawabnya. Bagi bapak empat putra ini, metabolisme tubuh pada dasarnya tak jauh beda dengan kendaraan. Proses manusia menjadi sakit dan tua adalah karena reaksi oksidasi. Bahan tanaman obat yang mengandung antioksidan, membuat proses penyembuhan menjadi lebih cepat. ”Oli mengalami proses panas dan reaksi masam, mengkarat dan encer, karena proses oksidasi. Proses oksidasi ini bisa dihambat dengan antioksidan. Sama, antioksidan juga dari tanaman,” ujarnya menjelaskan proses kerja produk vitamin oli mesinnya. Produk pengirit bahan bakarnya dari keramik, juga diakui melakukan proses kerja yang tak beda jauh dengan gelang keramik kesehatannya. ”Antioksidan terdapat juga dalam air murni, dan keramik dapat memurnikan air. Pada kendaraan, keramik dapat menyaring bensin dan solar menjadi molekul yang lebih kecil, sehingga lebih hemat pembakarannya,” tandas pria yang juga politikus ini.

Nama Ramuan Pak Oles memang terlihat jauh dari kesan keren, apalagi eksklusif. Wididana mengaku saat memulai usahanya, nama Ramuan Pak Oles banyak dicela, bahkan dipastikan tidak laku dan bangkrut. Namun Wididana menampik anggapan itu dan membuktikan nama sederhana yang diciptakannya adalah nama hoki. Kata Oles yang merupakan singkatan dari Organik, Lestari, Sehat, dan Sejahtera, belakangan terbukti memberikan keberuntungan. Produksi Ramuan Pak Oles yang dimulai dari industri kecil rumah tangga, telah berkembang menjadi skala industri dalam kurun 3 tahun. Bahkan produksi pupuk yang awalnya sempat dicibir, akhirnya bisa diterima petani sejak ia memproklamirkan nama Pak Oles. Omzet penjualannya? “Lumayan,”begitu Wididana singkat.
Meski enggan menyebut angka, namun penjualan produk yang mencapai 30 jenis, cukup terbaca dari jumlah pelanggannya yang diperkirakan mencapai sekitar 1 juta orang di seluruh Indonesia. Pemasaran produk Ramuan Pak Oles kini memang tak hanya terbatas di Bali, tapi telah meluas ke Jawa, Sumatera, dan Lombok. Proses produksinya juga sangat lancar, dengan kebutuhan bahan baku yang tergolong besar. Bayangkan saja, sebanyak 3 ton rempah-rempah harus dipasok ke dua pabriknya, di Desa Bengkel Buleleng dan Denpasar. Wididana memang mengelola sendiri sebanyajk 315 jenis rempah-rempah di lahan 5 hektar miliknya di Desa Bengkel. Namun hasil produksi di lahannya tak mencukupi, sehingga ia pun harus membeli rempah-rempah dari sekitar 60 petani sekitar. Khusus untuk produksi pupuk, Wididana juga membangun satu pabriknya di wilayah Bogor, Jawa Barat.

Sukses yang diraup Wididana, tak lepas dari strategi pemasarannya yang tergolong unik dan berani. Mulai dari penentuan nama yang bisa dibilang sangat memasyarakat, konsep penjualan door to door dengan 2.000 tenaga pemasaran, hingga pendekatan media massa. Strategi yang terakhir bisa dibilang yang paling nekat. Bagaimana tidak, untuk memasarkan produknya Wididana nekat membuat koran dwimingguan yang diberi nama sama dengan produknya, Koran Pak Oles. Motto yang diusung pun tak jauh-jauh dari motto obat tradisional, Jangan Anggap Enteng. Jumlah produksi korannya tak tanggung, 220 ribu eksemplar. Katanya, jumlah itu disesuaikan dengan total perkembangan pelanggannya. Tak heran kalau Wididana tak pernah menyesal harus mengeluarkan Rp 300 juta per bulan hanya untuk ongkos cetaknya. Melihat efek penjualan yang luar biasa dari strateginya itu, Wididana yang memang punya latar belakang pengalaman jurnalistik, makin melebarkan sayapnya di usaha media. Di bawah payung PT. Visi Media Pak Oles, Wididana juga mengelola dua radio dan sebuah media otomotif. ”Menguasai informasi, juga salah satu strategi pemasaran,” ujarnya.

Wididana terdiam sesaat ketika ditanya obsesi yang masih ingin dicapainya. ” Seperti air saja. Apa yang akan terjadi, kita tidak pernah tahu. Tapi kita fleksibel saja. Tidak ada obsesi,” jawabnya santai. Baginya, mengikuti harapan-harapan masyarakat jauh lebih penting, ketimbang menyimpan sebuah obsesi. [Komang Erviani / pernah dimuat di Harian Media Indonesia]


Komang Darma (Pengguna Minyak Oles)
Batal Operasi Belah Dada Karena Minyak Oles

Komang Darma, 27 tahun, kini rajin bermain bulutangkis bersama teman-temannya. Waktu luangnya hampir tak pernah dilewatkan pria asal Karangasem itu, tanpa melakukan hobi bulutangkisnya. Tapi siapa sangka, beberapa tahun lalu Darma sempat nyaris putus asa menjalani hidup, gara-gara penyakit yang belasan tahun sudah menggerogoti tubuhnya.

Ketika masih berumur 13 tahun, Darma tiba-tiba mengalami pembengkakan pada dada sebelah kirinya. Hanya dalam waktu 3 bulan, bengkak itu pecah dan mengeluarkan darah putih. Analisa dokter pun beragam. Beberapa dokter memvonisnya menderita kanker darah, tumor, kanker tulang, hingga kanker paru-paru. Beragam obat pernah dicoba, tetapi tak mampu menyembuhkan sakitnya.

Pada tahun 1999, dokter yang merawat Darma menyarankan operasi. ”Kata dokter, jalan satu-satunya operasi belah dada,”kenangnya. Beruntung, teman sepupunya yang seorang wisatawan Jerman bersedia menjadi donatur untuk membiayai operasi. Meski menyimpan rasa khawatir, Darma sepakat untuk melakukan operasi itu. Namun operasi yang rencananya dilakukan di Surabaya itu, dibatalkan karena situasi keamanan di kota pahlawan itu. Pada 2002, operasi kembali direncanakan. Kali ini operasi rencananya dilakukan di RS Sanglah, Bali. Tapi lagi-lagi operasi urung dilakukan. Itu gara-gara meledaknya bom Bali di Kuta pada Oktober 2002 telah membuat RS Sanglah penuh pasien korban bom.

Dua bulan setelahnya, minyak oles Bokashi coba diberikan pada Darma. ”Waktu itu dibeliin 4 botol. Saya mau saja minum. Asal bisa sembuh, apapun mau saya lakukan,” ungkap Darma yang sempat menjalani terapi urine selama setahun. Darma rutin minum minyak oles yang dicampur air hanyat dan madu, 3 sampai 4 kali sehari. Hasilnya, ia merasa sembuh setelah menghabiskan dua botol minyak itu. Darma sendiri mengaku tak pernah menyangka, sakit yang telah diidapnya selama belasan tahun dapat sembuh hanya dengan minyak oles, bukan operasi belah dada. Ia justru tak pernah berani membayangkan bila operasi belah dada benar-benar dilakukan padanya.

Darma senang, ia sudah bisa menjalani hidupnya seperti orang kebanyakan. Ia tak lagi harus menghabiskan waktu di rumah, seperti saat-saat renmaja dulu. Hingga kini, Darma masih rutin mengonsumsi minyak oles, minimal 2 kali sehari. ”Namanya penyakit, kan harus dijaga biar tetap sehat,” tambahnya. Darma tak ingin kembali jadi orang yang minder karena penyakitnya. [Komang Erviani / pernah dimuat di Harian Media Indonesia]

Bali+ organization provides friends for people with HIV/AIDS

Luh Sandat, 20, was daydreaming when the phone rang, "Don't forget to take your pill," reminded the caller, her friend Citra.

Luh took a pill from her daily dosage box. For two months now, she has been treated with antiretrovirals or medications for the treatment of HIV. The timing of doses is essential to effectiveness because the virus mutates rapidly. Luh takes three pills a day at regular intervals. She feels lucky Citra is there to remind her not to skip a dose.

Citra is one of 25 young people who belong to community group Sobat ODHA or Friends of People with HIV/AIDS, an initiative of Bali+.

Sobat ODHA volunteers come from diverse walks of lives and include university students, workers, journalists and members of other NGOs and religious groups.

Bali+ is a nonprofit organization that supports prevention and treatment among people with HIV on Bali. It also works with social groups who are perceived as being at high risk of HIV infection, including injecting drug users.

Dhayan Dirgantara, the coordinator of Sobat ODHA, said people with HIV required community support given the stigma and discrimination related to the virus. "It is our responsibility to help them. To ease their social, mental and physical burden," Dhayan said.

The organization is inviting more people to become involved in its programs.

"You cannot sit around doing nothing but expect that everything in society is going to be OK," Dhayan said.

HIV-related stigma is both disempowering people with HIV and discouraging the community from learning more about the virus.

There are dozens of people living with HIV on Bali.

Sobat ODHA's main task is to inform HIV positive people about available treatment, call them to remind them to take their pills and be with them whenever necessary.

But the program has not been running smoothly. Many people the group approached were reluctant to discuss their experiences with "outsiders".

"At first, it was not so easy to embark on honest and open friendships with them," said Citra, who is studying medicine at a local university.

"Not everyone is willing to be involved in this program," Dhayan said.

Awareness of the symptoms, diagnosis and treatment of HIV is alarmingly low, even among people with the virus. Support from family, close friends and the community is essential.

"One example, they (people with HIV) must have self-discipline, especially in regulating dosing. If they don't take their pills on time, it can seriously impact on their health. Sometimes all they need is a friend to remind them," he said.

Sometimes, they are also emotionally vulnerable. Then a personal approach and good communication skills can be really helpful.

For Luh Sandat having someone to talk to is invaluable.

"I don't have any family here in Denpasar. I often feel quite lonely and need someone to share with," said Luh, whose family lives in Bangli, 80 kilometers east of Denpasar.

Many of the people Sobat ODHA assists come from Java and other islands across Indonesia. "Everybody needs a friend and we are here to help ease their burden a little bit," Citra said.[ni komang erviani, The Jakarta Post, July 20, 2006]

Senin, 10 Juli 2006

Tak Perlu Lagi Berbisik untuk Beli Kondom

Si lentur penangkal virus, kondom, kini makin naik daun. Cobalah datang ke beberapa warung, toko, atau bahkan pedagang jamu. Pasti ada beberapa diantaranya yang menjual kondom. Benda yang dulu dianggap tabu itu, kini sudah mulai memasyarakat. Bagaimana tidak, beberapa toko dan warung kini telah melengkapi barang dagangannya dengan kondom segala merek. Percaya atau tidak, kini ada pedagang bakso yang juga nyambi berjualan kondom.

Anggapan bahwa kondom hanya diperlukan oleh orang-orang yang tidak setia dengan satu pasangan, agaknya sudah tidak berlaku lagi. Terbukti, banyak pelanggan kondom yang ternyata menggunakannya dengan istri. Tujuannya, tak lain untuk mencegah kehamilan. Dengan kata lain, keampuhan kondom untuk mencegah penularan penyakit lewat hubungan seksual, tidak berhenti di situ. Kondom juga punya kemampuan lebih sebagai alat kontrasepsi KB (Keluarga Berencana).

Tidak percaya? Coba simak cerita dari dua pria seumuran ini. Abdul Murad, seorang pelanggan kondom yang kini rutin menggunakan kondom sebagai alat kontrasepsi KB. Simak juga cerita Mohamad Syehoni, seorang pedagang jamu di bilangan Jl. WR Supratman yang juga penjual kondom.


Mohamad Syehoni (Penjual Kondom)
“Saya jualan kondom sudah sejak lama, sejak jaman nggak enak. Sejak mulai jualan jamu di wilayah Jalan Raya Sesetan, tahun 1993, sebenarnya sudah mulai banyak orang yang tanya kondom. Awalnya saya cuekin. Lama-lama, kok makin banyak yang minta. Akhirnya sejak tahun 1996, baru saya mulai jual. Karena permintaannya makin banyak.

Dulu cuma jual KB 25, buatan BKKBN. Waktu itu, memang kebanyakan orang beli untuk kontrasepsi KB, biar nggak hamil. Tapi kondisi dulu beda sekali dengan sekarang. Dulu, riskan sekali jualan kondom. Biasanya saya taruh di dalam. Orang yang beli juga masih malu-malu. Biasanya mereka bisik-bisik, “Beli sarung”.
Sekarang, orang beli kondom sudah biasa. Kebanyakan langsung sebut merek. Saya juga sudah biasa memajang kondom-kondom jualan saya. Nggak lagi sembunyi-sembunyi kayak dulu. Dalam sebulan, biasanya terjual sampai 74 bungkus isi tiga. Untungnya lumayan. Dapat lah ratusan ribu sebulan. Pembeli umumnya memang lebih senang kondom yang biasa-biasa saja. Harganya sekitar Rp 3.500 sampai Rp 5.000, isi tiga pula. Murah meriah lah. Saya pernah coba jual kondom yang agak “berkelas”, tapi ternyata nggak laku. Katanya sih mereka malas beli yang mahal-mahal.

Terus terang, sekarang saya lihat ada perbedaan mencolok dari tahun-tahun sebelumnya. Sebagian besar pembeli saya adalah pria dewasa. Katanya untuk alat kontrasepsi KB dengan istrinya.


Abdul Murad (Pelanggan Kondom)
Saya sudah hampir satu setengah tahun pakai kondom. Gara-garanya, istri saya ikut KB, tapi kebobolan juga sampai lahir anak ketiga. Dulu, setelah lahir anak pertama, istri saya pakai suntik KB. Tapi gara-gara pake suntik, istri saya tambah gemuk. Nggak cuma itu. Setelah dua tahun pakai suntik, dilepas, ternyata nggak juga mau hamil anak kedua. Sampai satu tahun setelah dilepas suntiknya, baru mau hamil. Itu juga setelah istri saya minum obat penyubur.

Karena pengalaman yang jelek itu, istri saya nggak mau lagi pakai suntik. Setelah anak kedua lahir, istri saya pindah pakai pil KB. Tapi karena sempat lupa minum, kebobolan juga. Sebab dulu pernah juga ada orang yang kasih tahu, minum pil setelah berhubungan, jangan sebelumnya.

Setelah lahir anak ketiga, akhirnya saya memutuskan make kondom saja. Biar nggak lagi kebobolan. Apalagi saya sekarang punya tiga anak. Yang pertama umur 11 tahun, anak kedua umur 4,5 tahun, dan anak ketiga umur 2,5 tahun. Syukur lah, istri saya sampai sekarang belum pernah kebobolan lagi.

Sebenarnya saya sudah dari dulu kenal kondom. Tapi nggak pernah make. Saya pikir juga nggak penting. Kalau dibilang nggak enak pake kondom, sebenarnya nggak juga. Namanya enak nggak enak, sebenarnya masalah kebiasaan. Yang penting sudah keluar, sudah enak. Kalau sudah biasa, nggak ada masalah kok.


Membumi Melalui Outlet Kondom
Kondom memang benda ajaib. Benda mini yang sederhana itu, punya keampuhan luar biasa. Kemampuannya mencegah kehamilan dalam hubungan seksual, tidak perlu diragukan lagi. Tentu saja, bila cara penggunaannya benar. Tak cuma itu, kondom juga ampuh melakukan pencegahan penularan penyakit dari hubungan seksual. Mulai dari penularan infeksi menular seksual (IMS) hingga penularan virus HIV, virus penyebab AIDS.

Program condom use 100 persen di Thailand, terbukti mampu mengurangi tingkat penyebaran HIV/AIDS. Program ini kerja sama pemerintah dengan pelaku prostitusi setempat untuk meningkatkan penggunaan kondom. Tak heran, program serupa juga tengah diupayakan di Bali. Salah satu langkahnya, yakni dengan peningkatan akses kondom.

Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), lembaga pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, merupakan salah satu lembaga yang serius melakukan program ini. Caranya, YCUI merekrut orang-orang yang peduli dengan masalah ini. Mulai dari para pemilik toko, warung, pedagang, hotel, kafe, bidan, mantri desa, hingga penampung pekerja seks (baca: germo). Mereka diajak secara sukarela untuk menjadi outlet kondom.

Hasilnya? Lumayan. Sejak program outlet kondom itu dilaksanakan di tahun 2000, YCUI kini telah memiliki 74 outlet kondom yang tersebar di wilayah Denpasar, Buleleng, Karangasem, dan Jembrana.

Selama 2006 ini, hingga Mei, jumlah kondom yang tersebar melalui outlet, cukup banyak. Melalui outlet, kondom yang tersebar mencapai 7.587 buah. Ada juga program peningkatan akses kondom melalui relawan-relawan perorangan. Dari cara ini, kondom yang tersebar sudah mencapai 6228 buah. Sementara total penyebaran kondom dari seluruh program, termasuk melalui outlet, relawan, instansi, penyuluhan, diskusi, dan sebagainya, telah mencapai 34.673 buah. Tak heran bila hasil mini behaviour surveilance survey (Mini BSS) atau survei perilaku yang dilaksanakan Indonesia HIV/AIDS Prevention Care Project (IHPCP) dengan sejumlah LSM mitranya selama Februari-Maret 2006, menunjukkan grafik peningkatan. Hasil survei pada pelanggan seks jangkauan YCUI menunjukkan, akses kondom mencapai 92 persen. Angka yang cukup tinggi di tengah besarnya batu sandungan dalam program peningkatan penggunaan kondom di masyarakat. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 18, Juli 2006]