Google
 

Jumat, 20 April 2007

Seks Dini Remaja Bali

Seks pra nikah seolah sudah menjadi gaya hidup remaja di Bali. Akses informasi terlalu minim. Kuncinya tidak Cuma ada di tangan orang tua.

Suatu hari, empat bulan lalu, dokter Lely Setyawaty kedatangan seorang pasien muda. Spesialis kejiwaan yang sehari-hari bertugas di Rumah Sakit Sanglah itu, harus menenangkan pasiennya, sebut saja Manda. Manda baru saja lolos dari maut, gara-gara cairan pembasmi serangga yang diminumnya. Siswi kelas dua sebuah SMA di Denpasar itu lolos dari upaya bunuh diri.

Manda beralasan, ada masalah berat yang tak mampu lagi dihadapi. Ternyata, semua masalah Manda berpangkal dari hubungan dengan sang pacar, sebut saja Agung. Manda dan Agung telah menjalin hubungan pacaran sejak tiga tahun lalu. Ketika itu, Manda baru duduk di kelas dua SMP, dan Agung kelas satu SMA. Kedua orang tua Manda pun tak memberi restu saat itu. Alhasil, keduanya tetap berhubungan sembunyi-sembunyi alias backstreet.

Hubungan backstreet yang dijalani Manda dan Agung, ternyata justru tak terkontrol. Mereka bahkan sudah menganggap hubungan seksual sebagai hal biasa. Mereka sudah melakukan hubungan seks pra nikah sejak awal berpacaran. Keduanya sudah tahu teknik untuk mencegah kehamilan dengan kondom.

Namun belakangan, Manda hamil. Manda dan Agung menyadari, ada masalah besar yang harus diselesaikan. Agung yang sudah duduk di bangku kuliah, menyatakan siap bertanggung jawab penuh. Ia bahkan mengajak Manda kawin lari, bila orang tuanya menolak memberi restu.

Belum lagi mencoba terbuka pada orang tua, Manda keburu ketakutan. Ia tak cukup berani memberi tahu kondisinya kepada orang tua yang sejak awal sudah menentang hubungannya dengan Agung. Mereka pun urung melaksanakan kawin lari yang sudah dirancang.

Di tengah kegalauannya, Manda mendapat banyak sekali informasi keberadaan tempat aborsi dari teman-teman sekolahnya. Entah dari mana mereka mengetahui info tempat-tempat aborsi itu. Tapi toh, Manda tetap tak punya cukup keberanian untuk membunuh janinnya.

Baru ketika usia kandungannya sudah menginjak empat bulan, orang tua Manda menaruh curiga pada perubahan bentuk tubuh putri mereka. Awalnya Manda mencoba mengelak. Ia bersikeras, kalau ia masih datang bulan. Tapi karena perutnya terus membuncit, Manda tak bisa mengelak.

Dengan nada tenang, ibunda Manda mencoba memancing kejujuran putrinya. “Kalau memang kamu hamil, bilang saja. Kita carikan solusinya bersama-sama,” begitu sang ibu, menurut penuturan Manda kepada dokter Lely. Berharap ada penyelesaian, Manda pun jujur menceritakan masalah yang dihadapi.

Kejujuran Manda ternyata tak menyelesaikan masalah. Kedua orang tuanya memang tak marah. Mereka hanya menangis, menyesali semua perbuatan Manda. Mereka merasa gagal menjaga putrinya, hingga menciptakan aib keluarga yang membuat mereka malu.

Tangisan orang tua, justru menjadi awal masalah bagi Manda. Perasaan bersalahnya mencapai klimaks, hingga ia memutuskan mengakhiri hidup dengan menenggak racun serangga. Beruntung, orang tua Manda segera membawanya ke rumah sakit. Dan, Manda selamat dari percobaan bunuh dirinya. Dokter Lely pun lega, karena kemudian hubungan Manda dan Agung direstui. Keduanya menikah, meski Manda terpaksa melepas sekolahnya hanya sampai kelas dua SMA.

Menurut Lely, kasus yang dialami Manda bukanlah hal baru di kalangan remaja di Bali. “Ada banyak kasus-kasus seperti ini,” terang Koordinator Center Remaja Amerta Rumah Sakit Sanglah itu. Kasus percobaan bunuh diri di kalangan remaja, menduduki peringkat kedua di antara seluruh pelaku kasus percobaan bunuh diri berdasarkan catatan Rumah Sakit Sanglah. “Rata-rata ada 250 kasus percobaan bunuh diri dalam setahun. Kasus pada remaja tergolong sangat tinggi,” jelas Lely.
Kebanyakan kasus percobaan bunuh diri pada remaja, menurut Lely, didasari pada masalah pacaran. Masalah utama kedua adalah masalah dengan orang tua. Ironisnya lagi, sebagian besar dari mereka yang mencoba bunuh diri, berada dalam keadaan hamil. Ada juga sebagian yang tidak sedang hamil, tetapi melakukan percobaan bunuh diri karena diputus pacarnya. “Ada yang merasa ketakutan karena sudah pernah berhubungan seks dengan si pacar yang mutusin. Takut nanti ternyata hamil, atau tidak ada laki-laki yang mau dengan dia karena sudah tidak perawan,” terang Lely.

Bagaimana pun detil kasusnya, fenomena seks pra nikah di kalangan anak muda di Bali ditenggarai cukup besar. Bukan rahasia lagi, banyak pasangan menikah dalam keadaan hamil tua.

Kita Sayang Remaja (Kisara), organisasi bentukan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Bali yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi remaja, hingga kini mencatat laporan sedikitnya 41 kasus hubungan seksual pra nikah. Masing-masing 2 kasus pada kelompok umur 13 – 15 tahun, 14 kasus pada umur 16-18 tahun, 12 kasus pada umur 19-21 tahun, 8 kasus pada umur 22-24 tahun, serta 5 kasus pada umur di atas 25 tahun.

Itu baru jumlah kasus yang terdata di Kisara berdasarkan konseling via telepon. Belum termasuk puluhan atau bahkan ratusan kasus lain yang tidak terlaporkan.
Dalam catatan Kisara, juga terekam adanya 10 kasus kehamilan tidak diinginkan (KTD) pada periode yang sama. Masing-masing tiga kasus pada kisaran umur 17 – 20 tahun, 4 kasus pada umur 21-24 tahun, dan 3 kasus pada umur di atas 24 tahun.
Menurut Mahar, Koordinator Konseling Kisara, hubungan seks pra nikah sudah menjadi hal yang seolah biasa bagi remaja Bali. Ada banyak remaja yang melakukan konseling via telpon, dengan kasus beragam. “Ada yang nelpon, ngaku baru putus sama cowoknya. Dia ngaku takut hamil, karena sudah dua kali berhubungan seksual,” cerita Mahar. Ada juga seorang siswi SMP yang mengaku sudah pernah berhubungan seks dengan om om, tetapi sedang jatuh cinta dengan seseorang lainnya yang lebih tua. “Dia tanya, apakah dia harus jujur kepada cowok itu?” Mahar melanjutkan ceritanya.

Minimnya informasi soal kesehatan reproduksi, serta keluarga dan lingkungan yang kurang mencukung, disinyalir menjadi penyebab banyaknya remaja yang melakukan seks pra nikah. Tak heran, ada banyak pertanyaan-pertanyaan mendasar yang ditanyakan dalam konseling per telepon.

Misalnya tentang apakah seseorang bisa hamil dengan hanya sekali berhubungan seksual, tentang bagaimana proses kehamilan terjadi, serta masalah-masalah dasar lain. “Ada yang minta masukan karena pacarnya menuntut berhubungan seksual sebagai bukti rasa sayang,” jelas Mahar. Dalam catatan Kisara, tidak sedikit pula remaja yang mengaku menyesal telah melakukan seksual di masa lalunya. Sebagian besar dari mereka mengaku sebelumnya tidak tahu sama sekali seperti apa berhubungan seksual.

Dari Survei Kesehatan Reproduksi di Indonesia tahun 2003, diketahui 5 persen remaja pernah melakukan hubungan seks sebelum nikah. Lembar fakta yang diterbitkan oleh PKBI, United Nations Population Fund (UNFPA) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) juga menyebutkan bahwa setiap tahun terdapat sekitar 15 juta remaja berusia 15-19 tahun melahirkan. Lembar fakta tersebut juga menyebutkan setiap tahun ada sekitar 2,3 juta kasus aborsi terjadi di Indonesia, dan 20 persennya dilakukan oleh remaja.

Masalah seks pra nikah, menurut dokter Lely, merupakan masalah kompleks. Maka, kunci pemecahannya pnu sangat kompleks. Diperlukan kepedulian semua pihak, baik orang tua ataupun masyarakat umum. “Ini harus dipecahkan bersama-sama,” terang Lely. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 27, April 2007]

Selasa, 10 April 2007

Terperangkap Nikmat Junk Food

Ketika bel berdering lantang, Komang Dewi (11 tahun) bergegas memasukkan semua bukunya ke tas ransel warna pinknya. Langkahnya cepat menuju gerbang sekolah. Tapi, bocah kelas lima sekolah dasar itu tak lantas pulang ke rumah. Bersama beberapa teman sekolahnya, Dewi masuk ke sebuah warung, tak jauh dari sekolahnya di bilangan Jalan Hayam Wuruk Denpasar. Beberapa snack ringan yang tergantung, diraihnya. Sebuah permen loli pop juga tak luput dari perhatiannya. Terakhir, ia memesan es minuman beraroma strawberry seharga Rp 500 per bungkus. Dua ribu rupiah di sakunya langsung amblas.

Hartati, sang pemilik warung, tentu saja menjadi senang. Bukan cuma karena Dewi, tetapi juga karena banyak teman Dewi yang berbelanja banyak makanan ringan. ”Kalau jam pulang sekolah, pasti ramai begini,” ujarnya. Menurut Hartati, yang paling disuka anak-anak justru makanan-makanan yang berhadiah. Jenis hadiahnya beragam, dari boneka pastik mini, kapal-kapalan, sampai duit ribuan. Tak peduli apa jenisnya, asal berhadiah, pasti laris manis.

Makanan dengan komposisi gizi tak berimbang, biasa diistilahkan junkfood, entah kenapa selalu jadi idola anak-anak. Seperti Bagus Antaka (5 tahun) yang siang itu terlihat sangat berseri ketika memasuki restoran cepat saji di kawasan Jalan Dewi Sartika Denpasar. Di depan kasir, Bagus lancar menyebut makanan kesukaannya. ”Burger ama fried chicken,” begitu Bagus dengan pelafalan inggrisnya yang tak cukup jelas. Segelas kola juga diminta bocah yang siang itu tampil rapi dengan hem oranye. ”Soalnya enak. Mantap,” jawab Bagu tegas ketika ditanya alasannya menyukai fastfood.

“Ini memang kesukaannya,“ begitu Wayan Kota (35 tahun), sang ayah. Bahkan menurut laki-laki yang bekerja sebagai supir angkutan wisata itu, fast food bukan cuma kegemaran anak keduanya. Anak perempuan pertamanya, Ayu Cahya yang kini duduk di kelas empat sekolah dasar, juga penggemar setia fast food. ”Kalau kakaknya, lebih suka lagi,” terang Kota. Diduga, karena kegemarannya itu pula, Ayu Cahya mengalami berat badan berlebih. Di usia 10 tahun, berat badan Ayu sudah mencapai 40 kg.

Wayan Kota mengaku agak khawatir melihat kegemaran anak-anaknya mengkonsumsi fast food. Apalagi, kedua anaknya juga menggemari snack-snack ringan. Ia sadar, kegemaran anaknya membuat mereka rentan terkena beragam penyakit, mulai dari obesitas, penyakit jantung, sampai diabetes melitus. Namun Wayan Kota mengaku selalu melakukan antisipasi. Kota membatasi konsumsi fast food hanya sebulan sekali. ”Sebenarnya sering merengek minta dibelikan. Tapi nggak saya kasi. Cukup sebulan sekali,” ujar Kota diamini sang istri, Nengah Sucita.

Tingginya tingkat kegemaran anak-anak terhadap junkfood, terungkap pula dalam hasil penelitian ahli gizi, Ida Ayu Eka Padmiari, SKM, M.Kes, terhadap 80 anak sekolah dasar di Kota Denpasar pada 2004. Penelitian Dosen Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan Denpasar, itu menyebutkan sekitar 75 persen konsumsi energi anak-anak tersebut berasal dari jajanan. Padmiari mengistilahkannya sebagai street food (makanan jalanan). Sementara itu, hanya 25 persen konsumsi energi anak-anak dipasok dari makanan pokok berupa nasi, daging, sayuran, dan pelengkapnya. Yang dimaksud dengan street food oleh Padmiari sangat beragam, mulai dari beragam fast food, jajanan pasar, hingga snack ringan.

Hasil penelitian Padmiari tentang ”konsumsi makanan jajanan pada anak SD di Denpasar”, itu memperkuat penelitiannya tentang ”fast food dan risiko obesitas” di tahun 2002. Penelitian soal kegemaran anak-anak mengkonsunsumsi fast food ketika menyelesaikan tesisnya di Magister Kesehatan Universitas Gadjah Mada tersebut menemukan, sekitar 15,8 persen anak usia SD di Denpasar mengalami obesitas. Terdiri atas 9,7 persen laki-laki dan 3,9 persen perempuan. Angka itu diperoleh dari total 154 siswa SD di Kota Denpasar. Penelitian dilakukan selama 4 bulan pada 2002.

Penelitian yang menggunakan standar Nutrition Community Health Survey (NCHS) dari WHO tersebut juga menemukan fakta, 50 persen dari anak yang mengalami obesitas ternyata pengkonsumsi setia fast food. Sisanya, mencampur fast food dengan jenis makanan lainnya. Bagi ibu 3 anak kelahiran Denpasar 17 April 1964 ini, perubahan gaya hidup pemicu obesitas tak hanya tercermin dari tren fast food, tetapi juga perubahan cara pergaulan. Sebagian besar anak-anak sekarang memiliki cara bermain yang berbeda. Sebagian besar lebih senang di rumah untuk bermain play station atau sekadar menonton TV. "Anak-anak sekarang akivitas fisiknya sangat kurang. Kalau kita mengonsumsi 100, harusnya kan keluar 100. Tapi biasanya cuma keluar 50 persen. Jadi ada kalori yang tak terpakai dan menjadi timbunan lemak,"jelas Ketua Yayasan Mitra Gizi Bali itu.

Penelitian lanjutan sempat dilakukan Padmiari di tahun 2004 terhadap sebanyak 2.700 orang dewasa. Hasilnya, sebanyak 10,5 orang dewasa di Denpasar mengalami obesitas. Artinya, di setiap 100 orang dewasa, ada sekitar 10 orang mengalami obesitas. Obesitas yang kemudian menjadi pemicu penyakit degeneratif lain seperti jantung dan diabetes melitus, diketahui terjadi karena konsumsi makanan yang berlebih dan aktivitas fisik yang kurang.

Hasil penelitian lain di tahun 2005 terhadap siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Denpasar juga menunjukkan fakta yang cukup mengkhawatirkan. Dari 120 siswa putri yang dijadikan responden, sekitar 70,2 persennya ternyata memiliki pola hidup sedentary. Sisanya hidup dengan pola hidup normal Pola hidup sedentary merupakan pola hidup dengan aktivitas yang rendah dan konsumsi yang berlebih.

Penelitian tersebut pun menunjukkan, para remaja yang memiliki pola hidup sedentary umumnya mengkonsumsi energi berlebih sebesar 101,24 persen dari tingkat kecukupannya. Tingkat kecukupan kalori pada remaja, seharusnya sebesar rata-rata 1.800 kalori per hari. Artinya, remaja yang memiliki pola hidup sedentary umumnya kelebihan energi sebesar 1,24 persen dari 1.800 kalori. Sementara, kelebihan konsumsi protein juga berlebih, mencapai 112,11 persen dari yang seharusnya. Idealnya, konsumsi protein pada remaja sebesar 1 gram untuk setiap 1 kg berat badannya. ”Jadi, kalau beratnya 50 kg, seharusnya protein yang dikonsumsi Cuma 50 gram,” jelas ibu dua anak itu.

Konsumsi yang berlebih dari gaya hidup sedentary, menjadi makin rawan karena konsumsi tersebut tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang cukup. Dari penelitian dengan metode studi komparasi itu, Padmiari mengungkap sejumlah aktivitas sehari-hari pengikut pola hidup sedentary yang dapat memicu obesitas dan beragam penyakit ikutannya seperti diabetes melitus dan jantung. Kegiatan tersebut diantaranya kebiasaan menonton TV, menggunakan kendaraan, malas berolahraga, dan lainnya. Akibatnya, anak yang bergaya hidup sedentary cenderung menjadi gemuk dan rentang penyakit.

Pengaruh pola hidup yang tidak teratur, termasuk hobi mengkonsumsi junkfood, memang menjadi penyebab utama terjadinya obesitas. Sayangnya lagi, obesitas tidak berhenti di situ. Penyakit kelebihan berat badan itu juga memicu munculnya penyakit lainna. Ni Komang Wiardani (39 tahun), ahli gizi lain, sempat melakukan penelitian soal pola makan dan obesitas sebagai faktor risiko diabetes melitus (DM) tipe 2. Seperti diketahui, ada dua tipe DM. Tipe pertama adalah DM yang terjadi karena faktor genetis. Sementara DM tipe 2 merupakan DM yang muncul karena perubahan gaya hidup, aktivitas fisik, dan pola makan.

Dalam penelitian yang dilakukan dalam rangka menyelesaikan studi di Magister Gizi dan Kesehatan Universitas Gadjah Mada tersebut, ditemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara obesitas dengan DM tipe 2. Obesitas yang disebabkan pola makan dan gaya hidup, merupakan faktor risiko terhadap DM tipe 2.

Wiardani membagi jenis obesitas dalam dua tipe, yakni obesitas overall yang dinilai berdasarkan indeks massa tubuh dan obesitas sentral yang dinilai berdasarkan lingkar pingang. Penelitian dilakukan terhadap 147 pasien Rumah Sakit Sanglah. Terdiri dari 49 pasien DM, sementara 98 lainnya terdiri dari pasien penyakit lain yang tidak mengalami DM dam individu sehat yang bertempat tinggal berdekatan dengan pasien DM. Hasilnya, orang dengan obesitas overall memiliki risiko 5,5 kali lebih besar terhadap DM tipe 2 dibandingkan yang tidak obesitas. Sementara itu, obesitas sentral memiliki risiko 3,7 kali lebih besar terhadap DM tipe 2 dibandingkan dengan yang tidak obesitas. ”Obesitas adalah faktor risiko bagi terjadinya DM tipe 2. Pengaruhnya sangat signifikan,” begitu ibu dua anak yang menggarap penelitiannya selama Agustus-Desember 2005 itu.

Dari penelitian yang sama, Wiardani juga menemukan beragam riwayat pola hidup tidak sehat dari para penderita obesitas. Diantaranya konsumsi yang berlebih terhadap karbohidrat, lemak, dan makanan suplemen lainnya. ”Frekuensi kunjungan mereka ke restoran fast food umumnya juga sangat tinggi,” tegas Wiardani yang meraih gelar magisternya dengan predikat cumlaude. Sayang, Wiardani enggan mengungkap hasil penelitiannya secara detil dengan alasan belum dipublikasikan secara resmi melalui jurnal ilmiah.

Atas tingginya risiko yang mungkin dialami akibat pola hidup tidak sehat, termasuk kebiasaan mengkonsumsi junkfood, Padmiari menyarankan kepada para orang tua untuk membatasi konsumsi junkfood. ”Junkfood sebenarnya nggak masalah, asal konsumsi makanan pokoknya tetap dan diimbangi dengan makanan berserat,” jelas Padmiari. Memberikan makanan dengan gizi seimbang, dikatakan sangat penting. Artinya, komposisi karbohidrat yang masuk ke tubuh sesuai dengan komposisi protein maupun lemaknya. Melakukan olahraga dan aktivitas fisik lainnya juga tak kalah penting. Agar masa depan anak-anak tak terhalang penyakit degeneratif. [Komang Erviani]

Kamis, 05 April 2007

Nila Bali Ternoda Deterjen

Bau busuk langsung menyambut, ketika mendekati kawasan Pintu Air Buagan, salah satu bagian di hilir Sungai Badung, Denpasar, Bali. Semakin dekat, baunya makin menyengat. Warna airnya terlihat pekat. Sampah-sampah menumpuk di beberapa sudut. Di sepanjang bantaran sungai, beberapa gunungan sampah seperti tak bisa luput dari pandangan, seperti tak terkendali.

Di antara rimbun sampah di Sungai Badung, Made Segara (40 tahun) tampak asyik memancing bersama Ayu (2 tahun), putri keduanya. Tawa riang sesekali terdengar dari bibir mungil Ayu, setiap kali ikan menyangkut di kail sang ayah. Ada lumayan banyak ikan nila hasil pancingan Made Segara hari itu. “Kadang-kadang saya bisa dapat 50 ekor,” terang Segara yang biasa menghabiskan akhir pekannya di tempat itu. Sudah hampir 20 tahun, Sungai Badung menjadi pilihan utamanya untuk menyalurkan hobi memancing.

Sampah-sampah yang menumpuk, sama sekali tidak mengganggunya. Tidak juga mengganggu beberapa pemancing lainnya yang hari itu juga sibuk dengan kail-kailnya. “Ini sudah termasuk bersih mbak. Biasanya kotor sekali,” jelas Segara. Akhir pekan, Sabtu dan Minggu, menurutnya merupakan pilihan paling tepat untuk memancing di Sungai Badung. Sebab, pembersihan sepanjang aliran sungai dilakukan pihak Pemerintah Kota Denpasar setiap hari Kamis. “Kalau belum dibersihkan, kita nggak bisa mancing kayak gini,” ujarnya.

Sungai Badung, masih menjadi pilihan bagi para pemancing untuk menyalurkan hobinya. Padahal di awal Maret ini, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Bali telah menyatakan sungai ini tercemar oleh bahan-bahan kimia buatan. “Kami menemukan indikasi pencemaran,” jelas Kepala Bidang Pengawasan Dampak Lingkungan, Bapedalda Bali, AA GA Sastrawan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2006 itu, air di kawasan hilir Sungai Badung ini merupakan salah satu yang tercemar berat dengan kandungan bahan-bahan kimia berbahaya jauh di atas ambang baku mutu. Nilai STORET, atau nilai perbandingan antara data kualitas air dengan baku mutu yang disesuaikan peruntukannya, dari air yang diteliti di hilir Sungai Badung ini mencapai minus 74.

Berdasarkan ketentuan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air, parameter mutu air dengan kualitas baik adalah dengan nilai STORET nol. Cemaran air di Sungai Badung dinyatakan berasal dari deterjen, minyak, nitrit, fosfat, Plumbun (Pb), Cadnium (Cd), dan bakteri E.Colli. Indikasi pencemaran juga dilihat dari meningkatnya kadar BOD (Biology Oxygen Demand/ parameter yang menunjukkan kadar bahan-bahan organic yang berasal dari limbah domestik, limbah makanan, dan dekomposisi bahan organik) serta kadar COD (Chemist Oxygen Demand /parameter yang menunjukkan kadar oksidasi bahan anorganik).

Tak cuma di Sungai Badung, hasil penelitian yang sama juga menemukan indikasi pencemaran pada 21 sungai lain di Bali. Diantaranya Sungai Medewi, Sungai Yeh Leh, Sungai Balian, Sungai Sungi, Sungai Mati, Sungai Ayung, Sungai Pakerisan, Sungai Petanu, Sungai Melangit, Sungai Jinah, Sungai Unda, Sungai Saba, Sungai Sangsang, Sungai Bubuh, Sungai Daya, Sungai Yeh Sumbul, Sungai Yeh Satang, Sungai Pulukan, Sungai Yeh Lebah, dan Sungai Panghyangan Pengragoan. Semua sungai tersebut di hampir seluruh kabupaten/kota di Bali. Untuk masing-masing sungai, penelitian difokuskan pada kawasan hulu, tengah, dan hilir. Hasilnya, sebagian besar sungai telah mengalami pencemaran berat dengan nilai STORET melebihi minus 30.

Menurut Sastrawan, pencemaran dapat terjadi oleh berbagai hal. Pencemaran fosfat dan nitrit misalnya diduga karena kegiatan perkebunan, dan limbah pertanian dengan menggunakan pupuk kimia buatan. Pencemaran karena limbah industri makanan, limbah domestik, limbah rumah tangga, limbah tekstil, serta limbah umum lain seperti bekas baterai, cat, pengawet kayu, peralatan listrik, pelumas, peralatan fotografi, gelas, dan plastik, merupakan factor-faktor pencemar yang sangat mengganggu ekosistem. “Pencemaran umumnya disebabkan oleh aktivitas keseharian masyarakat yang tidak ramah lingkungan,” terangnya.

Pemilik industri tekstil di kawasan bantaran Sungai Badung, merupakan pihak yang akhir-akhir ini paling dipersalahkan akibat pencemaran di Sungai Badung. Pihak Satuan Polisi Pamong Praja Kota Denpasar, bahkan gencar melakukan sidak kepada puluhan usaha pencelupan tekstil yang berada di bantaran sungai ini. Hasilnya, sebanyak sepuluh pengusaha telah dikenai denda masing-masing Rp 5 juta rupiah.

Sugeng, 36 tahun, merupakan salah satu yang bernasib sial. Tiga minggu lalu, pengusaha tekstil asal Banyuwangi Jawa Timur ini terpaksa mencari pinjaman uang ke teman dan tetangganya untuk membayar denda Rp 5 juta yang dijatuhkan dalam sidang tindak pidana ringan (tipiring) di kantor Sat Pol PP Kota Denpasar. Sugeng dan sembilan rekannya sesama pengusaha penceluban tekstil, dinyatakan bersalah telah melakukan pencemaran dengan tidak melakukan pengolahan terhadap limbah tekstilnya. Bila tak membayar denda, bapak tiga anak ini diancam penjara selama tiga bulan. “Daripada dipenjara, saya akhirnya pinjam uang ke mana-mana. Syukurnya dapat,” cerita Sugeng yang ketika itu hanya diberi waktu beberapa jam untuk membayar denda. “Diketok jam 10 pagi, maksimal jam tiga sore harus sudah dibayar. Pusing juga waktu itu,” kenangnya.

Sugeng sendiri mengaku telah menyadari kesalahannya. Limbah tekstilnya dibuang begitu saja tanpa pengolahan, di sebuah lubang tanpa lapisan beton. Akibatnya, terjadi perembesan limbah ke sungai dan sumur-sumur warga. “Saya tahu kalau saya salah. Tapi bagaimana lagi. Saya tidak ada biaya untuk membangun tempat pengolahan limbah,” Sugeng beralasan. Tapi, alasan Sugeng tak dipedulikan pihak Sat Pol PP Kota Denpasar. Lima juta rupiah tetap harus dibayarnya. “Uang lima juta itu sudah bukan lumayan lagi. Untuk dapat segitu, nggak mudah bagi pengusaha kayak saya,” ujarnya.

Nasi sudah menjadi bubur bagi Sugeng. Maka ia mulai melakukan pembenahan. Kini, ia membangun sebuah tempat pengolahan limbah sendiri. Sedikitnya, enam lubang beton berukuran 2 meter x 1,5 meter x 2,25 meter, dibangunnya di tempat usahanya yang seluas 4 are. “Limbah –limbah itu nanti akan masuk ke setiap tahap di lubang-lubang ini. Jadi, ketika kami buang ke sungai, sudah bebas dari bahan pewarna,” ujar pria yang sudah 23 tahun tinggal di Bali itu, optimis. Ia berharap setelah ini usahanya bisa berjalan normal kembali, tanpa harus membayar denda karena kesalahannya. Namun di sela-sela wawancara, ada seorang oknum petugas SatPol PP Kota Denpasar datang. Tiga lembar ribuan langsung dikeluarkan dari sakunya, diserahkan kepada si empunya kostum coklat-coklat itu. “Biasa mbak, tiap hari juga begitu,” tandas Sugeng santai.

Banyaknya permainan oknum aparat yang cenderung membiarkan pencemaran untuk alasan ekonomi pribadi, memang menjadi masalah klasik yang mempersulit upaya menyetop pencemaran. Seperti diakui Made Segara. “Petugas kadang-kadang heboh melakukan penertiban. Tapi kadangdiam-diam aja. Nggak tahu juga. Jaman sekarang, pake pelican aja, semua pasti selesai,” keluhnya.

Uniknya, meski mengetahui hasil penelitian Bapedalda, Segara tak khawatir memancing di lokasi tersebut. Menurutnya, Sungai Badung masih cukup bersih dibandingkan sungai-sungai lain. Selain itu, ikan di Sungai tersebut juga cukup enak dibandingkan ikan di sungai lain. “Saya pernah mancing di sungai lain, malah airnya biru. Waktu saya masuk sungai, kaki saya warna biru. Ikannya waktu saya makan juga, terasa kayak ada bahan kimia. Kalau di sini, ikannya masih enak,” Segara beralasan.

Bagaimanapun caranya, pencemaran lingkungan harus segera dihentikan. BapedaldaBali, menurut Sastrawan, telah berupaya mengimbau masyarakat melalui camat-camat di lokasi sungai-sungai tersemar, untuk segera melakukan sosialisasi tentang hidup sehat. Upaya penting untuk itu diantaranya dengan tidak membuang sampah ke sungai dan saluran drainase, tidak membuang limbah domestic langsung ke sungai, melakukan pengolahan limbah cair, melakukan penghijauan di Daerah Aliran Sungai, tidak melakukan pembangunan di area sempadan sungai, memperketat pemberian izin mendirikan bangunan di daerahresapan air hujan, membatasi penutupan pekarangan dengan semen, serta melakukan pengawasan terhadap unit usaha yang menghasilkan limbah. Tentu saja, upaya-upaya yang dilakukan perlu didukung oleh pola hidup ramah lingkungan dari masyarakat. [Komang Erviani]