Google
 

Sabtu, 17 Februari 2007

Pejantan yang Tak Berkembang

Sejak masih kanak-kanak, Andi, sebut saja begitu, memiliki kelainan di bagian kemaluannya. Ukuran penisnya tak kunjung berkembang. Hingga usia 19 tahun, penisnya hanya berukuran panjang 2,5 cm. Andi mengalami mikropenis, keadaan di mana perkembangan penis terhambat. Tidak cuma itu. Kulitnya juga tidak berkembang. Kulitnya mulus, bersih dari pertumbuhan rambut kelamin, kumis, jenggot, atau rambut-rambut lain yang biasa menjadi tanda kedewasaan fisik laki-laki.

Kasus pertumbuhan penis yang terhambat (mikropenis,red), menurut Androlog dan Seksolog, Prof.Dr.dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd,FAACS, bukanlah hal baru. Bahkan kasus mikropenis umumnya terjadi pada anak-anak. Wimpie bahkan mengaku telah menemukan ratusan kasus mikropenis. “Sejak dulu sudah ada,” tegasnya. Meski demikian, Wimpie mengakui jumlah kasus yang ditemukannya cenderung meningkat sejak beberapa tahun terakhir. “Ada dua kemungkinan. Mungkin karena memang jumlah kasusnya lebih banyak. Mungkin juga para orang tua sekarang makin sadar mengobati anaknya,” jelas Wimpie.

Secara medis, Wimpie menyebut mikropenis disebabkan oleh karena hormon-hormon dalam tubuh yang tidak berfungsi bagus. Ketidaknormalan fungsi hormon-hormon itu, pada akhirnya menyebabkan tidak berfungsinya hormon testosteron. Kondisi ini biasa disebutnya sebagai Hypogonadism. “Hormon testosteron yang tidak berfungsi bagus inilah yang membuat perkembangan penis terhambat,” lanjut Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Udayana itu.

Tidak berfungsinya hormon spesifik pada laki-laki itu, diperkirakan karena ada cemaran bahan-bahan yang dapat menghambat fungsi hormon testosteron ke dalam tubuh anak. “Bisa jadi dari makanan, bisa dari menghirup bahan itu, bisa juga yang lain. Apapun. Pokoknya semua bahan yang masuk ke tubuh yang mengganggu hormon testosteron,” ujar Wimpie. Sayang, Wimpie enggan merinci bahan-bahan yang dimaksud. Ia hanya menyebut bahan-bahan tersebut berupa bahan yang memiliki fungsi mirip hormon estrogen (hormon spesifik pada perempuan). “Estrogen itu adalah antinya testosteron. Jadi apapun bahan yang masuk ke tubuh, dalam bentuk apapun, kalau bahan itu berfungsi seperti estrogen, akan menghambat perkembangan penis,” tandasnya.

Pertumbuhan penis yang terhambat akibat kelainan hormon, ditegaskan Wimpie, tidak dipengaruhi faktor orang tua. Menurut Wimpie, testosteron yang menipis pada orang tua saat melakukan hubungan seks, tidak menurunkan kondisi yang sama pada anak yang dihasilkan. “Semua orang dewasa pasti akan menurun fungsi testosteronnya kalau sudah tua. Bukan berarti kalau dia punya anak, terus anaknya begitu (testosteron tidak berfungsi),” tegasnya. Terganggunya fungsi hormon pada anak tidak dipengaruhi orang tua, melainkan pada pola hidup si anak.

Meski demikian, faktor orang tua dapat berpengaruh bila mikropenis yang dialami terjadi akibat kelainan genetik. Secara ilmiah, mikropenis akibat kelainan kromosom ini biasa disebut Klinefelter’s Syndrome. Namun kasus mikropenis akibat genetik yang terganggu, menurut Wimpie, jarang terjadi. Dari ratusan kasus yang ditemukan Wimpie, menurutnya hanya 2 kasus yang terjadi akibat kelainan
genetik.

Mikropenis pada dasarnya dapat disembuhkan melalui terapi hormon. Umumnya, penyembuhan bisa dilakukan dalam dua bulan, dengan kuantitas terapi dua kali seminggu. “Bisa disembuhkan, asal tidak terlambat,” tegas Wimpie. Dikatakan, terapi tidak hanya memfokuskan pada perkembangan penis saja, tetapi juga fertilitas (kesuburan) si pasien. Jadi, perkembangan testisnya juga harus menjadi perhatian. Karenanya, terapi sebaiknya dilakukan sebelum anak menginjak usia remaja. Usia paling idel untuk pengobatan, adalah di bawah 10 tahun. Kalau pasien datang setelah lewat usia remaja, biasanya penis bisa berkembang, tetapi tidak testisnya. “Pasien tertua yang pernah saya terima, umur 21 tahun. Itu sudah lewat sekali. Dengan pengobatan, penisnya masih bisa berkembang. Tapi testisnya nggak bisa,” ujar Wimpie.

Tentu saja, agar pengobatan tidak terlambat, penting bagi para orang tua memperhatikan kelainan yang mungkin terjadi pada kelamin putranya. Wimpie menyebutkan bahwa pada kondisi normal, bayi berusia sampai 6 bulan memiliki penis dengan panjang sekitar 2 cm. “Setelah itu akan terus berkembang. Pada usia 7 tahun, idealnya sudah mencapai panjang 4 cm. Kalau tidak, bisa jadi tidak normal,” tambahnya.

Kasus mikropenis tidak bisa dianggap sebagai kasus biasa yang tidak penting diatasi. Pasalnya, mikropenis dapat mempengaruhi masa depan si anak. Wimpie menyebut, bila anak mikropenis tidak diobati, si anak akan hidup tidak normal. “Bukan hanya punya mikropenis. Kualitas hidupnya nggak akan bagus. Berpengaruh ke keseluruhan hidupnya. Ototnya tidak berkembang, kulitnya tidak berkembang, tulangnya juga tidak normal,” tandas Wimpie. Hormon testosteron tidak hanya berpengaruh pada perkembangan penis, tapi pada seluruh tubuh. “Kalau tidak diobati, dia tidak akan berkembang menjadi pria remaja dewasa normal,” tegas Wimpie. Testosteron yang tidak normal dapat juga dapat berakibat pada disfungsi ereksi, gairah seks yang rendah, infertilitas (ketidaksuburan) dan sejumlah akibat lain. Mikropenis hanyalah salah satu ciri kelainan yang paling mudah dikenali sejak usia anak-anak. “Pada anak-anak, ciri-ciri tidak normalnya testosteron tidak terlalu kelihatan. Dia kan belum punya gairah seks. Yang paling kelihatan, ya mikropenis,” tandas Wimpie. [Komang Erviani]

Senin, 12 Februari 2007

Perjuangan Panjang Melepas Kecanduan

Kecanduan narkoba membuat sejumlah anak muda nyaris kehilangan masa depannya. Mereka berjuang keras untuk bisa lepas.

Rumah seluas dua are di kawasan Denpasar Barat, seperti tak berpenghuni. Cat putih yang menempel di temboknya, sudah tampak kusam. Tak terlihat perabot-perabot rumah tangga seperti biasa. Tak ada meja, kursi, bahkan almari. Hanya sebuah rak kayu yang sudah berumur, berdiri tegap di ruang keluarga. Lantai dari keramiknya basah di sana sini ketika hujan deras mengguyur Kota Denpasar, 18 Desember 2006 lalu. “Banjir semua nih. Maklum, atapnya bocor,” ujar I Gusti Ngurah Wahyunda, 26 tahun, si empunya rumah.

Wahyu, begitu ia biasa disapa, kini menjadi orang yang bertanggung jawab atas rumah milik orang tuanya itu. “Orang tuaku sudah balik ke kampung. Mereka stress ngelihat aku dulu. Katanya, urus diri kamu sendiri,” kenang Wahyu. Tak sendirian, Wahyu juga harus merawat anak laki-laki semata wayangnya yang kini berusia 10 tahun. Setiap pagi, ia harus mengantar anaknya yang kini duduk di kelas empat sekolah dasar (SD) itu ke sekolahnya.

Hidup Wahyu kini memeng jauh lebih teratur dari sebelumnya, ketika ia masih sangat tergantung dengan narkotika, psikotropika, dan obat-obatan berbahaya lainnya (narkoba). Dunia adiksi pernah seperti tak bisa dilepaskannya. Kecanduan itu pula yang menghabiskan semua perabot yang ada di rumah orang tuanya itu.

Wahyu mengenal narkoba ketika duduk di kelas dua SMA. Ketika itu, Wahyu seringkali melihat teman-teman sekolahnya menyuntikkan PT (baca: pete), nama jalanan heroin atau putauw. Selama tiga bulan pertama, Wahyu sama sekali tak tertarik untuk ikut-ikutan. “Soalnya aku takut sama jarum suntik,”cerita Wahyu. Keinginan menggunakan PT mulai muncul setelah ia melihat teman sekelasnya yang berprestasi di sekolah, tiba-tiba menjadi tak karuan. Sakauw (sakit karena putauw) membuat sang teman malas ke sekolah. “Ngelihat itu, aku jadi tertantang. Aku pikir, masa sih barang sekecil ini bisa membuat orang jadi begitu? Paling-paling karena dia lemah. Dari sana, aku coba ah,” kenang Wahyu. Keinginannya untuk mencoba makin kuat, ketika ia tahu kalau tak harus menggunakan jarum suntik untuk pakauw (pake putauw). “Katanya bisa didragon (dihirup dengan hidung,red). Jadi, aku coba aja,” begitu pria berpostur sedang itu.

Baru satu kali pakauw, Wahyu merasa sudah bisa membuktikan kalau PT tak ada apa-apanya. Ia belum merasa kecanduan atas barang yang saat itu masih didapat gratis dari teman-temannya. Sejak itu pula, ia mengenal lebih dekat beberapa jenis narkoba lain. Mulai dari pil koplo, ganja, hingga alkohol. Semuanya digunakan secara bergantian, tergantung situasi. Beberapa bulan setelahnya, Wahyu baru merasa ada yang tak beres. Sekolahnya kacau karena terlalu banyak membolos. Sampai-sampai, ia harus dua kali pindah sekolah untuk bisa lulus.

Selepas SMA, Wahyu memutuskan melanjutkan kuliah ke sebuah institut di Malang, Jawa Timur. Maksudnya, agar ia bisa menghindari narkoba di Bali. Ia memboyong serta istrinya yang dinikahi selepas SMA. Satu semester pertama di kampusnya, Wahyu sukses lepas dari narkoba. Namun setelah itu, pergaulan narkoba kembali ditemukannya. “Ternyata, di sana (Malang,red) justru lebih banyak (pergaulan narkoba,red). Mulai lah make lagi,” terangnya.

Setelah bertahun-tahun make PT, kecanduan fisik baru dirasakan Wahyu di Malang. Itu diperkirakan karena baru selama di Malang, ia mulai rutin make PT. Tak ada lagi perpaduan dengan ganja, koplo, atau yang lainnya. Awalnya, Wahyu tak menyadari sakauw (sakit karena putauw,red) pertamanya. Badannya yang terasa seperti demam dan pusing-pusing, ia pikir hanya sakit biasa. Beberapa obat demam dari warung sempat dicoba. Tapi oleh seorang teman, ia ditawari untuk make PT. Katanya, pakauw merupakan obat paling ampuh. “Temanku bilang, coba aja. Aku jamin, pasti sembuh,” cerita pria asal Kabupaten Badung itu. Benar saja, ia merasa kondisi badannya kembali pulih setelah pakauw. Sejak itu, PT tak pernah bisa lepas dari kesehariannya. Minimal dua kali sehari, ia harus pakauw. “Setiap meriang dikit, langsung hajar pake PT,” terang Wahyu.

Sejak itu pula, ia mulai mengenal pakauw dengan jarum suntik. “Biar lebih irit dan reaksinya lebih cepat,” begitu pria yang kini menjadi aktivis di sebuah yayasan penanggulangan narkoba itu. Untuk memenuhi kebutuhan pakauwnya, Wahyu harus mengeluarkan minimal Rp 50 ribu sehari. Ketika itu, harga satu paket putauw yang hanya sekitar 0,01 gram, masih seharga Rp 25 ribu. “Tapi Rp 25 ribu waktu itu lumayan gede. Harga rokok aja masih Rp 900 sebungkus,” jelas Wahyu sembari menyebut harga putauw ketika ia masih SMA hanya sekitar Rp 12 ribu.

Kecanduan heroin makin lama makin tak mampu dikontrol Wahyu. Dosis yang harus dikonsumsinya makin hari makin tinggi. Ia bahkan bisa menghabiskan Rp 300 ribu sehari hanya untuk serbuk putih itu. Awalnya, Wahyu tak terbeban oleh ongkos Pakauw yang lumayan tinggi. Orang tuanya yang membuka usaha di kawasan wisata Kuta, berhasil dikibuli Wahyu. Ada saja alasan wahyu untuk meminta transferan uang. Mulai dari keperluan istri dan anaknya yang masih bayi ketika itu, biaya kos, bayar SPP, beli buku, sampai urusan skripsi. “Seribu satu alasan deh. Orang tua juga nggak curiga. Rata-rata, aku dikirimin Rp 200 ribu sehari,” cerita Wahyu.

Namun, kecanduan heroin yang menjadi-jadi, tak mampu dikendalikannya. Transferan uang dari orang tuanya, tak cukup memuaskan kebutuhan pakauwnya. Semua perabot di rumah, ludes digadaikan. Komputer, TV, bahkan lemari. Rumah yang dikontrakkan orang tuanya untuk ia dan keluarganya pun, diover kontrak ke orang lain. “Aku akhirnya ngekos,” kenang Wahyu. Bertahun-tahun, belangnya belum ketahuan oleh orang tuanya. Maklum, Wahyu masih bisa mendongkrak indeks prestasinya di kampus. “Karena IP ku masih bagus, ya orang tua nggak curiga,” terangnya.

Belangnya baru terbongkar ketika sang istri merasa tak tahan, dan melapor ke orang tuanya. Sang istri yang yang sudah memutuskan pisah rumah sejak setahun setelah menikah, sebelumnya sering diminta berbohong agar mendapat uang dari orang tuanya. Rupanya, kesabaran sang istri ada batasnya.

Laporan istrinya, membuat orang tua Wahyu geram. Segala cara dicoba untuk menyembuhkan kecanduannya. Sejumlah tempat rehab di Malang dan Jakarta sempat dicoba. Bahkan, Wahyu yang datang dari keluarga berkasta di Bali, pernah dimasukkan ke sebuah pesantren. Tapi, semua upaya rehab itu gagal buat Wahyu. Mungkin karena putus asa, orang tua Wahyu bahkan sempat berencana “membiayai” kecanduan Wahyu, asal Wahyu bisa menamatkan perkuliahannya. “Aku sampe ditanya, kamu perlu berapa untuk make (make putauw,red) biar bisa lulus?” kenang Wahyu.

Baru di tahun 2000, Wahyu memutuskan kembali ke Bali. Ia mencoba sebuah tempat rehab di Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba). Setelah dua minggu menjalani rehab, Wahyu sempat yakin untuk bisa kembali kuliah. Namun angannya gagal lagi. Ia gaul lagi dengan PT. Semua barang-barang di rumah kontrakannya yang sudah ditebus oleh orang tua, dijual.

Setelah empat bulan, ia balik lagi ke Bali. Kali ini, ia merasa ingin benar-benar tobat. Ia memutuskan meninggalkan kuliah jurusan Teknik Planologinya, dan kuliah di Fakultas Sastra Universitas Udayana. Upaya menata kembali hidupnya, setelah orang tuanya sudah putus asa dan memberi kebebasan, mendapat jalan terang. Ia ditawari bekerja di Yakeba, yayasan penanggulangan narkoba, tempatnya menjalani rehab. Waktu itu, hari-harinya kembali berwarna dengan kegiatan penyuluhan anti narkoba.

Relaps, jadi momok yang terus saja menghambat upaya Wahyu untuk menata hidup. Sejumlah rehab di Bali kembali dicobanya. Entah kenapa, sulit bagi wahyu untuk melepas dunia adiksi yang telah membuainya. Karena harga barang yang makin mahal, dosis yang dibutuhkannya makin tinggi, sementara tak ada lagi subsidi dari dari orang tua, semua barang di rumahnya ludes dijual. Setelah semua ludes, jalan kriminal jadi pilihan. Kebutuhan putauwnya ketika itu makin tak terkontrol, mencapai Rp 500 ribu per hari. Maklum, harga PT pun terus saja naik. Per paket, ia harus membeli seharga Rp 60 ribu.

Namun Wahyu mengaku selalu berhati-hati saat pakauw. Ia tak berani menggunakan dalam jumlah banyak sekaligus. “Aku biasanya pake sedikit dulu. Kalau belum terasa, baru aku pake sedikit lagi. Takut OD (over dosis),” ujar Wahyu yang mengaku dua temannya sudah meninggal di depan matanya karena OD. Wahyu sendiri pernah mengalami hal aneh ketika habis pakauw. Ia tak sadarkan diri selama 7 jam. “Temanku bilang, aku OD. Aku dipukul-pukul gak sadar. Tapi aku nggak merasa. Aku cuma seperti baru bangun tidur,” terang Wahyu.

Di tahun 2003, ia tertangkap karena kasus penjambretan. Sembilan bulan Wahyu menjalani hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kerobokan. Di LP, Wahyu tetap tak mampu meninggalkan hobinya. Apalagi, PT lebih mudah didapat di dalam LP, dengan harga yang justru lebih murah. Harga PT di dalam LP ketika itu hanya sekitar Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per paket. “Di dalam (LP) justru banyak BD (bandar). Jadi lebih gampang dapat barang,” jelasnya. Uang dari teman-teman yang membesuk, digunakannya untuk pakauw.

Tepat di tanggal 17 Agustus 2004, ketika ia mendapat remisi bebas, menjadi titik balik kehidupan Wahyu. Setelah bebas, Wahyu langsung diboyong ke kampung oleh orang tuanya. Rasa malu dengan masyarakat sekitar, juga kasihan melihat orang tua, membangun kesadarannya. Ia mulai bangkit, dan bertekad untuk melepaskan hidupnya dari PT. Beberapa bulan, ia berkutat dengan aktivitas barunya di kampung, beternak ayam. Tekadnya makin kuat ketika ia memutuskan bekerja di sebuah tempat persewaaan VCD di Kuta dengan gaji hanya Rp 250 ribu sebulan. “Dari sana aku sadar, sulit sekali cari uang yang halal,” begitu Wahyu.

Kini, Wahyu menjadi Program Manager Yayasan Kesehatan Bali, yayasan penanggulangan narkoba yang pernah menjadi tempatnya menjalani rehab. Wahyu mulai menata hidupnya, dengan melakukan pendampingan kepada para pecandu lainnya yang masih terpuruk dalam jerat narkoba. Tak mudah bagi Wahyu untuk meninggalkan hobinya, di tengah pergaulan dengan para pecandu aktif. Suggest untuk pakauw lagi, diakui masih sering muncul. Terutama bila ia mengingat masa lalu, kegagalannya menjadi orang yang diharapkan orang tua, juga bila melihat kesuksesan adik-adik dan keponakannya tanpa narkoba.

Namun tekad Wahyu sudah bulat. Tanggal 16 Agustus 2004, harus menjadi hari terakhir ia pakauw. ”Kalau saja aku nggak make. Kalau dihitung-hitung, sudah ada Rp 500 juta aku buang cuma buat putauw. Kalau aku tabung, mungkin aku sudah punya macam-macam sekarang,” keluhnya. Apalagi ia punya tanggung jawab merawat anak semata wayangnya. Selain itu, kepercayaan sudah muncul kembali dari orang tuanya. Orang tuanya yang kini menjalani bisnis agro di kampungnya, sudah menawarinya untuk meneruskan bisnis mereka. “Tapi aku sendiri merasa belum mampu mengontrol diri sendiri. Aku masih perlu kontrol dari orang lain. Aku nggak mau terjebak lagi,” tegas Koordinator Ikatan Korban Napza (IKON) Bali, paguyuban para mantan pecandu yang getol mengadvokasi penghapusan stigma terhadap pecandu narkoba.

Senada dengan Wahyu, Dayu Rupini (32 tahun) kini juga punya tekad serupa. Ibu satu anak ini tak mau lagi mengenal narkoba. Pasalnya, narkoba sudah mengubah hidupnya. Tekad Dayu Rupini merantau ke Denpasar dari kampungnya di Bedugul, Tabanan Bali, untuk menuntut ilmu di SMA di Denpasar, justru membawanya ke dalam jebakan narkoba.

Dayu mengenal narkoba dari pacarnya sendiri. “Terus terang, saya tidak ngerti saat itu. Karena ditawarin pacar, saya takut ditinggal sama dia, saya mau,” jelasnya. Apalagi, dari 50 orang teman sekelasnya waktu itu, sekitar 25 persennya pake narkoba. Sebelum mengenal putauw, Dayu terlebih dahulu diperkenalkan dengan rokok, minuman keras, obat penenang (nipam), shabu, dan ekstasi. Setiap hari, diskotik jadi tempat tujuannya. Minum shabu atau menghisap shabu dengan bong, selalu dilakukan sebelum berangkat menikmati house music. Hingga suatu kali, ia ditawari putauw. Kebetulan, saat itu ia tengah kelelahan setelah semalam suntuk ke diskotik. Oleh sang pacar, putauw dikatakan bisa mengembalikan energinya. “Ternyata bener. Saya seger lagi,” tandasnya. Sejak itu, Dayu tak bisa melepaskan diri dengan putauw. “Waktu sekolah, saya nggak pernah ikuti pelajaran. Gimana saya ikut pelajaran? Saya sakauw. Orang-orang belajar di depan, saya stone di belakang. Kepala sekolah sampai bosan lihat saya. Makanya diluluskan saja dengan nilai tidak memuaskan,” ujar Dayu sambil tertawa.

Lepas dari SMA, Dayu berpura-pura ingin melanjutkan kuliah. “Duit untuk kuliah saya pakai beli narkoba. Nggak mikir gimana hari depan saya,” kenangnya.

Awal pakauw, Dayu mengaku hanya dengan dragon (dihirup). Tapi lama kelamaan, kantongnya mulai berat memenuhi kebutuhan putauw yang harganya masih Rp 10 ribu per paket ketika itu. Apalagi, pacarnya juga sudah tidak punya biaya lagi untuk membayari kebutuhan putauwnya. Sementara dalam sehari, ia membutuhkan sedikitnya Rp 500 ribu sampai Rp 700 ribu hanya untuk beli putauw. Pakauw dengan jarum suntik kemudian jadi pilihan, karena lebih irit.

Untuk bisa terus pakauw, segala cara dilakuakan Dayu. Mencuri perhiasan orang tuanya, menjual sepeda motor yang dibelikan untuk kuliah, dan menyebar kebohongan-kebohongan untuk dapat uang. Di tahun 1998, kebobrokan Dayu ketahuan orang tua. Gara-garanya, ia tertangkap tangan membawa 1 gram putauw bersama pacarnya. Keduanya divonis penjara 4 bulan. Orang tuga keduanya pun saling menyalahkan. Sejak itu, Dayu putus dengan pacar yang menjerumuskannya itu. Orang tuanya sangat dikecewakan Dayu. Apalagi, ia sempat diberi kepercayaan untuk menjaga dua adiknya untuk tinggal di Denpasar. Ia dan adik-adiknya bahkan dikontrakkan rumah di Denpasar. “Kedua adik saya sempat juga nyoba make, karena terlalu setring lihat saya make. Untungnya mereka nggak keterusan. Adik saya malah muntah-muntah habis pake. Sekarang, mereka udah jadi orang sukses,” ujar Dayu.

Lepas dari penjara, juga dari pacarnya, Dayu tetap tak bisa lepas dari putauw. Karena tak ada lagi kepercayaan dari orang tua, Dayu harus mengupayakan sendiri biaya untuk membeli putauw. Ia bahkan sempat harus “menjual diri” kepada sejumlah BD (bandar) untuk dapat putauw. “Jadi, setiap malam aku cari duit untuk bisa terus make,” sesal Dayu. Pindah dari satu BD ke BD lain, terus dilakukan Dayu agar bisa terus pakauw. “Bayangkan, saya make dari heroin masih seharga Rp 10 ribu per paket, sampai 150 ribu per paket. Di mana cari duit? Ya kriminal,” tambahnya. Dayu beruntung, ia tidak pernah mengalami OD. Menurutnya, ia cenderung berhati-hati saat make. ”Aku pake sedikit-sedikit. Nggak berani langsung banyak. Kalau pake sampai 1 gram langsung misalnya, bia aja OD,” begitu Dayu yang mengaku tahu hanya dari pengalaman.

Dengan salah seorang BD yang dikencaninya, Dayu bahkan sampai hamil. Beruntung, BD yang sudah beranak istri itu mau bertanggung jawab menikahinya di bawah tangan. Tapi satu syarat yang harus diterima Dayu, ia dicerai setelah anaknya berusi tiga bulan. Beruntung, orang tua Dayu yang petani di desanya, mau mengurus anak laki-lakinya yang kini sudah berusia 7 tahun.

Di tahun 2002, Dayu kembali ditangkap polisi. Kali ini, gara-gara ia ketahuan membawa enam paket putauw. “Kebetulan lagi stone, nyari taksi mau ke pulang Bedugul. Tapi ketahuan polisi, ditangkap,” jelasnya. Namun ia hanya dipenjara 8 bulan. “Saya ditebus orang tua. Memang begitulah, saya masih dimanja orang tua waktu itu. Pecandu seharusnya tidak boleh terlalu dimanja. Pecandu harus dicintai. Bukan dengan dikasi uang, tapi dengan diberi kasih sayang,” terangnya mencoba memberi saran bagi orang tua pecandu lain.

Keluar dari LP Kerobokan, keluarga besar Dayu di kampung sempat menolak kehadirannya. ”Saya nggak diterima. Mereka ngusir saya dari rumah,” jelasnya. Beruntung, orang tua Dayu masih menyayanginya. ”Mereka mendukung saya masuk ke methadone (terapi methadone). Awal ikut terapi methadone, saya tetap make putauw. Tapi lama-lama, saya berhasil juga ninggalin putauw,” terang Dayu senang. Terapi methadone merupakan terapi substitusi heroin yang dikonsumsi dengan diminum. Terapi ini resmi diterapkan di Indonesia untuk mengurangi penggunaan jarum suntik di kalangan pecandu narkoba. Setelah tiga tahun menjalani terapi methadone, Dayu akhirnya berhasil melepaskan diri dari segala macam narkoba. Bersih di methadone setelah 3 tahun.

Setelah bersih, Dayu memutuskan untuk aktif di Yakeba.“Dulu cita-cita saya jadi guru. Setelah jadi pecandu, saya jadi guru dengan mengisi testimoni soal kehidupan saya di sekolah-sekolah di Denpasar dan Gianyar. Sekadar untuk memberi gambaran kepada mereka, aagar jangan sampai terjerat narkoba seperti aya,” ujar Dayu. Ia membayangkan, kalau saja uangnya tidak digunakan untuk membeli putauw, mungkin ia sudah bisa beli rumah dan mobil sendiri. ”Saya habiskan ratusan juta rupiah cuma untuk putauw,” keluhnya.

Dayu yang kini aktif sebagai petugas lapangan program distribusi jarum suntik untuk pecandu narkoba, sebuah program resmi yang dilaksanakan di Bali sejak 2002 lalu, mengaku sedih melihat banyak teman barengnya dulu yang sudah meninggal. Yang jelas, satu prinsip Dayu yang selalu dipegangny kini, ia tak mau lagi mencoba narkoba. ”Rokok merupakan jalan menuju narkoba. Jangan coba-coba,” tegas Dayu mengingatkan para remaja. Apalagi, banyak klien pecandu yang jadi dampingannya sekarang, merupakan anak-anak SMA sepertinya dulu. ”Saya berusaha ajak mereka untuk meninggalkan narkoba. Tapi kalau memang nggak bisa, setidaknya mereka jangan memakai jarum suntik bergantian, karena berisiko tertular HIV,” tegasnya.

Hubungan pertemanan yang salah, memang bisa jadi jalan utama bagi seseorang terjebak narkoba. Galle, 32 tahun, juga mengalaminya. Waktu itu tahun 1998, ketika ia masih duduk di bangku SMP, teman-temannya sudah mengajak menghisap rokok. DI bangku SMA, pergaulannya berkembang ke minuman keras. Ditambah kemudian dengan obat-obatan penenang sejenis Nipam, lantas ganja. Menurut Galle, rasa ingin tahu yang tinggi ditambah banyaknya masalah keluarga yang dihadapinya waktu itu, membuatnya tergiur mencoba. Sejarah candunya pun cukup panjang. Beberapa kali mencoba menjauh, tapi Galle selalu gagal. Ia bahkan mulai mengenal putauw beberapa tahun kemudian. Awalnya, putauw hanya didragon. Namun gara-gara sempat masuk Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kerobokan, karena ketahuan mencuri untuk beli putauw, ia mulai memilih jalan menyuntik. Serbuk putauw dicairkan dengan air, lantas disuntikkan ke tubuhnya. Galle mengaku tak belajar khusus untuk menyuntik. Prinsipnya sederhana, hanya perlu mencari urat untuk disuntikkan. ”Nggak ada yang ngajarin. Cuma lihat teman-teman aja,” begitu bapak 2 anak ini. Make dengan untik, mencurutnya jauh lebih irit. Perbandingannya dengan dragon, mencapai 1 banding 3. Artinya, untuk efek yang sama, didragon memerlukan putauw tiga kali lebih banyak dibandingkan disuntikkan.

Delapan bulan penjara, tak membuat Galle jera. Ia kembali mencari komunitas lamanya di Kuta. Ia dan temannya biasa mencari wisatawan, untuk ditawari narkoba. ”Kita jual ke mereka segala macam. Mulai mushroom sampai kokain. Kalau dapat BR (barang), kita make bersama. Kadang juga dapat cubitannya. Jadi lebih untung,” jelasnya.

Keuntungan yang didapat dari berbisnis, membuat Galle tak pernah kehabisan biaya untuk dapat barang. Meskipun harga heroin pada waktu itu sudah cukup tinggi, mencapai Rp 25 ribu per paket. Tapi, pernah sesekali ia kesulitan mencari barang. Biasanya, itu terjadi bila polisi sedang gencar melakukan operasi. ”Kalau masalah biaya, saya nggak pernah punya masalah,” jelasnya.

Di tahun 1997, Galle terjerat kasus hukum lagi. Bukan soal narkoba, tapi dampak dari narkoba itu. Ia terlibat kasus kekerasan dengan seorang tamunya asal Australia. ”Saya berkelahi dalam kondisi ngggak sadar, habis kena drugs,” jelas Galle yang ketika itu divonis penjara 6 bulan.

Lagi-lagi, di LP ia tetap bisa make. Namun setelah keluar dari LP, ia mencoba mengurangi pemakaian putauw. Itu berkat desakan dari pacarnya sendiri. Tapi untuk pengalihan, ia tetap memakai shabu dan cimeng (ganja,red). Kebutuhannya akan ganja lumayan tinggi. Sedikitnya, 3 sampai 4 kali sehari ia harus kena ganja. Waktu itu, ia masih bisa membeli murah, hanya Rp 10 ribu per am (per amplop). Tapi, ketika terakhir make, harganya mencapai Rp 50 ribu per am.”Make putauw sih masih dikit, tapi nggak jarum suntik. ”Karena dua temanku meninggal di kontrakanku sendiri karena OD make putauw,” jelas Galle. Ketika itu, temannya yang baru keluar dari LP memutuskan menumpang di rumah kontrakannya.

Akhirnya di tahun 1999, Galle sukses meninggalkan PT. Tapi Cimeng dan Ekstasi, tetap jadi temannya. “Prinsipnya waktu itu, yang penting nggak putauw. Karena waktu itu sudah tahu rasa sakitnya,” tandasnya. Galle mengaku sudah berhenti total dari kebiasaannya mengkonsumsi narkoba sejak tahun 2002. Tekad untuk berubah terutama didapat dari dukungan istri yang dinikahinya tahun 2001 lalu. Selain itu, Galle juga mendapat banyak dukungan dari LSM penanggulangan narkoba.

Keseharian Galle kini memang belum lepas dari narkoba. Bedanya, kini ia tak lagi mau mencoba narkoba. Ia justru melakukan pendampingan terhadap pecandu narkoba yang masih aktif. Sejak 2002, ia menjadi petugas lapangan Yayasan Hatihati, yayasan penanggulangan narkoba di Bali. Kesepakatan dengan yayasan, bahwa petugas lapangan tidak boleh lagi memakai narkoba, juga menjadi pemacu semangat laki-laki berperawakan sedang ini untuk mencoba-coba narkoba. Meski ia mengakui, sugesti untuk memakai kadang tetap muncul. Sugesti itu terutama muncul ketika ia sedang menghadapi masalah. Terkadang, ketika ia mendengar house music, suges untuk menggunakan ekstasi juga muncul. Bila mendengar lagi reggae, suggest untuk make ganja muncul. Ia bahkan pernah tersuggest untuk menggunakan putauw ketika melihat beberapa klien dampingannya akan pesta PT. Tapi Galle tak mau terjebak. Ia selalu lari setiap kali sugges itu datang. “Memang suggestnya yang berat. Tapi saya nggak mau lagi. Apalagi sudah banyak teman yang OD,” tegas Galle. Setidaknya, biaya yang sudah ia keluarkan untuk narkoba diperkirakan sudah mencapai sekitar Rp 100 juta. [Komang Erviani]

Sabtu, 10 Februari 2007

Taman Koral Demi Moral

Sebuah taman terumbu karang dibangun di area yang bukan habitat terumbu karang. Media tanamnya dialiri arus listrik. Sedimentasi tinggi mengancam pertumbuhannya. Dibangun untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap lingkungan.

Setangkai bibit koral yang panjangnya tak lebih dari lima sentimeter, dipamerkan Wayan Patut kepada sejumlah turis di atas ponton berukuran sedang di perairan Sanur. Layaknya seorang pemateri, nelayan asal Desa Serangan itu serius menjelaskan cara-cara penanaman terumbu karang. Juga bagaimana cara perawatannya.”Bibit ini ditempel saja di atas substrat buatan, agar tidak goyang bila terkena arus,” jelas Patut.

Ketika briefing untuk penyelaman usai, semua wisatawan dibekali sebuah sikat halus berukuran kecil. Fungsinya, tak lain untuk membersihkan terumbu karang dari sampah dan kotoran-kotoran yang dapat mengganggu pertumbuhannya.

Wahana wisata Sea Walker, sebuah wahana berjalan di bawah laut dengan menggunakan helm khusus, kini punya objek baru yang ditawarkan kepada turis. Tak cuma menikmati keindahan terumbu karang buatan Sanur yang telah dirintis sejak akhir 2005 lalu, wisatawan juga diberi kesempatan untuk berperan serta merawat terumbu karang itu. Dengan dibekali sebuah sikat halus, para wisatawan dipersilakan membersihkan karang-karang itu. Bahkan untuk bisa ikut membersihkan karang-karang itu, wisatawan diwajibkan membayar biaya tambahan 5 dolar AS per orang, di luar biaya wajib sekitar 55-65 dolar AS.

Taman terumbu karang buatan di kedalaman sekitar 7 meter perairan Sanur, disebut dengan Taman Coral Sanur, memang telah menjadi daya tarik wisata baru dari Sanur. Pantai yang menjadi pintu masuk awaL para turis ke Bali di masa lampau itu, kini tak cuma dikenal karena sunrise, pasir putih, dan keunikan adat istiadatnya saja. Taman Coral Sanur juga jadi daya tarik tersendiri. Yang membuatnya makin unik, taman koral ditanam di area blank spot, area yang bukan habitat terumbu karang.

Taman Coral Sanur dirintis bersama oleh aktivis lingkungan, pengusaha, nelayan, dan masyarakat wilayah Sanur sejak Desember 2005 lalu. Pembangunan taman bawah air itu, menurut penggagasnya Made Mangku, bermula dari terjadinya erupsi pantai yang sangat memprihatinkan di Sanur. Karang yang ada di daerah Palung Semawang, yang berfungsi sebagai barier, rusak sekitar 80 persennya. Itu membawa Sanur masuk alam kategori tingkat kerusakan karang terparah diantara pantai-pantai lain di Bali.

Menurut Mangku yang juga Koordinator Tim Revitalisasi Palung Semawang, banyak penyebab rusaknya terumbu karang Sanur. Dulunya, banyak masyarakat setempat yang mengambil karang secara illegal. Karang-karang itu dulunya banyak dijual untuk bahan bangunan. Selain itu, terjadi juga penangkapan ikan secara serampangan. Banyak nelayan ikan hias yang melakukan penangkapan dengan sianida potasium.”Ini jadi penyebab paling parah karena bagaimanapun, terumbu karang paling takut dengan getaran. Kerusakan makin diperparah akibat pembuangan limbah yang langsung ke laut dari sungai di wilayah sekitar Denpasar. Terjadi pula penutupan terumbu karang oleh sampah-sampah plastik yang dibawa arus. Ini banyak terjadi pada setiap musim timur dan tenggara, sekitar bulan Juli dan Agustus.

Program transplantasi karang sanur, awalnya digarap secara komunal.
“Awalnya kita masuk dengan mengumpulkan teman-teman yang ada, pebisnis, pengusaha. Kita yakinkan mereka untuk kerjasama, ternyata pengusaha mensupport. Kita sama-sama urunan. Ada yang ngasi tangki, regulator dan masker untuk perlengkapan menyelam, ada yang kasi nasi bungkus, dan lain-lain,” kenang Mangku. Hingga kini, program revitalisasi terumbu karang tersebut sudah disupport 15 orang pengusaha watersport, kelompok nelayan, dan masyarakat setempat dari empat banjar dan satu kelompok, yakni dari Banjar Batu Jimbar, Banjar Semawang, Banjar Blanjong, Banjar Bet Ngandang, dan kelompok Tanjung.

Pada rencana awalnya, Taman Coral Sanur rencananya dibangun di atas lahan 5 Ha. Lahan yang semula hanya hamparan pasir itu, bakal dibagi dalam 3 zone. Terdiri dari zone kreatif, zone preservatif, dan zone konservatif. Taman Koral Sanur rencananya dibentuk dengan pola layaknya taman bunga. Ada pintu masuk di zona kreatif dengan deretan koral jenis acropora beraneka warna membentuk tulisan “Welcome to Sanur”.Tak kalah dengan taman-taman pada umumnya, ada juga terumbu yang membentuk pagar, rencananya memagari semua areal taman koral. Masing-masing zone, juga dipisahnya dengan pagar koral melintang. Taman Coral Sanur mengadopsi konsep pembangunan pura, dimana terbagi atas 3 area, jaba sisi (areal paling luar), jaba tengah (area tengah), dan jeroan (area dalam).

Zone kreatif rencananya dibangun seluas 2 Ha. Zone pintu masuk taman coral ini menggunakan infrastruktur beton sebagai media. Metodenya dengan transplantasi, menggunakan substrat buatan berupa plamir. Substrat digunakan agar bibit koral bisa tertanam dengan kuat. Sedikit goyangan, bakal memperlambat pertumbuhan koral. Penggunaan plamir sebagai substrat, dilakukan setelah sejumlah substrat lain dicoba. “Pernah saya coba semen putih, ternyata lambat. Tidak efektif. Pemilihan substrat yang tepat sangat penting karena kalau substrat mengandung zat yang tidak sesuai dengan karang itu, karangnya akan mati,” tegas Mangku.

Di zone kreatif, bibit karang dibiarkan tumbuh secara alamiah. Hanya diperlukan perawatan sekitar 10 hari sekali untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang dapat menggaggu pertumbuhannya. Dalam 6 bulan, pertumbuhan krang biasanya agak pelan. Namun pada bulan ke-3, karang akan tumbuh cepat, sekitar 3 cm per bulan. Tiga bulan pertama biasa disebut proses survive bagi karang untuk tumbuh. Meski demikian, perawatan tetap harus rutin dilakukan sampai karang berusia minimal 1 tahun. “0-1 tahun adalah masa paling penting. Setelah itu, dibiarkan saja, kuat dia,” tegas Mangku.

Di zone 2, atau zone preservatif yang direncanakan seluas 1,5 Ha, program transplantasi menggunakan sistem biorock. Media yang digunakan pada zone ini bukan lagi beton, melainkan besi. Untuk memicu pertumbuhannya, digunakan arus listrik bertegangan rendah 2,6 volt. Arus listrik berfungsi agar proses pengapuran lebih cepat sehingga lebih mudah menangkap mikroorganisme karang. Tapi teknik ini tak mudah, karena tangkapan soft coral dalam jumlah besar perlu dihindari. Soft coral yang tertangkap terlalu banyak dibandingkan hard coral justru dapat berdampak negatif bagi program transplantasi itu sendiri.

Sama dengan zone kreatif, koral di zone preservatif yang sudah dirintis April 2006 lalu juga membutuhkan proses survive. Bahkan proses survivenya lebih panjang, mencapai 6 bulan. “Karena di zone ini bisa ada goyangan. Kalau dengan media beton, angka hidupnya 90 persen. Dengan biorock, cuma 70 persen. Kecepatan tumbuhnya sama,” tambah Mangku yang Koordinator Sekretariat Kerja Penyelamatan dan Pelestarian Lingkungan Hidup (SKPPLH).

Di zone akhir, zone konservatif, rencananya digunakan sistem tidal. Zone seluas 1,5 Ha tersebut bakal dibangun dengan konsep biorock, mirip zona preservatif. Bedanya, penggerak listrik yang digunakan dihasilkan dari turbin yang digerakkan ombak.

Hingga kini, pembangunan Taman Coral Sanur baru rampung sekitar 10 persennya. Di zone kreatif, sudah tertanam 50 are dari 2 Ha yang direncanakan. Masih ada sekitar 4000 bibit koral yang harus ditanam di zona ini. sementara di zone preservatif, baru tertanam 1000 bibit dari rencana 250.000 bibit. Zona konservatif rencananya baru akan dibangin di tahun ketiga, 2008 mendatang. Sejumlah terumbu karang dengan kerangka berbentuk mirip pura, akan dibangun di areal ini. Juga bakal dipasang prasasti-prasasti yang ditandatangani para pejabat.

Sensitivitas yang tinggi dari terumbu karang, membuat proses transplantasi karang harus memperhatikan banyak hal. Pasir yang stabil, air jernih, matahari bagus, dan arus tembus, sangat penting bagi pertumbuhan karang-karang tersebut. Intrusi yang tinggi dan banyak limbah, akan mempersulit pertumbuhan coral. Begitu juga pasang-surut air laut, adanya air rusak, ombak besar, dan air kotor, akan mempersulit pertumbuhan koral. Sementara untuk proses penanaman, musim paling baik adalah musim barat, sekitar Desember-Februari. Air yang tenang di musim barat, membuat proses penanaman menjadi mudah.

Suhu sedang juga sangat membantu. Suhu rata-rata daerah tropis, termasuk Indonesia, sangat bagus untuk pertumbuhan terumbu karang. Karenanya terumbu karang di negara ini sangat variatif dengan aneka warna.

Pemilihan lokasi blank spot, awalnya diharapkan untuk menghidupkan kembali tempat-tempat yang rusak oleh gerusan erosi. Ini menjadi tantangan tersendiri. Pasalnya, diperlukan media yang kuat memegang karang-karang tersebut. Meski begitu, bukan berarti tanpa kendala. Mangku sendiri mengaku kaget karena ternyata di areal penanaman terjadi sedimentasi yang sangat tinggi. “Sampai sekarang saya tidak berani janji ini akan berhasil atau nggak. Karena tingkat sedimennya tinggi,” tegas Mangku.

Dalam satu tahun, tingkat sedimentasi di areal penanaman mencapai hampir 80 cm. Penyebabnya, diperkirakan karena sedimen transport process atau arus yang membawa sedimen ke pantai, tidak stabil. Ini diperkirakan dampak proyek pengamanan Pantai Sanur yang dilakukan beberapa tahun lalu. Tidak stabilnya sedimen transport process membuat sedimen terbawa arus ke wilayah yang rendah, termasuk Palung Semawang. Palung Semawang yang dulunya sedalam 137 meter, kini makin dangkal menjadi hanya 90 meter. Tak pelak, ini memberi pengaruh pada pembangunan Taman Coral Sanur yang dibangun di sekitar Palung Semawang.


Ironis memang, karena tujuan awal pembangunan taman coral Sanur di area Palung Semawang adalah untuk meminimalisasi gerak arus langsung ke palung. Ini dilakukan untuk mengurangi erosi pantai gara-gara sedimen transport yang sempat terpotong oleh reklamasi pantai Serangan. “Ternyata tekanan sedimen transport jauh lebih besar. Saya justru khawatir kalau taman karang itu akan tertutup sedimentasi sepenuhnya,” keluh Mangku.


Sedimentasi yang tinggi, membuat terumbu karang yang telah tumbuh kini nyaris rata dengan pasir. Padahal saat penanaman awal, terumbu karang ditanam dengan media beton dan besi setinggi 160 cm. “Bayangkan, setahun sedimentasi 80 cm. Padahal pertumbuhan karang cuma 3 cm per bulan,” selorohnya. Karenanya, menurut Mangku diperlukan penyedotan pasir dari areal Taman Coral Sanur dengan teknik Traper Section Happer Drager (TSHD), teknik penyedotan pasir laut yang cukup ramah lingkungan.

Menurut Mangku, upaya mengantisipasi tenggelamnya seluruh Taman Coral Sanur sangat penting. Apalagi dana yang dikeluarkan secara swadaya oleh pengusaha, nelayan dan masyarakat Sanur tak sedikit. Diperkirakan, total dana yang sudah dikeluarkan mencapai Rp 500 juta. “Tapi kita tidak hitung secara riil. Itu hanya hitung-hitungan kasar dari biaya total yang diperlukan untuk semua sarana dan prasarana yang dikeluarkan secara swadaya,” tandasnya. Ada juga bantuan dana dari APBD Bali, serta bantuan sarana dari Departemen Kelautan dan Perikanan. Diperkirakan, total dana yang diperlukan untuk menyelesaikan keseluruhan Taman Coral sanur itu selama lima tahun mencapai Rp 9,6 miliar.

Dampak paling nyata dari pembangunan Taman Coral Sanur tersebut adalah meningkatnya populasi ikan, terutama ikan hias. Di areal yang tadinya tidak ada ikan, kini justru dipenuhi ikan-ikan berwarna-warni. Namun belum ada penelitian soal spesies ikan yang muncul di areal taman koral. Meski demikian, nelayan pencari ikan hias di wilayah Sanur masik dilarang melakukan pengambilan ikan di areal taman koral. “Nanti kalau semua selesai, baru boleh dimanfaatkan untuk bisnis,” ujar Mangku yang rencananya akan mengeluarkan sertifikasi untuk ikan-ikan yang diambil dengan cara ramah lingkungan dari Taman Coral Sanur.

Ketika menginjak tahun kelima, Taman Coral Sanur diharapkan bisa memberi manfaat ekonomi bagi kehidupan masyarakat Sanur dan sekitarnya. Taman Coral juga diharapkan menjadi destinasi wisata baru, yakni pariwisata bawah laut. Juga diharapkan bisa menjadi pusat penelitian bawah laut. “Tujuan awal kami pada dasarnya bukan untuk mengembalikan terumbu karang, tapi untuk beri paradigma berpikir yang benar untuk masyarakat,” tegas Mangku. [Komang Erviani]

Kamis, 08 Februari 2007

Dinkes Provinsi Jatim Rencana Tambah Layanan HIV/AIDS

Thursday, 08 February 2007
Surabaya - Surya

Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jatim berencana akan menambah rumah sakit yang memberi pelayanan bagi pasien HIV/AIDS. Selama ini rumah sakit serupa hanya ditemui di RSU Dr Soetomo di Surabaya (Ruang Perawatan Intermediet Penyakit Infeksi/RPIPI) yang berada di Jatim bagian tengah.

“Agar lebih terjangkau di daerah, maka akan ditambah rumah sakit yang melayani orang hidup dengan HIV di Jatim sebelah Barat dan Timur,” kata Kepala Dinkes Provinsi Jatim dr Iwan M Mulyono MPH, Kamis (8/2), pada penutupan Pertemuan Nasional HIV&AIDS ke-3.

Bagian Barat ditunjuk daerah Madiun dan Kediri. Sedangkan bagian Timur ditunjuk daerah Malang dan Banyuwangi. Tentu saja, rumah sakit yang akan memberi pelayanan HIV/AIDS merupakan rumah sakit yang sudah mempunyai fasilitas lengkap dan tenaga medis yang mumpuni untuk menangani pasien HIV dan AIDS.

Selain itu, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional memberi penghargaan khusus bagi 34 aktivis AIDS 'Generasi Pertama'. Orang-orang tersebut antara lain Dra Nafsiah Mboi SpA MPH, dr M Nasser SpKK D Law, Prof Dr Jusuf Barakbah SpKK (K), almarhumah Suzanna Murni atas usahanya memperjuangkan hak asasi manusia orang hidup dengan HIV, Dede Oetomo, Putu Oka Sukanta, Samsuridjal Djauzi, Slamet Riyadi dan Danny I Yatim.

Mereka terpilih karena dianggap sebagai individu yang berani mendobrak, menerobos, serta menciptakan hal-hal baru untuk mengatasi kebekuan di tingkat wacana maupun tindakan. Serta memenuhi kriteria kemampuan profesional, managerial, dan administrator.

Sedangkan lima jurnalis yang memenangkan lomba penulisan HIV/AIDS bertema Remaja dan HIV/AIDS adalah Juara I diraih Choirul Innayah (Radar Mojokerto), Antara Bahasa Anak-anak,

Remaja, dan Dewasa; juara II diraih Tanti Hapsari SH (Bernas, Jogja), Remaja dan HIV/AIDS: Antara Stigmatisasi dan Sematan Pita Merah HIV/AIDS; Juara III Zainul Abi (Medan Bisnis), Anak Jalanan di Medan: Komunitas Marginal yang Rentan Tertular HIV/AIDS; Juara IV Gunarso (Suara Merdeka, Semarang), Ketika HIV Masuk Sekolah; dan Juara V Komang Erviani (freelance Jakarta Post), Kisara Keeps Youth Away from Drugs and Teen Sex. ida

Jumat, 02 Februari 2007

HASIL LOMBA PENULISAN untuk JURNALIS

TEMA : "REMAJA dan HIV & AIDS"

Tak dinyana, ternyata Lomba Penulisan tentang HIV & AIDS untuk Jurnalis dengan tema "REmaja dan HIV&AIDS" mendapatkan respon yang cukup positif dari jurnalis seantero negeri. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya naskah yang masuk ke meja panitia.
Setelah melalui diskusi yang cukup alot dan cukup memakan waktu, Dewan juri yang terdiri atas ;
1. Bp. Slamet Riyadi
2. Sdr. Danny I Yatim
3. Sdri. Kindy Marina


memutuskan bahwa;

Juara I: Sdr. Khoirul Inayah (Mojokerto)
Judul Tulisan: HIV/AIDS: Antara Bahasa Anak-anak, Remaja dan Dewasa
Dimuat di Radar Mojokerto, 10 Januari 2007


Juara II: Sdr. Shanti Hapsari (Yogyakarta)
Judul Tulisan: Remaja dan HIV/AIDS (1) Antara Stigmatisasi dan Sematan Pita Merah, dan Remaja dan HIV.AIDs (2): Tidak Cukup Hanya ABC, Kini ABCD
Dimuat di Bernas Jogja, Senin 8 Januari 2007 dan Selasa, 9 Januari 2007

Juara III: Sdr. Zainul Abdi (Medan)
Judul Tulisan: Anak Jalanan di Medan: Komunitas Marginal yang Rentan Tertular HIV/AIDS
Dimuat di Medan Bisnis, Sabtu, 6 Januari 2007


Juara IV: Sdr Gunarso (Semarang).
Judul Tulisan: Ketika HIV Masuk Sekolah
Dimuat di Harian Suara Merdeka, 13 September 2006


Juara V : Sdr Komang Erviani (Denpasar)
Judul Tulisan: Kisara keeps youth away from drugs and teen sex
Dimuat di Jakarta Post, Kamis, 6 April 2006


Kepada para pemenang, di samping ganjaran uang tunai juga diberikan kesempatan untuk meliput Pertemuan Nasional HIV & AIDS ke-3 dengan ketentuan;
1. Biaya Transportasi Udara kelas Ekonomi non Garuda ke Surabaya p.p.
2. Akomodasi
menjadi tanggungan panitia.