Google
 

Rabu, 20 Juni 2007

Serbuan Berduri Karang Bali

Mahkota berduri menyerbu kawasan konservasi laut Bali Barat. Merusak karang penjaga ekosistem. Gara-gara eksploitasi napoleon.

Bermodal alat selam, besi kait, dan sebuah keranjang bambu, sekitar 130 orang warga di sekitar Taman Nasional Bali Barat (TNBB), bersiap menuju pulau seberang. Di antara mereka ada nelayan, perangkat desa adat, praktisi hotel, dive operator, anak sekolah, hingga petugas TNBB sendiri. Dari pelabuhan kecil di ujung barat Pulau Bali, Labuhan Lalang, perahu nelayan membawa mereka menuju Pulau Menjangan. Semuanya membawa misi yang sama, yakni penyelamatan ekosistem laut Pulau Menjangan.

Pulau kecil yang merupakan salah satu pemegang ekosistem laut utama Pulau Bali itu, kini tengah diancam kerusakan. Biang keroknya adalah mahkota berduri, binatang sejenis bintang laut yang merupakan predator karang yang ada secara alami dalam ekosistem terumbu karang. Nama lain hewan ini adalah Acanthaster plancii atau crown of thorn. Dalam jumlah wajar, mahkota berduri sangat berguna menyeimbangkan laju pertumbuhan karang. Namun sejak predatornya, antara lain ikan napoleon dan kerang triton, habis dieksploitasi manusia, populasi mahkota berduri di Pulau Menjangan meningkat drastis. Akibat populasi yang berlebihan, keberadaan mahkota berduri malah merusak ekosistem terumbu karang.

Tidak banyak yang bisa dilakukan masyarakat Bali Barat untuk mengembalikan keseimbangan ekosistem laut di kawasan mereka. Yang bisa dilakukan hanyalah membersihkan mahkota berduri dari kawasan itu, sekadar untuk mengurangi populasinya yang terlalu berlebih. Dan, misi itu pula yang lagi-lagi dibawa warga sekitar TNBB di Pulau Menjangan, tepat di Hari Lingkungan Hidup, 5 Juni lalu. Hasilnya, 550 ekor mahkota berduri dibersihkan dari areal seluas 10 hektar di permukaan laut kawasan Bali Barat, atau sekitar 80 persen dari populasi mahkota berduri yang ada.

Aksi bersih-bersih tidak hanya dilakukan secara fisik. Kali ini, masyarakat yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir (FKMPP) Bali Barat juga melakukan pembersihan secara spiritual. Masyarakat menggelar upacara pecaruan dan pakelem yang oleh umat hindu di Bali dipercaya sebagai upacara untuk membersihkan segala sesuatu yang tidak berguna di alam. Upacara pecaruan dan pekelem ini untuk pertama kalinya dilakukan oleh warga setempat. Sebelumnya, tiap tahun warga lebih menekankan pada kegiatan pembersihan secara fisik, namun mahkota berduri masih menyerang terumbu karang di sekitar Pulau Menjangan.

"Ada keresahan bahwa terumbu karang akan terus diserang mahkota berduri. Maka perlu pendekatan spiritual untuk mengimbangi pembersihan yang selama ini sudah dilakukan," kata Ketua FKMPP Bali Barat, Misnawiyanto. Menurut Mis, wabah mahkota berduri bisa jadi merupakan bagian dari bencana alam yang terus terjadi akhir-akhir ini. Menurutnya, fenomena itu mungkin terjadi akibat dampak perubahan iklim global (climate change). Hal ini dapat dilihat dari terjadinya wabah serupa di berbagai tempat di dunia. Di Filipina misalnya, pada April lalu terjadi serangan yang sama terhadap terumbu karang setempat akibat populasi mahkota berduri yang berlebih. Warga sekitar TNBB maupun dive operator khawatir hal yang sama akan terjadi di Bali. Maka diadakan pecaruan dan pakelem yang lebih menekankan aspek spiritual. Upacara ini untuk mendukung upaya pembersihan yang sudah dilakukan secara rutin.

Serbuan mahkota berduri yang tak terkontrol, sangat mengancam ekosistem di kawasan TNBB. Pasalnya, hewan yang mampu hidup selama 3-5 tahun ini menghisap zoozanthellae yang merupakan teman hidup hewan karang dan memberi warna karang. Akibatnya, karang menjadi memutih. Karang yang paling disukai terutama jenis karang meja (acropora). Dampaknya, terjadi keruakan terumbu karang yang imbasnya ke sector pariwisata, perikanan, serta terganggunya fungsi ekologi karang sebagai pencegah abrasi. “Keluhan lebih sering dari pelaku wisata bahari, karena banyak karang yang menjadi putih,” tegas Made Iwan Dewantama, aktivis lingkungan dari Yayasan WWF-Indonesia.

Serbuan mahkota berduri, menurut Kepala Program Master Lingkungan Universita Udayana, I Wayan Arthana, dapat berdampak merusak segala sendi kehidupan manusia. Akibat paling jelas akan terlihat dari menurunnya produki ikan di kawasan tersebut. Pasalnya, terumbu karang yang bisa dijadikan rumah ikan, sudah tidak ada lagi. Sangat mungkin ikan-ikan tersebut akan mati karena tidak memiliki ruang untuk hidup, atau berpindah ke kawasan lain yang penuh terumbu karang. Akibat terparah yang mungkin terjadi, adalah abrasi pantai. “Ini sangat serius karena karang menjadi barier ombak agar tidak langsung menghantam pantai. Kalau karang-karang habis akibat mahkota berduri, sangat mungkin akan terjadi abrasi besar-besaran yang semakin memperkecil kawasan daratan,” tegas Arthana. Terancamnya karang juga akan memperkecil produksi pasir putih yang sebenarnya berasal dari pecahan-pecahan karang.

Serbuan mahkota berduri ke kawasan Menjangan, diperkirakan terjadi karena predator hewan laut ini sudah habis dieksploitasi manusia. Setiap makhluk dalam ekosistem, memiliki predator untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Namun menurut Iwan, predator utama mahkota berduri, yakni ikan napoleon dan kerang triton, habis dieksploitasi oleh manusia. Harga ikan napoleon yang mahal dan rasanya yang enak, menjadi salah satu pemicu banyaknya orang tergiur mengeksploitasi predator mahkota berduri itu. Padahal, ikan napoleon kini telah masuk kategori binatang dilindungi. Akibatnya, TNBB sebagai daerah konservasi dan tujuan wisata, secara rutin mendapat serangan mahkota berduri.

Tak cuma itu, Iwan juga menengarai adanya keterkaitan serbuan mahkota berduri dengan pemanasan global yang membuat air laut menjadi lebih hangat. Pasalnya, mahkota berduri cenderung senang hidup di air yang hangat. Meski demikian, diakui Iwan bahwa diperlukan penelitian lebih lanjut guna merumuskan tindakan pencegahan yang tepat. ”Tapi penelitian makhluk laut memang cukup sulit dan membutuhkan biaya besar,” tegas Iwan. Arthana justru memiliki pendapat lain atas serbuan mahkota berduri. Ia mensinyalir ada kaitan serbuan mahkota berduri dengan ketidakseimbangan ekosistem yang telah terjadi belakangan. Termasuk akibat ulah-ulah manuia yang tak bertanggung jawab, seperti penangkapan ikan dengan sianida.

Sementara ini, yang bisa dilakukan hanyalah membersihkan sebagian mahkota berduri dari kawasan Menjangan. Pembersihan secara total mahkota berduri, menurutnya tidak bisa dilakukan karena justru akan memperparah keseimbangan ekosistem. ”Mahkota berduri tidak boleh dimusnahkan total, karena dalam kondisi normal, mahkota berduri bertugas memakan karang yang pertumbuhannya sangat cepat. Dengan begitu, tidak akan terjadi dominasi jenis hewan tertentu. Untuk jangka panjang, jelas Iwan, perlu diefektifkan tindak perlindungan terhadap ikan napoleon dan kerang triton, sehingga mahkota berduri tetap memiliki predator. Selain itu, diperlukan manajemen pengelolaan laut yang baik serta penegakan hukum yang serius dan tidak memihak.

Arthana juga menyatakan pendapat serupa tentang pentingnya penanganan serius atas serbuan mahkota berduri. Dalam jangka pendek, ia menilai penting membangun areal proteksi di kawasan yang diserang mahkota berduri. “Jadi di areal itu, jangan boleh ada aktivitas selama beberapa waktu tertentu yang berpotensi mengganggu, seperti diving, penangkapan ikan, atau aktivitas lain,” tegas Arthana. Sementara dalam jangka panjang, dinilai penting untuk mengembalikan ikan napoleon dan kerang triton ke dalam ekosistem, dengan populasi yang berimbang. Namun diperlukan upaya serius dan pengawasan yang kontinyu untuk mengembalikan ikan napoleon dan kerang triton ke dalam habitatnya, sehingga kembali melakukan fungsinya memangsa mahkota berduri. [Komang Erviani]