Rabu, 26 Maret 2008
Selasa, 18 Maret 2008
PAP Ngurah Rai Minta Maaf atas Insiden Penangkapan Fotografer
BADUNG – PT. Persero Angkasa Pura (PAP) I Ngurah Rai, Denpasar, Bali, secara resmi meminta maaf atas terjadinya insiden ‘penangkapan’ seorang jurnalis foto (fotografer) oleh security bandara saat mengambil foto maskapai AdamAir.
Permintaan maaf itu disampaikan General Manager PAP I Ngurah Rai I Nyoman Suwetja Putra saat bertemu dengan organisasi profesi jurnalistik di Kantor PAP I Ngurah Rai, di lingkungan Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali, Selasa (18/3/2007).
Dari kalangan pers diwakili Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Denpasar, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Bali-Nusa Tenggara dan sejumlah jurnalis yang bersimpati atas insiden tersebut. “Kami secara resmi minta maaf jika anak buah kami telah bertindak dan berbicara kasar,” kata Suwetja.
Menurut Suwetja, tiga orang security yang saat itu bertugas sudah memenuhi prosedur terutama untuk mengatisipasi munculnya gangguan terkait keamanan dan keselamatan di kawasan bandara. Namun, ia tidak memungkiri jika dalam praktiknya ada anggotanya yang bertindak berlebihan. “Maklum, banyak anggota kami yang hanya lulusan SMP, sehingga otaknya kurang cerdas,” ungkapnya.
Namun demikian, Suwetja meminta agar setiap wartawan mematuhi dan ikut menjaga kemananan di lingkungan bandara. Apalagi beberapa hari sebelumnya pihak security bandara sempat memergoki tiga orang mencurigakan mengendap-endap di sekitar kawasan bandara. Namun setelah diperiksa, mereka ternyata nelayan.
Atas insiden tersebut, Suwetja berjanji akan melakukan pembinaan kepada para staf, terutama security, agar lebuh bisa memberikan pelayanan yang ramah kepada siapapun, termasuk pers. Pihaknya juga akan melakukan pembenahan yang lebih konkret terkait prosedur bagi wartawan yang ingin melaksanakan peliputan di lingkungan Bandara Ngurah Rai. Pihaknya bahkan menawarkan adanya semacam nota kesepakatan (MoU) antara PAP-jurnalis untuk memudahkan setiap wartawan yang ingin meliput di areal bandara. “Kalau bisa sebelum April sudah direalisasikan,” katanya.
Yang mengejutkan, Suwetja juga berencana segera memutasi Kepala Humas PAP I Ngurah Rai Akhmad Munir. Menurut dia, insiden ‘penangkapan’ fotografer itu juga menunjukkan tidak berfungsinya divisi humas. “Saya sudah mendengar lama kalau dia (Munir, red) perilakunya tidak mencerminkan seorang humas. Dengan kejadian ini, semakin kuat alasan kami untuk memindahnya,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua AJI Denpasar Bambang Wiyono yang ikut hadir dalam pertemuan itu menilai pihak PAP I Ngurah Rai seperti memiliki ketakutan yang berlebihan ketika berhadapan dengan media. “Saya melihat seperti ada sebuah ketakutan ketika jurnalis mencoba untuk mengambil gambar dari sini. Sehingga perlakuannya menjadi berlebihan. Misalkan kalau ini bukan terjadi pada fotografer, apakah akan diperlakukan seperti itu? Kalau sebuah institusi merasa tidak memiliki salah satu aib, kenapa mesti takut, apalagi sampai menghalangi seorang wartawan saat hendak meliput,” katanya.
Hal senada dikatakan Ketua IJTI Bali-Nusa Tenggara Syafrudin Siregar. Dia mengatakan ikut mendukung langkah yang akan diambil PAP I Ngurah Rai dalam merumuskan aturan yang jelas terkait tugas jurnalis yang ingin meliput di kawasan bandara. Menurut dia, insiden serupa selama ini sering menimpa wartawan yang hendak meliput di kawasan Bandara Ngurah Rai.
Seperti diberitakan sebelumnya, fotografer harian Seputar Indonesia Zul T Edoardo ditangkap petugas security PAP I Ngurah Rai saat hendak mengambil gambar pesawat AdamAir dari luar pagar pembatas bandara, Senin (19/3/2008). Meski sudah menunjukkan Press Card dan hanya mengambil gambar dari luar pagar pembatas bandara, Zul tetap ditangkap dan sempat ditahan selama hampir empat jam di salah satu ruangan.
Permintaan maaf itu disampaikan General Manager PAP I Ngurah Rai I Nyoman Suwetja Putra saat bertemu dengan organisasi profesi jurnalistik di Kantor PAP I Ngurah Rai, di lingkungan Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali, Selasa (18/3/2007).
Dari kalangan pers diwakili Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Denpasar, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Bali-Nusa Tenggara dan sejumlah jurnalis yang bersimpati atas insiden tersebut. “Kami secara resmi minta maaf jika anak buah kami telah bertindak dan berbicara kasar,” kata Suwetja.
Menurut Suwetja, tiga orang security yang saat itu bertugas sudah memenuhi prosedur terutama untuk mengatisipasi munculnya gangguan terkait keamanan dan keselamatan di kawasan bandara. Namun, ia tidak memungkiri jika dalam praktiknya ada anggotanya yang bertindak berlebihan. “Maklum, banyak anggota kami yang hanya lulusan SMP, sehingga otaknya kurang cerdas,” ungkapnya.
Namun demikian, Suwetja meminta agar setiap wartawan mematuhi dan ikut menjaga kemananan di lingkungan bandara. Apalagi beberapa hari sebelumnya pihak security bandara sempat memergoki tiga orang mencurigakan mengendap-endap di sekitar kawasan bandara. Namun setelah diperiksa, mereka ternyata nelayan.
Atas insiden tersebut, Suwetja berjanji akan melakukan pembinaan kepada para staf, terutama security, agar lebuh bisa memberikan pelayanan yang ramah kepada siapapun, termasuk pers. Pihaknya juga akan melakukan pembenahan yang lebih konkret terkait prosedur bagi wartawan yang ingin melaksanakan peliputan di lingkungan Bandara Ngurah Rai. Pihaknya bahkan menawarkan adanya semacam nota kesepakatan (MoU) antara PAP-jurnalis untuk memudahkan setiap wartawan yang ingin meliput di areal bandara. “Kalau bisa sebelum April sudah direalisasikan,” katanya.
Yang mengejutkan, Suwetja juga berencana segera memutasi Kepala Humas PAP I Ngurah Rai Akhmad Munir. Menurut dia, insiden ‘penangkapan’ fotografer itu juga menunjukkan tidak berfungsinya divisi humas. “Saya sudah mendengar lama kalau dia (Munir, red) perilakunya tidak mencerminkan seorang humas. Dengan kejadian ini, semakin kuat alasan kami untuk memindahnya,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua AJI Denpasar Bambang Wiyono yang ikut hadir dalam pertemuan itu menilai pihak PAP I Ngurah Rai seperti memiliki ketakutan yang berlebihan ketika berhadapan dengan media. “Saya melihat seperti ada sebuah ketakutan ketika jurnalis mencoba untuk mengambil gambar dari sini. Sehingga perlakuannya menjadi berlebihan. Misalkan kalau ini bukan terjadi pada fotografer, apakah akan diperlakukan seperti itu? Kalau sebuah institusi merasa tidak memiliki salah satu aib, kenapa mesti takut, apalagi sampai menghalangi seorang wartawan saat hendak meliput,” katanya.
Hal senada dikatakan Ketua IJTI Bali-Nusa Tenggara Syafrudin Siregar. Dia mengatakan ikut mendukung langkah yang akan diambil PAP I Ngurah Rai dalam merumuskan aturan yang jelas terkait tugas jurnalis yang ingin meliput di kawasan bandara. Menurut dia, insiden serupa selama ini sering menimpa wartawan yang hendak meliput di kawasan Bandara Ngurah Rai.
Seperti diberitakan sebelumnya, fotografer harian Seputar Indonesia Zul T Edoardo ditangkap petugas security PAP I Ngurah Rai saat hendak mengambil gambar pesawat AdamAir dari luar pagar pembatas bandara, Senin (19/3/2008). Meski sudah menunjukkan Press Card dan hanya mengambil gambar dari luar pagar pembatas bandara, Zul tetap ditangkap dan sempat ditahan selama hampir empat jam di salah satu ruangan.
Senin, 17 Maret 2008
Meliput Adam Air, Fotografer Ditangkap
DENPASAR – Pemberitaan tentang gonjang-ganjingnya maskapai Adam Air menorehkan getah pahit bagi jurnalis di Bali. Ini setelah seorang fotografer ditangkap saat melaksanakan tugas jurnalistik di Bandara Ngurah Rai, Badung, kemarin.
Peristiwa yang menimpa fotografer Koran Seputar Indonesia Zul T Edoardo ini berawal saat dia berusaha mengambil foto pesawat Adam Air dari luar pagar pembatas bandara, sekitar pukul 17.00 wita kemarin. Setelah sekitar setengah jam, Zul akhirnya berhasil mengambil gambar pesawat Adam Air, meskipun dalam jarak yang cukup jauh karena peswat masih terparkir di landasan.
Namun karena naluri jurnalistiknya merasa merasa belum mememperoleh gambar yang maksimal, fotografer berkacamata ini bersikukuh menunggu pesawat Adam Air take off.
Namun belum sempat niat itu kesampaian, tiga orang security PT Angkasa Pura tiba-tiba mendekat. Meski awalnya sempat merahasiakan identitasnya, Zul lalu mengatakan dirinya jurnalis. Dua petugas secutity bernama I Wayan Guntur dan I Made Sukerdana lantas meminta ID. “Saya kemudian memberikan ID Press,” ujar Zul.
Namun petugas tetap tidak percaya dan malah menanyakan identitas lainnya. Zul lantas memberikan SIM A dari dalam dompetnya. Peristiwa tidak berhenti di situ. Tiga petugas lantas membawa Zul ke pos security. Di tempat ini, tas yang berisi perlengkapan kamera milik zul hendak diperiksa. Namun Zul menolaknya karena khawatir kameranya disita ataupun terjadi kerusakan. “Kamu tidak boleh mengambil gambar di sini,” bentak Guntur dengan nada keras.
Merasa tidak melakukan kesalahan, Zul kemudian mengatakan dia mengambil foto dari pagar pembatas. Tak terima dengan jawaban itu, petugas lalu memasukkan Zul ke dalam mobil dan dibawa menuju kantor ADM (airport duty manager).
Oleh petugas ADM bernama Mandia, Zul lantas diinterogasi dengan nada keras. Bukan cuma itu, tas berisi kamera akhirnya digeledah dan dikelurakan. Bahkan, setelah itu petugas juga memeriksa seluruh badan fotografer ini. Setelah dipastikan aman, dengan enteng petugas ADM mengatakan kejadian ini hanya salah paham. “Namun Anda tetap bersalah karena telah memasuki rumah kami tanpa ijin,” kata Mandia.
Peristiwa itu pun membuat kalangan jurnalis dan Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) malam itu juga mendatangi Bandara Ngura Rai. Petugas akhirnya melepas Zul sekitar pukul 20.00 wita. “Penyelesaiannya tidak sekadar melepas yang bersangkutan, karena ini telah melecehkan profesi jurnalistik. Apalagi fotografer yang bersangkutan mengambil gambar dari luar pagar pembatas bandara,” kata Syafrudin Siregar, pengurus AJI Denpasar.
Hal senada disampaikan Ketua AJI Denpasar Bambang Wiyono. Menurut dia, tidak selayaknya pihak PT Persero Angkasa Pura I Ngurah Rai sampai melakukan penahanan terhadap seorang wartawan. “Itu perlakuan yang berlebihan dan tidak bisa dibenarkan oleh UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” kata Bambang.
Sementara itu, Kepala PAP I Nyoman Suwetja Putra saat dikonfirmasi mengakui sudah mendengar peristiwa tersebut. Menurutnya, kejadian itu hanya berawal dari salah paham. Seharusnya, kata Suwetja, seorang jurnalis harus minta ijin saat hendak meliput di lingkungan bandara. Namun, dia juga mengakui tentang tindakan anak buahnya yang berlebihan. “Karena itu saya juga minta maaf,” ujarnya. (miftachul chusna/ ni komang erviani)
Minggu, 16 Maret 2008
Oase di Gurun Gersang
Koran Seputar Indonesia - Minggu, 16/03/2008
Negara-negara berpenduduk terbesar di dunia sepakat meningkatkan kualitas pendidikan dan kesejahteraan guru. Sebab, selama ini mereka tertinggal dibandingkan bangsa lain.
Tiga unit mobil pintar (smart car) terparkirrapididepanlobi Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali, saat digelar pertemuan ketujuh para menteri pendidikan dari sembilan negara berpenduduk terbesar (E-9), 10–12 Maret lalu. Melengkapi itu, sejumlah anak sekolah taman kanakkanak sengaja didatangkan untuk menyapa para delegasi.
Hari berikutnya, para delegasi juga diajak berkunjung ke SMA Negeri 4 Denpasar. Di sekolah favorit di Denpasar yang berstandar internasional ini, para delegasi dari Indonesia, Bangladesh, Mesir, Brasil, India, China, Meksiko, Nigeria, dan Pakistan disuguhi berbagai kecanggihan teknologi yang diterapkan dalam proses belajar mengajar di sekolah tersebut.
Ada juga berbagai peragaan ilmu pengetahuan dan seni budaya dari berbagai bidang ekstrakurikuler yang diterapkan di sana. Dua agenda tambahan dalam pertemuan sembilan negara berpenduduk terbesar dunia itu sukses membuat kagum para delegasi. Sekretaris Menteri Pendidikan Bangladesh M Musharraf Hossain Bhuiyan mengaku terkesan dengan pembelajaran di SMA Negeri 4 Denpasar ini.
”Sekolah ini bagus, baik dari segi intrakurikuler maupun ekstrakurikulernya. Ini patut ditiru sekolah lain di negara kawasan E-9,”ujarnya. Potret pendidikan sekolah favorit di Pulau Dewata tersebut tentu berbanding terbalik dengan kenyataan wajah pendidikan di negeri ini.
Soal infrastruktur pendidikan, misalnya, kerusakan gedung sekolah masih menimpa sekitar 50% gedung sekolah di Indonesia,437 unit gedung di antaranya terdapat di Jakarta. Jumlah itu bisa jadi naik seiring dengan bencana alam yang terjadi di sejumlah daerah belakangan ini. Begitu juga dengan gaji guru yang rata-rata masih di bawah kesejahteraan, terlebih bagi tenaga honorer atau guru bantu. Persoalan yang dihadapi Indonesia ini juga menimpa negara di kawasan E-9.
Secara umum,dunia pendidikan di kawasan E-9 dianggap masih jauh dari harapan. Menurut Direktur Jenderal UNESCO Koichiro Matsuura, saat ini negara E-9 masih memiliki segudang permasalahan di bidang pendidikan yang cukup memprihatinkan. Misalnya, nasib sebagian besar pengajar yang masih bekerja dengan pendapatan minim,karier tidak jelas, serta tidak mampu mengakses pelatihan dan teknologi informasi untuk meningkatkan kapasitasnya.
Pandangan serupa disampaikan Ketua Harian Komisi Nasional untuk UNESCO Arief Rachman. Di Indonesia sendiri, menurut dia, peningkatan kualitas guru masih menjadi masalah utama, disusul buruknya infrastruktur pendidikan dan rendahnya aksesibilitas masyarakat miskin untuk mengenyam pendidikan. ”Di Indonesia masih ada 40–65% sekolah berada pada keadaan yang fasilitas gedungnya jelek, gurunya terbatas, bukunya tidak lengkap,” ujar dia.
Komitmen anggota negara-negara yang tergabung dalam E-9 untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan kualitas pendidikan ibarat oase di gurun gersang bagi masa depan anakanak bangsa. Deklarasi Bali yang dihasilkan dalam pertemuan selama tiga hari itu, misalnya,memuat butir tentang perlunya mengintensifkan mekanisme kerja sama Selatan- Selatan untuk menambah infrastrukturdanperlengkapan, dukungan pelatihan, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (information and communication technologies/ICT), serta pembelajaran terbuka (open and distance learning/ODL).
Para menteri dari sembilan negara anggota juga menyepakati perlunya menjamin kecukupan jumlah tenaga pengajar, terutama bagi guru perempuan. UNESCO memperkirakan, hingga 2015 masih diperlukan tambahan 18 juta guru sekolah dasar (SD) di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, 40% diperlukan di negaranegara E-9. Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo berpendapat, kerja sama negara-negara E-9 memberi manfaat luar biasa pada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Dia mencontohkan kebijakan sertifikasi guru,wajib belajar sembilan tahun hingga pembuatan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Itu semua merupakan implementasi dari kesepakatankesepakatan kerja sama E-9 sebelumnya. ”Kita belajar banyak dari kawasan E-9,”ujarnya. Namun, dia mengakui masih banyak persoalan yang membelit pendidikan di Indonesia.
Soal pemerataan jumlah guru di perkotaan dan pedesaan, misalnya,masih perlu dicarikan solusinya. Hal itu diduga terkait dengan masalah kesejahteraan guru di daerah pedesaan yang masih rendah. Indonesia, lanjut dia, juga akan belajar dari China tentang mekanisme pemberian insentif kepada guru agar mau bertugas di pedesaan.Indonesia juga sepakat untuk belajar dari Meksiko dan Brasil tentang bagaimana memberdayakan guru melalui kurikulum.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Fasli Jalal menyebutkan, Deklarasi Bali sebagai kesepakatan paling riil karena berisi program-program aksi yang jelas. (ni komang ervíani/ miftachul chusna/ thomas pulungan)
Negara-negara berpenduduk terbesar di dunia sepakat meningkatkan kualitas pendidikan dan kesejahteraan guru. Sebab, selama ini mereka tertinggal dibandingkan bangsa lain.
Tiga unit mobil pintar (smart car) terparkirrapididepanlobi Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali, saat digelar pertemuan ketujuh para menteri pendidikan dari sembilan negara berpenduduk terbesar (E-9), 10–12 Maret lalu. Melengkapi itu, sejumlah anak sekolah taman kanakkanak sengaja didatangkan untuk menyapa para delegasi.
Hari berikutnya, para delegasi juga diajak berkunjung ke SMA Negeri 4 Denpasar. Di sekolah favorit di Denpasar yang berstandar internasional ini, para delegasi dari Indonesia, Bangladesh, Mesir, Brasil, India, China, Meksiko, Nigeria, dan Pakistan disuguhi berbagai kecanggihan teknologi yang diterapkan dalam proses belajar mengajar di sekolah tersebut.
Ada juga berbagai peragaan ilmu pengetahuan dan seni budaya dari berbagai bidang ekstrakurikuler yang diterapkan di sana. Dua agenda tambahan dalam pertemuan sembilan negara berpenduduk terbesar dunia itu sukses membuat kagum para delegasi. Sekretaris Menteri Pendidikan Bangladesh M Musharraf Hossain Bhuiyan mengaku terkesan dengan pembelajaran di SMA Negeri 4 Denpasar ini.
”Sekolah ini bagus, baik dari segi intrakurikuler maupun ekstrakurikulernya. Ini patut ditiru sekolah lain di negara kawasan E-9,”ujarnya. Potret pendidikan sekolah favorit di Pulau Dewata tersebut tentu berbanding terbalik dengan kenyataan wajah pendidikan di negeri ini.
Soal infrastruktur pendidikan, misalnya, kerusakan gedung sekolah masih menimpa sekitar 50% gedung sekolah di Indonesia,437 unit gedung di antaranya terdapat di Jakarta. Jumlah itu bisa jadi naik seiring dengan bencana alam yang terjadi di sejumlah daerah belakangan ini. Begitu juga dengan gaji guru yang rata-rata masih di bawah kesejahteraan, terlebih bagi tenaga honorer atau guru bantu. Persoalan yang dihadapi Indonesia ini juga menimpa negara di kawasan E-9.
Secara umum,dunia pendidikan di kawasan E-9 dianggap masih jauh dari harapan. Menurut Direktur Jenderal UNESCO Koichiro Matsuura, saat ini negara E-9 masih memiliki segudang permasalahan di bidang pendidikan yang cukup memprihatinkan. Misalnya, nasib sebagian besar pengajar yang masih bekerja dengan pendapatan minim,karier tidak jelas, serta tidak mampu mengakses pelatihan dan teknologi informasi untuk meningkatkan kapasitasnya.
Pandangan serupa disampaikan Ketua Harian Komisi Nasional untuk UNESCO Arief Rachman. Di Indonesia sendiri, menurut dia, peningkatan kualitas guru masih menjadi masalah utama, disusul buruknya infrastruktur pendidikan dan rendahnya aksesibilitas masyarakat miskin untuk mengenyam pendidikan. ”Di Indonesia masih ada 40–65% sekolah berada pada keadaan yang fasilitas gedungnya jelek, gurunya terbatas, bukunya tidak lengkap,” ujar dia.
Komitmen anggota negara-negara yang tergabung dalam E-9 untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan kualitas pendidikan ibarat oase di gurun gersang bagi masa depan anakanak bangsa. Deklarasi Bali yang dihasilkan dalam pertemuan selama tiga hari itu, misalnya,memuat butir tentang perlunya mengintensifkan mekanisme kerja sama Selatan- Selatan untuk menambah infrastrukturdanperlengkapan, dukungan pelatihan, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (information and communication technologies/ICT), serta pembelajaran terbuka (open and distance learning/ODL).
Para menteri dari sembilan negara anggota juga menyepakati perlunya menjamin kecukupan jumlah tenaga pengajar, terutama bagi guru perempuan. UNESCO memperkirakan, hingga 2015 masih diperlukan tambahan 18 juta guru sekolah dasar (SD) di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, 40% diperlukan di negaranegara E-9. Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo berpendapat, kerja sama negara-negara E-9 memberi manfaat luar biasa pada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Dia mencontohkan kebijakan sertifikasi guru,wajib belajar sembilan tahun hingga pembuatan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Itu semua merupakan implementasi dari kesepakatankesepakatan kerja sama E-9 sebelumnya. ”Kita belajar banyak dari kawasan E-9,”ujarnya. Namun, dia mengakui masih banyak persoalan yang membelit pendidikan di Indonesia.
Soal pemerataan jumlah guru di perkotaan dan pedesaan, misalnya,masih perlu dicarikan solusinya. Hal itu diduga terkait dengan masalah kesejahteraan guru di daerah pedesaan yang masih rendah. Indonesia, lanjut dia, juga akan belajar dari China tentang mekanisme pemberian insentif kepada guru agar mau bertugas di pedesaan.Indonesia juga sepakat untuk belajar dari Meksiko dan Brasil tentang bagaimana memberdayakan guru melalui kurikulum.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Fasli Jalal menyebutkan, Deklarasi Bali sebagai kesepakatan paling riil karena berisi program-program aksi yang jelas. (ni komang ervíani/ miftachul chusna/ thomas pulungan)
Oase di Gurun Gersang
Koran Seputar Indonesia - Minggu, 16/03/2008
Negara-negara berpenduduk terbesar di dunia sepakat meningkatkan kualitas pendidikan dan kesejahteraan guru. Sebab, selama ini mereka tertinggal dibandingkan bangsa lain.
Tiga unit mobil pintar (smart car) terparkirrapididepanlobi Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali, saat digelar pertemuan ketujuh para menteri pendidikan dari sembilan negara berpenduduk terbesar (E-9), 10–12 Maret lalu. Melengkapi itu, sejumlah anak sekolah taman kanakkanak sengaja didatangkan untuk menyapa para delegasi.
Hari berikutnya, para delegasi juga diajak berkunjung ke SMA Negeri 4 Denpasar. Di sekolah favorit di Denpasar yang berstandar internasional ini, para delegasi dari Indonesia, Bangladesh, Mesir, Brasil, India, China, Meksiko, Nigeria, dan Pakistan disuguhi berbagai kecanggihan teknologi yang diterapkan dalam proses belajar mengajar di sekolah tersebut.
Ada juga berbagai peragaan ilmu pengetahuan dan seni budaya dari berbagai bidang ekstrakurikuler yang diterapkan di sana. Dua agenda tambahan dalam pertemuan sembilan negara berpenduduk terbesar dunia itu sukses membuat kagum para delegasi. Sekretaris Menteri Pendidikan Bangladesh M Musharraf Hossain Bhuiyan mengaku terkesan dengan pembelajaran di SMA Negeri 4 Denpasar ini.
”Sekolah ini bagus, baik dari segi intrakurikuler maupun ekstrakurikulernya. Ini patut ditiru sekolah lain di negara kawasan E-9,”ujarnya. Potret pendidikan sekolah favorit di Pulau Dewata tersebut tentu berbanding terbalik dengan kenyataan wajah pendidikan di negeri ini.
Soal infrastruktur pendidikan, misalnya, kerusakan gedung sekolah masih menimpa sekitar 50% gedung sekolah di Indonesia,437 unit gedung di antaranya terdapat di Jakarta. Jumlah itu bisa jadi naik seiring dengan bencana alam yang terjadi di sejumlah daerah belakangan ini. Begitu juga dengan gaji guru yang rata-rata masih di bawah kesejahteraan, terlebih bagi tenaga honorer atau guru bantu. Persoalan yang dihadapi Indonesia ini juga menimpa negara di kawasan E-9.
Secara umum,dunia pendidikan di kawasan E-9 dianggap masih jauh dari harapan. Menurut Direktur Jenderal UNESCO Koichiro Matsuura, saat ini negara E-9 masih memiliki segudang permasalahan di bidang pendidikan yang cukup memprihatinkan. Misalnya, nasib sebagian besar pengajar yang masih bekerja dengan pendapatan minim,karier tidak jelas, serta tidak mampu mengakses pelatihan dan teknologi informasi untuk meningkatkan kapasitasnya.
Pandangan serupa disampaikan Ketua Harian Komisi Nasional untuk UNESCO Arief Rachman. Di Indonesia sendiri, menurut dia, peningkatan kualitas guru masih menjadi masalah utama, disusul buruknya infrastruktur pendidikan dan rendahnya aksesibilitas masyarakat miskin untuk mengenyam pendidikan. ”Di Indonesia masih ada 40–65% sekolah berada pada keadaan yang fasilitas gedungnya jelek, gurunya terbatas, bukunya tidak lengkap,” ujar dia.
Komitmen anggota negara-negara yang tergabung dalam E-9 untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan kualitas pendidikan ibarat oase di gurun gersang bagi masa depan anakanak bangsa. Deklarasi Bali yang dihasilkan dalam pertemuan selama tiga hari itu, misalnya,memuat butir tentang perlunya mengintensifkan mekanisme kerja sama Selatan- Selatan untuk menambah infrastrukturdanperlengkapan, dukungan pelatihan, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (information and communication technologies/ICT), serta pembelajaran terbuka (open and distance learning/ODL).
Para menteri dari sembilan negara anggota juga menyepakati perlunya menjamin kecukupan jumlah tenaga pengajar, terutama bagi guru perempuan. UNESCO memperkirakan, hingga 2015 masih diperlukan tambahan 18 juta guru sekolah dasar (SD) di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, 40% diperlukan di negaranegara E-9. Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo berpendapat, kerja sama negara-negara E-9 memberi manfaat luar biasa pada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Dia mencontohkan kebijakan sertifikasi guru,wajib belajar sembilan tahun hingga pembuatan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Itu semua merupakan implementasi dari kesepakatankesepakatan kerja sama E-9 sebelumnya. ”Kita belajar banyak dari kawasan E-9,”ujarnya. Namun, dia mengakui masih banyak persoalan yang membelit pendidikan di Indonesia.
Soal pemerataan jumlah guru di perkotaan dan pedesaan, misalnya,masih perlu dicarikan solusinya. Hal itu diduga terkait dengan masalah kesejahteraan guru di daerah pedesaan yang masih rendah. Indonesia, lanjut dia, juga akan belajar dari China tentang mekanisme pemberian insentif kepada guru agar mau bertugas di pedesaan.Indonesia juga sepakat untuk belajar dari Meksiko dan Brasil tentang bagaimana memberdayakan guru melalui kurikulum.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Fasli Jalal menyebutkan, Deklarasi Bali sebagai kesepakatan paling riil karena berisi program-program aksi yang jelas. (ni komang ervíani/ miftachul chusna/ thomas pulungan)
Negara-negara berpenduduk terbesar di dunia sepakat meningkatkan kualitas pendidikan dan kesejahteraan guru. Sebab, selama ini mereka tertinggal dibandingkan bangsa lain.
Tiga unit mobil pintar (smart car) terparkirrapididepanlobi Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali, saat digelar pertemuan ketujuh para menteri pendidikan dari sembilan negara berpenduduk terbesar (E-9), 10–12 Maret lalu. Melengkapi itu, sejumlah anak sekolah taman kanakkanak sengaja didatangkan untuk menyapa para delegasi.
Hari berikutnya, para delegasi juga diajak berkunjung ke SMA Negeri 4 Denpasar. Di sekolah favorit di Denpasar yang berstandar internasional ini, para delegasi dari Indonesia, Bangladesh, Mesir, Brasil, India, China, Meksiko, Nigeria, dan Pakistan disuguhi berbagai kecanggihan teknologi yang diterapkan dalam proses belajar mengajar di sekolah tersebut.
Ada juga berbagai peragaan ilmu pengetahuan dan seni budaya dari berbagai bidang ekstrakurikuler yang diterapkan di sana. Dua agenda tambahan dalam pertemuan sembilan negara berpenduduk terbesar dunia itu sukses membuat kagum para delegasi. Sekretaris Menteri Pendidikan Bangladesh M Musharraf Hossain Bhuiyan mengaku terkesan dengan pembelajaran di SMA Negeri 4 Denpasar ini.
”Sekolah ini bagus, baik dari segi intrakurikuler maupun ekstrakurikulernya. Ini patut ditiru sekolah lain di negara kawasan E-9,”ujarnya. Potret pendidikan sekolah favorit di Pulau Dewata tersebut tentu berbanding terbalik dengan kenyataan wajah pendidikan di negeri ini.
Soal infrastruktur pendidikan, misalnya, kerusakan gedung sekolah masih menimpa sekitar 50% gedung sekolah di Indonesia,437 unit gedung di antaranya terdapat di Jakarta. Jumlah itu bisa jadi naik seiring dengan bencana alam yang terjadi di sejumlah daerah belakangan ini. Begitu juga dengan gaji guru yang rata-rata masih di bawah kesejahteraan, terlebih bagi tenaga honorer atau guru bantu. Persoalan yang dihadapi Indonesia ini juga menimpa negara di kawasan E-9.
Secara umum,dunia pendidikan di kawasan E-9 dianggap masih jauh dari harapan. Menurut Direktur Jenderal UNESCO Koichiro Matsuura, saat ini negara E-9 masih memiliki segudang permasalahan di bidang pendidikan yang cukup memprihatinkan. Misalnya, nasib sebagian besar pengajar yang masih bekerja dengan pendapatan minim,karier tidak jelas, serta tidak mampu mengakses pelatihan dan teknologi informasi untuk meningkatkan kapasitasnya.
Pandangan serupa disampaikan Ketua Harian Komisi Nasional untuk UNESCO Arief Rachman. Di Indonesia sendiri, menurut dia, peningkatan kualitas guru masih menjadi masalah utama, disusul buruknya infrastruktur pendidikan dan rendahnya aksesibilitas masyarakat miskin untuk mengenyam pendidikan. ”Di Indonesia masih ada 40–65% sekolah berada pada keadaan yang fasilitas gedungnya jelek, gurunya terbatas, bukunya tidak lengkap,” ujar dia.
Komitmen anggota negara-negara yang tergabung dalam E-9 untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan kualitas pendidikan ibarat oase di gurun gersang bagi masa depan anakanak bangsa. Deklarasi Bali yang dihasilkan dalam pertemuan selama tiga hari itu, misalnya,memuat butir tentang perlunya mengintensifkan mekanisme kerja sama Selatan- Selatan untuk menambah infrastrukturdanperlengkapan, dukungan pelatihan, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (information and communication technologies/ICT), serta pembelajaran terbuka (open and distance learning/ODL).
Para menteri dari sembilan negara anggota juga menyepakati perlunya menjamin kecukupan jumlah tenaga pengajar, terutama bagi guru perempuan. UNESCO memperkirakan, hingga 2015 masih diperlukan tambahan 18 juta guru sekolah dasar (SD) di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, 40% diperlukan di negaranegara E-9. Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo berpendapat, kerja sama negara-negara E-9 memberi manfaat luar biasa pada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Dia mencontohkan kebijakan sertifikasi guru,wajib belajar sembilan tahun hingga pembuatan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Itu semua merupakan implementasi dari kesepakatankesepakatan kerja sama E-9 sebelumnya. ”Kita belajar banyak dari kawasan E-9,”ujarnya. Namun, dia mengakui masih banyak persoalan yang membelit pendidikan di Indonesia.
Soal pemerataan jumlah guru di perkotaan dan pedesaan, misalnya,masih perlu dicarikan solusinya. Hal itu diduga terkait dengan masalah kesejahteraan guru di daerah pedesaan yang masih rendah. Indonesia, lanjut dia, juga akan belajar dari China tentang mekanisme pemberian insentif kepada guru agar mau bertugas di pedesaan.Indonesia juga sepakat untuk belajar dari Meksiko dan Brasil tentang bagaimana memberdayakan guru melalui kurikulum.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Fasli Jalal menyebutkan, Deklarasi Bali sebagai kesepakatan paling riil karena berisi program-program aksi yang jelas. (ni komang ervíani/ miftachul chusna/ thomas pulungan)
Turis Australia Terancam Beralih
Koran Seputar Indonesia - Minggu, 16/03/2008
DENPASAR (SINDO) – Turis asal Australia terancam mengalihkan kunjungan wisatanya ke Singapura dan Vietnam akibat penerbangan langsung ke Bali sangat minim.
Padahal,wisatawan Australia selama ini menjadi pasar potensial pariwisata Bali. Sekjen Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali Perry Markus mengaku banyak wisatawan yang mengeluhkan atas minimnya kuantitas penerbangan langsung Australia–Bali. Untuk ke Bali, kata Perry, para turis harus melewati Jakarta atau ke Sydney terlebih dahulu. Padahal, banyak wisatawan Australia yang berasal dari Brisbane,Adelaide, atau Perth.Terpaksa turis harus menambah waktu tempuh dari daerah mereka ke Sidney atau Jakarta.
”Ini dikeluhkan. Jadi, yang dari Brisbane harus ke Sidney dulu. Malah ada juga yang harus ke Jakarta dulu,”ujar Perry di Denpasar kemarin. Dia mengaku kondisi ini membuat wisatawan Australia mulai beralih ke destinasi wisata lain dengan akses penerbangan lebih mudah.Dua negara yang kini banyak dikunjungi turis Australia,yakni Vietnam dan Singapura.”Karena susah ke Bali, mereka lebih gampang ke Vietnam atauke Singapura,”terangnya.
Perry mengaku sejauh ini memang belum menunjukkan tanda-tanda memburuknya kunjungan wisatawan Australia ke Bali.Namun, pemerintah mengabaikan kondisi ini, maka jumlah wisatawan akan terus berkurang. Dia menambahkan,berdasarkan data Dinas Pariwisata Bali, total kunjungan wisatawan Australia ke Bali pada Januari 2008 memang masih tinggi,yakni mencapai 20.235 orang, naik 59% dibandingkan Januari 2007 yang hanya 12.716 orang. Ke depan Perry berharap pemerintah segera menyelesaikan persoalan tersebut dengan menambah penerbangan langsung rute penerbangan Denpasar–Perth, Denpasar– Brisbane, dan Denpasar– Adelide.
”Bila tidak, wisatawan Australia terancam akan beralih secara besarbesaran ke Vietnam atau Singapura. Australia adalah pasar potensial untuk kita. Mereka sangat mengharapkan ada penambahan penerbangan,” ujarnya. Ketua Program Studi Pariwisata Universitas Udayana I Putu Anom menyesalkan minimnya akses penerbangan langsung Bali–Australia.
Di mata Anom, wisatawan Australia sangat menjanjikan, mengingat adanya kedekatan budaya antara masyarakat Australia dengan Bali. Terbukti, tragedi Bom Bali yang menewaskan ratusan warga Australia tidak mengurangi minat warga Australia berwisata di Bali. Selain itu, kendati pemerintah Australia mengeluarkan travel warning bagi warganya ke Indonesia,turis dari Australia tetap banyak yang berkunjung ke Tanah Air. ”Biar ada travel warning,mereka tetap datang.Saya harap Garuda membuka penerbangan tambahan langsung Bali-Australia.” (fahmi faisa/ni komang erviani)
DENPASAR (SINDO) – Turis asal Australia terancam mengalihkan kunjungan wisatanya ke Singapura dan Vietnam akibat penerbangan langsung ke Bali sangat minim.
Padahal,wisatawan Australia selama ini menjadi pasar potensial pariwisata Bali. Sekjen Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali Perry Markus mengaku banyak wisatawan yang mengeluhkan atas minimnya kuantitas penerbangan langsung Australia–Bali. Untuk ke Bali, kata Perry, para turis harus melewati Jakarta atau ke Sydney terlebih dahulu. Padahal, banyak wisatawan Australia yang berasal dari Brisbane,Adelaide, atau Perth.Terpaksa turis harus menambah waktu tempuh dari daerah mereka ke Sidney atau Jakarta.
”Ini dikeluhkan. Jadi, yang dari Brisbane harus ke Sidney dulu. Malah ada juga yang harus ke Jakarta dulu,”ujar Perry di Denpasar kemarin. Dia mengaku kondisi ini membuat wisatawan Australia mulai beralih ke destinasi wisata lain dengan akses penerbangan lebih mudah.Dua negara yang kini banyak dikunjungi turis Australia,yakni Vietnam dan Singapura.”Karena susah ke Bali, mereka lebih gampang ke Vietnam atauke Singapura,”terangnya.
Perry mengaku sejauh ini memang belum menunjukkan tanda-tanda memburuknya kunjungan wisatawan Australia ke Bali.Namun, pemerintah mengabaikan kondisi ini, maka jumlah wisatawan akan terus berkurang. Dia menambahkan,berdasarkan data Dinas Pariwisata Bali, total kunjungan wisatawan Australia ke Bali pada Januari 2008 memang masih tinggi,yakni mencapai 20.235 orang, naik 59% dibandingkan Januari 2007 yang hanya 12.716 orang. Ke depan Perry berharap pemerintah segera menyelesaikan persoalan tersebut dengan menambah penerbangan langsung rute penerbangan Denpasar–Perth, Denpasar– Brisbane, dan Denpasar– Adelide.
”Bila tidak, wisatawan Australia terancam akan beralih secara besarbesaran ke Vietnam atau Singapura. Australia adalah pasar potensial untuk kita. Mereka sangat mengharapkan ada penambahan penerbangan,” ujarnya. Ketua Program Studi Pariwisata Universitas Udayana I Putu Anom menyesalkan minimnya akses penerbangan langsung Bali–Australia.
Di mata Anom, wisatawan Australia sangat menjanjikan, mengingat adanya kedekatan budaya antara masyarakat Australia dengan Bali. Terbukti, tragedi Bom Bali yang menewaskan ratusan warga Australia tidak mengurangi minat warga Australia berwisata di Bali. Selain itu, kendati pemerintah Australia mengeluarkan travel warning bagi warganya ke Indonesia,turis dari Australia tetap banyak yang berkunjung ke Tanah Air. ”Biar ada travel warning,mereka tetap datang.Saya harap Garuda membuka penerbangan tambahan langsung Bali-Australia.” (fahmi faisa/ni komang erviani)
Sabtu, 15 Maret 2008
Langganan:
Postingan (Atom)