Google
 

Kamis, 18 Oktober 2007

Children Act As Guardians of Sacred 'Legong' Dance



A dozen beautiful girls danced together in the courtyard of Payogan Agung Temple in Ketewel village, Sukawati, near Ubud in Gianyar in early October.

The dancers were dressed in gold with crown-like headdresses adorned with fresh flowers. Other girls wearing similar costumes sat patiently in a corner of the temple waiting for their turn to perform.

Ni Kadek Dewi Puspayanti and the other girls are members of a legong troupe that was not formed to entertain tourists or dance enthusiasts but to serve in life cycle rites, ceremonies and celebrations. The troupe was rehearsing for the opening and closing ceremonies of the Payogan Agung Temple celebration.

"The legong Ketewel dance is only performed during ceremonies and celebrations at major temples and in villagers' private homes," said Jero Mangku Ketut Widia, a caretaker at Payogan Temple.

Legong Ketewel is said to have been created by I Dewa Agung Anom Karna, a member of the royal family of the Sukawati Kingdom in Gianyar, after a period of mediation in the temple. He said he was inspired by the angels in heaven.

Jero Mangku said it was believed that the dance was created to honor Ratu Dedari or Tu Dari (the Queen of the Angels). The people of Ketewel believe performing the dance keeps them safe by warding off evil spirits, epidemics and disasters.

"I can vividly remember when the Ketewel villagers suffered from a mysterious disease in the late 1940s," the religious leader said.

The villagers' solution was to stage the legong dance.

"I knew of a doctor who had the skills to cure the sick, but we still believed in the healing power of the dance," he said. Legong Ketewel is usually staged every six months according to the Balinese calendar when people observe the Pagerwesi holiday, one of the most important celebrations in Bali in addition to Galungan and Nyepi or the Day of Silence.

Since Legong is a sacred dance, not all girls are eligible to be dancers. Most dancers are pre-teen girls who have not yet started menstruating.

"Once we have our first period, we have to quit the troupe," said Komang Wikantini, 13. Komang was a prominent legong dancer who started her career when she was 8.

Komang and other former legong dancers are currently active in training youngsters and assisting legong dancers back stage. Legong dancers are also prohibited from consuming beef and pork. "According to Hindu beliefs, the cow is a sacred animal and the carriage of Shiva, the destroyer," said Jero Mangku Widia. "Meat symbolizes material things that can take away from the sacredness of the dance itself," he added.

Legong dancers must also refrain from consuming sour or cold food and beverages. "This is important to strengthen their teeth," he said. During a legong performance, a dancer must wear a wooden mask that they hold in place with their teeth. "If their teeth are decaying they cannot hold the mask properly," he said.

Every year, no less than 30 children audition to be legong dancers. Kadek Dewi Puspayanti was one of the 12 dancers selected this year.

"I am very proud to be a legong dancer. This is really an honor for me and my family," Puspayanti said."My parents and grandparents told me I would become a healthy and beautiful girl when I was chosen to be a legong dancer."

During a legong performance, only two dancers are allowed to perform. The rest of the group has to pray before the show and help their friends prepare for the performance.

At the Payong Agung Temple celebration the troupe had been rehearsing for, Puspayanti teamed up with 9-year-old Ni Wayan Bianka Aristania.

Ni Luh Anna, one of the trainers, said the dance allowed children to live up to their potential."They have to be physically strong as well as extremely patient," she said.

Accompanied by gamelan music from the Sekaa Gong Semara Pengulingan Indra Parwati, Puspayanti and Wayan Bianka staged the rare legong Ketewel. The two girls seemed to be in another world. The sweet smell of incense mixed with the fragrance of jasmine and frangipani flowers drifted through the temple courtyard.

According to dance expert I Wayan Dibya from the Denpasar Institute of the Arts, the legong Ketewel dance has contributed to the creation of more contemporary legong dances. "In l811, legong Ketewel was modified into what we called modern legong," he said recently, adding that in the development process, some movements had been added and others eliminated. "Legong is a rich and very elaborate dance that requires a high level of skill. Only a few dancers can fully master legong, so we are facing a shortage of qualified legong dancers," Dibya said. Dancer, choreographer and politician Guruh Sukarnoputra said recently he was concerned by the recent development of the dance form. "The dance is only fit to be perormed before tourists, It has lost its originality," Guruh said.

But both Dibya and Guruh are happy to see the children of Ketewel are still taking an interest in the dance."They are the last guardians of the rare and sacred legong Ketewel dance," Dibya said.[Ni Komang Erviani / The Jakarta Post, October 18, 2007]

Rabu, 10 Oktober 2007

Legong di Tengah Pergeseran



Tari legong punya riwayat nan panjang. Bermula dari Desa Ketewel, legong kemudian berkembang menurut gaya-gaya yang diolah para empu tari di pelbagai desa kawasan Pulau Dewata. Legong topeng diperkirakan menjadi cikal bakal tarian ini. Meski ada pergeseran, tari legong diyakini akan tetap lestari.

Alunan nada bersemangat seperangkat gamelan yang dimainkan Sekaa Semara Pegulingan Gunung Jati menyapa para tamu di Balerung Stage. Di panggung pertunjukkan sempit di Desa Peliatan, Ubud, Bali, itu sesosok penari tiba-tiba muncul dari balik tirai yang membalut sepasang candi bentar.
Gerakannya lincah, tegas, tapi tetap gemulai. Khas gerakan penari legong keraton. Tak lama kemudian, dua penari lainnya muncul dari balik tirai, menggantikan penari pertama di atas panggung. Kostumnya sama. Aksesorisnya pun tak jauh beda.
Keduanya bergerak kompak, bak sesosok penari dengan bayangannya. Tangan-tangan lentik para penari membawa mata penonton untuk terus mengikuti gerakannya. Lirik matanya lincah, membuat penonton enggan berkedip.
Entakan tegas kaki para penari bagai angin puting beliung, membius penonton di ruang pertunjukkan. Konon, gemulai gerakan kedua penari menggambarkan sosok bidadari dari kahyangan. Di tengah tarian, keduanya tiba-tiba berganti peran.
Dua tokoh bidadari kini berganti peran menjadi dua sosok ksatria kera: Subali dan Sugriwa. Dua ksatria kera gagah perkasa ini adalah kakak beradik yang berasa; dari Kerajaan Kiskenda. Mereka berseteru lantaran berebut tugas dari Dewa Indra untuk membunuh raksasa Mahesora.
Alunan gamelan pengiring tiba-tiba mengentak. Gerak gemulai penari, berubah menjadi jauh lebih tegas. Kipas yang ada di tangan keduanya, juga ikut berubah peran menjadi senjata.
Pertempuran Subali dan Sugriwa itu bukanlah ending pertunjukkan ini. Cerita kembali ke plot awal. Para penari kembali memerankan dua sosok bidadari dari khayangan. Beberapa gerak gemulai kembali diperlihatkan, sebelum penari pertama yang digambarkan sebagai sosok pembantu bidadari, menggantikan peran mereka di atas panggung.
Rupanya dalam tari legong, penari pertama yang disebut penari Condong, hanya sebagai pembuka dan penutup tari. Kehadiran tokoh Condong yang menggambarkan sosok pembantu atau abdi dari dua bidadari (tokoh utama), menjadi ciri yang tak dimiliki tari bali lainnya.
Pertunjukkan ditutup kembali dengan gerak lincah, tegas, dan gemulai si tokoh Condong. Penampilan Tari Legong Kuntir malam itu, benar-benar membius para tamu. “It’s wonderful,” seorang tamu asing di kursi tengah nyeletuk.

Versi Asli Gaya Peliatan
Legong memang tak sekadar tarian asal Bali. Tarian ini memberi satu warna tersendiri bagi penikmatnya. Tak mengherankan, banyak sekali paket pertunjukkan tari legong yang ditawarkan dalam industri pariwisata Bali.
Legong tak hanya dipentaskan sanggar pertunjukkan tradisional, melainkan juga igelar oleh kafe hingga hotel berbintang. Tarian ini kerap menjadi pertunjukkan rutin di akhir pekan. Namun pertunjukkan legong di Peliatan Ubud malam itu berbeda dari biasa.
Ada sejumlah cerita legong dalam versi asli gaya Peliatan, yang bisa disaksikan langsung oleh para tamu. Disebut versi asli, karena selama ini banyak pertunjukkan tari legong tak lagi memperhatikan orisinalitasnya. Banyak sekali pengaruh modernisasi, termasuk karena permintaan pasar pariwisata, yang menggeser orisinalitas pertunjukkan legong.
Mulai dari gerakan-gerakan yang nyaris distandardisasi oleh sejumlah sanggar tari yang terus menjamur di Bali, hingga lama waktu pertunjukkan yang bisa ditawar untuk menyesuaikan bujet si penyelenggara acara. Toh, para turis asing tak tahu kalau legong yang ditontonnya bukan versi asli.
Begitulah umumnya prinsip banyak pemilik hotel atau kafe yang menyediakan paket tari legong di tempatnya. Maka, tak mudah mendapatkan tari legong yang benar-benar asli.
Pertunjukkan legong di Peliatan malam itu disesaki pengunjung. Pertunjukkan yang digelar selama empat hari berturut-turut itu, benar-benar memanjakan penikmat seni pertunjukkan bali. Apalagi, penari yang tampil merupakan penari tua yang menyerap ilmu tari dari maestro legong, mendiang Anak Agung Gde Mandera dan Gusti Made Sengog—juga sudah meninggal.
Dua tokoh itu adalah mahaguru tari Bali yang mengembangkan tari legong gaya Peliatan. “Pertunjukan ini kami gelar untuk mengembalikan kenangan kepada masyarakat, disertai harapan agar legong gaya Peliatan tetap dicintai dan dipelihara sebagai salah satu bentuk dalam khasanah seni pertunjukan Bali, “ ujar Anak Agung Gde Oka Dalem, penyelenggara acara.
Legong gaya peliatan merupakan istilah yang digunakan untuk membedakanya dari legong dengan gaya khas daerah lain. Pasalnya, banyak daerah di Bali yang memiliki legong dengan ciri khas masing-masing.

Riwayat Tari Legong Topeng
Perjalanan legong sebagai seni pertunjukkan, ternyata cukup panjang hingga membentuk gaya-gaya daerah seperti sekarang ini. Meski tak ada sumber pasti, sejumlah pengamat tari meyakini bahwa tari legong berasal dari Desa Ketewel, sebuah desa kecil di Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali.
Menurut I Wayan Dibia, pengamat seni tari dari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, tari legong yang kini berkembang menjadi legong keraton, bermula dari sebuah tari ritual sakral di Pura Payogan Agung, sebuah pura di Desa Ketewel. Bentuk tari legong asal Desa Ketewel pun jauh berbeda dengan legong yang ada sekarang.
Tari legong asal Ketewel itu biasa disebut tari legong topeng, karena penarinya wajib menggunakan topeng yang disangga dengan gigi. Berbeda dengan tari legong keraton yang kini dikenal gemulai, energik, tapi mengentak, gerakan tari legong topeng jauh dari kesan mengentak.
Gerakan para penari legong topeng terkesan sangat gemulai, kalem, tanpa satupun gerakan cepat. Semua berirama teratur. “Karena lakonnya bidadari, ya menggambarkan gerakan bidadari di kahyangan,” terang Mangku Widia.
Mangku Widia menambahkan, kemunculan legong topeng bermula dari seorang Ksatria di Puri Sukawati bernama I Dewa Agung Anom Karna. Ia mendapat wangsit ketika bersemadi di Pura Payogan Agung Ketewel. Sang ksatria kabarnya mendapat perintah dari Hyang Pasupati, untuk menciptakan sebuah tarian dengan karakter topeng yang telah ada.
Memang, jauh sebelum Dewa Agung Anom Karna bersemadi, sejumlah topeng bidadari telah tersimpan di Pura Payogan Agung. Topeng yang berusia ratusan tahun itu diduga buatan Ki Lampor dari Kerajaan Daha, Kediri, Jawa Timur. Lontar Raja Purana yang ditemukan di Pura Payogan Agung mengungkapkan, topeng-topeng itu dipersembahkan oleh Raja Kediri dalam tari wali di Gunung Semeru. Paska persembahan, barulah topeng-topeng itu dibawa ke Bali dan diletakkan di Pura Payogan Agung. Tak jelas, kapan topeng-topeng itu sampai di Bali. Namun diperkirakan sejak ratusan tahun lalu. Atas wangsit itu, dengan bantuan masyarakatnya, Dewa Agung Anom Karna pun mencipatakan Tari Ratu Dari.
Tari yang digubah lengkap dengan tabuh semara pegulingan sebagai pengiringnya ini, diperkirakan sudah ada pada tahun 1811. Tari inilah yang dalam perjalanannya disebut sebagai legong topeng. Nama ”legong” diduga berasal dari akar kata bahasa Bali leg yang berarti gerak yang luwes dan elastis serta gong yang berarti gamelan.
Maka, legong disimpulkan sebagai tarian yang luwes dan diiringi dengan seperangkat gamelan.

Berkembang di Seantero Bali
Bermula dari legong topeng yang dikembangkan Anak Agung Rai Perit di Puri Paang, Sukawati, Gianyar, sejumlah pakar tari seantero Bali mulai belajar tentang seluk beluk Legong. Selanjutnya, para murid Anak Agung Rai Perit itu mengembangkan legong di daerahnya masing-masing.
Tak ada satu pun sumber yang bisa memberi kepastian, kapan legong berkembang di setiap daerah. Hal ini terkait minimnya dokumentasi yang ada tentang seni pertunjukan Bali. Menurut Wayan Dibia, seni pertunjukkan di Bali adalah bagian dari tradisi lisan yang tidak didokumentasikan secara permanen.
Selama ini, tidak ada cukup bukti yang menunjukkan dari mana dan ke mana bergeraknya Legong. “Tapi yang sudah kita kumpulkan selama ini, yakni penyebarannya dari Sukawati, lalu ke tempat lain di Gianyar. Belakangan, baru berkembang di Badung dan Denpasar,“ Wayan Dibia menerangkan.
Yang pasti, legong telah berkembang ke sejumlah daerah di Bali, disesuaikan dengan gaya khas masing-masing daerah. Berdasarkan catatan yang dibuat Proyek Pengembangan Sarana Wisata Budaya Bali pada tahun 1974, Legong berkembang di enam kabupaten di Bali. Masing-masing 20 daerah di Kabupaten Badung termasuk Denpasar, 13 daerah di Kabupaten Gianyar, tiga daerah di Kabupaten Tabanan, dua daerah di Kabupaten Buleleng, dua daerah di Kabupaten Negara, dan dua daerah di Kabupaten Karangasem.
Pengembangan Legong dengan kekhasan gaya daerah masing-masing, sangat dipengaruhi tokoh yang membawanya. Seperti yang dilakukan I Gusti Lanang Gde Sudana Jelantik dan Anak Agung Raka Saba yang membangun legong gaya Desa Saba Blahbatuh Gianyar. Wayan Lotring membangun legong gaya Kuta. Selain itu, Anak Agung Gde Mandera (1905 – 1986) dan Gusti Made Sengog (1890-1972) membangun Legong gaya Peliatan, Ubud.
Wayan Dibia menuturkan, peran tokoh-tokohnya itu karena mereka ingin memasukkan rasanya sendiri, mempengaruhi gaya masing-masing daerah. Walaupun dari sumber yang sama, setelah di bawa ke daerah, legong menjadi tontonan yang berbeda. Legong yang sumbernya sukawati, jadi berbeda-beda karena tokoh Saba ingin membuat yang lain. ”Jadi itu seolah sudah terbawa oleh ekspresi artistik ketika itu tentu ingin mengarah pada keberagaman,” katanya lagi.

Ragam Cerita dan Legong Keraton
Dalam perkembangannya itu pula, legong mulai bercerita. Tak sekadar liak liuk bidadari seperti tari asalnya. Cerita pertama yang dikembangkan adalah tentang kisah hidup Prabu Lasem dan Putri Rangkesari dari Kerajaan Daha sekitar abad ke-12. Lalu, cerita legong berkembang hingga beragam cerita.
Beberapa cerita yang ada, antara lain Legong Kuntir. Di sini diungkap pertarungan antara dua kera bersaudara Subali dan Sugriwa memperebutkan Dewi Tara dalam kisah Ramayana. Ada juga Legong Jobog yang bertutur tentang perjalanan putra Rsi Gautama, yang awalnya manusia lalu menjadi kera.
Banyak lagi cerita lain, seperti Legong Legod Bawa (kisah Lingga Manik), Legong Kuntul (kisah dua ekor burung bangau), Legong Pelayon, Legong Bapang, Legong Smarandana,Legong Sudarsana, dan Legong Prabangsa. Tari legong kemudian disebut legong keraton, karena banyak dipertunjukkan di istana. Tidak terkecuali di Istana Kepresidenan Tampak Siring, Bali.
Karena pengaruh ini pula, legong kemudian tak hanya bercerita, melainkan juga menambah satu tokoh di luar penari utama. Tokoh baru itu diberi nama Condong.
Tokoh berjuluk Condong ini tampil sebagai pembuka dan penutup tarian yang menggambarkan seorang abdi yang berwatak lembut, serius, dan formal. Belakangan, dengan terciptanya tabuh Gong Kebyar di Wilayah Buleleng, legong pun tak lagi hanya setia pada tabuh Semara Pegulingan. Beberapa legong juga kerap diiringi tabuh Gong Kebyar.
Tari legong mulai diperkenalkan kepada turis pada sekitar tahun 1927. Bali Hotel, hotel tertua di Bali, diperkirakan menjadi tempat pentas pertama tari legong di hadapan turis. Meski, di luar itu, sudah banyak turis yang datang secara sendiri-sendiri ke tempat pertunjukkan legong.
Legong makin dikenal pada tahun 1931, sejak tarian ini diperkenalkan ke dunia internasional. Ketika itu, legong Peliatan tampil dalam misi kesenian ke Paris, Perancis. Misi yang sama juga membawa legong ke Amerika Serikat pada tahun 1952.

Maknanya Makin Bergeser
Sayangnya, tak banyak daerah yang mampu mempertahankan kekhasan tari legongnya. Selain legong Peliatan yang tengah diperkenalkan kembali Legongnya, legong Saba kini juga kembali berusaha menunjukkan eksistensinya. Adalah I Gusti Ngurah Agung Serama Semadi, putra Anak Agung Raka Saba, yang berusaha memperkenalkan kembali legong gaya Saba.
Setiap Sabtu dan Minggu sore, Agung Aji Rai, begitu Semadi kerap disapa, selalu mengajari puluhan anak-anak Desa Saba tarian khasnya itu. Hal yang sama coba dilakukan I Wayan Kelo, cucu I Wayan Lotring yang kini berupaya memperkenalkan kembali legong gaya Kuta.
Namun, bagi Agung Aji Rai maupun Wayan Kelo, tak mudah mempertahankan legong gaya daerah yang diwariskan. Pasalnya, ruang yang ada untuk mereka berekspresi tak cukup banyak. Sebaliknya, permintaan pasar dan keterbatasan budget anggaran menjadi kendala. Contoh sederhananya, kini banyak penyelenggara pertunjukkan seperti hotel dan kafe mengajukan permintaan tari legong berdasarkan pasar dan anggaran tadi.
Tak mengherankan bila kini banyak tari legong yang tampil hanya 10 menit, dari yang seharusnya sekitar 20 sampai 30 menit. Ironisnya, menjamurnya sanggar-sanggar tari di Bali membuat perlakuan tidak layak terhadap kesenian Bali itu tak lagi dihiraukan. ”Daripada enggak pentas. Ya, terpaksa kami terima,” aku Agung Rai Aji. Meski demikian, Agung Rai Aji tetap optimis legong Saba tidak akan pernah punah selama ia intens mewariskannya kepada anak-anak di Saba.
Beda Agung Rai Aji, beda pula yang dilakukan Wayan Kelo. Wayan Kelo justru tegas menolak permintaan pentas tari legong di luar pakem legong gaya Kuta. ”Saya lihat, ini merupakan bentuk penghargaan yang rendah terhadap seniman Bali. Kalau kami terima, nanti legong kami yang asli bisa punah,” katanya.

Debat Ihwal Legong Turis
Pergeseran makna tari legong juga mendapat perhatian Guruh Soekarnoputra, putra proklamator Soekarno, yang juga seniman tari. Guruh yang banyak belajar tari legong di Peliatan Ubud, mengaku kecewa melihat banyaknya tari legong yang seolah sudah distandardisasi melalui lembaga pendidikan, seperti ISI Denpasar.
”Sekarang terkesan lebih banyak legong turis,” kata Guruh, yang sempat menjadi murid Anak Agung Gde Mandera, tokoh legong Peliatan. Tudingan Guruh rupanya balik mengundang komentar Dekan Seni Pertunjukan, ISI Denpasar, Ketut Sariada. Ia membantah tegas adanya standardisasi tari legong di dalam isntitusinya yang menyebabkan orisinalitas legong mulai bergeser. ”Kami jelas memiliki program pelestarian. Mahasiswa bahkan kami minta terjun langsung ke daerah-daerah lumbung seni Legong,” terang Sariada.
Wayan Dibia menegaskan, tak ada seorang pun yang bisa disalahkan atas pergeseran yang ada. Menurut dia, kita tidak bisa melihat tari Bali sebagai suatu yang standar. Setiap generasi mempunyai kontribusi untuk memperbarui kesenian tersebut.
”Itu konsekuensi tradisi seni pertunjukan yang berkembang dalam sebuah tradisi lisan. Proses pewarisannya itu secara turun temurun. Dan dalam proses itu, selalu terjadi adjustment, perubahan-perubahan. Tapi, secara umum, secara visual, ada bentuk yang dipertahankan,” tegas Dibia.
Dibia menambahkan, ekspresi seni tari Bali sangat erat kaitannya dengan konsep continue and changing. ”Ada hal-hal yang dipertahankan, yang jadi prioritas. Selain itu, ada hal-hal yang selalu diubah. Itu sudah biasa,” tegasnya.
Hal itu jelas terlihat dari banyaknya kreasi tari legong yang belakangan berkembang. Tapi Dibia membantah kondisi itu dapat menyebabkan seni legong yang benar-benar asli, punah. ”Saya yakin, itu tidak akan terjadi,” tutur Dibia optimistis.
Apalagi, tari legong memiliki kekhasan tersendiri yang membuatnya kuat. Legong menggunakan perbendaharaan tari yang agak klasik. Kekhasan lain, perwatakan suatu karakter dalam legong tidak ditentukan oleh perubahan kostum. Hanya perubahan gerak yang menunjukkan perubahan karakter.
Contohnya tokoh Condong, yang mulanya abdi, kemudian berubah menjadi musuh. ”Kalau orang hanya melihat begitu saja, bingung. Lho, tadi dia jadi begini, sekarang kok beda. Legong itu tidak membedakan karakter dan watak suatu tokoh dengan perbedaan kostum,” Dibia menegaskan.
Bahkan belakangan ini, menurut Dibia, banyak tari Bali kreasi baru yang muncul menggunakan konsep pelegongan. Banyak pula upaya mencipta legong kreasi, yang terbukti tak mengusik kekuatan tari legong asli. Legong kreasi tidak pula mengurangi kecintaan masyarakat pada tari legong asli. [Komang Erviani/ dimuat di Majalah GATRA No 47/XIII beredar 4-10 Okt 2007]

Berangkat dari Tari Ritual



Ni Wayan Wiwin Oktarini dan teman-temannya terlihat sibuk. Gadis sembilan tahun itu menghias gelungan, sejenis mahkota berwarna keemasan. Satu per satu bunga kamboja dipasangkan. Dan, gelungan yang bakal dipakai untuk menari telah siap dikenakan.
Wiwin dan teman-temannya bergegas menuju salah satu bale di Pura Payogan Agung. ”Tadi minum es ya?” tanya Luh Ana, 17 tahun, kakak pendamping mereka yang juga mantan penari legong topeng. Wiwin mengangguk sambil tersenyum.
Rupanya, hari itu Wiwin sempat minum es gara-gara lupa kalau kelompok legong topengnya akan medal. Medal adalah istilah bahasa Bali yang biasa digunakan bila legong topeng Pura Payogan Agung akan mentas di luar pura.
Di dalam Pura Payogan Agung sendiri, tari legong topeng hanya dipertunjukkan enam bulan sekali. Yakni pada upacara piodalan, perayaan rutin yang jatuh pada hari Buda Kliwon Pagerwesi sesuai dengan penanggalan Bali. Di luar itu, legong topeng Ketewel kerap dipertunjukkan di setiap upacara piodalan di pura keluarga di rumah-rumah warga.
Gara-gara minum es, Wiwin tak diperbolehkan ikut menari sore itu. ”Kalau minum es, nanti giginya enggak kuat. Jadi, enggak bisa ikut nari,” Ana menjelaskan. Sebab kekuatan gigi sangatlah penting bagi para penari legong topeng.
Maklum, sesuai namanya, para penari wajib mengenakan topeng selama membawakan tarian ini. Uniknya, topeng yang digunakan tidak diikatkan pada kepala, tetapi menggunakan janggem yang hanya bisa disangga oleh gigi penarinya. ”Kalau giginya nggak kuat, takut topengnya jatuh,” kata Ana lagi.
Persyaratan menjadi penari legong topeng, memang tak sesederhana tarian lain. Selain wajib menjaga kekuatan gigi, penari legong topeng juga dilarang keras makan daging sapi dan babi. Satu syarat terpenting, penari legong topeng belum akil balig, atau belum mengalami menstruasi.
”Ini wajib untuk menjaga kesakralan tarian,” ujar Jero Mangku Ketut Widia, 64 tahun, pemangku atau pendeta hindu di Pura Payogan Agung. Karena persyaratan yang ketat itu, maka kini hanya ada 12 orang generasi penerus tari Legong Topeng. Wiwin adalah salah satunya.
Sayang, Wiwin tak bisa tampil sore itu gara-gara lupa dengan pantangannya. Sejumlah temannya yang lain lantas mengajukan diri. Semua bersemangat. ”Soalnya bangga kalau bisa nari,” jawab Ni Kadek Dwi Puspayanti, 10 tahun, ketika ditanya motivasinya menari legong topeng.
Puspayanti dan temannya, Ni Wayan Bianka Aristania yang berusia sembilan tahun, boleh bangga hari itu. Mereka terpilih untuk menarikan legong topeng di tiga rumah warga. Meski tak terpilih, yang lainnya tak kalah gembira. Meski gagal tampil, mereka tetap bersemangat membantu Puspayanti dan Bianka berpakaian.
Kain prada yang sudah lumayan kusam dipasangkan di pinggang, menyusul sebuah baju putih berlengan panjang yang sudah cukup usang. Lalu sabuk prada yang panjangnya bermeter-meter, dililitkan melingkar dari pinggang sampai dada. Ampok-ampok (hiasan pada pinggang), lamak (hiasan depan,), hingga tutup dada (hiasan depan), dipasang menyusul. Semua berkilau keemasan, dengan perpaduan warna-warni khas pakaian tari bali. Bedanya, tak ada setitikpun bedak atau make up yang dioleskan ke wajah penari. Ini untuk menunjukkan kepolosan mereka.
Sementara penari bersiap, Luh Ana dan mantan penari legong lain yang menjadi pendamping, menghaturkan canang ke seluruh sudut pura. Di depan pintu gedong, salah satu bangunan di dalam pura, Ana menghaturkan doa-doa. Di dalam gedong itulah, tersimpan enam buah topeng yang akan digunakan dalam tari legong. Selain topeng itu, ada tiga buah topeng lain yang hanya digunakan dalam tari topeng lanang, tari topeng yang dibawakan oleh laki-laki.
Ketika waktu menunjukkan pukul lima sore, Ana memberi aba-aba agar semua bersiap. Gelungan yang tadi dihias, dipasangkan pada kepala Puspayanti dan Bianka. Keduanya lantas diperciki air suci atau tirta, yang dipercaya dapat membersihkan diri penari sebelum tampil. Sebatang dupa yang menyala, juga dipasangkan di atas gelungan mereka. Dupa dipercaya menjadi media perantara antara kita, manusia, dengan Tuhan sebagai pencipta, pelindung, sekaligus pelebur kita.
Mereka pun bergegas menuju rumah warga. Kebetulan, rumah warga yang sedang menggelar upacara tak begitu jauh. Jadi, para penari cukup berjalan kaki. Dua anak dengan bendera putih berada di barisan paling depan. Sedangkan satu orang dewasa mengusung kotak berisi enam buah topeng yang akan digunakan nanti, di kepalanya.
Sebuah payung warna kuning setia memayungi kotak topeng yang disakralkan itu. Seperangkat gamelan dibawa oleh anggota Sekaa Gong Duwe Indra Parwati, kelompok gamelan semara pegulingan yang bakal menjadi pengiring tari legong topeng.
Tak lebih dari 10 menit menyusuri jalan berbatu, para penari pun tiba di rumah warga di Banjar Tengah, Desa Ketewel. Ni Wayan Madri, 40 tahun, salah satu penghuni rumah, menyambut hangat. Menurut Madri, ia sengaja mengundang para penari legong topeng yang oleh masyarakat Ketewel lebih karib disebut Tari Tu Dari (Ratu Dedari).
”Ini wajib. Setiap upacara, Tu Dari harus ada. Kalau nggak mampu, boleh juga kita minta tirta (air suci,red) saja di Pura Payogan Agung. Tapi rasanya kurang pas kalau enggak ada Tu Dari,” begitu Madri beralasan.
Menurut Jero Mangku Ketut Widia, pemangku atau pendeta hindu di Pura Payogan Agung, tari legong topeng memiliki makna yang sangat sakral. Legong topeng merupakan pemuput karya atau penyelesai upacara. Jadi, tarian ini biasanya ditampilkan untuk menutup suatu upacara.
Selain itu, legong topeng juga dipercaya sebagai penolak bala. Mangku Widia menyatakan, pada tahun 1940-an sempat terjadi wabah penyakit yang cukup mengkhawatirkan di Desa Ketewel. Untuk mengatasi, legong topeng kemudian dipentaskan secara bergilir di semua banjar adat di desa itu. Walhasil, wabah tersebut segera tertanggulangi. ”Pada waktu itu memang ada dokter yang datang dari kota, tapi kami percaya keberhasilan menangani wabah itu tidak lepas dari pementasan tari legong topeng,” kata Mangku Widia.
Besarnya kekuatan fungsi tari legong topeng, membuat tari ini menjadi penuh makna bagi masyarakat Ketewel. Itu terlihat dari sambutan yang diberikan penghuni rumah yang mengundang mereka. Ketika memasuki rumah, penari legong berserta rombongan langsung disambut senyum para penghuni rumah. Mereka diantar menuju pura keluarga di bagian belakang rumah. Sebelum mereka tampil, sejumlah ritual masih harus dilakukan para penari dan pendampingnya.
Kotak berisi topeng juga diberi mantra-mantra oleh pendeta hindu di pura setempat. Para penari kembali mengucap doa, memohon keselamatan.
Tak lama kemudian, alunan musik dari Sekaa Gong Duwe Indra Parwati mulai mengalun, pertanda tarian bakal segera dimulai. Puspayanti dan Bianka lantas mengunyah beberapa bunga kamboja sebagai simbol membersihkan mulut. Wangi dupa pun dihirup kuat ke dalam mulutnya.
Puspayanti dan Bianka lalu mengenakan topeng pertamanya, Dibantu kakak pendampingnya. Dua topeng pertama yang ditarikan adalah topeng bidadari Sulasih dan Nilotama. Semua topeng yang ditarikan dalam legong topeng, merupakan tokoh bidadari. Selain Sulasih dan Nilotama, ada juga topeng Aminaka, Supraba, Gagarmayang, dan Tunjung Biru, yang ditarikan secara bergantian.
Di balik topeng, Puspayanti dan Bianka bergerak gemulai. Meski pandangan mereka hanya bergantung pada dua lubang yang sangat kecil, keduanya tidak terlihat canggung. Gerakannya serasi.
[Komang Erviani/ dimuat di Majalah GATRA Nomor 47 / XIII,beredar 4-10 Okt 2007]