Google
 

Senin, 20 November 2006

Remaja Bangkit Memprotes Kemiskinan

Kita di sini dengan bangga bangkit sebagai bagian dari generasi muda yang ingin ikut serta menghapuskan kemiskinan, yang merupakan tantangan terbesar dunia saat ini. Termasuk juga kemiskinan dan ketiadaan informasi tentang dunia kita, dunia remaja,” begitu Puspa Dewinta membaca secarik kertas putih di tangannya dengan gugup. Di hadapannya, ratusan teman sekolahnya di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kertha Wisata Denpasar tegap berdiri menyimak ucapannya. Sebuah pita putih melingkar rapi di pergelangan tangan kanan mereka.
“Kami adalah bagian dari enam miliar suara di dunia. Kami menginginkan keadilan sekarang. Keadilan juga buat remaja. Buat kami,” teriak lantang Puspa mengakhiri pembacaannya, disambut tepukan tangan siswa lain yang hari itu berkumpul di aula sekolah setempat.

Pertengahan Oktober lalu, menjadi hari istimewa bagi SMK Kerthawisata. Sebanyak 193 siswa, guru, dan remaja lain yang memenuhi aula sekolah pariwisata itu, berkesempatan menjadi bagian dari kampanye remaja dunia untuk menuntut penghapusan kemiskinan , terutama kemiskinan atas informasi tentang dunia remaja. Kampanye “Bangkit” (Stand Up), begitu nama kampanye dunia yang dilaksanakan serentak di seluruh dunia dalam waktu 24 jam pada rentang 15-16 Oktober 2006 itu.

Kampanye Bangkit merupakan sebuah prakarsa yang dilakukan untuk mengumpulkan masyarakat luas untuk bersama-sama berdiri menyatakan komitmen dan dukungan bagi penanggulangan kemiskinan. Kampanye Bangkit dilakukan untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap janji pemerintah untuk bersungguh-sungguh mengerahkan semua upaya dan sumberdaya untuk menanggulangi kemiskinan. Janji tersebut pernah dinyatakan 189 kepala negara, termasuk dari Indonesia, pada tahun 2000 melalui Deklarasi Milenium di New York.

Tak cuma pembacaan komitmen, informasi soal remaja juga diberikan kepada para siswa. Koordinator Kita Sayang Remaja (Kisara), Oka Negara, menyampaikan informasi seputar seksualitas, HIV/AIDS, hingga narkoba.
Purnayasa, salah seorang siswa, mengaku senang bisa bergabung dalam kampanye dunia yang diikuti ratusan ribu individu dari ratusan negara dunia. Apalagi dari kampanye yang juga dilakukan di Jakarta, Medan, Bandung dan Yogyakarta itu, ia mendapat banyak info baru. “Saya senang bisa dapat pengetahuan soal seks. Jadi tahu deh,” seloroh Purnayasa.

Kepala Sekolah SMK Kerthawisata, Ketut Suarka, menilai positif kegiatan kampanye di sekolahnya. “Dengan kegiatan ini, sekarang minimal mereka tahu tentang dunia mereka,” ujar Suarka sembari menyebut informasi yang diperoleh remaja soal dunia mereka kini terlalu deras melalui televisi maupun internet. Sayangnya, tak ada kontrol atas derasnya informasi tersebut sehingga para remaja kini cenderung menerapkan informasi yang salah. “Peran sekolah dan keluarga di rumah, penting bagi perkembangan remaja,” tegasnya.

Kampanye “Bangkit” dari Bali, memberi andil bagi pemecahan rekor dunia untuk jumlah terbanyak bangkit bersama, menuntut aksi yang nyata bagi penghapusan kemiskinan di segala bidang. “Kemiskinan akan informasi tentang dunia kami, dunia remaja, akan makin menyengsarakan hidup kami jika ini semua tidak mendapat perhatian dan aksi segera dan sekarang juga,” tandas Puspa. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 22,November 2006]

Made Suparja: Mungkin Ini Jalan Menemukan Tuhan

Sekitar tahun 2000, saya sudah mencret-mencret, berat badan menurun drastis. Saya memang curiga terinfeksi HIV/AIDS. Sebab saya dulu sebagai sopir, ke mana-mana (berperilaku seks tidak aman,red). Dulu saya juga kurang mengerti masalah itu (HIV). Mungkin sudah dulu sekali kena, tapi imbasnya baru sekarang.

Walau curiga terinfeksi HIV, terus terang saya tidak berani memeriksakan diri. Kok rasanya nggak (terinfeksi HIV,red), gitu saya. Tapi kemudian saya pikir, banyak sekali kawan-kawan saya yang terinfeksi HIV. Mereka kemudian kena AIDS dengan begitu cepat, lantas meninggal. Barangkali, karena pola hidupnya yang salah.
Dulu saya pikir, kalau saya HIV/AIDS pasti saya sudah mati. Makanya saya nggak periksa. Biasa aja lah. Kehidupan berlalu seperti biasa. Saya kan juga kena kencing manis. Jadi saya pikir, mungkin pengaruh dari kencing manis, badan saya selalu lesu, kadang-kadang ada mencret. Waktu itu saya sudah banyak baca-baca buku tentang HIV/AIDS yang saya dapat di yayasan (Yayasan Citra Usadha Indonesia, yayasan penanggulangan HIV/AIDS,red). Kok ciri-cirinya sama. Tapi saya selalu takut untuk secara jujur mengakui.

Sampai suatu saat, istri saya (Made Siti,red) sakit. Lidahnya pecah-pecah. Dia tidak bisa makan, tubuhnya kurus kering, kulitnya gatal-gatal. Sudah berobat ke banyak dokter, nggak sembuh. Dari sana, akhirnya saya terpaksa memeriksakan diri sendiri dulu. Hasilnya ternyata positif HIV. Jumlah CD4 (sel pembentuk sistem kekebalan tubuh, red) saya, 202.

Perasaan saya waktu itu luar biasa depresi, frustasi, dan putus asa. Itu terjadi Maret tahun lalu. Saya bahkan nggak berani keluar, nggak berani bergaul. Rasanya seperti dikucilkan. Entah mungkin perasaan saya saja. Tapi memang banyak sindiran-sindiran. Selama tiga bulan saya lebih banyak di rumah, nonton ceramah agama di TV. Saya dengarkan, saya petik hikmahnya. Barangkali ini jalan saya menemukan diri saya dan Tuhan. Mengubah perilaku untuk berbuat lebih baik lagi dari hari-hari sebelumnya.

Setelah merasa cukup kuat, baru saya ajak istri ke Denpasar untuk tes. Ternyata dia juga positif HIV. Awalnya saya takut sekali mengatakan pada istri saya, bahwa dia kena (HIV,red) karena saya. Sebab dia tidak pernah nakal, selingkuh. Jadi saya takut mendapat cacian. Takut nanti ada penyesalan dan lain sebagainya. Saya bingung bagaimana caranya. Saya minta kepada konselornya, agar saat konseling dirahasiakan saja soal status saya. Tapi konselornya bilang,”ooo...nggak bisa gitu. Harus terang-terangan.”

Saya pikir, ya sudahlah. Saya pasrah aja. Istri saya dikonseling, ternyata dia sudah siap menerima. Saya jadi lega. Setelah dites CD4-nya sekitar 136. Sejak itu dia mulai dapat penanganan. Juga ikut terapi ARV (antiretroviral untuk menekan perkembangan virus HIV,red). Sekarang bobot badannya sudah naik, CD4-nya naik. Sudah lega perasaan saya. Sementara saya sendiri sempat berusaha mempertahankan CD4 saya agar tetap di atas 200 sehingga tidak perlu terapi ARV.

Jadi saya pertahankan dengan pola hidup yang sehat. Tapi nggak tahan. Akhirnya jeblok juga sampai CD4 saya 138. Terpaksa saya harus terapi ARV. Terapi ARV ini kan beratnya, kita ketergantungan. Nggak dapat obat ini 3 x 24 jam, bisa resisten kita. Bisa mati. Itulah yang jadi masalah. Tapi karena memang harus begitu, kita harus patuh minum obat. Untungnya obat ini disubsidi oleh pemerintah.

Sesudah itu terpetik dalam pikiran saya, obat ARV ini mahal. Harganya bahkan sampai Rp 850 ribuan untuk satu bulan. Untuk satu bulan bersama istri, sudah satu juta tujuh ratus ribu. Sementara penghasilan saya tidak sampai sekian. Kalau tidak dapat subsidi dari pemerintah, saya berarti sudah mati. Karena itu saya ingin mengumpulkan kawan-kawan, membuat KDS (kelompok dukungan sebaya bagi orang dengan HIV/AIDS,red). Pada 23 Agustus 2006 kemarin, KDS Tali Kasih diresmikan. Selama 6 bulan pertama, kami dapat support dana penuh dari Yayasan Citra Usadha Indonesia. Kami sedang mengupayakan swadaya.

Di samping untuk mencari solusi dari permasalahan yang kita hadapi sebagai Odha, KDS sudah tentu juga untuk penanggulangan HIV/AIDS. Paling tidak kita jangan menularkan. Kita bisa sama-sama melakukan kampanye, sosialisasi kepada masyarakat luas, agar mengubah perilaku, memakai kondom, dan lain sebagainya. Agar HIV/AIDS ini tidak menular. Kalau semakin banyak yang terinfeksi HIV, mungkin pemerintah tidak kuat lagi mensubsidi obat ARV kepada orang kita. Kalau ini dihapus, kita nggak kuat beli, matilah kita.

KDS Tali Kasih juga jadi tempat untuk kami saling mengingatkan kepatuhan minum obat. Seperti yang kini saya lakukan bersama istri. Dalam hal minum obat, saya dan istri sekarang saling memperingatkan. Jadi saya sebagai pengawas minum obatnya ibu. Kalau ibu, saya yang ngawasi. Kadang-kadang kalau pagi kami pasang weker. Kalau sudah jam 8, minum obat. Kepatuhan minum obat kita tanamkan. Sebab sudah banyak kawan yang tidak patuh minum obat, akhirnya sakit, meninggal.
Sebelum membentuk KDS Tali Kasih, saya juga ikut aktif di kegiatan yayasan. Kadang-kadang juga diundang wawancara dengan berbagai media massa. Saya memang sengaja menyiapkan diri untuk membuka diri agar masyarakat luas tahu, bagaimana penularan HIV/AIDS. Bahwa HIV/AIDS tidak menular melalui kontak sosial. Dengan begitu, saya berharap masyarakat tidak lagi mendiskriminasi kami, orang-orang yang hidup dengan HIV. [Seperti Diceritakan Kepada Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 22,November 2006]

Jumat, 17 November 2006

Bersisik Karena Terik

Sejumlah kasus manusia bersisik muncul di pelosok-pelosok desa di Bali. Sinar matahari jadi musuh besar mereka.

Komang Gama, terbaring gelisah di salah satu bed, ruang rawat inap Kamboja, RS Sanglah Denpasar. Udara panas yang menyerang Kota Denpasar siang pekan lalu, Kamis 2 November 2006, membuatnya makin tak tenang. Gatal dirasakan Gama di beberapa bagian tubuhnya. Nengah Astiti (30 tahun), sang ibu, mengipasi Gama dengan sebuah kipas anyaman bambu.

Gama tak seperti bocah-bocah lain seusianya. Sekujur tubuh Gama, penuh dengan guratan-guratan kasar, seperti bersisik. Terik sinar matahari dan udara panas, menjadi momok bagi keseharian bocah asal sebuah desa di pelosok pegunungan Batur, Desa Suteg, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali itu. ”Kalau kena sinar matahari, kepanasan dia. Bingung,” cerita Astiti.

Sejak dilahirkan dengan bantuan bidan desa, 14 tahun lalu, Gama sudah menunjukkan gejala tidak wajar pada kulit. Menurut Astiti, kulit putra ketiganya itu sudah bersisik sejak lahir. Tak cuma itu, struktur tulang pada telapak tangan dan kakinya juga tak normal. Beruntung, Gama masih bisa berjalan, meski agak pincang. Astiti sendiri mengaku tidak mengerti, apa yang menyebabkan kulit Gama bersisik. Menurutnya, tak ada anggota keluarga lain yang mengalami kejadian serupa, selain putri keduanya. Namun sang putri yang mengalami kulit bersisik itu, telah meninggal si usia 1,5 bulan. ”Nggak tahu meninggal kenapa. Mungkin karena sakitnya ini (bersisik),” terangnya.

Paska kelahiran, Gama sempat menjalani pengobatan medis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bangli. Tapi cuma 3 minggu. ”Waktu itu dokter nggak bilang sakit apa. Cuma dikasi obat. Tapi nggak mau sembuh,” jelas perempuan petani itu. Karena keterbatasan biaya, Astiti dan suaminya yang cuma buruh tani di desanya, memutuskan memutuskan membawa pulang dan merawat Gama di rumah. Astiti bersama dan suami yang masih sepupu, hanya sesekali membawa Gama ke Balian (orang pintar/dukun). ”Biasanya dikasi boreh (ramuan minyak dan rempah-rempah). Mau agak lemas kulitnya,” jelas Astiti. Tiga kali sehari, tubuh Gama juga digosok halus dengan air kelapa muda. Baru akhir Oktober lalu, Gama dirujuk ke Rumah Sakit Sanglah untuk mendapat perawatan, atas bantuan Bupati Bangli.

Kasus kulit bersisik tak cuma dialami Gama. Persis di ranjang sebelahnya, Komang Gentos yang asal desa yang sama, terus saja merengek. Bayi 10 bulan itu juga terlihat sangat terganggu dengan teriknya matahari yang menembus jendela ruang Kamboja Rumah Sakit Sanglah siang itu. Kulit Gentos juga bersisik, sama seperti Gama. Struktur tulang di telapak kakinya pun terlihat tidak normal. Darmini (23 tahun) sang ibu dan Nerlin (60 tahun) sang nenek, sibuk menenangkannya.

Baik Darmini maupun Nerlin mengaku heran dengan penyakit Gentos. Pasalnya, tepat saat dilahirkan dengan bantuan bidan desa, kulit Gentos normal seperti bayi-bayi lain. “Setelah satu jam (sejak dilahirkan), baru kulitnya kering, terus mengelupas,“ cerita Darmini. Sebelumnya, anak pertama Darmini yang menikah dengan pria yang masih sepupu, juga mengalami sakit yang sama. Namun ketika baru berumur 17 hari, anak pertamanya itu meninggal. Beruntung, anak keduanya lahir normal dan kini sudah berusia 6 tahun.

Menurut Darmini, sejak lahir Gentos tidak pernah diajak keluar rumah. Pasalnya, Gento biasanya kepanasan bila dibawa keluar rumah. ”Kalau kena sinar, dia biasanya kejang-kejang. Makanya nggak berani,” tandasnya. Keterbatasan biaya, juga membuat Darmini dan suaminya yang buruh tani, tak mampu membiayai pengobatan Gentos. Pengobatan lebih banyak dilakukan melalui balian (dukun). Hanya sesekali Darmini membawanya ke puskesmas. ”Kalau punya uang, baru ke puskesmas. Nggak pasti. Pas ada uang lima ribu, ya dibawa ke puskesmas. Pas nggak ada uang, ya nggak,” terangnya.

Untuk perawatan harian, Gentos dimandikan dengan air kelapa muda. Ini sesuai saran sejumlah Balian yang pernah didatanginya. ”Satu hari bisa sampai 6 kali mandi yeh klungah (air kelapa muda),” jelas Nerlin. Kalau tidak dapat minta kelapa muda dari tetangga, orang tua Gentos biasanya terpaksa membeli dengan harga Rp 1.500 per butir. ”Soalnya kalau sudah dikasi yeh klungah, kulitnya mau lebih halus,” ungkap Darmini.

Kasus kulit bersisik tak cuma dialami Gama dan Gentos. Di ruangan yang sama, ada juga tiga orang kakak beradik asal Banjar Kayupad Desa Songan, Kintamani, Bali yang dirawat karena kasus serupa. Ketiganya adalah Gede Rai (20), Ketut Subur (8 tahun), Wayan Wirama (6 tahun). Bedanya, kulit ketiganya hanya bersisik di bagian wajah dan sebagian kaki atau tangan. Hingga kini, tercatat ada 19 kasus kulit bersisik yang tersebar di sejumlah kabupaten di Bali. Mulai dari Bangli, Tabanan, dan Karangasem. Namun diperkirakan masih banyak kasus serupa lainnya di luar kasus yang terekspos tersebut.

Menurut dokter yang menangani, dr AAGP Wiraguna SpKK, kasus kulit bersisik sebenarnya bukan kasus baru dalam dunia medis. Kasus ini bahkan telah tercatat sejak abad 17 dan terjadi di seluruh dunia. ”Tercatat pertama kali bukan berarti kasus pertama. Sebelum itu juga sudah banyak,” terang Spesialis Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Sanglah yang menamatkan pendidikan spesialisnya di Universitas Airlangga Surabaya itu. Rasio kemungkinan terjadinya kasus ini mencapai 1:300.000. Artinya, terjadi satu kasus di antara 300.000 kelahiran. Rumah Sakit Sanglah sendiri menangani kasus kulit bersisik rata-rata 6 kasus per tahun.

Dikatakan Wiraguna, kulit bersisik yang dalam bahasa kedokterannya dimasukkan dalam kelompok dermatosis eritroskuamosa, disebabkan oleh banyak penyakit. Dermatosis artinya penyakit kulit, sedangkan eritroskuamosa artinya kemerahan (eritema) dan bersisik (skuama). Jadi, dermatosis eritroskuamosa adalah penyakit kulit yang ditandai oleh kulit kemerahan dan bersisik. Yang dimasukkan dalam kelompok penyakit ini, diantaranya psoriasis vulgaris, pitiriasis rosea, eritroderma, dermatitis seboroik, dermatofitosis (jamur) serta iktiosis.

Berdasarkan foto dan hasil pemeriksaan histopatologi, kasus kulit bersisik di Bali kemungkinan berupa psoriasis vulgaris dan kelompok penyakit iktiosis. Psoriasis vulgaris adalah penyakit kulit yang ditandai oleh kulit yang bersisik tebal berlapis-lapis, berwarna putih, dan didasari oleh kulit kemerahan yang berbatas tegas dengan kulit nomal. Penyakit ini umumnya tidak gatal, walaupun beberapa penderita mengeluh sedikit gatal pada bagian yang bersisik. Penyakit ini berlangsung dalam jangka waktu lama, bersifat hilang timbul, tapi tidak mengancam jiwa dan tidak menular. Karena penyakit ini berlangsung lama, maka dapat menurunkan kualitas hidup dan gangguan psikis penderitanya.

Sementara itu, iktiosis dalam bahasa Yunani berarti menyerupai sisik ikan, yakni penyakit yang ditandai dengan kulit kering dan bersisik yang disebabkan gangguan keratinisasi herediter (genetik). Gangguan ini biasanya sudah diderita sejak lahir, diturunkan dengan sistem tungal. Berat-ringannya gejala yang timbul tergantung dari jenis iktiosisnya. Beberapa jenis iktiosis yang diderita sejak lahir dapat dilihat dari gejalanya, antara lain, kulit yang dilapisi seperti lem (collodion baby) sampai kulit yang bersisik sangat tebal, pecah-pecah, mulut seperti ikan (eclabium), dan mata menonjol (ectropion)---dikenal dengan sebutan harlequin fetus. Collodion baby biasanya dapat terus hidup dan kulit bersisiknya berkurang secara perlahan dengan bertambahnya usia, walaupun tidak akan hilang total. Sedangkan harlequin fetus tidak bertahan hidup, karena kesulitan bernapas dan meninggal setelah beberapa hari kehidupannya.
Walaupun penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti, tapi diduga disebabkan oleh faktor genetik dan faktor imunologik (autoimun). Karenanya, adanya unsur perkawinan dalam satu lingkungan keluarga diperkirakan memperbesar kemungkinan munculnya penyakit yang dikatakan tidak menular itu. Pada dasarnya, sisik terjadi karena kulit tidak memiliki kemampuan memproduksi minyak dan tidak mampu menghalangi penguapan air. Pada orang normal, jelas Wiraguna, lapisan kulit membentuk keratin (lapisan tanduk) dan lemak yang berfungsi sebagai pertahanan kulit terhadap rangsangan dari luar dan penguapan air yang berlebihan. Pada penderita iktiosis, terjadi mutasi gen pembentuk keratin yang bersifat autosomal dominan dan juga mutasi pada enzim yang diperlukan untuk memproduksi dan metabolisme lemak yang bersifat autosomal resesif. Akibat dari semua itu, terjadi gangguan pada fungsi pertahanan kulit, sehingga lapisan kulit bagian atas tidak mempunyai kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan antara kadar air yang ditahan di kulit dengan air yang menguap melalui lapisan kulit. Akibatnya, kulit tampak kering dan bersisik terus-menerus. Timbulnya kulit kemerahan dan bersisik umumnya dipicu oleh garukan atau tekanan yang berulang-ulang pada bagian kulit saat beraktivitas, obat minum seperti antihipertensi dan antibiotika, dan emosi tak terkendali.

Iktiosis sendiri dibagi dalam dua kelompok: iktiosis primer (timbul sejak lahir) dan iktiosis sekunder (timbul setelah dewasa). Iktiosis primer yang paling sering muncul adalah iktiosis vulgaris (umum) dan X-linked recessive ichtyosis. Sedangkan yang jarang adalah iktiosis lamelar (seperti dialami Gama dan Gentos,red) dan harlequin fetus. Sementara, iktiosis sekunder (timbul setelah dewasa) dijumpai pada penyakit infeksi seperti kusta, TBC, dan sifilis; kekurangan vitamin A, B6, asam nikotinat (pelagra); kulit kering yang berat pada orang tua. Ini seperti yang dialami Gede Rai, Ketut Subur dan Wayan Wirama yang dikatakan mengalami xeroderma pigmentosum, di mana kulit yang bersisik hanya muncul setelah adanya pemicu. Misalnya, kulit yang terkena sinar matahari.

Untuk menangani kulit bersisik, jelas staf pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fak. Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah tersebut, cukup sederhana. Yang penting adalah pemberian minyak (misal minyak kelapa) atau pelembab kulit yang berfungsi mempertahankan kondisi kulit yaitu sebagai pelumas (lubricant) dari lapisan kulit sehingga dapat melembutkan dan melemaskan permukaan kulit. Yang juga perlu diperhatikan, pada saat mandi sebaiknya memakai sabun yang tidak iritatif (lembut), dan banyak mengandung minyak (moisturizer). ”Kurangi tempaan sinar matahari yang terlalu lama untuk mencegah penguapan air terlalu berlebihan,” tegasnya mengingatkan.
Namun diakui bapak 1 anak itu, penyakit ini sulit disembuhkan karena berbagai alasan. ”Karena penyakit ini bersifat genetik dan belum ada obat yang efektif untuk mengobatinya secara sempurna, maka yang pertama perlu penjelasan kepada penderita dan keluarganya bahwa penyakit ini akan berlangsung seumur hidup, tidak menular, dan tidak mengancam jiwanya. Keluarga penderita perlu didukung secara moral, agar penderita bisa menjalani kehidupan secara normal seperti bersekolah dan berinteraksi sosial, karena penyakit ini tidak menular dan tidak mengganggu kecerdasan penderitanya,” jelasnya.

Adanya penanganan dari Rumah Sakit Sanglah, memberi harapan baru bagi Gama, Gentos, dan beberapa manusia bersisik lainnya. Gama mengaku senang bisa menjalani perawatan. ”Biar bisa sekolah,” jelas bocah yang tidak pernah merasakan nikmatnya bangku sekolah. Jangankan untuk sekolah, untuk keluar rumah pun Gama tidak pernah. Tak cuma karena takut terkena sinar matahari, ia juga mengaku malu keluar rumah. Ini yang membuatnya tak mau bersekolah. Ia ingin bisa sembuh, sehingga ia bisa memainkan mobil-mobilannya di luar rumah, dan bersekolah layaknya anak-anak lain seusianya. [Komang Erviani / pernah dimuat di Majalah GATRA Edisi November 2006]

Jumat, 10 November 2006

Made Siti, Ketika Seorang Istri Terinfeksi HIV dari Suami

Tahun 2005 saya mulai sakit. Sama sekali nggak ada nafsu makan. Badan gatal-gatal, bibir sampai lidah jamuran. Saya sudah ke mana-mana. Periksa ke dokter spesialis dalam, katanya ya nggak ada apa-apa. Sudah habis biaya banyak, tapi nggak sembuh-sembuh. Berat badan saya terus menurun. Dari 50 kg, jadi 35 kg. Sama sekali nggak ada nafsu makan. Bapaknya (suami, red) terus maksa-maksa saya makan. Dikasi bubur, susu, sampai disuapin. “Saya pingin kamu hidup,” begitu aja dia.

Saya sudah pasrah. Waktu itu kita belum tahu ini (terinfeksi HIV). Belum ada pengecekan darah. Akhirnya, bapaknya (suami, Made Suparja) mungkin cek lebih dulu. Mungkin dia tahu dirinya HIV positif, baru saya diajak ke Denpasar. Langsung masuk ke Rumah Sakit Sanglah untuk tes. Di situ diketahui saya positif HIV. Lantas, dibilang dah kita (Siti dengan suami,red) positif. Langsung ditangani.

Waktu pertama kali diberitahu dokter, sebenarnya saya tidak begitu kenal sekali apa itu HIV. Tapi sudah dengar-dengar. AIDS itu dalam pikiran saya sudah penyakit yang paling bahaya bagi saya dulu. Dulu saya nggak tahu bagaimana tertular. Tapi ya, lama-lama tahu. Cuma dengan hubungan dan jarum suntik. Jadi saya tanya sama bapaknya (suami, red). Saya kawin dengan bapaknya kan setelah suami saya yang dulu (pertama, red) meninggal. “Semenjak kawin sama saya, apa kamu pernah nyari orang di luar lagi,” saya tanya gitu sama bapaknya. Ya, dia sumpah-sumpah dia nggak pernah. Waktu bujangan itu kan memang hidupnya keliling. Di Jawa, Sumatera, dia sering bergaul sama tamu-tamu.

Awalnya saya sempat menyalahkan bapaknya sedikit. Tapi bagaimana pun, dia sudah minta maaf. “Harus bagaimana lagi, mungkin sudah nasib kita,” katanya begitu. Saya pikir, kalau kita terlalu menyalahkan cuma akan jadi pertengkaran. Toh kita sudah begini. Sudah nasib. Nggak pernah lagi saya mengutarakan soal-soal menyalahkan dia itu. Saya terima aja apa adanya. Saya sudah nggak pernah ada keluhan bagimana-bagaimana. Itu namanya sudah nasib, harus diterima.

Waktu sakit, keluarga juga sempat menanyakan hasil tes darahnya. Saya terus terang aja sama keluarga. Saya bilang HIV. Pertama-pertama bapaknya malu dan marah. “Kenapa kamu langsung bilang sama keluarga,” begitu dia bilang. Habis keluarga menanyakan, bagaimana saya harus sembunyikan, nggak bisa saya. Soalnya dari dulu saya memang nggak pernah bisa bohong. Yang penting saya nggak maling, saya bilang begitu sama bapaknya.

Saya merasa beruntung dapat penanganan. Mungkin kalau satu bulan terlambat, saya sudah nggak ada (meninggal). Ya…, mungkin Tuhan masih menginginkan saya hidup. Sekarang kita sudah banyak kenal dengan banyak kawan yang juga mengalami begini (HIV positif). Saya sudah biasa, jadinya menerima. Dulu, rasanya kita ke puskesmas aja malu. Tapi sekarang saya sudah biasa. Kawan-kawan juga merasakan, sekarang yang namanya diskriminasi itu sudah tidak ada. Teman-teman yang sudah mengerti bagaimana penularannya itu, sudah nggak mendiskriminasi. Pernah saya berobat ke Denpasar, naik motor, pinjam helm sama teman saya di pasar. Dikasi sama dia. Tapi ada yang tidak mengerti, teman saya itu ditegur. “Ih…, kamu kok dikasi dia pinjam helm. Dia kan kena AIDS,”. Tapi oleh teman saya dijawab, “Ya, saya tahu itu penularannya. Nanti kalau bagaimana, biar saya ditulari nggak apa.”

Sekarang saya dan bapaknya selalu saling mengingatkan minum obat (antiretroviral, obat penghambat pertumbuhan virus HIV). Kalau pas sibuk, kadang-kadang saya kan lupa. Ya.., telat 15 menit karena sibuk jualan di pasar. Malah kadang jam 8 bapaknya masih tidur. Dia itu agak malas. Akhirnya kita saling mengingatkan. Apalagi kita cuma hidup berdua, tidak ada anak.

Kami berdua sekarang cuma ingin menjalani hidup apa adanya. Kami sudah nggak lagi berharap ada anak. Namanya saya sudah tua, nggak nutup-nutupi, sudah lebih dari 15 tahun ini saya nggak berhubungan (seks,red) apa-apa sama bapaknya. Apalagi dia mengidap penyakit kencing manis, kan nggak mampu dia itu. Tapi saya nggak pernah nuntut. Saya cuma heran. mengapa baru satu tahun ini kami tahu kena penyakit ini? Padahal kami sudah lama nggak pernah berhubungan. Ya, mungkin dulu. Mungkin dia sudah kena dulu, saya nggak tahu. Saya juga nggak menyangka karena dia dulu kan sehat sekali. Badannya gemuk sekali.

Harapan saya untuk ibu rumah tangga lain, kita harus lebih berhati-hati walau dengan suami sekalipun. Umpamanya kita punya suami yang suka keluyuran, kalau berhubungan kita harus berusaha pakai kondom. [Seperti Diceritakan kepada Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 22,November 2006]