Google
 

Rabu, 20 Desember 2006

Mati Muda Bunuh Asa

Dalam lima bulan, empat siswa di Bali mengakhiri hidupnya dengan gantung. Ada yang depresi ditinggal pacar, ada juga yang bosan disuruh belajar. Pola pengasuhan anak kini lebih mementingkan faktor materi.

Tak ada hujan, tak ada angin, Wayan Yasmini, 40 tahun, tiba-tiba merasa seperti disambar petir Selasa sore, 6 Desember 2006 lalu. Niatnya bertemu dengan sang putra, Made Sukadana, setelah hampir seharian membantu tetangga yang sedang menggelar upacara adat, tak terkabul. Berharap melihat keceriaan Sukadana, Yasmini justru menemukan bocah 13 tahun itu tergantung dengan sebuah dasi pramuka berwarna merah putih di plafon kamarnya. Berteriak, hanya itu yang bisa dilakukannya.

Ayah Sukadana, Wayan Wirka, 43 tahun, tak kalah kaget. Mendengar teriakan istrinya, Wirka yang sedang menunggui warung sayuran di depan rumah bergegas menuju kamar.. “Saya langsung angkat tubuhnya, tapi sudah tidak bernyawa lagi,”tuturnya. Terpukul, tentu saja. Apalagi selama iniYasmini dan Wirka merasa tak ada masalah dengan anaknya yang duduk di bangku kelas 2 SMP 1 Kerambitan, Tabanan itu. Hari itu, Sukadana tak menunjukkan perangai berbeda dari biasa. Sepulang sekolah, penari cilik yang pernah tampil di ajang Pesta Kesenian Bali 2003 itu beraktivitas seperti biasa. Makan siang, kemudian berangkat ke sawah mencari kangkung untuk pakan dua kelinci kesayangannya.Terakhir, Wirka melihat Sukadana menonton serial kungfu di televisi. Karena sudah makan, Wirka tak lagi memperhatikan gerak-gerik Sukadana. Ia tak mengira itu jadi saat terakhir bertemu dengan sang anak.

Aksi bunuh diri tersebut, tak hanya menggemparkan warga Dusun Penarukan Kaja, Penarukan, Kerambitan, Tabanan, tempat tinggalnya. Kenekatan Sukadana yang tidak diketahui penyebabnya itu, juga mengemparkan masyarakat Bali. Bagaimana tidak, ulah Sukadana telah menambah daftar panjang aksi bunuh diri di Bali, khususnya yang dilakukan oleh siswa. Sebelumnya, pada 11 September 2005, seorang siswa SMAN 1 Denpasar, AA Trisna Putra, juga telah ditemukan tewas gantung di kamar mandi rumahnya. Diduga, Tisna merasa frustasi setelah ditinggal pacarnya yang bersekolah di SMAN 4 Denpasar. Tidak itu saja. Seorang siswa kelas 5 SD di Dusun Siyakin, Kintamani, Bangli, juga mengalami nasib tragis 25 Agustus lalu. Wayan Tara, 12 tahun ditemukan tewas tergantung di pohon di sebuah tegalan. Penyebabnya sepele. Tara kelihatannya kesal karena sering disuruh rajin belajar oleh orang tuanya. Peristiwa bunuh diri oleh Sukadana, tampaknya tak akan jadi yang terakhir. Terbukti, hanya berselang sehari, pada Rabu 7 Desember, duka kembali berselimut gara-gara aksi bunuh diri. Kali ini menimpa keluarga

Made Paing, warga Banjar Nyaweh, Selulung, Kintamani, Bangli. Putranya, Ketut Ratmadi, 14 tahun, yang bersekolah di SMP Negeri 2 Kintamani, ditemukan tewas di pohon jeruk miliknya. Lagi-lagi, tak jelas apa penyebabnya. Sebelum ditemukan, Ratmadi terlihat baik-baik saja, malah tengah asyik menonton TV. Aksi bunuh diri, menurut psikiater dari Poliklinik Jiwa Rumah Sakit Sanglah, dr. Lely Setyawati, Sp.KJ., tak lepas dari kepribadian anak bersangkutan. Anak yang mudah emosional, cenderung sangat mungkin melakukan aksi-aksi nekat seperti bunuh diri. Meski demikian, faktor lingkungan justru dapat memegang peranan penting. Terutama terkait dengan pola pengasuhan oleh orang tua. Dikatakan Lely, banyak sekali anak-anak sekarang ini yang harus hidup di tengah kesibukan kerja orang tuanya. Akibatnya,. Pola pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua juga cenderung berubah.

Selain kuantitas pertemuan dengan orang tua yang menjadi barang langka, orang tua sekarang juga cenderung mengukur kemampuannya mengasuh anak dari sisi materi. Akibatnya, anak-anak tumbuh dengan lingkungannya masing masing. Lely menyebut anak-anak sekarang cenderung belajar dari dirinya sendiri, atau teman teman seumurannya yang notabene masih memiliki tingkat emosional kurang lebih sama. “Orang tua jarang di rumah, anak diberi materi untuk memenuhi semua kebutuhannya. Orang tua biasanya melupakan faktor emosional. Minta apa-apa selalu dikasi. Sekalinya nggak dikasi, anak jadi emosi,”jelas ibu satu putri itu. Untuk tipe anak dengan emosional yang tidak stabil, menurut Lely, sangat mungkin mengambil jalan pintas (bunuh diri). “Tayangan-tayangan TV mungkin juga bisa mempengaruhi, tapi peranannya kecil sekali,”tambah Lely yang sudah 3 tahun menggeluti profesinya.

Secara medis, penyebab seseorang membunuh dirinya sendiri dapat dikelompokkan menjadi 3, yakni karena depresi, gangguan jiwa berat yang disertai halusinasi (sisofremia), serta impulsif (kecenderungan untuk bereaksi dengan cepat tanpa memikirkan akibatnya). Sekitar 80 persen kasus bunuh diri yang “sukses”, biasanya terjadi karena depresi. Namun sebagian besar kasus bunuh diri di kalangan siswa, disebabkan sifat impulsif yang memang umum dialami anak-anak dan remaja. Menariknya, sebagian besar pasien percobaan (gagal) bunuh diri yang kini tengah dikonseling Poliklinik Jiwa RS Sanglah, dipicu oleh sifat impulsif. “Yang masuk kelompok Impulsif biasanya anak-anak muda,”jelasnya. Dikatakan Lely, jumlah kasus bunuh diri yang “sukses” dan terungkap media, sebenarnya tergolong kecil dibandingkan total kasus percobaan bunuh diri. Setiap harinya, Poliklinik Jiwa RS Sanglah menerima sedikitnya 1 orang pasien baru. Modus yang diusahakan juga beragam. Mulai dari minum racun serangga, menyilet nadi, hingga gantung diri. “Jadi, sebulan kita rata-rata dapat 25 orang pasien yang gagal bunuh diri,”tutur Lely. Kisaran umurnya antara 10 tahun-75 tahun. Sebagian besar diantaranya berumur antara 20-23 tahun.

Lely mengaku, tak mudah melakukan pencegahan terhadap aksi-aksi bunuh diri. Apalagi untuk mereka yang cenderung impulsif. Ironisnya, ia melihat ada kecenderungan di masyarakat yang tidak peduli dengan sinyal-sinyal dari mereka yang hendak melakukan bunuh diri. Bagi mereka yang depresi misalnya, umumnya memperlihatkan kesedihan luar biasa, perasaan cemas, keluhan sakit, hilangnya nafsu makan, dan lainnya. Sementara di kalangan mereka yang mengalami sisofremia umumnya memperlihatkan perilaku sehari-hari yang nyeleneh. Berpenampilan aneh dan cenderung ngomong sendiri untuk merespon halusinasinya. Meski kecenderungan bunuh diri karena impulsif tidak dapat dideteksi semudah depresi dan sisofremia, namun secara umum anak-anak yang cenderung sering emosional perlu dapat perhatian lebih. Orang tua harus mampu memanajemen emosi anak, sehingga sewaktu-waktu tak mengarah pada tindakan nekat. Bagaimanapun, orang tua akan selalu menjadi faktor penentu masa depan anak-anaknya.[Komang Erviani]

Selasa, 12 Desember 2006

Pengobatan Tersandung Masalah

Kompleksitas masalah yang dihadapi perempuan HIV positif, membuatnya makin terpuruk. Banyak kendala kesehatan yang jadi batu sandungan pada pengobatannya.


Hasrat Tini ( 28 tahun) untuk untuk memiliki anak dengan pasangannya, ternyata tak mudah diwujudkan. Ternyata, obat antiretroviral (ARV) jenis Evafirenz yang dikonsumsi sejak mengetahui dirinya terinfeksi HIV, membuyarkan keinginannya memberi adik laki-laki bagi dua anak perempuannya. Perempuan yang diduga terinfeksi HIV dari penggunaan narkoba suntik itu, mengaku tak tahu kalau obat yang sebenarnya dikonsumsi untuk menekan perkembangan virus dalam tubuhnya akan membuat kandungannya kering.

Meski demikian, Tini tak putus asa. Atas pertimbangan dokter dan konselornya, Tini memutuskan untuk mengganti obat ARV-nya dengan kombinasi jenis lain. “Walaupun kita statusnya Odha (orang dengan HIV & AIDS), harapan untuk punya anak kan ada,” pikirnya saat itu. Tak lama setelah mengganti obatnya, Tini malah mengalami efek samping yang lumayan berat. Tumbuh bercak kehitaman di sekujur tubuhnya, kandidiasis (sejenis jamur) pada lidahnya dan permukaan bibirnya pecah-pecah. Tini bahkan tak bisa menyantap makan. Tini berpikir ulang. Ia akhirnya memutuskan kembali pada jenis obat lamanya, Evafirenz.

Tak cuma Tini yang mengalami masalah itu. Pokja Care Support and Treatment Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Tuti Parwati Merati, mengaku sering menemukan kasus serupa. Dokter penemu kasus HIV pertama di Indonesia pada 1987 itu mengakui, ada beberapa jenis obat ARV yang berefek pada keringnya kandungan. Hal itu disebabkan karena ada reaksi yang menyebabkan respon hormon menjadi lambat. Jenis Evafirenz misalnya, tidak boleh dikonsumsi oleh Odha perempuan yang ingin memiliki anak. Pada perempuan, obat jenis ini membuat hormon tidak normal sehingga pematangan sel telur tidak terjadi. Ini membuat pengkonsumsinya sulit hamil.

Permasalahan Odha perempuan, menurut Tuti, sangat kompleks. Tak cuma menyangkut masalah medis, tetapi juga sosial dan psikologis. Sebuah kasus sempat membuat Tuti miris. Seorang Odha perempuan, sebut saja Wayan Parni, awalnya sudah dengan tegas menyatakan bahwa ia tak ingin lagi memiliki anak. Ketegasan itu membuat Tuti yakin untuk memberikan obat jenis evafirenz kepada pasiennya yang sudah cukup berumur itu. Namun setelah lama berselang, Parni tiba-tiba datang meminta obatnya diganti dengan jenis lain. Alasannya, suaminya ingin punya anak lagi. Pertimbangan efek samping yang terlalu keras, membuat Tuti enggan memenuhi keinginan pasiennya itu. “Saya bilang, pikir dulu. Efek sampingnya nggak ringan,” kenang Tuti. Karena terus mendesak, Parni akhirnya diperbolehkan mengganti obatnya. Benar saja, tak lama setelah menggenti obatnya, Parni lantas mengalami efek samping luar biasa yang membuatnya tergolek berhari-hari di rumah sakit. “Dia cuma bilang, saya harus bagaimana lagi. Suami saya ingin punya anak lagi,” jelas Tuti.

Direktur Klinik Kesehatan Reproduksi Yayasan Rama Sesana, Luh Putu Upadisari, juga menegaskan besarnya dampak sosial dan psikologis yang membuat Odha perempuan terpuruk dalam proses pengobatannya. Tekanan sosial dan psikologis yang kuat, cenderung menghambat pengobatan dan perawatan Odha perempuan.
Sejumlah perempuan HIV positif juga kerap mengalami berbagai macam masalah saat haid. Mulai dari pendarahan yang berlangsung lebih lama daripada biasa, pendarahan waktu tidak haid, masa haid yang lebih cepat, haid yang lebih ringan dengan lebih lama antara masa haid, haid yang kadang kala tidak terjadi, bahkan haid yang tidak terjadi sama sekali. Ayu misalnya. Perempuan HIV positif yang juga mantan pengguna narkoba suntik itu, mengaku haidnya tidak teratur. Ia juga mengalami sakit perut luar biasa saat haid. Menurutnya, itu terjadi sejak ia tahu dirinya terinfeksi HIV. Marni, sebut saja begitu, juga pernah bermasalah dengan haidnya. Akibat terinfeksi HIV, perempuan asal Buleleng yang terinfeksi HIV dari suaminya, sempat tidak haid berbulan-bulan. Namun sejak mengikuti terapi ARV, Marni tak lagi mengalami masalah haid. “Sekarang lancar-lancar aja. Rutin tiap bulan,” ujar ibu satu anak itu.

Dokter Sari, sapaan akrab Upadisari, menjelaskan permasalahan haid pada Odha pada dasarnya disebabkan oleh sistem hormon yang tidak normal. Bisa karena efek obat ARV, gangguan trombosit, ditambah lagi dengan sistem kekebalan tubuh yang menurun. Pada perempuan HIV positif yang mengalami gangguan trombosit (pembekuan darah), perdarahan saat haid dapat menjadi jauh lebih banyak. Gangguan trombosit juga bisa terjadi karena efek samping terapi ARV. Kalau sudah begini, anemia atau kekurangan hemoglobin (Hb) bisa terjadi. Anemia menyebabkan kelelahan, sesak napas dan pusing. “Secara alami, Odha sudah mengalami penurunan kekebalan tubuh. Jadi jumlah leukosit di dalam tubuhnya sudah rendah. Itu akan menambah keterpurukan daya tahan tubuhnya. Dia akan menjadi lemah, menjadi gampang terinfeksi, gampang kena penyakit lain,” terang sari.

Beberapa perempuan HIV positif juga tidak menstruasi dalam jangka waktu lama. Ini terjadi karena secara umum pada perempuan HIV positif, respon hormonnya cenderungb lambat. Bisa karena efek ARV, bisa juga karena daya tahan tubuh yang berkurang. Pasalnya, menstruasi sangat berhubungan dengan pembentukan hormon estrogen dan progesteron. Perempuan pada tahap AIDS, lebih mungkin mengalami perdarahan yang tidak teratur. Kehilangan berat badan, terutama kehilangan lemak, juga dapat mempengaruhi haid. Penggunaan narkoba dan stress terus menerus, juga dapat menyebabkan haid yang tidak teratur.

Jenis infeksi oportunistik lain, jelas Sari, menghantui kesehatan Odha perempuan. Kanker leher rahim misalnya. HIV memudahkan seorang perempuan HIV positif menderita kanker leher rahim. Ini karena sistem kekebalan tubuhnya yang terganggu. Dijelaskan Sari, dengan infeksi virus HIV, sifat leher rahim menjadi lebih rentan terhadap infeksi menular seksual. Salah satu infeksi yang disinyalir menyebabkan kanker leher rahim adalah ppapiloma virus, atau katrib disebut jengger ayam. Perempuan yang pernah terkena IMS, cenderung lebih mudah terkena kanker leher rahim. Karenanya, penting bagi setiap perempuan, terutama perempuan HIV positif, untuk rutin melakukan papsmear. “Karena perubahan sel yang terjadi di leher rahim bersifat periodik. Jadi kalau kita lengah di saat tertentu, siapa tahu saat itu justru terjadi perubahan sel, infeksi atau yang lain, tegas Sari mengingatkan.

Odha perempuan perokok, memiliki kecenderungan yang sangat tinggi untuk terkena kanker leher rahim. Kandungan nikotin dalam rokok, memudahkan terjadinya perubahan sel secara umum. Rokok juga berhubungan dengan radikal bebas yang beredar di tubuh, yang juga menyebabkan perubahan sel berlebihan.
Akses informasi yang sangat minim, menjadi kendala serius dalam pengobatan dan perawatan perempuan HIV positif. Bahkan, cenderung terjadi persaingan pengobatan yang menghambat pengobatan oleh dokter. Contoh sederhana, pengobatan keputihan yang dianggap cukup dengan daun sirih. Beban sosial yang lebih berat di puindah perempuan Odha, menambah kendala. Di komunitas masyarakat Bali misalnya, masih ada kecenderungan mengutamakan pendidikan laki-laki. Meski kecenderungan itu sudah berkurang, namun menurut Sari, masih ada sebagian masyarakat yang cenderung mengutamakan pendidikan anak laki-lakinya. “Itu yang membuat, secara tidak langsung, perempuan menjadi semakin terpuruk dengan informasinya,” tandasnya.

Permasalahan yang dihadapi perempuan HIV positif, tidak sesimpel kelihatannya. Meski demikian, dukungan orang sekitar akan sangat penting untuk mewujudkan harapan mereka. Seperti Tini, yang masih berharap mendapat anak ketiga dari rahimnya. “Siapa tahu nanti, kalau kita punya rejeki, Tuhan menghendaki, umur kita masih panjang, Aku masih ingin punya anak laki-laki,” begitu Tini. [Komang Erviani, Ikha Widari / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 23,Desember 2006]

Pengobatan Tersandung Masalah

Kompleksitas masalah yang dihadapi perempuan HIV positif, membuatnya makin terpuruk. Banyak kendala kesehatan yang jadi batu sandungan pada pengobatannya.


Hasrat Tini ( 28 tahun) untuk untuk memiliki anak dengan pasangannya, ternyata tak mudah diwujudkan. Ternyata, obat antiretroviral (ARV) jenis Evafirenz yang dikonsumsi sejak mengetahui dirinya terinfeksi HIV, membuyarkan keinginannya memberi adik laki-laki bagi dua anak perempuannya. Perempuan yang diduga terinfeksi HIV dari penggunaan narkoba suntik itu, mengaku tak tahu kalau obat yang sebenarnya dikonsumsi untuk menekan perkembangan virus dalam tubuhnya akan membuat kandungannya kering.

Meski demikian, Tini tak putus asa. Atas pertimbangan dokter dan konselornya, Tini memutuskan untuk mengganti obat ARV-nya dengan kombinasi jenis lain. “Walaupun kita statusnya Odha (orang dengan HIV & AIDS), harapan untuk punya anak kan ada,” pikirnya saat itu. Tak lama setelah mengganti obatnya, Tini malah mengalami efek samping yang lumayan berat. Tumbuh bercak kehitaman di sekujur tubuhnya, kandidiasis (sejenis jamur) pada lidahnya dan permukaan bibirnya pecah-pecah. Tini bahkan tak bisa menyantap makan. Tini berpikir ulang. Ia akhirnya memutuskan kembali pada jenis obat lamanya, Evafirenz.

Tak cuma Tini yang mengalami masalah itu. Pokja Care Support and Treatment Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Tuti Parwati Merati, mengaku sering menemukan kasus serupa. Dokter penemu kasus HIV pertama di Indonesia pada 1987 itu mengakui, ada beberapa jenis obat ARV yang berefek pada keringnya kandungan. Hal itu disebabkan karena ada reaksi yang menyebabkan respon hormon menjadi lambat. Jenis Evafirenz misalnya, tidak boleh dikonsumsi oleh Odha perempuan yang ingin memiliki anak. Pada perempuan, obat jenis ini membuat hormon tidak normal sehingga pematangan sel telur tidak terjadi. Ini membuat pengkonsumsinya sulit hamil.

Permasalahan Odha perempuan, menurut Tuti, sangat kompleks. Tak cuma menyangkut masalah medis, tetapi juga sosial dan psikologis. Sebuah kasus sempat membuat Tuti miris. Seorang Odha perempuan, sebut saja Wayan Parni, awalnya sudah dengan tegas menyatakan bahwa ia tak ingin lagi memiliki anak. Ketegasan itu membuat Tuti yakin untuk memberikan obat jenis evafirenz kepada pasiennya yang sudah cukup berumur itu. Namun setelah lama berselang, Parni tiba-tiba datang meminta obatnya diganti dengan jenis lain. Alasannya, suaminya ingin punya anak lagi. Pertimbangan efek samping yang terlalu keras, membuat Tuti enggan memenuhi keinginan pasiennya itu. “Saya bilang, pikir dulu. Efek sampingnya nggak ringan,” kenang Tuti. Karena terus mendesak, Parni akhirnya diperbolehkan mengganti obatnya. Benar saja, tak lama setelah menggenti obatnya, Parni lantas mengalami efek samping luar biasa yang membuatnya tergolek berhari-hari di rumah sakit. “Dia cuma bilang, saya harus bagaimana lagi. Suami saya ingin punya anak lagi,” jelas Tuti.

Direktur Klinik Kesehatan Reproduksi Yayasan Rama Sesana, Luh Putu Upadisari, juga menegaskan besarnya dampak sosial dan psikologis yang membuat Odha perempuan terpuruk dalam proses pengobatannya. Tekanan sosial dan psikologis yang kuat, cenderung menghambat pengobatan dan perawatan Odha perempuan.
Sejumlah perempuan HIV positif juga kerap mengalami berbagai macam masalah saat haid. Mulai dari pendarahan yang berlangsung lebih lama daripada biasa, pendarahan waktu tidak haid, masa haid yang lebih cepat, haid yang lebih ringan dengan lebih lama antara masa haid, haid yang kadang kala tidak terjadi, bahkan haid yang tidak terjadi sama sekali. Ayu misalnya. Perempuan HIV positif yang juga mantan pengguna narkoba suntik itu, mengaku haidnya tidak teratur. Ia juga mengalami sakit perut luar biasa saat haid. Menurutnya, itu terjadi sejak ia tahu dirinya terinfeksi HIV. Marni, sebut saja begitu, juga pernah bermasalah dengan haidnya. Akibat terinfeksi HIV, perempuan asal Buleleng yang terinfeksi HIV dari suaminya, sempat tidak haid berbulan-bulan. Namun sejak mengikuti terapi ARV, Marni tak lagi mengalami masalah haid. “Sekarang lancar-lancar aja. Rutin tiap bulan,” ujar ibu satu anak itu.

Dokter Sari, sapaan akrab Upadisari, menjelaskan permasalahan haid pada Odha pada dasarnya disebabkan oleh sistem hormon yang tidak normal. Bisa karena efek obat ARV, gangguan trombosit, ditambah lagi dengan sistem kekebalan tubuh yang menurun. Pada perempuan HIV positif yang mengalami gangguan trombosit (pembekuan darah), perdarahan saat haid dapat menjadi jauh lebih banyak. Gangguan trombosit juga bisa terjadi karena efek samping terapi ARV. Kalau sudah begini, anemia atau kekurangan hemoglobin (Hb) bisa terjadi. Anemia menyebabkan kelelahan, sesak napas dan pusing. “Secara alami, Odha sudah mengalami penurunan kekebalan tubuh. Jadi jumlah leukosit di dalam tubuhnya sudah rendah. Itu akan menambah keterpurukan daya tahan tubuhnya. Dia akan menjadi lemah, menjadi gampang terinfeksi, gampang kena penyakit lain,” terang sari.

Beberapa perempuan HIV positif juga tidak menstruasi dalam jangka waktu lama. Ini terjadi karena secara umum pada perempuan HIV positif, respon hormonnya cenderungb lambat. Bisa karena efek ARV, bisa juga karena daya tahan tubuh yang berkurang. Pasalnya, menstruasi sangat berhubungan dengan pembentukan hormon estrogen dan progesteron. Perempuan pada tahap AIDS, lebih mungkin mengalami perdarahan yang tidak teratur. Kehilangan berat badan, terutama kehilangan lemak, juga dapat mempengaruhi haid. Penggunaan narkoba dan stress terus menerus, juga dapat menyebabkan haid yang tidak teratur.

Jenis infeksi oportunistik lain, jelas Sari, menghantui kesehatan Odha perempuan. Kanker leher rahim misalnya. HIV memudahkan seorang perempuan HIV positif menderita kanker leher rahim. Ini karena sistem kekebalan tubuhnya yang terganggu. Dijelaskan Sari, dengan infeksi virus HIV, sifat leher rahim menjadi lebih rentan terhadap infeksi menular seksual. Salah satu infeksi yang disinyalir menyebabkan kanker leher rahim adalah ppapiloma virus, atau katrib disebut jengger ayam. Perempuan yang pernah terkena IMS, cenderung lebih mudah terkena kanker leher rahim. Karenanya, penting bagi setiap perempuan, terutama perempuan HIV positif, untuk rutin melakukan papsmear. “Karena perubahan sel yang terjadi di leher rahim bersifat periodik. Jadi kalau kita lengah di saat tertentu, siapa tahu saat itu justru terjadi perubahan sel, infeksi atau yang lain, tegas Sari mengingatkan.

Odha perempuan perokok, memiliki kecenderungan yang sangat tinggi untuk terkena kanker leher rahim. Kandungan nikotin dalam rokok, memudahkan terjadinya perubahan sel secara umum. Rokok juga berhubungan dengan radikal bebas yang beredar di tubuh, yang juga menyebabkan perubahan sel berlebihan.
Akses informasi yang sangat minim, menjadi kendala serius dalam pengobatan dan perawatan perempuan HIV positif. Bahkan, cenderung terjadi persaingan pengobatan yang menghambat pengobatan oleh dokter. Contoh sederhana, pengobatan keputihan yang dianggap cukup dengan daun sirih. Beban sosial yang lebih berat di puindah perempuan Odha, menambah kendala. Di komunitas masyarakat Bali misalnya, masih ada kecenderungan mengutamakan pendidikan laki-laki. Meski kecenderungan itu sudah berkurang, namun menurut Sari, masih ada sebagian masyarakat yang cenderung mengutamakan pendidikan anak laki-lakinya. “Itu yang membuat, secara tidak langsung, perempuan menjadi semakin terpuruk dengan informasinya,” tandasnya.

Permasalahan yang dihadapi perempuan HIV positif, tidak sesimpel kelihatannya. Meski demikian, dukungan orang sekitar akan sangat penting untuk mewujudkan harapan mereka. Seperti Tini, yang masih berharap mendapat anak ketiga dari rahimnya. “Siapa tahu nanti, kalau kita punya rejeki, Tuhan menghendaki, umur kita masih panjang, Aku masih ingin punya anak laki-laki,” begitu Tini. [Komang Erviani, Ikha Widari / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 23,Desember 2006]

Senin, 11 Desember 2006

Menebar Sejuta Informasi

Sejuta Flyer disebar. Sejuta informasi HIV & AIDS ditebar. Sebanyak 25 juta orang diharapkan terpapar informasi.

Perempatan Patung Catur Muka Denpasar, terlihat ramai 5 Desember 2006 lalu. Puluhan anak muda berkaos putih mengacungkan tangan kanan mereka, memberikan sebuah flyer mini dan setangkai mawar merah ke sejumlah pengendara yang lewat. Tangan satunya memegang ratusan flyer dan puluhan tangkai mawar merah lainnya.

Nola, salah satu diantaranya, seperti tak ingin melewatkan satu pengendara pun. Walau beberapa pengendara melaju kendaraannya dengan sangat cepat. “Yah.... nggak nyampe,” keluh waria tersebut setelah sebuah mobil luput mendapatkan flyer karena lajunya yang terlalu cepat. Senyum renyah lantas keluar dari bibir Nola, ketika seorang pengendara sepeda motor sengaja berhenti hanya untuk meminta flyer yang dibawanya. “Silahkan dibaca pak,” begitu Nola mencoba ramah.

“Stop AIDS,” begitu tertulis dalam flyer tersebut. Tak cuma itu, sejumlah informasi soal epidemi HIV & AIDS juga dipaparkan. Disampaikan pula cara-cara sederhana yang bisa dilakukan masyarakat untuk melindungi diri dari penularan HIV. Mulai dari anjuran seks aman, menghindari penggunaan narkoba, hingga memberi perlakukan yang wajar kepaa orang dengan HIV & AIDS.

Tak cuma di perempatan Patung Catur Muka Denpasar, penyebaran flyer juga dilakukan di sejumlah titik keramaian lain, seperti di perempatan Jalan Gajah Mada-Arjuna, serta di Mall Robinson Denpasar. “Hari ini kita sebar 36 ribu buah flyer,” jelas ketua panitia kegiatan, Yusuf Rey Noldy.

Sebar flyer yang dilakukan sejumlah pegiat HIV & AIDS dengan fasilitasi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Denpasar itu, merupakan bagian dari acara Sebar Sejuta Flyer. Kegiatan kampanye sebar satu juta flyer merupakan bagian dari kampanye komunikasi Hari AIDS Sedunia yang di koordinir oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional.”Kegiatan serupa juga dilaksanakan serentak di 22 provinsi di Indonesia, dipimpin Menteri Kesehatan dan dipusatkan di Bundaran Hotel Indonesia,” tegas Noldy.

Dalam menyukseskan kampanye sejuta flyer, Bali melalui Kota Denpasar mendapat jatah 36.000 flyer. Pelaksanaannya sendiri, diserahkan kepada kelompok dukungan sebaya (KDS) bagi orang dengan HIV & AIDS (Odha) dan orang yang hidup dengan Odha (Ohidha), Addict Plus. Sebanyak 5 KDS lainnya juga ikut bergabung, yakni Methadone Plus (dukungan bagi klien methadone), Warcan Plus (dukungan bagi waria), Home Boys (dukungan bagi gay), Hidup (dukungan bagi Odha), dan Tunjung Putih (dukungan bagi Odha perempuan.

Tak cuma menyebar satu juta flyer. Secara nasional, kegiatan juga disemarakkan dengan seri TV dan Radio talk show, roadshow dan movie preview di kampus-kampus, penempatan iklan layanan masyarakat, serta aktivitas media relation.
Ruddy Gobel, Staf Bidang Advokasi dan Komunikasi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional, menjelaskan kampanye sebar satu juta flyer bertujuan untuk penyebaran informasi kepada masyarakat umum dan mengingatkan kembali tentang HIV/AIDS.

Ruddy menyebut, tidak ada arti khusus dari angka satu juta. “Kita sebetulnya berharap lebih banyak dari itu,” jelasnya. Keterbatasan dana, membuat angka satu juta dianggap sudah cukup memadai. Perhitungannya, jika satu flyer dibaca oleh lima orang, dan masing-masing 5 orang tersebut menceritakan isi informasinya kepada 5 orang lainnya, maka secara teori akan ada 25 juta orang yang terekspos pada informasi.

Flyer dipilih sebagai medua komunikasi dan informasi karena murah, kompak, mudah untuk di sebar dan bisa dibaca oleh banyak orang. Kampanye lewat flyer cenderung jauh lebih murah. Dijelaskan, biaya cetak untuk satu juta flyer itu, kurang dari Rp 50 per lembar.”Untuk satu juta flyer, hanya mengeluarkan biaya cetak kurang lebih Rp 50 juta. Tapi, kita mampu menjangkau banyak orang. Bayangkan kalau menggunakan iklan, nilai seperti itu tidak ada artinya,” tegas Ruddy.

Penyebaran flyer yang dilakukan secara serempak di seluruh Indonesia, pada saat yang bersamaan, juga akan menimbulkan awareness (kepedulian) masyarakat. Kegiatan tersebut diharapkan dapat memberikan kesan positif terhadap upaya penanggulangan, dan mendorong semangat orang-orang yang bekerja dalam bidang penanggulangan AIDS di tanah air.

Masih menurut Ruddy, kampanye komunikasi yang paling ideal adalah kampanye yang menggunakan pendekatan integrated marketing communications. Pendekatannya berupa publikasi, promosi, media relations, advertising dan sejumlah kegiatan sejenis lainnya. “Sayangnya, biaya kampanye akan menjadi sangat mahal, sedangkan upaya penanggulangan selama ini masih kekurangan dana,” tukas Ruddy.

Keterbatasan sumber daya dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV & AIDS, memaksa semua pihak untuk mencari cara yang paling optimal, dengan budget yang terbatas, tetapi diharapkan bisa memberikan dorongan untuk melibatkan sebanyak mungkin masyarakat. “Sebar satu juta flyer ini salah satunya,” tegas Ruddy.

Menurut Ruddy, ada sejumlah cara kampanye lain yang paling efektif, mengutip pengalaman di India dan Kamboja. Yakni dengan membuat program-program TV atau radio populer dengan pesan yang soft mengenai HIV/AIDS. Di India, stigma dan diskriminasi, bisa ditekan sedangkan di Kamboja epidemi bisa dikendalikan. Tetapi kendalanya adalah biayanya mahal, membutuhkan pembangunan kapasitas, serta diperlukan dukungan politik dan keterbukaan dari berbagai stakeholder kunci. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 23,Desember 2006]

Minggu, 10 Desember 2006

HIV Pada Kaum Hawa

Sejumlah perempuan “baik-baik” kini hidup dengan HIV positif. Mereka tertular dari suami mereka. HIV tak cuma urusan orang-orang dengan perilaku berisiko tinggi. Perempuan 2,5 kali lebih rentan tertular HIV dibandingkan laki-laki


Saat kehamilannya menginjak bulan ke sembilan, sepuluh tahun lalu, Ni Luh (bukan nama sebenarnya) dikejutkan oleh kabar tak mengenakkan. Perempuan kelahiran 1974 itu divonis mengidap virus HIV (Human Immunodeficiency Virus), virus penyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Ni Luh sempat menyangkal.”Saya pikir, itu kan penyakitnya waria, pekerja seks. Nggak mungkin,” kenangnya.

Pikiran perempuan yang menikah di usia 19 tahun itu makin kalut, ketika dokter menyebut suaminya seorang biseksual. Dokter menyebut, suami yang dinikahi melalui proses perjodohan orang tua itu adalah lelaki dengan orientasi atau ketertarikan seks dengan sesama lelaki tetapi bisa juga dengan perempuan. Suaminya yang ketika itu tergolek lemah di salah satu ruang rawat inap Rumah Sakit Sanglah, ternyata telah terinfeksi HIV dan memasuki fase AIDS, fase di mana infeksi HIV mulai menimbulkan gejala-gejala penyakit karena menurunnya sistem kekebalan tubuh.

Ni Luh ingat, ada perlakuan ganjil terhadapnya sejak usia kandungannya lima bulan. Ia sempat diajak tes darah. Alasan dokter, tes darah untuk menjaga kondisi bayi dalam kandunganya. Tak cuma itu. Ia juga dianjurkan minum obat secara teratur. Dokter beralasan kalau obat tersebut obat mahal dan penting untuk menjaga kondisi bayi dalam kandungan. “Aku hanya ingat obat itu warnanya putih dan biru, dan aku disuruh minum. Tapi aku tidak tahu kalau obat itu adalah ARV, “ujarnya. ARV (antiretroviral) merupakan obat untuk menekan perkembangan virus HIV dalam darah. Ternyata, suami Ni Luh sudah mengetahui dirinya terinfeksi HIV jauh hari sebelumnya. Terapi ARV secara sembunyi-sembunyi itu dilakukan untuk mencegah penularan HIV ke tubuh si kecil nantinya.

Ni Luh amat terpukul ketika itu. Pikirannya kacau. Ia khawatir kalau kalau media massa memberitakan soal dirinya. Sempat tersusun strategi “melarikan diri” dari Bali setelah melahirkan nanti. Namun Ni Luh berusaha cuek. Hanya satu hal yang ingin dipikirkannya saat itu, yakni bagaimana agar proses persalinan berjalan lancar.
Agustus 1996, Ni Luh melahirkan bayi laki-laki dengan selamat. Meskipun rencana awal tim dokter yang menangani Ni Luh untuk melakukan operasi caesar, namun si jabang bayi ternyata tak sabaran untuk keluar dari perut sang ibu. Ni Luh melahirkan secara normal.

Dua minggu setelah melahirkan, suami Ni Luh meninggal dunia. Rupanya, kehadiran si kecil memperkuat semangat hidup NI Luh. Beberapa teman yang memberi dukungan, menambah semangat itu. Strategi ke luar Bali, urung dilaksanakan. Justru, Ni Luh mendapat kesempatan untuk aktif di yayasan penanggulangan AIDS. Ia kini menjadi aktivis dalam program-program penanggulangan HIV & AIDS.
Ni Luh bukan satu-satunya perempuan “baik-baik” yang terinfeksi HIV dari suaminya. Ketut Surya, sebut saja begitu, juga kaget luar biasa sekitar enam tahun lalu. Ketika itu, ia tengah mengandung 5 bulan. “Dokter bilang saya kena HIV. Waktu itu saya nggak tahu apa itu HIV,” terang perempuan asal Buleleng itu. Kabar itu diterima setelah suaminya tergolek di rumah sakit berbulan-bulan. “Suami ternyata kena AIDS. Makanya saya kena,” terang perempuan yang diduga terinfeksi dari suaminya yang doyan berganti pasangan di luar rumah.

Ketika itu, Surya mencoba tabah. Surya sadar, ia masih harus merawat suami yang kondisinya terus memburuk. Bahkan setelah suaminya meninggal dunia, ia mencoba kuat. Di benaknya, ia berpikir bahwa masih ada si kecil yang harus dirawat kelak.
Hal yang sama dialami Warni, juga asal Buleleng. Beberapa tahun lalu, Warni tak hanya harus kehilangan suaminya. Ia juga mendapat kabar tak mengenakkan. Tes HIV yang dijalaninya ternyata reaktif. Ia terinfeksi HIV dari suaminya.

Sampai dengan November 2006, kasus perempuan HIV positif yang didampingi oleh Yayasan Bali Plus, kelompok dukungan untuk orang dengan HIV & AIDS (Odha) mencapai 23 orang. Sedangkan data yang tercatat pada klinik VCT (Voulentary Counselling and Testing) Merpati Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wangaya sejak Oktober 2005, dari lima perempuan yang mengikuti tes HIV, tiga orang diantaranya positif HIV. Semuanya terinfeksi dari suaminya yang terlebih dulu dites. Data Dinas Kesehatan Provinsi Bali menyebutkan, hingga Oktober 2006 tercatat 233 perempuan HIV positif dari total 1182 kasus.

Ketua Pokja Care Support and Treatment (CST) Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali, Tuti Parwati menjelaskan, perempuan memiliki kerentanan 2,5 kali lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Itu karena secara fisik, alat kelamin perempuan seperti cangkir. “Bila pasangan seksualnya mengidap HIV, dia seperti penampung cairan yang mengandung HIV. Jadi perempuan memang gampang tertular,” ujar dokter penemu kasus HIV pertama di Indonesia itu.

Direktur Klinik Kesehatan Reproduksi Yayasan Rama Sesana, Luh Putu Upadisari, menegaskan hal senada. Menurut Sari, sebagian besar organ reproduksi wanita terdiri dari mukosa (dinding lapisan dalam yang sangat halus). Sebagian besar organ reproduksi perempuan juga terletak di dalam tubuh, tidak menonjol ke luar. Akibatnya, perempuan yang mengalami gejala IMS (infeksi menular seksual), termasuk HIV/AIDS, cenderung tidak mengeluhkan secara serius. Berbagai gejala tidak normal pada organ kelamin perempuan, cenderung dianggap sesuatu yang wajar.”Beda dengan laki-laki. Organ reproduksi laki-laki ada di luar dan salurannya sempit. Saluran kencing menjadi satu dengan saluran reproduksi. Jadi ketika mengalami infeksi, gejalanya sangat terasa. Karena infeksinya kalau kena air kencing, perih. Itu sangat membantu karena mereka umumnya segera mencari pertolongan,” jelas Sari.

Secara anatomis, kulit organ genetal laki-laki juga cenderung lebih keras. Berbeda dengan lapisan dinding mukosa yang mendominasi permukaan organ kelamin perempuan. “Kalau misal ada perlecetan pada kelamin si laki-laki, akan mempermudah penularan HIV & AIDS. Tapi kalau tidak ada perlecetan, dia cenderung lebih kuat,” tambah Sari yang kini aktif memberi pelayanan kesehatan bagi para pedagang dan pengunjung Pasar Badung sejak 2005 lalu.

Kerentanan perempuan tertular HIV & AIDS, juga disebabkan aspek sosial. Di masyarakat kita, masih ada kecenderungan umum menomorduakan perempuan dibandingkan laki-laki. Sari menjelaskan, ada kecenderungan perempuan dianggap kerjanya hanya di dapur sehingga tidak perlu melakukan pemeriksaan kesehatan. Keputihan misalnya, dianggap sesuatu yang biasa yang cukup diobati dengan jamu sirih. Padahal tidak semua keputihan adalah wajar. “Itu yang menambah serius,” keluh Sari.

Sari juga melihat adanya hambatan dalam aspek informasi. Akses informasi ke perempuan secara umum dikatakan masih minim. Ini dipengaruhi aspek sosial masyarakat yang berkiblat pada konsep patrilineal. Perempuan menjadi semakin terpuruk dengan informasinya.

Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) pada 2005 lalu juga mengeluarkan sejumlah pernyataan tentang rendahnya informasi kesehatan reproduksi dan HIV & AIDS bagi perempuan. Lemahnya posisi tawar perempuan pada saat bernegosiasi pemakaian kondom dengan pasangan, juga menjadi kendala yang dicatat dalam lokakarya IPPI yang diikuti perwakilan 17 provinsi itu.

Ada juga kecenderungan, perempuan HIV positif terinfeksi secara indirect (tidak langsung) dari suaminya. Entah karena suaminya pecandu narkoba suntik, atau karena suka ganti-ganti pasangan di luar rumah. “Perempuan yang secara kebetulan tertular secara indirect itu menjadi tidak ngeh, tidak menyadari kalau dirinya berisiko,” keluh Sari.

Menurut Sari, penting bagi kaum perempuan untuk lebih menyadari pentingnya melakukan pencegahan. Kaum perempuan juga harus menyadari, risiko tidak mesti datang dari dirinya sendiri. “Risiko bisa datang dari pasangannya. Jadi mereka harus sudah mengenali sejauh mana risiko terhadap dirinya melalui pasangannya. Seorang perempuan, diharapkan rajin memeriksakan organ reproduksinya secara rutin,” jelas Sari mengingatkan.

Tuti Parwati juga mengingatkan para perempuan untuk selalu menjaga kesehatan reproduksinya. “Misalnya dengan periksa, mendiskusikannya dengan suaminya,” ungkap Tuti.

Menjadi perempuan HIV positif, tak pernah terbayang di benak Ni Luh, Surya, maupun Warni sebelumnya. Tapi hidup tetap harus berjalan bagi ketiganya. Demi anak-anak dan keluarga baru mereka. [Komang Erviani, Ikha Widari / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 23,Desember 2006]

Jumat, 01 Desember 2006

Putu Utami Dewi,Membangun Dukungan ODHA Bali

Rumah berukuran sedang di kawasan Sidakarya, Denpasar, mulai terlihat riuh ketika hari menjelang siang. Ada yang datang berkelompok, ada juga yang sendirian. Ada yang bergaya funky, berambut punk, ada juga yang tampil seadanya. Keceriaan terpancar jelas dari wajah-wajah mereka. Seperti tak ada beban, meski ada infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) di tubuh mereka.

Nyaris setiap hari, kecuali Sabtu dan Minggu, rumah yang disulap menjadi Kantor Yayasan Bali+ (baca: Bali Plus) itu ramai didatangi orang dengan HIV/AIDS (Odha). Ada yang datang untuk berkonsultasi soal pengobatan, ada yang janjian bertemu teman, ada juga yang sekadar iseng. Kadang, ada juga teman atau keluarga para Odha yang datang hanya untuk berkonsultasi perihal kerabat mereka yang terinfeksi HIV.

Sejak berdiri awal 2004 lalu, Yayasan Bali+ memang seperti menjadi setetes air di padang pasir. Kelompok dukungan bagi Odha dan Ohidha (orang yang hidup dengan Odha) tersebut, seperti telah memberi satu harapan bagi mereka yang terinfeksi HIV. Ketika belum ada satu pun kelompok yang memberi dukungan bagi mereka, Bali Plus memberi ruang untuk itu. Tak cuma dukungan psikologis, akses untuk dukungan perawatan dan pengobatan juga dipermudah melalui lembaga ini.

***

Adalah Putu Utami Dewi, 32 tahun, yang menggagas kelompok dukungan bagi mereka yang hingga kini masih sering terstigma oleh masyarakat yang tak paham proses penularan HIV. Bersama empat rekannya, Putu Utami merintis Bali , awal 2003 lalu. Ketika itu, Putu Utami yang masih bekerja di sebuah yayasan penanggulangan AIDS di Bali menemukan banyak sekali Odha yang merasa denial (menolak) hasil tes HIV-nya. Pasalnya, banyak yang merasa tidak melakukan perilaku berisiko. Banyak diantaranya merupakan ibu rumah tangga “baik-baik” yang terinfeksi HIV dari suaminya yang hobi berganti-ganti pasangan atau pengguna narkoba suntik.

“Tujuan mendirikan Bali+ ini untuk mendukung Odha. Karena kita tahu, masalah yang dihadapi Odha sangat kompleks. Minim informasi, masalah diskriminasi juga. Ada konotasi di masyarakat, orang kena HIV itu adalah orang tidak baik-baik. Kalau baik-baik tidak mungkin kena. Ini jadi beban psikologis yang berat bagi mereka,” tegas Utami.

Banyaknya mis persepsi di masyarakat soal penularan HIV, membuat banyak orang ”baik-baik” yang merasa menolak ketika dinyatakan terinfeksi HIV. ”Jadi orang HIV butuh teman sesama mereka,” ujar ibu satu anak ini. Dari pemikiran itulah, Bali+ diharapkan membantu Odha mendapatkan dukungan psikologi. Meyakinkan bahwa dia tidak sendiri. Juga membantu menyampaikan ke pasangannya bahwa hidup dengan orang HIV bukanlah suatu masalah karena HIV tidak mudah menular. HIV hanya menular melalui pertukaran cairan kelamin dan darah.

Bali+ juga berupaya membantu mempermudah akses Odha ke layanan-layanan kesehatan. Pasalnya, tak sedikit tempat layanan kesehatan yang menolak menerima pasien Odha dengan beragam alasan tak masuk akal. ”Di Bali+, kami membukakan pintu, ke mana sih orang-orang yang positif bisa mendapatkan akses layanan. Di mana bisa akses obat. Dokter gigi mana yang bisa menerima pasien HIV. Rumah sakit mana yang bisa menerima pasien HIV? karena selama ini sebagian besar dokter saja masih takut menerima pasien Odha,” terangnya.

Satu hal penting yang selalu diupayakan Bali+, yakni membuka akses informasi ke keluarga Odha. Menurut Putu Utami, penting bagi Odha memberitahukan status HIV-nya kepada keluarga agar keluarga dapat membantu secara psikologis. Untuk itu, tentu saja perlu kesiapan mental dari Odha bersangkutan untuk mulai membuka diri dan statusnya kepada keluarga. ”Dukungan keluarga sebagai orang terdekat, sangat penting,”tegasnya.

Berkembangnya kasus HIV pada kelompok pecandu narkoba suntik, coba ditindaklanjuti dengan bekerjasama dengan yayasan penanggulangan narkoba. Secara terang-terangan, Putu Utami mengaku tak mampu menghandle Odha yang masih memakai drugs aktif. ”Kita hanya membantu dari segi HIV-nya,” jelasnya. Sampai di sini, Putu Utami ternyata masih menemui kendala. Banyak Odha mantan pengguna narkoba suntik yang merasa tidak nyaman berada di Bali+. ”Akhirnya kita rekrut beberapa pengguna narkoba suntik sebagai staf. Ternyata cukup berhasil membuat mereka nyaman,” ujarnya. Para Odha pengguna narkoba suntik mendapat tempat untuk sharing tentang pengobatan dan kontradiksinya dengan adiksi. Obat anti retroviral (ARV), obat penekan perkembangan Virus HIV, akan bereaksi negatif bila mereka make. ”Sekarang itu disadari sehingga beberapa orang yang sudah menjalani pengobatan, enggan untuk make (narkoba) lagi,” terang perempuan Bali itu.

Bercermin dari pengalamannya menangani Odha IDU, perempuan yang juga konselor HIV/AIDS ini juga melakukan upaya serupa terhadap kelompok waria, perempuan, dan kelompok-kelompok lainnya. Yakni, membuat mereka nyaman dengan salah seorang anggota kelompok mereka sebagai daya tarik. Cara ini ternyata efektif, hingga di akhir 2006 ini, sudah ada ratusan Odha memanfaatkan layanan dukungan Bali+.

Namun belakangan, Putu Utami kembali memutar otaknya. Bali+ tidak mungkin selamanya memberi dukungan satu arah bagi Odha, orang per orang. Putu Utami merasa perlu adanya dukungan sesama di antara para Odha. Kelompok dukungan sebaya untuk masing-msing kelompok kemudian di bentuk. Mulai dari kelompok dukungan sebaya bagi sesama Odha waria (Warcan+/ Waria Cantik Plus), sesama Odha perempuan (Kelompok Tunjung Putih), sesama Odha pecandu (Addict+ dan Club Hidup), dan sesama Odha pecandu yang menjalani terapi methadone (Methadone+).

Setelah hampir empat tahun, banyak hal yang dipelajari istri seorang pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM) bidang penanggulangan narkoba ini. Tentang bagaimana merangkul Odha dan menggali kebutuhan mereka, juga memberi dukungan buat mereka. ”Satu pelajaran berharga, sekarang saya tidak lagi membedakan kelompok-kelompok minor seperti gay, waria, atau bahkan pekerja seks. Saya merasa, kita ini manusia, sama. HIV membuka mata saya, bahwa nggak bisa ada kotak-kotak,” tegas Putu Utami.

Meski telah membangunkan sebuah kelompok dukungan bagi Odha di Bali, Putu Utami belum merasa puas. Informasi soal HIV yang terus berkembang, membuatnya merasa belum maksimal. ”Saya ingin ahli dalam bidang pengobatan orang HIV,” ungkapnya. [Komang Erviani]
--------------------------------------------------------------------

Luh Putu Ike: Aku Jadi Banyak Belajar

Luh Putu Ike, 23 tahun, sempat syok ketika tahu suaminya yang seorang pecandu narkoba suntik dinyatakan terinfeksi HIV, tiga tahun silam. Perasaannya semakin kacau ketika dokter juga menyatakan virus yang sama juga ada dalam tubuh ibu satu anak itu. Belum lagi ketika jenazah suaminya yang meninggal karena infeksi oportunistik akibat infeksi HIVnya, tak diurus secara layak. Alasannya, masyarakat takut terinfeksi HIV. Padahal kematian orang HIV, secara otomatis membunuh virus HIV dalam darahnya. ”Aku sempat parno (paranoid). Suamiku meninggal setelah dinyatakan positif HIV. Aku pikir, aku juga akan langsung meninggal,” kenangnya.


Beruntung, Ike mampu keluar dari keterpurukannya setelah mengenal Bali+. “Di sana aku ketemu teman positif lainnya. Setelah mengenal Bali+, aku merasakan manfaat yang besar banget,“ begitu Ike. Tak cuma bisa belajar soal virus yang ada dalam tubuhnya, perempuan yang terinfeksi dari suaminya ini juga belajar banyak soal kehidupan. “Ada teman-teman pengguna narkoba suntik, ada pekerja seks, ada waria. Aku ambil pengalaman mereka,” ujar Ike sumringah.

Tak cuma itu, Ike mengaku jadi tahu info-info baru soal pengobatan, efek samping obat, dan berbagai hal baru lainnya.“Aku sempat punya pasangan positif (HIV,red). Setelah di Bali+ aku baru tahu kalau berhubungan seks tetap harus pakai kondom karena tipe virus kita beda-beda dan bisa memunculkan sub tipe virus jenis baru,“ ujarnya.

Sosok Putu Utami sediri, menurut Ike, merupakan sosok yang mampu memotivasi para Odha perempuan menjadi aktivis HIV/AIDS. Berkat motivasi itu sendiri, Ike kini seringkali mengikuti pertemuan-pertemuan Odha perempuan, bergabung dengan Ikatan Perempuan Positif Indonesia, dikenal orang, bahkan sempat bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Hari AIDS tahun lalu. ”Di hadapan pak Jusuf, aku bisa keluarin unek-unek masalah perempuan odha di daerah,” kenangnya.

”Di Bali, Bali+ saat ini merupakan satu-satunya yayasan yang khusus bergerak di bidang dukungan bagi Odha. Bali+ juga memotivasi komunitas Odha untuk membentuk kelompok-kelompok kecil,” tegasnya. Keberadaan Bali+, menurutnya sangat penting terutama bagi Odha yang masih dalam masa penyangkalan. ”Perlu untuk penguatan mental Odha. Kayak aku sekarang. Aku perempuan positif. Padahal aku merasa nggak pernah berbuat salah (melakukan perilaku berisiko,red). Apalagi, bukan hanya stafnya aja yang beri dukungan. Kita semua saling memberi dukungan,” terang Ike. Ia berharap bakal lebih banyak lagi kelompok dukungan bagi Odha dan Ohidha di Bali. [Komang Erviani]