Google
 

Kamis, 28 September 2006

Awan Putih di Udara Buleleng

Pagi sebelum matahari naik, 2 September 2006 lalu, Markus Walther, 48 tahun, sudah meninggalkan kamar hotel di kawasan wisata Lovina, Buleleng, Bali. Sembari memboyong perlengkapan terbangnya, 40 menit kemudian warga negara Swiss itu sudah tiba di Pangkalan Udara Letkol Wisnu, yang terpaut sekitar 50 km dari Lovina. Markus yang menetap di Penang Malaysia, memang tak mau terlambat tiba di Lanud yang berlokasi di Desa Sumberkina, Kecamatan Gerokgak itu. Maklum, ini merupakan kali pertama Markus berkesempatan mempertunjukkan keahlian akrobatiknya di atas langit Indonesia. Di atas langit Buleleng, Markus ingin menunjukkan aksi terbaiknya di ajang Buleleng Fly In II 2006.

Dari parkiran Lanud, langkahnya cepat menuju pesawat pribadi yang telah terparkir di apron. Pesawat buatan Perancis seharga USD 180.000 itu, sudah beberapa tahun ini dimiliki Markus bersama tiga rekannya, Andi (Austria), Toni (Australia), dan Dave (Kanada). Pesawat berkapasitas 4 orang itu sengaja dibawa Markus dari Johor Malaysia ke Buleleng, untuk mendukung aksi aerobatik udaranya. ” Dari Johor Baru (Malaysia) saya bawa ke Palembang, Halim Perdanakusuma, Semarang, baru Buleleng. Perjalanan total sekitar 4 sampai 5 jam,” terang pria berjambang itu.

Sebelum memulai aksinya, Markus mempersiapkan segala tetek bengeknya. Mulai dari mengecek kesiapan mesin pesawat, memastikan parasut keselamatan berfungsi baik, mengetes radio komunikasi, hingga mengamati gerak sinyal Navigasi GPS-nya. Semua dicek, untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan dalam aksinya. Menghindari kecelakaan udara yang bisa terjadi setiap saat. Satu lagi yang tak pernah dilupakannya, yakni berdoa. ”Saya berdoa setiap saat, di setiap tempat. Itu yang terpenting,” tegasnya. Satu resepnya yang lain, yakni minum air putih.

Sambil menunggu giliran beraksi, sementara seremoni pembukaan acara Buleleng Fly In berlangsung, Markus duduk tenang di kokpit sambil memanasi mesin pesawatnya. Baju terusan warga oranye dan sebuah helm, juga sudah menempel di badan. Markus siap menunggu aba-aba.

Ketika aba-aba untuk memulai aksi telah diterima, Markus dan pesawat dengan paduan warna biru kuningnya lantas mengambil posisi di ujung landasan. Sejenak berhenti untuk berdoa, Markus langsung memaju pesawatnya dalam kecepatan tinggi. Landasan pacu Lanud Letkol Wisnu yang tak terlalu panjang, hanya sekitar 900 meter, dilalui dengan mulus. Markus mengangkasa diiringi tepukan riuh dari para pejabat, penerjun, penerbang, aparat, serta masyarakat lokal yang memenuhi area sekitar Lanud. Tepukan itu makin riuh, ketika sejumlah aksi mengerikan berhasil ditampilkan Markus. Ada gerakan berputar seperti pesenam yang salto, ada gerakan berbalik hampir 180 derajat, ada pula gerakan lurus ke atas dan ke bawah. Tak jarang penonton dibuat kaget dan ketakutan ketika Markus beraksi seolah hendak menabrak podium, atau jatuh dari ketinggian ratusan meter. ”Gila orang itu,” begitu teriak salah seorang warga.

Bahkan Kepala Staf Angkatan Udara RI, Marsekal TNI Herman Prayitno, menyatakan kekagumannya pada aksi Markus dengan pesawat yang teregistrasi di Australia miliknya. ”Luar biasa. Hebat sekali,” begitu Prayitno kepada Markus, beberapa saat setelah menyelesaikan aksinya. Menurut Prayitno, orang yang tidak kuat secara fisik maupun mental tidak akan mampu menghadapi perubahan kekuatan gravitasi yang sangat tinggi.

Menurut Markus, saat beraksi ia mencapai titik kekuatan gravitasi (G-Force) tertinggi + (plus) 6 G dan – (minus) 4 G. Pada kondisi normal, manusia biasanya berada pada titik 1 G (satu gravitasi). Pada kondisi minus, darah biasanya mengalir dari kaki ke kepala. Bagi orang yang fisiknya tak kuat, biasanya bisa mengalami black out, atau pingsan, bahkan kematian.

Markus merasa beruntung, kondisi itu tidak terjadi padanya. Markus yang sudah pernah terbang sejak setahun lalu, bahkan bisa berdiri seperti biasa sesaat setelah mengerem laju pesawat. Ia hanya membutuhkan sebotol air putih untuk memulihkan kesegaran tubuhnya.

Aerobatik memang sudah menjadi bagian dari keseharian pria yang mewakili Johor Flying Club itu, sejak 10 tahun lalu. Aksi mendebarkan itu telah dilakukan sebanyak 40 kali. Aksi kali ini menjadi aksinya yang ke-41, sekaligus aksi pertamanya di Indonesia. sebelumnya, aksi aerobatic Markus dilakukan di sejumlah negara, seperti Australia dan Malaysia. ”Sebenarnya saya sudah empat kali ke Buleleng. Tapi ini pertama kalinya saya main,” ujarnya.

Tak banyak persiapan yang dilakukan Markus untuk beraksi di langit Buleleng. Setiap satu minggu sekali, selama 3 minggu, ia melakukan latihan masing-masing selama tiga jam. Ini sekaligus untuk mempersiapkan diri dalam ajang Australia International Championship pada April 2007 mendatang. Latihan yang selalu diutamakan, yakni latihan kekuatan gravitasi (G-Force). ”Kalau tidak kuat, bisa black out,” ujar peringkat kedua di ajang Australia International Championship pada April 2006 lalu itu, santai. Karenanya, satu prinsip yang selalu dipegang, kondisi tubuh saat beraksi harus benar-benar fit. Kalau tidak, nyawa yang jadi taruhannya.

Markus mengaku senang berkesempatan tampil di Buleleng. ”Luar biasa. Ini tempat yang bagus untuk terbang,” begitu Markus. Ia juga menilai Buleleng Fly In sebagai even yang sangat menarik. Apalagi, ada support yang sukup besar dari masyarakat setempat.

Ajang Buleleng Fly In memang menjadi ajang pesta bagi para pencinta olahraga kedirgantaraan. Tak cuma aerobatic, kegiatan yang digelar selama 3 hari itu (2-4 September), juga menampilkan aeromodelling, aerosport, gantole, paralayang, terjun paying, hingga fly pass. Sebanyak 12 orang penerjun, memeriahkan acara. Ada 19 orang partisipan dari Malaysia, 3 partisipan dari Singapura, 1 partisipan dari Thailand, 1 partisipan dari Filipina, dan 12 partisipan dari Indonesia.

Ada juga kegiatan terbang gembira (joy flight) yang membuka kesempatan bagi masyarakat lokal. Guna meningkatkan kepariwisataan Buleleng, digelar pula mini rally mengitari Buleleng untuk memperkenalkan potensi kabupaten paling utara Bali itu. Pesertanya pun datang dari dalam dan luar negeri. Lomba lukis pesawat pun memeriahkan acara.

Di ajang yang sama, juga digelar lomba ogoh-ogoh (patung dari bamboo dan kertas semen) berbentuk pesawat. Ada sedikitnya 11 karya ogoh-ogoh yang ditampilkan oleh sekaa teruna teruni (kelompok muda-mudi) dari Desa Sumberkima dan desa tetangganya, Pemuteran. Bentuknya pun unik-unik. Sebagian besar diantaranya mengambil angle tentara angkatan udara. Ogoh-ogoh karya Banjar Sumberkima, Desa Sumberkima, akhirnya mendapat juara I, diikuti karya sekaa teruna teruni Banjar Lokasegara Pemuteran di posisi kedua dan sekaa teruna teruni Dusun Palasari Desa Pemuteran di posisi ketiga. Ketiga karya ogoh-ogoh itu pun langsung dilelang di lokasi acara, dimana karya juara I dibeli Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik dengan harga Rp 2 juta, karya juara II dibeli Bupati Buleleng Putu Bagiada dengan harga Rp 2 juta, dan juara III dibeli pengusaha wisata setempat dengan harga Rp 3 juta.


Kepala Staf Angkatan Udara RI, Marsekal TNI Herman Prayitno yang membuka acara mengaku gembira dengan penyelenggaraan Buleleng Fly In yang untuk pertama digelar Agutus 2001 lalu. ”Ke depan kita mengharapkan kegiatan ini dapat menjadi kalender tetap PB FASI dan KONI setiap dua tahun sekali,” ujar Prayitno yang juga Ketua Federasi Aerosport Seluruh Indonesia (FASI) Pusat. Dikatakan, ada banyak manfaat dari ajang tersebut. Selain memberi hiburan pada masyarakat, juga dalam rangka pembinaan dan memperkenalkan olahraga dirgantara di tengah-tengah masyarakat. Ke depan, ia berharap Sumberkima akan menjadi Desa Dirgantara. “Karena itu, saya akan mengusahakan sebuah pesawat bekas yang dapat dijadikan monumen di tempat ini.” tegasnya. Selain itu, kegiatan tersebut juga dapat mempromosikan pariwisata Bali, meyakinkan kepada dunia luar bahwa Bali sudah aman. ”Ini sangat berdampak besar terhadap perkembangan olahraga dirgantara maupun pariwisata,” ujarnya.

Sementara itu, Bupati Buleleng, Putu Bagiada, menyoroti meningkatnya jumlah peserta dalam dan luar negeri. “Ini merupakan bukti bahwa kegiatan ini mendapat apresiasi yang cukup bagus. Hal ini merupakan peluang bagi kita semua untuk semakin meningkatkan kualitas penyelenggaraan di masa-masa mendatang sehingga Buleleng Fly In bukan saja menjadi kalender tetap kegiatan pariwisata minat khusus, tetapi juga secara bertahap dapat meningkatkan frekuensi pemanfaatan Lanud Letkol Wisnu,” tegasnya.

Kadek Arjana, 24 tahun, salah seorang warga setempat juga mengaku senang dengan acara tersebut. Namun ia menilai ajang kali ini kurang meriah dibanding ajang serupa pada 2001 lalu. Tak cuma itu, peserta lomba ogoh-ogoh dari Dusun Palasari Desa Pemuteran yang meraih juara II itu mengaku pesimis kegiatan itu dapat meningkatkan pariwisata Buleleng. Pria yang juga bekerja di sebuah hotel di Pemuteran itu menegaskan, tak ada dampak apapun yang terlihat dari ajang Buleleng Fly In I. ”Sudah lima tahun berjalan, tapi fungsi Lanud Letkol Wisnu belum nampak. Belum ada tamu yang mendarat langsung di sini. Belum banyak manfaat yang kami rasakan,” keluhnya. [Komang Erviani / pernah dimuat di Majalah GATRA Edisi 27 September 2006]

Rabu, 20 September 2006

Remaja pun tak Tahu Hari Remaja

Selamat Hari Remaja.” Penggalan tiga kata itu terus berulang, terdengar riuh di Toko Buku Gramedia, Jl Dewi Sartika Denpasar, pertengahan Agustus lalu. Sambil mengucap selamat hari remaja, sejumlah remaja membagi-bagikan dua lembar kertas warna hijau dan merah muda serta sebuah stiker bertuliskan Spirit For Me. Kertas-kertas itu berisi penjelasan hasil konferensi nasional remaja Indonesia yang dideklarasikan remaja se-Indonesia, serta tak lupa soal seluk beluk Hari Remaja Internasional 2006.

“Memang ada ya hari remaja? Kapan?” begitu Suliastini (14 tahun) dan Ari Kurniati (13 tahun) ketika ditanya tentang Hari Remaja. Walau tergolong remaja, kedua siswa SMPN 8 Denpasar yang sedang asyik membaca buku itu mengaku tak pernah mendengar soal hari remaja. Keduanya senang karena ada teman-teman sebaya mereka yang mau memberi informasi itu. “Saya juga mau ikut aktif kayak mereka,” ujar Ari malu-malu.

Informasi tentang hari remaja, memang tak banyak diketahui para remaja. Karenanya, Kita Sayang Remaja (Kisara), Muda Berdaya Bali, dan Kelompok Siswa Peduli AIDS dan Narkoba (KSPAN) dari sejumlah sekolah di Denpasar, sepakat mengkampanyekan hari yang jatuh setiap 12 Agustus itu. “Ini adalah program untuk memperkenalkan hari remaja,” jelas Pramesemara, 20 tahun, pengurus Kisara.

Selain Gramedia, kampanye juga dilakukan di Toko Buku Gunung Agung, serta di perempatan Jalan Dewi Sartika. Dengan tema Spirit for Me, Spirit for Youth, Youth Spirit Againts Poverty, kampanye tersebut diharapkan mampu memberi semangat bagi remaja agar peduli untuk membantu upaya penghapusan kemiskinan. Kemiskinan, menurut Pram, merupakan sumber dari banyak masalah, termasuk masalah pendidikan, sosial, hingga HIV/AIDS. Paling tidak, remaja bisa berupaya dengan menjalankan studi dengan baik. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 20,September 2006]

Hasil Konferensi Nasional Remaja Indonesia :
1. Mengajak seluruh remaja di Indonesia untuk menumbuhkan kesadaran dan solidaritas bersama dalam memperjuangkan pemenuhan hak-haknya.
2. Mendesak pemerintah, legislatif, penyedia layanan, orang tua, guru, masyarakat, untuk menerima, mengakui, dan memenuhi hak-hak reproduksi seksual remaja terutama menyangkut hak memperoleh informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual remaja dan hak memperoleh pelayanan konseling dan medis yang mudah diakses dan ramah remaja.
3. Mendesak pemerintah memberikan dukungan politis, alokasi anggaran, dan dukungan sumber daya lainnya secara proporsional dalam mengimplementasikan hak-hak reproduksi dan seksual remaja.
4. Mendesak agar program reproduksi seksual remaja yang dikembangkan oleh pemerintah, penyedia layanan, dan lembaga swadaya masyarakat, melibatkan partisipasi aktif remaja secara integral (perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi) untuk menjamin program mengakomodir kebutuhan aktual remaja menyangkut kesehatan reproduksi dan seksual.
5. Mendesak media massa agar memberikan ruang dan bersama remaja menjadi mitra dalam mengkampanyekan dan memperjuangkan pemenuhan hak-hak reproduksi dan seksual remaja.

Remaja pun tak Tahu Hari Remaja

Selamat Hari Remaja.” Penggalan tiga kata itu terus berulang, terdengar riuh di Toko Buku Gramedia, Jl Dewi Sartika Denpasar, pertengahan Agustus lalu. Sambil mengucap selamat hari remaja, sejumlah remaja membagi-bagikan dua lembar kertas warna hijau dan merah muda serta sebuah stiker bertuliskan Spirit For Me. Kertas-kertas itu berisi penjelasan hasil konferensi nasional remaja Indonesia yang dideklarasikan remaja se-Indonesia, serta tak lupa soal seluk beluk Hari Remaja Internasional 2006.

“Memang ada ya hari remaja? Kapan?” begitu Suliastini (14 tahun) dan Ari Kurniati (13 tahun) ketika ditanya tentang Hari Remaja. Walau tergolong remaja, kedua siswa SMPN 8 Denpasar yang sedang asyik membaca buku itu mengaku tak pernah mendengar soal hari remaja. Keduanya senang karena ada teman-teman sebaya mereka yang mau memberi informasi itu. “Saya juga mau ikut aktif kayak mereka,” ujar Ari malu-malu.

Informasi tentang hari remaja, memang tak banyak diketahui para remaja. Karenanya, Kita Sayang Remaja (Kisara), Muda Berdaya Bali, dan Kelompok Siswa Peduli AIDS dan Narkoba (KSPAN) dari sejumlah sekolah di Denpasar, sepakat mengkampanyekan hari yang jatuh setiap 12 Agustus itu. “Ini adalah program untuk memperkenalkan hari remaja,” jelas Pramesemara, 20 tahun, pengurus Kisara.

Selain Gramedia, kampanye juga dilakukan di Toko Buku Gunung Agung, serta di perempatan Jalan Dewi Sartika. Dengan tema Spirit for Me, Spirit for Youth, Youth Spirit Againts Poverty, kampanye tersebut diharapkan mampu memberi semangat bagi remaja agar peduli untuk membantu upaya penghapusan kemiskinan. Kemiskinan, menurut Pram, merupakan sumber dari banyak masalah, termasuk masalah pendidikan, sosial, hingga HIV/AIDS. Paling tidak, remaja bisa berupaya dengan menjalankan studi dengan baik. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 20,September 2006]

Hasil Konferensi Nasional Remaja Indonesia :
1. Mengajak seluruh remaja di Indonesia untuk menumbuhkan kesadaran dan solidaritas bersama dalam memperjuangkan pemenuhan hak-haknya.
2. Mendesak pemerintah, legislatif, penyedia layanan, orang tua, guru, masyarakat, untuk menerima, mengakui, dan memenuhi hak-hak reproduksi seksual remaja terutama menyangkut hak memperoleh informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual remaja dan hak memperoleh pelayanan konseling dan medis yang mudah diakses dan ramah remaja.
3. Mendesak pemerintah memberikan dukungan politis, alokasi anggaran, dan dukungan sumber daya lainnya secara proporsional dalam mengimplementasikan hak-hak reproduksi dan seksual remaja.
4. Mendesak agar program reproduksi seksual remaja yang dikembangkan oleh pemerintah, penyedia layanan, dan lembaga swadaya masyarakat, melibatkan partisipasi aktif remaja secara integral (perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi) untuk menjamin program mengakomodir kebutuhan aktual remaja menyangkut kesehatan reproduksi dan seksual.
5. Mendesak media massa agar memberikan ruang dan bersama remaja menjadi mitra dalam mengkampanyekan dan memperjuangkan pemenuhan hak-hak reproduksi dan seksual remaja.

Mereka Hidup dari Gulungan Ombak

Surfing menjadi bagian tak terpisahkan dari aktivitas pantai-pantai di Bali. Komunitas-komunitas surfer terus berkembang. Olahraga ekstrem itu kini tak sekadar tempat penyaluran hobi. Menggantungkan hidup dari surfing sudah bukan lagi impian.

Gulungan ombak Pantai Kuta coba ditaklukkan puluhan surfer (peselancar), ketika terik matahari begitu menyengat siang itu. Bersama rekan satu timnya, Wayan Mickey Sudena, 23 tahun, jeli menyeleksi ombak terbaik untuk dimainkan dalam satu jam babak semifinal. Mickey dan kawan-kawan berupaya menyuguhkan penampilan terbaiknya di hadapan lima orang juri yang mengamati dari jarak ratusan meter.

Di posisi start, sejumlah surfer lainnya terlihat bersemangat. Ada yang berteriak, bertepuk tangan, bersiul, memberi semangat kepada rekan-rekannya yang tengah bertanding. Tak ada suporter fanatik. Semua riuh, menyemangati semua peserta kompetisi surfing di ajang Kuta Karnival 2006 itu. Suara lantang komentator dari atas tenda penjurian, menambah semarak.

Suara peluit lantang terdengar ketika satu jam berlalu. Pertanda akhir dari babak yang hanya akan menggolkan empat tim untuk masuk ke babak final. Mickey berjalan pelan menjauhi laut. ”Gagal,” ujarnya sambil menggeleng. Kekecewaaan terlihat jelas di wajah surfer yang sejak setahun lalu telah menjadi raider surf brand Oakley itu. Mickey dan empat orang rekan satu timnya yang jadi andalan Oakley, harus mengaku kalah dari tim Bali Barrel, Volcom, Quick Silver, dan Cult. Mereka harus puas untuk tidak menikmati ombak di babak final.

Kekalahan dalam sebuah kompetisi, memang hal biasa bagi banyak orang. Namun tidak bagi Mickey. Maklum, ia tak cuma bertanding untuk diri sendiri. Sejak setahun belakangan, tepatnya sejak diangkat sebagai raider Oakley, ia harus selalu membawa embel-embel Oakley. Surf brand internasional itu wajib selalu dibawa dan dijaga Mickey di setiap kesempatan. Mengikuti setiap kompetisi surfing dan berupaya memenangkannya, menjadi kompensasi atas berbagai fasilitas yang diterimanya.

Menjadi raider sebuah surf brand, merupakan pencapaian tersendiri bagi para surfer Bali. Pencapaian itu sekaligus menjadi pintu menuju kompetisi surfing kelas dunia. Maklum, fasilitas yang diperoleh seorang raider surf brand dapat mempermulus jalan menuju internasional. Tak cuma berhak atas perlengkapan surfing, para raider juga berhak mendapat honor yang nilainya tidak sedikit. Kesempatan untuk mengikuti kompetisi surfing internasional di dalam dan luar negeri, juga terbuka lebar bagi para raider.

Perkembangan olahraga surfing di Bali, memang tak bisa dilepaskan dari keberadaan banyak surf brand asing di pulau dewata ini. Olahraga yang memicu adrenalin ini kini telah menjadi favorit banyak anak muda lokal Bali. Bahkan tak sedikit diantaranya yang menjadikan surfing sebagai mata pencaharian utama. Komunitas surfer pun bermunculan di banyak pantai di seluruh Bali. Di mana ada ombak bagus, di situlah para surfer itu berkumpul.

Surfer tua asal Kuta, Ketut Menda, 45 tahun, mengaku senang dengan perkembangan olahraga surfing di Bali. Jauh sebelum surfing dikenal di Bali, menurut Menda, masa kecil anak nelayan Kuta ini telah diwarnai dengan permainan menantang ombak. Maserupan, begitu ia biasa menyebut permainan selancar dengan hanya papan kayu kecil ketika itu. ”Waktu itu kita belum tahu yang namanya surfing,” ujarnya.

Baru pada tahun 1970-an, beberapa wisatawan asing datang ke Kuta dengan membawa papan surfing. ”Saya kira apa yang dibawa. Dibungkus. Katanya waktu itu, untuk main di air,” kenang Menda yang ketika itu masih berumur 10 tahun. Sejak itu pula, Menda dan sejumlah anak nelayan Kuta mulai menjajal nikmatnya menantang ombak dengan papan surfing. Makin hari, makin banyak saja anak-anak Kuta yang tertarik dengan olahraga ini.

Pandangan miring sempat tertuju pada aktivitas surfing ketika awal perkenalannya di Kuta. Selain dinilai berbahaya, banyak orangtua menuding surfing sebagai aktivitas tidak berguna. ”Maklum, kalau sudah menemukan ombak yang asyik, surfer kadang lupa segalanya. Lupa lapar, nggak peduli malam. Sekali surfing, kita jadi ketagihan. Menari di atas ombak adalah surga,” begitu Menda.

Bak pepatah, anjing menggonggong kafilah tetap berlalu, para surfer yang hanya segelintir ketika itu terus saja bermain. Mengundang ketertarikan rekan-rekan sepermainan mereka. Membangun komunitas peselancar yang terus bertambah setiap tahunnya. ”Kami ajari anak-anak Kuta main surfing. Sekarang perkembangannya luar biasa. Dan sekarang terbukti, surfing juga bisa menghasilkan (pendapatan),” ujarnya.

Surfing mulai mendapat tempat sejak kompetisi-kompetisi surfing banyak digelar. Walau iming-iming hadiah yang ditawarkan tak seberapa besar, kompetisi-kompetisi itulah yang sukses membangun generasi-generasi baru peselancar Bali. Kesempatan berkompetisi itu makin terbuka lebar sejak masuknya beberapa surf brand asing seperti Quiksilver dan Billabong ke Bali sejak 1991. ”Kehadiran surf brand asing telah meningkatkan minat dan gairah orang Bali menekuni surfing,” aku Ida Bagus Rai, Sekretaris Bali Surfing Association (BSA). Rai mencatat, kini sudah ada sekitar 1.500 surfer lokal Bali yang tersebar di sebanyak 33 pantai di Bali.

Surfing kini tak cuma dijadikan hobi, tetapi juga menjadi penunjang hidup. Kalau bisa tampil berprestasi, maka menggantungkan hidup dari surfing bukan lagi impian. Maklum, gaji yang ditawarkan umumnya tak sedikit. Hitungannya mencapai puluhan juta rupiah per tahun . ”Sekarang ada sekitar 200 surfer yang punya sponsor. Kebanyakan dari surf brand. Ada juga dari produk-produk lain seperti rokok, minuman, dan lainnya, ” terang Rai yang sudah berhenti bertanding sejak 11 tahun silam dan kini aktif sebagai juri di berbagai kompetisi surfing. Hidup dari surfing sudah menjadi pilihan banyak surfer Bali. Tapi tentu saja, ada risiko yang harus ditanggung. Ketika perusahaan mengharuskan raidernya bermain, mau tak mau mereka harus bermain. ”Menantang maut pun harus dijalankan. Sudah risiko,” begitu Rai.

Banyak alasan yang membuat surf brand mengangkat raider. General Manager Oakley Indonesia, Billy Boen, menjelaskan, raider diangkat sebagai duta untuk mempromosikan produk Oakley. Karenanya, ada banyak kewajiban yang harus dilakukan raider. Diantaranya, raider harus tetap surfing dan mencoba tampil lebih baik dari waktu ke waktu, serta tentu saja wajib menggunakan segala asesoris Oakley pada setiap kesempatan. Tak boleh ada brand pesaing lain yang menempel di tubuh raider setiap harinya. Artinya, raider harus benar-benar loyal dengan produk-produk Oakley. Raider juga wajib mengikuti seluruh kompetisi surfing, baik dalam maupun luar negeri. Tentu saja, semua kompetisi difasilitasi oleh perusahaan. Jadi, raider hanya perlu mempersiapkan fisik dan mentalnya untuk memenangkan kompetisi.

”Ini adalah kacamata terbaru dari Oackley. Dilengkapi dengan MP3. Jadi, kita bisa dengar lagu-lagu terbaru dengan kacamata ini,” seloroh Mickey berpromosi soal kacamata yang dipakainya. Begitulah Mickey sejak menjadi raider Oakley. Kesehariannya tak cuma disibukkan dengan aktivitas surfing, tetapi juga berpromosi tentang asesoris-asesoris yang digunakannya. Tetapi pria yang memulai karir surfingnya dari kelas gromet di usia 8 tahun, tak merasa terbeban. Blesteran Bali-Jepang itu menikmatinya. Apalagi ia juga mendapat kesempatan tampil di puluhan media asing partner Oakley, mengikuti banyak kompetisi, hingga liburan surfing ke Hawaii, Jepang, dan markas pusat Oakley Amerika Serikat. ”Kami arahkan raider tidak hanya jadi atlet, tapi juga artis,” jelas Billy.

Menjadi raider ternyata bukan hal baru bagi Mickey yang pada 2005 menduduki rangking 20 Indonesian Surfing Competition (ISC). Dua tahun lalu, ia juga sempat dikontrak oleh surf brand Reef selama satu tahun. Namun Mickey tidak berupaya memperpanjang kontraknya karena prestasinya ketika itu sempat anjlok. “Jadi malu sendiri karena nggak bisa take and give,” ungkapnya jujur. Ketika masih berusia 9 tahun, Mickey juga sempat menjadi duta kacamata Oakley. “Tapi waktu itu cuma dapat tiga kacamata dan dibayari sekolah selama setahun,” kenang Mickey.

Surfer yang sudah masuk kelas profesional, memang menjadi incaran tim sport marketing dari perusahaan surf brand. Tapi bukan berarti para surfer pemula tak punya kesempatan. Yuki Seedwell misalnya. Remaja blesteran Bali-Australia ini sudah dua bulan ini dikontrak Oakley, meski ia belum masuk di jajaran surfer pro. “Walaupun belum pro, kita angkat dia jadi raider karena kita lihat dia berpotensi dan punya semangat tinggi,” Billy menjelaskan. Yuki sendiri sebelumnya juga pernah dikontrak selama setahun oleh surf brand lain, Billabong. “Saya ingin cari support. Ingin bisa didukung, ketemu banyak orang, dan jadi pro surfer,” ujar remaja yang belajar surfing sejak usia 6 tahun, itu polos.

Mendapat sponsor full gear dari Oakley, tak cukup memuaskan Mickey dan Yuki. Walaupun mendapat segala asesoris surfing secara lengkap dari Oakley, Mickey dan Yuki rupanya masih punya satu angan. “Ingin dapat sponsor board (papan selancar),” ujar Mickey, dibalas anggukan Yuki. Maklum, harga papan surfing yang berkualitas masih terlampau menjulang bagi keduanya.

Keterbatasan kemampuan ekonomi, menurut Ketut Menda, telah menjadi salah satu faktor yang menghambat majunya surfer lokal Bali. “Banyak surfer yang main bagus, tapi tidak punya surf board. Seandainya kita di Bali bisa buat surf board sendiri,” tandas Menda. Menda menyebut harga surf board yang mencapai lebih dari Rp 6 juta, masih terlalu mahal bagi kantong surfer-surfer Bali. Akibatnya, banyak surfer yang menggunakan surfboard dengan kualitas seadanya. Kalau tidak disumbang surf board bekas oleh bule, paling-paling mereka beli dengan harga di murah. “Biasanya sudah dalam kondisi tidak bagus, sudah pecah-pecah,” tandasnya.

Perlengkapan surfing yang jauh dari layak, membuat surfer Bali seringkali kalah dengan surfer-surfer asing. “Main kita sering, tapi menang jarang,” demikian pria yang kini menjadi raider Quicksilver. Meski begitu, bukan berarti surfer Bali selalu berada di posisi buncit. Banyak surfer Bali yang juga sukses di tingkat internasional. I Gusti Made Oka Sulaksana, 35 tahun, salah satunya. Surfer yang satu ini sepertinya sudah terbiasa dengan kemenangan-kemenangan yang diraihnya. Oka sudah menjadi langganan penyumbang medali untuk Indonesia, baik pada kejuaraan tingkat Asia Tenggara, maupun tingkat Asia. Yang terbaru, awal September lalu, ia sukses meraih juara pada seri Kejuaraan Dunia Surfing di Korea. Ia kini tengah mengincar medali emas pada Asian Games di Qatar 2006.

Oka yang asal Sanur Bali, mengaku senang melihat perkembangan surfing di Bali. Generasi penerus olahraga ekstrem ini menurutnya sudah begitu berlimpah. Di wilayah Sanur saja, diperkirakan sudah ada sekitar 300 surfer. Meski menurutnya, tak pernah ada surfer yang benar-benar hanya menetap di satu lokasi surfing yang sama. ”Di mana ada ombak bagus, di situ kita main,” jelasnya.

Aktivitas surfing sepertinya tak pernah bisa dilepaskan dari keseharian pantai-pantai di Bali. Bahkan aktivitas ini banyak membuka lokasi-lokasi wisata pantai baru. Tak cuma Kuta dan Sanur, ada banyak pantai-pantai indah di pelosok Bali yang justru ditemukan dan diberi nama oleh para surfer asing. Mulai dari Pantai Dreamland, Padang-padang, Bingin, dan Suluban yang berbatu di wilayah utara Bali, Pantai Keramas di bagian timur, hingga Pantai Medewi di bagian Barat Bali. Bagi para surfer, ombak adalah surga. Mereka akan terus menaklukannya, menunjukkan prestasinya, dan berharap ada surf brand yang melirik. Agar prestasi tak mandek gara-gara minim support. [Komang Erviani]

Donor Darah Aman Nggak Ya?

Transfusi darah menjadi salah satu pintu masuk penularan segala penyakit yang menular melalui darah, seperti hepatitis dan HIV. Itu terjadi jika darah donor tidak disaring atau diskrining dulu. Tapi, skrining darah secara ilmiah saja tak cukup. Perlu kejujuran calon pendonor.

“Transfusi darah bisa menularkan HIV ya? Berarti nggak save dong,” begitu reaksi Astri ketika mendapat informasi tentang beberapa hal yang dapat menularkan HIV, virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia penyebab AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome).

Benak gadis yang dinobatkan sebagai Putri Bali 2006 pada Juli lalu itu, tampak penuh tanya. Menurutnya, transfusi darah menjadi satu-satunya potensi penularan yang baginya tidak bisa dihindari, berbeda dengan hubungan seks atau penggunaan jarum suntik. Kalau sudah dalam kondisi sakit, kekurangan darah, tentu tak ada pilihan lain selain melakukan transfusi darah. Kekhawatiran perempuan yang sempat mengikuti final Putri Indonesia 2006 di Jakarta, Agustus lalu, tentu bisa dimaklumi. Tak cuma Astri, banyak yang penasaran dengan penularan HIV lewat transfusi darah.

Bila kita menjalani transfusi darah sebelum tahun 1990-an, mungkin kekhawatiran itu beralasan. Namun tidak sekarang. Atas inisiatif sejumlah pihak di Bali, setelah tahun 1990, darah yang didistribusikan ke masyarakat sudah wajib melalui proses uji saring darah (skrining). Secara nasional, prosedur ini dilakukan pada 1995. “Prinsip kita di unit transfusi darah, semua darah yang keluar harus sudah bebas dari penyakit yang bisa ditularkan oleh darah,” tegas Kepala Unit Transfusi Darah (UTD) Pembina-PMI Bali, AAG Sudewa Djelantik. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana itu memastikan, darah yang didistribusikan kepada masyarakat telah melalui proses skrining yang ketat.

Memang, tak cuma HIV yang berpotensi ditularkan lewat darah. Malaria, hepatitis B dan C, dan sifilis, juga termasuk penyakit yang hidup di darah. Artinya, penularan bisa terjadi melalui pertukaran darah. Namun dengan dilakukannya skrining darah, potensi penularan itu dapat dihindari.

Skrining dilakukan dalam empat tahap, yakni pemeriksaan terhadap HbsAg (Hepatitis A), Anti HIV (HIV), Anti –HVC (Hepatitis C), dan VDRL/RPR (Sifilis). Jadi, Kalau hasil skrining ternyata save, tidak ditemukan virus penyakit, berarti aman untuk donor.

Sudewa mengatakan ada beberapa darah donor yang diketahui terinfeksi penyakit, termasuk HIV. Dalam tahun 2006, sampai Juli, tercatat ada 25 kantong darah tak lulus uji saring anti HIV, dari total 10.828 kantong darah yang diperiksa. Artinya, hanya sekitar 0,2 persen darah yang tercemar HIV. Sementara itu, ada sebanyak 232 kantong darah diketahui tercemar Hepatitis A, 65 kantong tercemar sifilis, dan 76 kantong tercemar Hepatitis C.

Di tahun 2005, ada sekitar 49 kantong darah tercemar HIV dari total 20.859 kantong darah. Selain itu, sebanyak 85 kantong darah tercemar sifilis, 598 darah tercemar Hepatitis A, dan 307 darah tercemar Hepatitis C. Kasus darah tercemar tahun 2004 juga cukup tinggi, mencapai 48 kantong darah tercemar HIV dari total 21.151 kantong darah.

Sementara 178 kantong darah tercemar Sifilis, 623 kantong tercemar Hepatitis A, dan 306 kantong tercemar Hepatitis C. Kalau sudah begini, UTD harus membuang kantong-kantong darah itu melalui alat insenerator limbah menular milik Rumah Sakit Sanglah.

Meski yakin dengan pelaksanaan skrining darah, Sudewa tak membantah adanya kemungkinan darah tercemar lolos uji saring ini. Apalagi untuk skrining HIV. Dalam periode jendela, virus ini tak terdeteksi oleh mekanisme skrining darah. Periode jendela merupakan periode di mana HIV yang baru masuk ke darah belum membentuk antibodi, sehingga belum bisa dideteksi. Periode jendela ini umumnya sekitar 3 bulan. Jadi, bila pendonor terinfeksi HIV sehari sebelum ia mendonorkan darahnya, keberadaan virus itu belum akan ditemukan dalam skrining darah. “Ini justru lebih berbahaya, karena virusnya sedang galak. Sayangnya di periode jendela, HIV belum bisa dideteksi dengan tes yang kita punya,” tegasnya.

Tes HIV yang dilakukan UTD Pembina-PMI Bali saat ini mengadopsi konsep pemeriksaan ELISA. Tes yang fokus pada antibodi dalam darah itu, dilaksanakan sesuai rekomendasi badan kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) dan Departemen Kesehatan. Tes ini dinilai jauh lebih baik dari konsep rapid test yang diterapkan di Bali hingga tahun 1995.
Meski tes yang dilakukan saat ini sudah lebih sensitif dibandingkan sebelum tahun 1995, namun tetap saja sensitifitasnya tak mampu mendeteksi HIV di periode jendela.

Sebenarnya, menurut Sudewa, tes HIV paling sensitif saat ini adalah PCR (Polymerase Chain Reaction). Dalam tes jenis ini, pemeriksaan difokuskan pada antigen. Namun tes jenis ini tak bisa diterapkan karena biaya yang terlalu mahal. Untuk pemeriksaan satu kantong darah saja, bisa menghabiskan sampai Rp 1,5 juta. Padahal dengan pemeriksaan ELISA, biaya yang perlu dikeluarkan hanya Rp 70 ribu.
Meski disebut paling sensitif, namun Ketua Pokja Care Support and Treatment Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Dokter Tuti Parwati, juga melihat banyak kelemahan dalam tes PCR. Pasalnya, tes PCR dilakukan dengan melihat sebagian kecil antigen pasien.

“Jadi tes ini tidak bisa utuh. Hanya sebagian saja yang kelihatan. Kan belum tentu semua bagian tubuh sudah terinfeksi HIV pada saat tes,” jelasnya.
Banyaknya kelemahan dalam tes HIV, disadari betul oleh Sudewa dan jajaran unit transfusi darah. Karenanya, semua pendonor yang darahnya tercemar selalu dipanggil dengan surat tertutup ke PMI. Tujuannya, untuk memberitahukan penyakit yang telah mencemari darah mereka.

Donor biasanya diberi informasi bagaimana seharusnya bertindak agar tidak menulari penyakitnya itu. Salah satu nasehat yang ditekankan, yakni untuk tidak melakukan donor darah sampai benar-benar sembuh. “Asal ada darah tercemar, selalu kita panggil,” kata Sudewa.

Khusus untuk darah tercemar HIV, UTD menerapkan mekanisme yang sedikit berbeda. Untuk alasan kerahasiaan dan menghormati prinsip unlink anonymus (tes tanpa identitas), pihak UTD hanya memberikan surat tertutup yang merujuk donor ke klinik tes HIV sukarela dan rahasia (voluntary counseling and testing/VCT). Di Bali, kini ada empat klinik VCT, tersebar di RS Sanglah, RS Kapal, RSU Wangaya, dan RSU Singaraja.

Tindakan-tindakan tersebut dilakukan, untuk mengurangi risiko penularan ke orang lain. “Kalau tidak dikasi tahu, mereka akan donor lagi dan donor lagi. Kalau tes kita kurang baik, bisa lolos. Kan bisa mencemari. Makanya lebih baik dari awal langsung diberitahu,” tambah pria yang kini menjabat Direktur Wings Internasional RS sanglah itu.

Bagi donor baru, Sudewa mengaku menerapkan mekanisme konsultasi untuk mengurangi risiko. Selembar formulir juga harus diisi calon pendonor, sebagai bentuk seleksi. Sejumlah pertanyaan terkait penyakit-penyakit yang mungkin menular lewat darah, wajib dijawab calon pendonor.
Tentu saja, diharapkan kejujuran dari para calon pendonor. “Mohon diisi dengan sejujurnya untuk keselamatan Anda dan calon penerima darah,” begitu tertulis miring dalam formulir itu.

Dituliskan pula beberapa penjelasan tentang orang-orang dengan risiko tinggi atau besar kemungkinan mendapat HIV/AIDS dan tidak diperbolehkan menyumbangkan darah. Sudewa sangat mengharapkan kejujuran calon pendonor dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Unit Transfusi Darah juga mempunyai trik tersendiri untuk tidak membuat tersinggung calon pendonor. Bagi mereka yang dicurigai mengidap penyakit tertentu, biasanya diminta tidak donor dengan alasan tensi rendah, atau kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan lainnya. “Kita tidak bisa langsung menuduh mereka punya penyakit. Tapi daripada berisiko, lebih baik kita tolak. Jadi trik menolak juga banyak,” ujarnya.

Apapun trik mencegah darah terinfeksi penyakit sampai ke orang lain, kejujuran calon pendonor menjadi faktor utama. “Karena itu perlu cara-cara lama. Masyarkat dikasi tahu agar menjawab semua pertanyaan dengan jujur. Karena kalau tidak jujur, dia sendiri yang kena. Siapa tahu kan, mereka juga akan membutuhkan darah suatu saat,” harap Tuti Parwati. Beruntung, hingga kini belum ditemukan satu pun kasus penularan HIV/AIDS di Indonesia melalui transfusi darah. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 20,September 2006]

Kamis, 14 September 2006

Tali Kasih Mengikat Odha

Suparja tampak bersemangat pagi itu. Selembar kertas tak pernah lepas dari genggamannya. Hari itu, merupakan hari istimewa buat Suparja dan beberapa rekannya sesama orang dengan HIV/AIDS (Odha). Hari itu, akhir Agustus 2006 lalu, merupakan tonggak dibentuknya kelompok dukungan sebaya (KDS) di kalangan mereka.

Suparja adalah sosok yang menjadi pencetus terbentuknya komunitas bagi Odha dampingan Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI) di Buleleng ini. Menurut mantan supir truk Jawa – Bali itu, ada banyak alasan yang membuat keberadaan KDS sangat penting. “Semua ini berangkat dari pemikiran, bagaimana bila suatu saat obat ARV (antiretroviral) sudah tidak disubsidi pemerintah. Apa yang harus kami lakukan. Padahal latar belakang ekonomi Odha umumnya rendah. Untuk makan saja kurang,” cerita pria asal Gerokgak, Buleleng itu.

KDS juga dirasa penting karena rendahnya pemahaman Odha terhadap ARV, obat yang berfungsi menekan perkembangbiakan HIV di dalam tubuh. Karena fungsinya hanya menekan perkembangbiakan virus, bukan membunuh virus, maka konsumsi ARV tak boleh dihentikan. “Banyak yang tidak tahu kalau tubuh mereka akan resisten (kebal) kalau obat dihentikan. Ini fatal akibatnya,” jelas Suparja.

Tak cuma itu, banyak juga Odha yang belum produktif memanfaatkan layanan medis, karena minimnya akses informasi. Masih menurut Suparja, banyak Odha yang tidak tahu ke mana harus berobat. Pentingnya membuka status kepada layanan medis, juga belum disadari. Padahal keputusan membuka status menjadi penting untuk mendapatkan pengobatan yang tepat. “Kalau tidak buka status ke pelayanan medis, mustahil bisa dapat pelayanan yang tepat,” tambah pria paruh baya itu.

Rendahnya komitmen Odha dalam kegiatan-kegiatan penanggulangan HIV/AIDS, menjadi dasar pertimbangan lain pembentukan KDS. Bagi Suparja, komitmen tersebut penting untuk menekan jumlah kasus HIV/AIDS. “Semakin banyak orang terinfeksi HIV, semakin banyak Odha yang harus diberi subsidi ARV. Kalau terlalu banyak, bisa-bisa subsidi dihapus. Kalau sudah tidak disubsidi, kita harus beli sendiri. Ini sulit,” ia mengingatkan.

KDS yang diberi nama Tali Kasih itu, diharapkan menjadi wadah jaringan semua Odha yang kuat dan mandiri. Wadah ini diharapkan dapat menjadi penampung masalah-masalah Odha dan dapat memecahkan masalah itu demi peningkatan layanan kesehatan dan penerimaan lingkungan.

Direktur Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), Efo Suarmiartha, mengaku senang dengan inisiatif pembentukan KDS. Pasalnya, peran YCUI hanya sebagai fasilitator bagi Odha. Dengan adanya KDS, Odha diharapkan mampu secara bersama-sama mengatasi kebutuhannya sendiri.

Pembentukan KDS Tali Kasih juga mendapat dukungan dari sejumlah kalangan medis dan pemerintahan di Kabupaten Buleleng. Direktur Rumah Sakit (RS) Singaraja, Mardana, menjelaskan, di Buleleng tercatat ada 377 orang yang telah dinyatakan positif terinfeksi HIV. “Kalau semua bisa membuka diri dan berkelompok di sini, akan sangat bagus,” ujarnya.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Buleleng, Pustaka, juga menyambut baik pembentukan KDS Tali Kasih. “Kawan-kawan di sini adalah pionir yang mau menunjukkan diri. Saya harap, setelah ini makin banyak Odha lain yang ikut serta,” tandas Pustaka. Agar Odha bisa berupaya memenuhi kebutuhannya sendiri, dan memutus penularan HIV yang makin meluas. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 20,September 2006]