Google
 

Jumat, 30 Maret 2007

Nila Bali Rasa Deterjen

Mata Ayu lekat-lekat menatap ujung joran milik sang ayah, Made Segara, 40 tahun. Belum lagi satu isapan rokok, pelampung pancing tampak bergoyang. Made pun refleks menarik joran. Hup... di ujung kail, seekor ikan nila menggelepar! Bocah dua tahun itu pun bertepuk girang.

Bagi Ayu, ikut memancing pada Sabtu lalu itu bukan yang pertama. Segara sering mengajak putrinya itu memancing di Pintu Air Buagan, bagian hilir Sungai Badung, Denpasar, Bali, tiap akhir pekan. "Kadang-kadang saya bisa dapat 50 ekor ikan nila," kata Segara.

Segara mengaku telah hampir 20 tahun menyalurkan hobi memancing di Sungai Badung. Namun, selama setahun terakhir, ia mengaku keasyikannya memancing mulai terganggu. Apa sebab? Itu tak lain gara-gara sampah.

Di sepanjang bantaran sungai, beberapa gunungan sampah teronggok begitu saja. Baunya? Hm... jangan ditanya. Bisa-bisa melekat bak parfum di tubuh. "Tapi ini sudah termasuk bersih lho. Biasanya kotor sekali," kata Segara kepada Gatra.

Pemerintah Kota (Pemkot) Denpasar sebenarnya telah mengadakan bersih-bersih bantaran Sungai Badung tiap Kamis. "Kalau belum dibersihkan, kami nggak bisa mancing kayak gini," tutur Segara. Ia pernah mencoba mancing di sungai lain. "Airnya malah bewarna biru. Waktu masuk sungai, kaki saya jadi biru. Ikannya terasa kayak ada bahan kimia ketika dimakan," kata Segara. Karena itu, tiap akhir pekan Segara lebih senang memancing di Badung. "Kalau di sini, ikannya masih enak," kata Segara lagi.

Sungai Badung, terutama di bagian tengah dan hilir, sudah jelas tercemar berat. "Kami menemukan ada indikasi pencemaran," ujar Kepala Bidang Pengawasan Dampak Lingkungan, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Bali, A.A. G.A. Sastrawan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 2006, air sungai di kawasan hilir tercemar oleh polutan bahan-bahan kimia berbahaya jauh di atas ambang baku mutu. "Nilai Storet (storage and retrieval system)-nya mencapai minus 74," kata Sastrawan. Nilai Storet sering digunakan para ahli untuk menilai kualitas air. "Storet adalah nilai perbandingan data kualitas air dengan baku mutu. Nilai Storet yang baik sesuai baku mutu adalah 0," kata Sastrawan.

Karena itu, bisa dibayangkan, seperti apa mutu air jika punya nilai hingga -74. Bapedalda menemukan adanya sejumlah polutan di sana. Dari deterjen, minyak, nitrit, fosfat, plumbum (Pb), kadnium (Cd), hingga bakteri Escherichia coli (E. coli). Kadar BOD (kebutuhan oksigen untuk proses biologi) serta COD (kebutuhan oksigen untuk proses kimia) juga tak memenuhi syarat.

Tak cuma Sungai Badung, Bapedalda juga menemukan indikasi pencemaran pada 21 sungai lain di Bali. Hasilnya, sebagian besar sungai telah mengalami pencemaran berat dengan nilai Storet -30 hingga -74 (lihat tabel). Menurut Sastrawan, pencemaran terjadi oleh berbagai hal.

Pencemaran fosfat dan nitrit, misalnya, disebabkan limbah kegiatan perkebunan dan pertanian yang menggunakan pupuk kimia buatan. "Selain itu, limbah industri rumah tangga juga banyak yang mencemari sungai. Semua ini karena aktivitas sehari-hari masyarakat yang tidak ramah lingkungan," ujar Sastrawan.

Namun yang harus diperhatikan adalah kehadiran E. coli. Bakteri yang biasanya hidup di usus besar manusia dan ternak ini dalam jumlah besar dapat berbahaya. Ia bisa menyebabkan diare, mencret, dehidrasi, dan muntah-muntah. Jika tak diimbangi dengan pasokan cairan yang cukup, penderita bisa meninggal. Sangat berbahaya bagi anak-anak atau mereka yang daya tahannya lemah.

Nah, E. coli umumnya menyebar lewat makanan atau air minum yang terpapar oleh kuman ini. Bakteri ini juga bisa menular melalui sungai yang tercemar tadi. Amat berbahaya jika sungai yang tercemar kemudian ikut meracuni sistem air sumur penduduk.

Karena itulah, Bapedalda Bali mengaku tak hanya mengeluarkan data. Mereka juga bekerja sama dengan Pemkot Denpasar mengusut biang pencemaran sungai. Hal itu dimulai dari puluhan industri tekstil di kawasan sungai. Satuan Polisi Pamong Praja Denpasar akhirnya berhasil menangkap basah 10 pemilik industri tekstil yang nakal, pertengahan bulan lalu.

Mereka dianggap bersalah karena tidak mengolah air limbah lebih dulu sebelum dibuang ke sungai. Masing-masing pengusaha didenda Rp 5 juta. Salah satu yang bernasib sial adalah Sugeng S., 36 tahun. Pengusaha tekstil asal Banyuwangi ini lintang pukang mencari pinjaman untuk bayar denda. "Diketok (putusan sidang) pukul 10 pagi, paling lambat pukul tiga sore sudah harus dibayar. Pusing juga," katanya. Soalnya, kalau tak membayar, ia bakal masuk bui.

Sugeng mengaku salah. Limbah tekstilnya dibuang begitu saja tanpa diolah pada sebuah lubang tanpa lapisan beton. Akibatnya, terjadi perembesan limbah ke sungai dan sumur warga. "Saya tahu saya salah. Tapi, bagaimana lagi? Tak ada biaya untuk membangun pengolahan limbah," tutur Sugeng.

Tapi kini Sugeng mengaku kapok. Ia segera membangun tempat pengolahan limbah enam lubang beton berukuran 2 x 1,5 x 2,25 meter. "Limbah-limbah itu akan masuk ke setiap tahap di lubang-lubang ini. Jadi, ketika kami buang ke sungai, sudah bebas dari bahan pewarna," kata Sugeng.

Sayang, patroli kebersihan sungai ini angin-anginan. "Petugas kadang-kadang heboh razia pencemaran sungai, tapi kadang-kadang diam saja. Ada juga yang pakai "pelicin", langsung selesai," ujar Segara. Jika begini terus, ikan nila hasil tangkapan bakal berasa deterjen.
[Nur Hidayat, dan Komang Erviani (Denpasar)]
[Lingkungan, Gatra Nomor 20 Beredar Kamis, 29 Maret 2007]