Google
 

Sabtu, 31 Desember 2005

Otot Arnawa Taklukkan Dunia

Delapan tahun berjuang sendirian. Komang Arnawa menyabet gelar juara dunia. Tak mau hanyut dalam perseteruan dua induk organisasi.

Segelas lemon squash yang diantar seorang waitres, langsung disambar Komang Arnawa. Tangan berototnya lantas meraih beberapa bungkus kecil soda bubuk yang tersedia di meja untuk dibubuhkan ke minuman favoritnya itu. Tak perlu menunggu lama buat binaragawan itu menghabiskan campuran soda dan perasan jeruk nipis itu. Lemon squash bukan sekadar pilihan pelepas dahaga buat Arnawa, di tengah mendungnya cuaca Kuta, Kamis lalu. Itu justru jadi salah satu cara “menikmati hidup” sambil tetap jaga bodi. Maklum, olahraga binaraga sudah jadi kesehariannya sejak 8 tahun silam. Ada banyak aturan asupan gizi yang harus dipatuhinya untuk tetap eksis sebagai atlet seni olah otot itu.

Nama Komang Arnawa mungkin terdengar asing di telinga kita. Tapi coba buka situs www.naturalbodybuilding.com. Ada nama pria 29 tahun itu di sana. Namanya tercatat sebagai pemenang pertama Natural Olympia VIII dalam kategori Profesional Men, yang digelar di Las Vegas AS, 19 November lalu. Tak mau tanggung, 11 orang lawannya yang sukses ditaklukkan ternyata berasal dari Amerika Serikat. Ia sekaligus jadi atlet binaraga asal Indonesia pertama yang menembus kejuaraan yang diselenggarakan International Natural Body Building Association (INBA). Pria asal Gianyar itu dinyatakan sah sebagai juara setelah tes doping yang dilakukan World Anti Doping Agency (WADA) menyatakan Arnawa bebas doping, sekitar 18 hari setelah kejuaraan berakhir. Bebas doping merupakan standar yang disyaratkan International Olympia Committee (IOC) dalam kejuaraan tersebut. Sebuah plakat berlapis emas, cincin emas berlogi PNBA, medali, dan uang tunai jadi miliknya. “Jumlah uangnya nggak usah lah, nggak enak. Cuma cukup buat tiket aja pulang pergi,”ujar Arnawa malu-malu. Ini bukan prestasi pertama Arnawa di tingkat dunia. Pada 2004, ia sempat menggondol juara pertama kelas professional di ajang Musclemania Pro World Championship di Los Angelas, California, AS. Kemenangan yang tak pernah diduga karena merupakan kali pertama ia bertanding di kelas professional. Itu pun tanpa modal kemenangan di kejuaraan amatir dunia. Berdasar aturan, atlet yang akan bertanding di kelas professional dunia harus sudah pernah menang kejuaraan amatir dunia. “Tapi saya diberi kesempatan karena dari Indonesia, tetapi sudah menang kejuaraan di Australia,” tandas lulusan Sastra Inggris, Universitas Warmadewa Denpasar itu.

Perjalanan Arnawa hingga jadi juara dunia, bukan cerita singkat. Setidaknya, perlu waktu 8 tahun baginya untuk memberi bukti. Awalnya, sejak kenal olahraga beban di usia 14 tahun, ia tak pernah berencana jadi atlet binaraga. Cabang karate justru lebih menarik minatnya. Namun sejak 1996, saat menyandang Dan 1 Karate Kushin Ryu, pikirannya mulai digelitik oleh banyaknya gambar atlet dengan otot-otot tubuh menonjol di sebuah majalah milik Mansyur, temannya yang atlet angkat berat. “Sejak itu saya coba. Awalnya, otot sakit,”ceritanya.

Memulai seni oleh tubuh memang bukan hal mudah. Apalagi Arnawa belum dapat informasi pasti tentang bagaimana pengaturan gizi yang tepat. Saat merasa ototnya sakit, beberapa teman mengatakan itu karena ototnya yang mulai membesar sehingga lapisan otot robek. “Kata mereka, obatnya cuma protein. Makanya saya langsung makan banyak telur, ikan laut, juga yang lainnya. Tapi kan gak tahu jumlah yang pas berapa,”tuturnya. Belum lagi ada banyak “godaan” karena beberapa temannya ternyata memakai pemacu otot. Beruntung, ia diperkenalkan dengan sejumlah atlet binaraga asal Australia yang kemudian banyak memberikan Arnawa buku panduan menjadi atlet binaraga. Rasa percaya dirinya untuk serius di olahraga yang membuat geli banyak perempuan itu, makin bertambah. Ia jadi makin jelas tentang pengaturan gizi, dan proses latihan yang benar.

Arnawa sempat kaget ketika tahu gambar pria berotot kekar yang sempat menginspirasinya jadi atlet binaraga, ternyata ditunjang oleh bahan tambahan steroid pemicu otot. Tapi Arnawa terus bertekad membentuk tubuhnya secara alami. Daging panggang, ikan laut panggang, ayam panggang, kentang, sayuran (semua tanpa minyak), jadi konsumsi kesehariannya. Tak tanggung, ia harus makan 6-7 kali sehari. Kecuali saat sibuk, ia mentolerir suplemen multivitamin, mineral dan vitamin C masuk ke tubuhnya. Tentu saja, suplemen tertentu yang sudah dipastikan aman.

Gagal dapat juara satu di ajang PON pada awal-awal latihan, tak membuat nyalinya ciut. Justru gara-gara para penonton cuek dengan keberadaannya yang hanya di peringkat 4 waktu itu, makin memotivasinya untuk bangkit. “ Penonton hanya mau salaman sama juara 1. Di sana muncul keinginan besar untuk jadi juara,” tutur Arnawa menceritakan perjalanan keatletannya. Kerja kerasnya bukan tanpa guna. Pada 1997, ia menyabet penghargaan sebagai juara spertama National Championship –Ade Rai’s Cup Bandung kelas 80 kg.
Selanjutnya, mendapat rangkin dua dalam seleksi Sea Games Jakarta, kelas 75 kg. Gara-gara harus menyelesaikan kewajibannya sebagai mahasiswa, Arnawa sempat mandek. Tapi di tahun 2002. saat kembali di panggung kejuaraan binaraga, ia langsung dapat prestasi baru, juara pertama dan overall pada kejuaraan National Pesta Raga di Jakarta.

Prestasi demi prestasinya di dalam negeri, belum membuatnya puas. Tak mau prestasinya mentok di tingkat nasional, Arnawa nekat ekspansi ke Australia. Jadilah ia juara pertama dan overall pada Western Australian State Championship di Perth Australia. Dua minggu berikutnya, ia kembali mengukir prestasi di Australia, kali ini di Sydney, dalam kejuaraan Australia terbuka an menjadi juara pertama pada kelas 80 kg. Melihat potensinya, promotor kejuaraan itu tertarik memberi kehormatan kepada Arnawa untuk mewakili Australia pada kejuaraan Mens World Cup/Mr Universe Amateur di India, 2 minggu setelahnya. Sayang, kesempatan itu terbuang sia-sia karena tidak ada dana.

Dana memang menjadi masalah besar buat Arnawa, meski ia secara tegas menyatakan tidak bermaksud mencari keuntungan materi dari kiprahnya di olahraga binaraga. Yang jelas, banyak sekali materi yang harus dikorbankannya demi meraih kemenangan di tingkat dunia. Bahkan untuk mengikuti kejuaraan Musclemania Pro World Championship di LA, AS, 2004 lalu, ia harus merelakan sebuah mobilnya untuk dijadikan modal. Padahal jauh hari sebelum kejuaraan, ia sudah gembar gembor ke media massa. Sayang, tak ada sponsor yang datang sampai hari H. Kenekatannya memang menghasilkan prestasi yang cukup membanggakan. Tapi itu tak cukup menutup modalnya yang mencapai sekitar Rp 50 juta (untuk tiket dan biaya akomodasi). Jumlah hadiah uang yang menurut Arnawa tidak seberapa dibanding modalnya, bahkan tidak pernah dibayarkan panitia hingga sekarang gara-gara kekacauan dari organizernya. “Tapi nggak masalah, saya ke kejuaraan dunia bukan karena hadiahnya. Tapi untuk melihat sampai di mana posisi kita berada,”tegasnya. Pernah Arnawa mendapat sponsor dari perusahaan produsen suplemen. Tapi perusahaan itu hanya siap mensponsori kejuaraan-kejuaraan di nasional.

Untuk mengikuti kejuaraan di Las Vegas, ia juga harus merogoh kocek sendiri. Kali ini, ia dibantu tunangannya yang orang Australia. “Kejuaraan kemarin ada hadiahnya sih, tapi seharga tiket PP saja,”jelasnya. Arnawa mengakui, tak ada upaya khuus untuk menarik sponsor, seperti yang pernah dilakukannya tahun 2004. Itu karena ia belajar dari pengalaman gagal di tahun tersebut. Dari sana bisa dilihat, belum ada interest orang ke bidang binaraga. Menariknya, Arnawa sempat dapat janji-janji dari beberapa orang yang menyatakan siap mensponsorinya. Sayang, itu hanya janji-janji kosong yang tak pernah terbukti.

Dualisme induk organisasi binaraga di Indonesia, Federasi Binaraga Indonesia (FBI) dan Persatuan Angkat Besi, Angkat Berat, Binaraga Seluruh Indonesia (PABBSI), cukup menganggu Arnawa. Ketidakcocokan antar kedua organisasi, sempat membuatnya terhambat. Ia yang awalnya memilih bertahan di PABBSI, terhalang ikut kejuaraan di luar negeri karena penyelenggaranya bukan organisasi yang berafiliasi dengan PABBSI. “Kejuaraan di Asia cenderung dibawah International Federation Body Building (IFBB) yang jadi afiliasi IFB. Jadi kita nggak bisa ikut kejuaraan di Asia,”keluhnya. Meski sempat terhambat, Arnawa mengaku selalu berupaya berpikir positif. Kini ia memilih berjalan secara independen, tidak di bawah organisasi manapun. “Bukannya merasa mampu atau tidak mau bergabung, tetapi saya ingin berkiprah lebih luas, meraih peluang yang lebih jauh,”tandasnya. Keputusannya itu mengandung konsekuensi, tak ada bantuan dana apapun dari organisasi untuk mengikuti kejuaraan. Tapi lagi-lagi, Arnawa mengaku itu bukan masalah besar. Padahal untuk makan sehari-hari saja, sesuai aturan gizi atlet binaraga, ia menghabiskan sedikitnya Rp 6 juta per bulan. “Binaraga memang belum bisa menghasilkan uang. Sekarang saya masih dalam tahap promosi. Saya berharap tahun depan saya mau tanding lagi ke Amerika, jadi tahapan pengembalian dana saya,”tandas Arnawa yang sejak awal tak pernah punya pelatih khusus. Sejak beberapa tahun lalu, ia hanya didampingi oleh 2 orang partner latihannya, Peter Tolsten dan Wolfgang Nemack, keduanya asal Jerman. Peter adalah mantan juara binaraga Eropa tahun 1980-an yang sekarang memilih menggeluti bisnis perak di Bali.

Meski masih harus berkorban sendiri, padahal untuk mengharumkan nama bangsa, Arnawa tetap mengambil hikmah dari olahraga yang digelutinya. “Paling tidak, saya menyadari kalau binaraga tak sekadar bodi gede, tapi nutrisi harus juga diperhatikan. Semakin pelajari nutrisi baik, usia lanjut bisa tahu makanan yang baik untuk kita. Paling tidak, itu keuntungannya,”jawabnya santai. Ia menyadari, binaraga masih merupakan hal baru di Indonesia, kalah dengan bulutangkis yang sudah berpuluh tahun ada di negara ini sehingga para atletnya yang telah menyabet juara bisa menerima bonus dari negara. “saya harus lebih buktikan lagi. Mudah-mudahan bidang binaraga bisa lebih dapat perhatian”, tandas atlet dengan berat 82 kg itu.

Arnawa berjanji untuk terus membuktikan eksistensi di bidang binaraga. Pembentukan otot tetap rutin dilakukan dua kali sehari, pagi dan sore, di sebuahgym di Legian Kuta. Untuk membiayai aktivitasnya, ia aktif sebagai personal trainer dan konsultan gizi bagi para calon binaragawan, berbicara di seminar-seminar, dan menjadi model inspirasi untuk foto artistik beberapa seniman foto Bali. “Hasilnya, cukup lah,”jawabnya. Bagi Arnawa, tak ada konsentrasi yang rusak dari bekerja sambil tetap meraih prestasi. Ia bahkan bertekad sagar lebih banyak masyarakat Indonesia yang mengharumkan nama bangsa di bidang binaraga. Arnawa bahkan telah sukses mengirim 2 atlet binaraga Bali tanding ke Australia, pada acara Bodiku yang digelarnya di ajang Kuta Karnival 2005 lalu. Kegiatan itu diharapkan bisa jadi ajang tahunan yang terus mengirim atlet-atlet binaraga baru di Bali. Satu obsesinya, ingin mempunyai studio sendiri untuk kliennya yang serius ingin berlatih memperbesar otot. [Komang Erviani / dimuat di Majalah GATRA edisi 07 Tahun XII, 31 Desember 2005]

Selasa, 20 Desember 2005

Bermodal Rompi dan Lencana

Dua kali bom yang meledak di Bali, memberi pelajaran berharga buat Polda Bali. Kunci pengamanan ternyata ada di masyarakat sendiri. Pertama di Indonesia, Polda Bali membentuk Polisi Kehormatan. Modalnya cuma rompi dan lencana.

Marto Kilov tersenyum sumringah. Kerut di wajah kakek tujuh cucu itu, tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya. Sebuah rompi kecoklatan dan lencana keemasan bertuliskan “Polisi Kehormatan”, membuatnya terlihat masih cukup gagah. Setelah bertahun-tahun nganggur dari kegiatan kemiliteran, pensiunan ABRI asal Poso itu kini kembali menggeluti bidang yang nyaris sama. Bekerja layaknya intel, tapi tanpa embel-embel plat merah.

Bersama 78 orang lainnya, kakek 67 tahun yang sudah sekitar 20 tahun menetap di Bali itu kini menjadi anggota keluarga baru di Polda Bali. Ia diberi mandat menjadi Polisi Kehormatan, polisi swasta bentukan Polda Bali. Sebanyak 40 kepala keluarga yang tergabung dalam Paguyuban Poso Morowali Sulawesi Tengah di Bali, mempercayai Marto untuk jadi “polisi” di lingkungan mereka. “Sekarang saya punya kesibukan baru lagi. Walaupun sudah tua, tenaga masih kuat,”seru Marto, tak mau kalah dengan beberapa rekannya. Apalagi ia mengaku sudah punya pengetahuan bidang intelejen yang didapatnya dari almamaternya, ABRI. “Dari ABRI sudah diajarkan, tinggal kita terapkan lagi,”tandasnya, sesaat usai hadir dalam serah terima pataka Polda Bali terkait pergantian Kapolda Bali, Kamis. Tapi Marto sadar betul, kewenangannya kali ini tak lagi sebesar dulu. “Kewenangan kita di sini memang terbatas, khusus untuk membantu kepolisian setempat. Terutama untuk menangkal terorisme,”jelasnya.

Polisi Kehormatan bisa dibilang jadi warisan terakhir mantan Kapolda Bali Irjen Pol. Made Mangku Pastika yang cukup menoreh sejarah. Bagaimana tidak, konsep Polisi Kehormatan baru pertama kali diterapkan di Bali, bahkan di Indonesia. Sebelum dilantik menjadi Ketua Pelaksana Harian (Kalakhar) Badan Narkotika Nasional, 19 Desember 2005, Pastika menyempatkan diri melantik 79 orang Polisi Kehormatan, dari 200 yang direncanakan, pada 16 Desember 2005 malam. Ini jadi salah satu reaksi atas terjadinya kembali peledakan bom di Bali, 1 Oktober lalu. Buah dari “kecolongan” yang dialami kepolisian, Pastika menggagas Polisi Kehormatan yang juga menjadi salah satu bagian dari Bali Security Council (Badan Koordinasi Keamanan Bali). Bali Security Council, sebuah sistem koordinasi antar seluruh unsur pengamanan di Bali, sukses terbentuk beberapa minggu paska bom.

Berbeda dengan polisi yang sebenarnya, Polisi Kehormatan tak perlu pendidikan khusus di akademi kepolisian. Bahkan tak perlu fisik kuat, mental teruji, apalagi bisa mengoperasikan senjata. Mereka hanya perlu punya kharisma dan wibawa di lingkungan masyarakatnya. Mereka juga tidak akan dibekali senjata, juga tak ada kewenangan untuk menangkap. Anggota Polisi Kehormatan memang dicomot dari berbagai kelompok masyarakat di luar kepolisian. Ada dari Forum Komunikasi Paguyuban Etnis Nusantara (KPEN) yang membawahi 27 paguyuban etnis di Bali, Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB), dan perwakilan dari konsulat asing di Bali.

Ketua I KPEN, Budi Argawa, bercerita kesempatan jadi polisi kehormatan awalnya disampaikan pihak Polda Bali saat diundang akhir Oktober lalu. Dari sana disepakati, anggota Polsi Kehormatan akan diambil dari masing-masing paguyuban yang ada. “Kalau ketua paguyuban berhalangan, diwakilkan kepada anggota yang dianggap mampu, punya kharisma dan wibawa di masyarakat,”jelas Argawa yang mendapat nomor induk anggota 001 di Polisi Kehormatan. Jadilah, Polisi Kehormatan terdiri atas berbagai etnis. Mulai dari Tionghoa, Minang Saiyo, Banyumas, Madura, Sulawesi Selatan, Minahasa, Sumatera Utara, Aceh, Papua, dan lainnya. Pelibatan KPEN, menjadi upaya polisi agar tokoh-tokoh di masyarakat membantu tugas polisi dalam mengamankan Bali.

Warga asing juga jadi target Polda dalam membangun community policing. Karenanya, ada dua nama warga Jepang yang sudah resmi jadi Polisi Kehormatan, yakni Nagaya Mitsuo dan Osamu. “Polisi Kehormatan kita harapkan bisa membantu polisi dalam menjalankan tugas tugasnya,”tegas Pastika. Pastika menilai warga asing juga perlu mendapat perhatian, mengingat sebanyak ekspatriat yang tinggal di Bali. Dengan mengangkat Polisi Kehormatan dari warga asing, setidaknya aparat kepolisian dapat dengan mudah mengawasi gerak-gerik di kalangan mereka.

Pengamanan perayaan Natal, menjadi tugas pertama buat Polisi Kehormatan. Tapi sayang, bekal yang diberikan Polda ternyata baru sebatas rompi dan lencana. Belum ada pelatihan formal yang memperjelas hubungan tata cara kerja mereka dengan Polda Bali. “Kita sudah diminta Bantu Poltabes Denpasar untuk pengamanan Natal,”jelas Budi Argawa. Menurutnya, Polda sudah berencana menggelar pelatihan khusus untuk memperjelas hak dan kewajiban Polisi Kehormatan. “Misalnya tentang pengamanan di TKP bila terjadi satu perkara. Apa yang akan kita lakukan. Apa yang akan kita amankan sebelum petugas datang. Dan apa-apa yang penting untuk kita sampaikan kepada polisi,”tambah Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia Pengurus Daerah Bali itu. Baik Budi maupun rekannya sesama Polisi Kehormatan menyadari, yang terpenting dilakukan adalah menjaga hubungan di antara etnis yang ada, membantu pengamanan, serta memberi informasi yang dibutuhkan kepolisian.


Bachtiar Idrus, Ketua Lembaga Adat dan Kebudayaaan Aceh Propinsi Bali, juga mengaku belum tahu persis tugas-tugasnya. Yang jelas, Polisi Kehormatan lebih berperan kepada perpanjangan tangan kepolisian dalam pembinaan anggota dan keluarga. “Yang penting, bagaimana kita membina keluarga agar mereka tahu apa sih keamanan, di mana sih mereka bisa ikut berperan sehingga mereka juga tidak terabaikan dengan situasi sekitarnya. Ini kan perlu. Umpama ada orang baru yang tidak dikenal, mereka kita harap berperan,”tegas wartawan yang sudah bertugas di Bali sejak tahun 1979 itu.

“Kalau ada hal-hal baru, hal mencurigakan, atau informasi tertentu, kita akan informasikan ke Polda,”begitu Mateus Maia, dari paguyuban warga eks Timor Timur, Uni Timor Asuing (Unitas), mencoba menjelaskan tugas yang sudah dinantinya. Mantan Walikota Dili periode 1996-1999 yang memutuskan bergabung dengan Indonesia paska Referendum itu, mengaku senang bisa menjadi bagian dari Polisi Kehormatan. Apalagi jumlah warga eks Timtim yang kini tinggal di Bali tidak sedikit, mencapai 27.000 orang. “Kita akan lebih mengupayakan pembinaan intern,” janji pria yang kini jadi staf ahli Walikota Denpasar itu.

Meski konsepnya sederhana, ada tanggung jawab berat yang menanti Polisi Kehormatan. Masyarakat berharap banyak dari Polisi Kehormatan, terutama untuk menangkal aksi terorisme yang berdasarkan pengalaman, banyak dilakukan orang yang hanya “mampir” untuk mati di Bali. Polisi Kehormatan diharapkan bisa “mencium” gerak-gerik ke arah itu. “Ini ide bagus.Tapi tergantung bagaimana mekanismenya nanti. Ini penting untuk menangka terorisme. Saya optimis ini akan berhasil,”tegas Ketua Kamar Dagang dan Industri Daerah Bali, I Gde Wiratha, yangsalah satu usahanya, Paddys Pub, sempat jadi sasaran aksi teroris 2002 lalu.

Tugas berat, tapi namanya juga kehormatan, Polda tak menyediakan gaji buat mereka. Hanya ada bekal Surat Keputusan dari Kapolda Bali Made Mangku Pastika yang kini sudah diganti Brigjen Pol Sunarko Danu Ardanto. Dalam SK, mereka dinyatakan akan bertugas setahun, sampai 16 Desember 2006 mendatang.Bachtiar secara tegas menyatakan tak perlu gaji untuk kerjanya. “Kita ini masyarakat Bali, penduduk Bali, kita hidup di sini, makan di sini. KTP kita Bali. Kita jadi masyarakat Bali etnis Aceh. Inilah kenapa kita. Mau tidak mau, secara moral kita pun bertanggungjawab terhadap situasi ataupun keamanan di Bali. Bagaimanapun kalau Bali terganggu, kita pun yang tinggal di Bali akan terganggu. Apalagi kami yang dari Aceh ini sebagian besar bergerak di swasta, jadi pedagang atau yang lainnya,”jelas bapak 2 anak itu. Di Bali, saat ini tercatat ada sedikitnya 60 kepala keluarga asal Aceh.

Marto setali tiga uang. Menjadi Polisi Kehormatan menurutnya merupakan wujud sama rasa sebagai warga negara. “Bila kira-kira nanti berhasil di Bali, kita harapkan di daerah sendiri (Poso) juga diterapkan karena di sana masih kacau. Masih banyak penembakan-penembakan gelap lagi.,”tambahnya. “Kalau dibilang tugas berat, sebenarnya nggak juga. Kami adalah tokoh-tokoh masyaraakat yang biasa bhakti social. Memang tugas kami ngemong masyarakat. Ini bukan hal baru yang harus kita jalani. Hanya saja, kita sekarang lebih lengkap dan lebih formal,” tegas
Budi Argawa. [Komang Erviani / pernah dimuat di Majalah GATRA,Desember 2005]

Minggu, 11 Desember 2005

Akhir Kisah Air Paradise, Mati di Pasar Bebas

Empat unit pesawat Airbus, masing-masing dua unit jenis A 300-600 dan dua unit jenis A310 300, milik Air Paradise Internasional terparkir rapi di apron Bandara Ngurah Rai, Bali. Sejak 23 November lalu, Keempat pesawat yang hingga kini masih nunggak angsuran dari leasing di Perancis, itu sudah tak lagi beroperasi. Istilah sederhananya, nganggur. Semua rutenya, Denpasar-Adelaide, Denpasar-Brisbane, Denpasar-Incheon, Denpasar-Melbourne, Denpasar Perth, dan Denpasar-Sydney, tak lagi diterbangi. Sebanyak 2.000 calon penumpang yang masih mengantongi tiket, dialihkan ke penerbangan Qantas Airlines.

Nihilnya aktivitas awak pesawat di Bandara Ngurah Rai, juga terlihat di markas maskapai penerbangan milik pengusaha lokal Bali itu di Jalan Gunung Tangkuban Perahu no. 66 Kerobokan, Kuta, Bali. Pintu masuknya yang berpagar coklat, Kamis kemarin tertutup rapat dan dijaga empat petugas. Dua aparat kepolisian dari Poltabes Denpasar dan dua orang satpam setempat. Sejumlah kertas tertempel acak. “Closed“, begitu isi salah salah satu kertas. Kertas lain menyebutkan beberapa nomor telepon yang bisa dihubungi bila ingin meminta informasi.“Kami belum boleh terima tamu. Sebab masih ada audit,“jelas Simon Hasibuan, staf di bagian sales saat dihubungi per telepon. Namun dengan sedikit mengecoh petugas, GATRA sempat masuk ke dalam kantor areal kantor yang berjarak hanya sekitar 300 meter dari Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan itu.

Sepuluh unit mobil jenis Kijang, 1 minibus, dan sebuah mobil boks berlogo Air Paradise, terparkir rapi di areal parkir, di antara beberapa mobil pribadi milik pegawai. Beberapa diantaranya ditempeli kertas putih bertuliskan “Dijual, Hubungi 0361-730088“. Sejumlah pegawai terlihat sibuk dengan mobil Kijang biru yang terparkir persis di depan lobi kantor. Masing-masing memegang cutter. Stiker Air Paradise yang melekat erat di mobil itu jadi sasaran.“Disuruh bersihin, biar nggak ada logonya,“jelas salah seorang diantaranya. Keputusan direksi PT. Air Paradise International untuk menutup usahanya, diumumkan kepada pers pada Rabu sore, 23 November 2005. Pengumuman disampaikan langsung oleh Kadek Wiranatha selaku owner, didampingi Deputy Manager Berry Hass, serta General Manager Affair, I Putu Oka. “Pada prinsipnya saya mohon maaf sebesar-besarnya karena untuk sementara kami merasa tidak bisa menjalankan Air Paradise ini. Semua akibat kejadian bom Bali 1 Oktober lalu'', tutur Kadek Wiranatha lesu.

Keputusan yang mengejutkan itu, diambil setelah perusahaan menerima banyak sekali pembatalan penumpang paska bom Bali II. Sedikitnya, 12.800 penumpangnya mengajukan pembatalan dengan alasan khawatir dengan serangan teroris susulan.

Paska peledakan bom di Kuta dan Jimbaran, 1 Oktober lalu, okupansi penumpang dalam penerbangan Air Paradise sangat rendah. Kursi yang terisi hanya mencapai 10-30 persen. Tentu saja, kondisi itu memberi kontribusi kerugian yang sangat besar bagi Air Paradise. Jika dihitung kasar, untuk satu penerbangan pulang pergi (PP) dengan okupansi 10 persen, Air Paradise harus menangguk rugi 150 ribu dolar AS. Kerugiannya membengkak karena Air Paradise harus merefund seluruh tiket yang sudah terjual, sesuai isi perjanjiannya dengan travel agent.

Kondisi itu tentu saja “mengagetkan” sistem keuangan perusahaan. Padahal sebelum kejadian bom, load factor penumpang pesawat AP rata-rata mencapai 75 persen dari jumlah tempat duduk setiap pesawat yang mencapai 277 seat. ''Setelah bom, kursi yang terisi hanya mencapai 10-30 persen penumpang saja sehingga memaksa kami menutup sementara penerbangan sampai kondisi memungkinkan'', paparnya. Wiranatha meyakinkan, Manajemen Air Paradise telah melakukan segala upaya demi tetap bisa operasional, termasuk melakukan penciutan jadwal penerbangan. “Namun usaha itu mentok,”keluhnya.

Keputusan tersebut tentu saja mengundang tanda Tanya besar. Apalagi, maskapai penerbangan milik pengusaha lokal Bali itu sudah mereguk banyak prestasi, meski belum genap dua tahun beroperasi. Air Paradise Internasional yang mulai beroperasi 16 Februari 2003, sudah dianugerahi PATA (Pacific Asia Travel Association) Award kategori “Excellent“ dari PATA Bali, 23 Oktober 2003. Sebulan kemudian, November 2003, penghargaan internasional juga datang dari Travel Trade Gazette (TTG) atas keberanian dan kesuksesan Kadek Wiranatha meluncurkan maskapai penerbangan. Atas alasan yang sama, Dinas Pariwisata Bali juga menganugerahi Kadek Wiranatha sebuah penghargaan Karyakarana Pariwisata atas jasa kepeloporannya bagi pariwisata Bali. Sejumlah pengusaha bahkan sempat berencana menanamkan saham di Air Paradise, guna mewujudkan cita-cita agar Bali memiliki maskapai penerbangan sendiri. Tujuannya, agar rute-rute potensial yang tak dipedulikan Garuda Indonesia, dapat diterbangi.

Langkah berani Kadek Wiranatha memang patut diacungi jempol. Pengusaha kelahiran Singaraja yang sukses membesarkan Bounty Hotel, Barong Hotel, Restoran Gado-Gado dan Restoran Kudeta itu,“menyelamatkan“ pariwisata Bali dengan kehadiran maskapai penerbangannya di tengah banyaknya maskapai yang mengurangi frekuensi penerbangan ke Bali. Puncaknya, saat terjadi serangan terhadap World Trade Center tahun 2001. Maskapai penerbangan Ansett Australia Airlines yang memiliki lebih dari 15 penerbangan di jalur Bali-Australia dalam seminggu, memutuskan berhenti terbang karena pailit. Tentu saja, kondisi itu membuat para calon wisatawan asal Australia yang terkenal “bandel“, tak peduli dengan travel warning yang dikeluarkan negaranya, kesulitan mencari cara berangkat ke Bali. Maklum, bagi sebagian besar warga Australia, Bali sudah dianggap sebagai rumah kedua. Kehadiran Air Paradise yang dijadwalkan Oktober 2002, sempat tertunda oleh peledakan bom di Kuta pada 12 Oktober 2002. Aksi Amrozi dan kawan-kawannya itu membuat Air Paradise makin mantap melangkah hingga diputuskan mulai beroperasi Februari 2003. Sekali lagi, karena wisatawan Australia yang “bandel“ makin kesulitan mencari sarana transportasi ke Bali. Perusahaan yang bermarkas di Kerobokan, Kuta, Bali itu, sejak awal memang mengkhususkan diri menggarap pasar Australia. Awal terbang, Air Paradise Internasional melayani rute Denpasar-Perth empat kali seminggu dan Denpasar-Melbourne dua kali seminggu. Meski sempat menerbangi wilayah Taipei, Jepang, dan Korea, namun Air Paradise kelihatannya hanya berjodoh dengan Australia. API mengklaim telah menerbangkan sedikitnya 20.000 penumpang Australia per bulannya.

Wisatawan Australia selama ini memang tergolong cuek. Kedekatan mereka secara emosional dengan masyarakat Bali, membuat banyak warga Australia ogah mendengar peringatan dari pemerintahnya untuk bepergian ke Indonesia. Padahal, sebagian besar korban bom Bali I adalah warga Australia. Sebanyak 88 orang wisatawan asal negeri kangguru itu, tewas dalam aksi teroris di Paddy Pub dan Sari Club. Namun kenyataanya, Australia tetap menjadi pasar terbesar kedua yang datang ke Bali, setelah Jepang. Itu tak lepas dari sikap pemerintahnya yang tak seketat negara lain seperti Amerika atau negara Eropa lainnya. Buktinya, masih banyak perusahaan asuransi yang siap mengasuransikan warga Australia yang hendak bepergian ke Indonesia.

Namun kondisinya tak sama, paska tragedi bom Bali II. Isu ancaman bom akhir tahun, ditambah pemutaran video rekaman yang berisi pernyataan para pelaku bom bunuh diri dan menyebut nama Australia sebagai sasaran, membalik kenyataan. Negara tersebut memperketat kebijakan travel warningnuya sehingga tak banyak perusahaan asuransi yang siap menjamin warga Australia yang hendak bepergian ke Bali. Hasilnya jelas. Data Dinas Pariwisata Bali menunjukkan, jumlah kunjungan wisatawan Australia ke Bali selama Oktober 2005 hanya sebanyak 12.801 orang, turun drastic dari bulan sebelumnya yang mencapai 32.388 orang. Hitungan total kunjungan wisatawan asing ke Bali juga sangat rendah. Jika selama September angkanya mencapai 162.102 orang, pada Oktober dan November angkanya anjlok menjadi hanya 81.109 orang dan 74.164 orang. “VCD yang sudah banyak beredar di televisi, sangat memojokkan, terutama untuk citra pariwisata Bali,”tegas Wiranatha sembari mengatakan banyak travel agen dan calon penumpang di negeri Kanguru itu merasa khawatir.

Keputusan penghentian operasional Air Paradise, tentu saja mengagetkan karyawannya. Panca, 27 tahun, salah satunya. Sopir yang sudah bekerja setahun di Air Paradise itu, kaget ketika membaca pengumuman penghentian operasional perusahaan tempatnya bekerja di sejumlah surat kabar lokal.“Waktu jemput kru pesawat tanggal 22 November, udah dengar dari kru. Isunya sih, jalur Melbourne aja yang tutup. Eh, nggak tahunya tutup semua semua“ceritanya. Pria yang baru menikah empat bulan lalu itu, mengaku belum tahu apa yang akan dilakukan setelah ini. Setidaknya, ia merasa cukup beruntung karena masih bekerja. Paska penutupan, nasib 350 karyawan belum jelas. Sebagian diantaranya sudah dirumahkan, tanpa status pasti.“Mereka sementara ini tetap digaji,“jelas Simon. Panca mengaku belum berani mencari pekerjaan lain.“Saya masih nunggu aja, sambil jaga-jaga warung sama istri,“jelas pria yang biasanya bisa membawa uang Rp 800 ribu per bulan itu. Lain lagi yang dilakukan Ida Heriyanti, 36 tahun. Lajang yang telah menjadi pramugari Air Paradise sejak awal pembentukannya itu, kini memutuskan kembali ke rumah asalnya di Jakarta. Perempuan yang sudah belasan tahun menggeluti profesi pramugari itu, belum berencana mencari pekerjaan lain, sampai ada kejelasan dari pihak manajemen. Ia dan 135 pramugari dan pramugara lainnya sangat berharap Air Paradise bisa beroperasi lagi. Apalagi kondisi perusahaan sebelum bom menurutnya sedang bagus-bagusnya. Itu bisa dilihat dari gaji Ida yang mencapai Rp 8 juta per bulan. Kalau terbang, ia bisa dapat Rp 10-12 juta per bulan. “Standar kita memang sedang paling tinggi. Bahkan pilot aja sudah ada 30 orang, karena perusahaan sedang ekspansi,“jelasnya. Beruntung, Ida mengaku belum punya banyak tanggungan hidup.“Saya cuma nanggung ibu,“jelas perempuan yang sempat bekerja di Sempati Air, Jatayu, dan Air Mark itu.

Hingga kini, langkah pihak direksi Air Paradise tak juga jelas. Terhadap aset-aset yang dimilikinya, belakangan Wiranatha tak mau menjelaskan. “Nanti dulu ya mbak. Saya masih pusing, belum bisa bicara,”jelas Wiranatha bernada berat di telepon. Sebelumnya, ia hanya mengatakan bahwa urusan karyawan akan diupayakan penyelesaian secara kekeluargaan. ''Kami mungkin akan bangkit kembali sambil menunggu investor yang bisadiajak kerjasama'', janjinya. [Komang Erviani /pernah dimuat di Majalah GATRA Edisi 04 Tahun XII, 10 Desember 2005 ]

Minggu, 04 Desember 2005

Tiket Bali Cuma Lima Ribu

Mengantisipasi terorisme, pintu masuk Bali diperketat dengan sistem pemeriksaan KTP. Biayanya Rp 640 juta. Jadi “lahan bisnis” petugas. Tetap jalan meski bom Bali II sudah meledak. Sudah mendarah daging, empat PNS diturunkan pangkat.

Dengan menggandeng kakak perempuannya, Sulamto (29 tahun), berjalan pelan menjauhi pos pemeriksaan KTP, kembali ke pintu masuk penumpang di Pelabuhan Gilimanuk. Di sana, dua orang petugas Pol PP terlihat sibuk memulangkah sejumlah orang tanpa KTP yang hendak masuk Bali. Sulamto tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk lolos. Setengah berlari, langkah kakinya berbelok menjauhi pintu masuk pelabuhan menuju Terminal Gilimanuk. Pedagang es di depan terminal kemudian menghentikan langkah mereka.Dua gelas es dipesan, sebungkus nasi pecel di dalam tas langsung jadi sasaran. “Makan dulu lah, capek,”ungkap sang kakak, Isnaiya.

Hari itu, Sulamto dan Isnaiya berencana mengunjungi saudara mereka yang sudah lama tinggal di Karangasem, Bali. Namun keduanya datang tanpa identitas jelas. Modalnya hanya surat keterangan bepergian, itu pun tanpa tanda tangan dan stempel aparat kelurahan.“Saya sudah lama di Bali. Ayolah pak, sebentar aja, saya mau jenguk adik,” begitu Isnaiya, saat mencoba membujuk petugas di pos pemeriksaan KTP. Debat usir tak berlangsung lama, hingga keduanya diminta kembali ke pintu masuk pelabuhan. “Tadi mau dianter sama petugas, tapi saya nggak mau,”tutur Isnaiya, membagi resep suksesnya lolos dari petugas. Perempuan yang sehari-harinya bertani itu, mengaku hanya bawa uang pas-pasan untuk sampai di Bali. “Saya naik kapal aja nggak bayar. Ada saudara kerja di Ketapang,”tandasnya.

Najian, tak seberuntung Sulamto dan Isnaiya. Gara-gara Kartu Identitas Penduduk Sementara (KIPS) yang diperolehnya dari Banjar Batur, Kelurahan Ubung, Denpasar sudah mati sejak September lalu, seorang petugas Pol PP mengawalnya kembali ke pintu masuk. “Sekarang ibu pulang dulu, urus dulu KTPnya, baru kembali ke sini,”bentak petugas tersebut. Padahal uang yang tersisa di kantong Najian hanya Rp 10.000. “Terserah ibu. Masa ibu sudah datang nggak bawa identitas, sekarang saya disuruh bayarin ongkos pulang,” Juliarto, remaja asal Jember yang datang bersama temannya No, sama sialnya. Meski Juliarto masih memiliki KIPS yang berlaku hingga Desember, namun rekannya No ternyata tidak. KIPS milik No sudah kedaluarsa September lalu. “Saya masih tunggu saudara. Mau balik, udah nggak bawa uang,”jelasnya sambil duduk di bangku kayu, persis di depan loket pembelian karcis kapal.

Petugas tak mau kecolongan. Mereka sadar tengah disorot paska terungkapnya praktik korupsi kecil-kecilan di tempat kerja mereka. Korupsi yang menyeret empat rekan mereka pada sanksi penurunan pangkat. Selama setengah hari, mereka telah memulangkan 80 orang tanpa identitas lengkap yang ingin masuk Bali. Umumnya, para penumpang itu berasal dari Jawa Timur. Sebagai gambaran, selama arus balik 7 -14 Nov lalu, sudah dipulangkan sebanyak 1.566 orang tanpa identitas.

Pos pemeriksaan KTP di Pelabuhan Gilimanuk, sebenarnya dibangun sebagai reaksi atas terjadinya peledakan bom di Legian Kuta, 12 Oktober 2002 silam. Pemeriksaan KTP yang mulai dilancarkan 12 Oktober 2002 itu, diharapkan dapat meminimalisir aksi terorisme di Bali. Setidaknya, pos tersebut bisa memastikan bahwa orang-orang yang masuk Bali adalah orang orang dengan identitas jelas. Selain pemeriksaan KTP, pemeriksaan kendaraan dan surat-suratnya juga dilakukan terhadap kendaraan yang hendak keluar atau masuk Bali. Namun pemeriksaan hanya dilakukan oleh kepolisian. Sebanyak 7 orang personil dari Polsek KP3 Pelabuhan Gilimanuk, dikerahkan di pintu keluar pelabuhan. Jumlah yang sama juga disiagakan di pintu masuk pelabuhan. Khusus untuk truk pengangkut barang, pemeriksaan dilakukan di sebuah tempat penimbangan di Desa Cekik, sekitar 3 km dari pelabuhan.

Menurut Kepala Badan Kependudukan Propinsi Bali,Tjok Gde Putra, pemeriksaan KTP itu merupakan inisiatif Bupati Jembrana, Gde Winasa. Program serupa kemudian dilakukan di Pelabuhan Padangbai, pintu masuk sebelah timur Bali. Untuk memperlancar program, pemerintah provinsi memberikan dana yang tidak sedikit. Rp 440 juta untuk Gilimanuk dan Rp 200 juta untuk Padangbai. Sayang, maksud itu tak ditangkap oleh para petugas di pos itu. Pos tersebut belakangan justru dijadikan “lahan bisnis” untuk meraup untung lebih. Bahkan hingga Bali dibobol lagi oleh bom di Kuta dan Jimbaran,1 Oktober 2005, para petugas tetap tak mau kehilangan “lahannya” itu.

Banyaknya indikasi petugasnya menerima suap dari penumpang kapal tanpa identitas, memaksa Bupati Jembrana, Gde Winasa mlakukan penyelidikan kecil-kecilan. 1 November 2005, dua orang kepercayaannya dikirim dari Banyuwangi, sengaja tanpa KTP. Benar saja, keduanya bisa lolos dengan modal Rp 10.000. “Begitu keluar pos pemeriksaan, mereka nelpon saya. Langsung saya gerebek di situ,”jelasnya. Sembilan orang yang bertugas pada shift tersebut, langsung ditarik. Terdiri dari 3 petugas Pol PP, 2 staf sekretariat, 1 pecalang, 1 anggota TNI, 1 anggota Polri, dan 1 anggota anggota lembaga swadaya msyarakat.

Empat orang diantaranya yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) bahkan dikenakan sanksi penurunan pangkat, yakni 2 petugas Pol PP berinisial MSS (pangkat III B) dan SGT (pangkat IIIA), serta staf sekretariat berinisial KW (pangkat II D) dan KS. Seorang petugal Pol PP lainnya, berinisial KP, tak dapat sanksi serupa karena hanya berstatus pegawai harian. Sehari-hari, semuanya bertugas di Kantor Camat Melaya. KW bertugas sebagai petugas pungut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sementara KS merupakan penyuluh lapangan keluarga berencana (PLKB) dari Pemkab Jembranas, yang diperbantukan di Kecamatan Melaya. Selain kelima orang itu, ada sedikitnya 37 orang staf lain di kantor camat yang membawahi Kelurahan Gilimanuk itu yang mendapat bagian shift jaga di Pos Pemeriksaan KTP Gilimanuk.

Toh, aksi penjebakan 1 November lalu itu tak membuat jera. Winasa yang setelah itu menyamar sebagai petugas pemeriksa KTP, masih menemukan praktik itu. Suami Bupati Banyuwangi yang ngetop karena kebijakan pendidikan bebas SPP di Jembrana itu sempat menemukan seorang ibu tua asal Jawa yang datang tanpa membawa KTP. Perempuan itu pun mengakui masa berlaku KTPnya sudah mati, tapi kemudian ia menunjukkan sepucuk surat domisili. “Saya bilang, wah, nggak bisa bu,”begitu Winasa menceritakan kembali kejadian itu kepada GATRA. Tak lama, perempuan itu lantas merogoh dompet, dan menyerahkan selembar uang uang Rp 5 ribu kepada Winasa yang saat itu berpakaian dinas PNS, lengkap dengan tanda bintang besar di dada sebagai lambang kepala daerah. “Kurang bu, saya bilang gitu,”katanya. Tanpa diduga, ibu tersebut menjawab, “Tapi, biasanya Rp 5 ribu lho pak.” Bagi Winasa, itu jelas membuktikan bahwa aksi suap itu sudah mendarah daging di Pelabuhan Gilimanuk.

Korupsi kecil-kecilan yang menurut Winasa berdampak besar pada keamanan Bali itu, diperkirakan telah memberi keuntungan besar kepada para pelakunya. Setiap hari, diperkirakan tak kurang dari 10 orang bisa didapat. “Itu kalau sepi. Kalau ramai, bisa dapat 50 orang,”tegasnya. Dengan ketetapan harga Rp 5 ribu untuk KTP mati dan Rp 10 ribu untuk orang tanpa KTP tentu bukan uang kecil bagi mereka. “Orang di bus itu kenek ngomong kok, yang nggak bawa KTP supaya siapkan uang Rp 10 ribu,”keluhnya.

Rapuhnya pengamanan di salah satu pintu masuk ke Bali itu, makin diperparah dengan rendahnya kesadaran masyarakat setempat. Bagaimana tidak, para pecalang (pengamanan swakarsa dari desa adat,red) dan Linmas yang ditugaskan menjaga pos, juga menyalahgunakannya untuk mencari untung serupa. Mereka yang diminta mengantar penumpang tanpa identitas kembali ke pintu masuk pelabuhan untuk dipulangkan, justru mengantarnya ke tukang ojek. Akibatnya, anggota pecalang dan Linmas yang ditugaskan di pos, juga ditarik. Diganti dengan petugas Pemkab Jembrana dengan sistem bergantian.

Tukang ojek memang menjadi masalah tersendiri di Pelabuhan Gilimanuk. Bagaimana tidak, tukang ojek bisa dengan sangat leluasa mencari penumpang di dalam pelabuhan. Artinya, dengan hubungan pertemanan tukang ojek dengan petugas pos pemeriksaan, penumpang ojek tak perlu lagi diperiksa indentitasnya. Tak ada yang tahu, siapa orang-orang yang menumpang ojek itu. Tentu, trik yang mudah dan murah untuk lepas dari pemeriksaan petugas. Hanya perlu Rp 5.000 per orang untuk mengantar mereka ke terminal bus di seberang pelabuhan.

Gelagat adanya suap dalam operasional pos pemeriksaan itu sebenarnya telah tercium sejak lama, sejak tahun pertama, 2002. Kecurigaan itu membuat Winasa memutuskan mengganti semua personil yang saat itu adalah staf Pemkab Jembrana. Petugas diganti dengan kombinasi Pol PP, staf sekretariat, pecalang, Linmas, dan anggota LSM. Sehari dibagi dalam 2 shift di mana satu shiftnya terdiri 9 orang. Namun aksi suap itu rupanya sudah jadi penyakit turunan sehingga 8 Juli 2005 lalu, semua aparat yang bertugas diminta menandatangani surat pernyataan. Isinya, berjanji untuk melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan, tidak menerima suap, dan tidak meloloskan penduduk pendatang yang tidak berKTP atau KTPnya mati. Bila janji diingkari, mereka menyatakan siap diberhentikan sebagai petugas pada pos penertiban KTP di Gilimanuk tanpa menuntut ganti rugi dalam bentuk apapun. Ternyata, surat itu hanya formalitas, meski ikut mengetahui Camat Melaya dan Kepala Dinas Tenaga Kerja, Kependudukan, Catatan Sipil, dan Keluarga Berencana Kabupaten Jembrana.

Langkah penindakan kepada petugas, menurut Winasa merupakan bentuk punishment yang sesuai buat mereka. Apalagi pemeriksaan itu dilakukan untuk kepentingan bersama, mengantisipasi terorisme. Pengamanan di Gilimanuk menurutnya memberi pengaruh yang sangat besar. “Kita kan tidak bisa menahan bom, tapi setidak-tidaknya kita tahu siapa yang masuk Bali. Nggak mungkin kan orang mau ngebom naik pesawat. Pasti masuk dari sini,”jelasnya. Kalaupun ada pelabuhan kecil di Jembrana, seperti Pengambengan, menurut Winasa justru akan berisiko besar buat para teroris tersebut. Artinya, Pelabuhan Gilimanuk yang berjarak sekitar 130 km dari Kota Denpasar merupakan pintu masuk utama yang paling mungkin dilewati para teroris. Kepala Dinas Tenaga Kerja, Kependudukan, Catatan Sipil, dan Keluarga Berencana Kabupaten Jembrana , Nyoman Candrama, mencatat rata-rata jumlah kendaraan yang melewati Pelabuhan Gilimanuk mencapai 2.200 kendaraan per hari. Jumlah penumpangnya sekitar 8.000 orang. Itu belum termasuk angka pada hari-hari libur panjang, seperti saat arus mudik dan balik Lebaran lalu.

Karenanya, Winasa sangat menyayangkan sikap petugas yang menurutnya telah mendapat penghasilan cukup. “Mereka mencari keuntungan sesaat. Kalau kita lihat, kan mereka sudah dapat lebih. Tunjangannya 25 ribu per hari. Ditambah gaji mereka, kan sudah cukup. Kalau segitu masih kurang, mau berapa lagi?”keluhnya. Toh, Camat Melaya, Wayan Sadnya, yang mengaku belum menerima surat resmi tentang hukuman kepada stafnya, meminta agar sanksi yang diberikan tak sampai pada penurunan pangkat. “Harapan kami tentu pengenaan sanksi daripada staf kami bisa diperingan. Dengan tugas-tugas kami yang cukup kompleks sekali. Memang langkah-langkah ini sangat baik untuk memperingatkan petugas di sana agar bisa melakukan tugas sesuai dengan aturan yang benar,”kilahnya.

Kasi Pemerintakan Kecamatan Melaya, Warga, juga mengeluhkan kebijakan Pemkab yang menurutnya tak sesuai dengan isi perjanjian yang ditandatangani Juli lalu. “Di perjanjian kan tercantum, siap diberhentikan dari tugas di Gilimanuk. Tidak menyinggung PP 30 tahun 80 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil,”keluhnya. Berdasarkan PP 30/80, sanksi penurunan pangkat diberikan kepada PNS yang melakukan pelanggaran berat. Apapun komentar orang, yang jelas Winasa berjanji akan menelusuri kembali orang-orang yang terlibat dalam penyuapan itu. “Kita akan ditelusuri lagi. Kalau kita temukan bukti lagi, kita ambil tindakan lagi. Kalau masih nggak kapok-kapok, ya susah kita,” jelas profesor yang juga dokter gigi ini.

Sistem yang dibuat untuk pemeriksaan, bagi Winasa sudah baik. Sayang, tidak ada kontrol atas sistem itu. Pihaknya juga mengakui, pengawasan oleh Dinas Kependudukan belum berjalan optimal. Petugas Pol PP misalnya, seharusnya tak boleh melakukan pemeriksaan. Tugasnya hanya mengarahkan penumpang ke pos pemeriksaan. Pemeriksa KTP, dari staf sekretariat, seharusnya juga tak boleh keluar dari loket yang tersedia. Kenyataannya, Pol PP,staf sekretariat, dan lainnya, ikut memeriksa, di luar loket yang tersedia. “Kalau sudah begitu, pasti terjadi kolusi itu sudah. Kondisi itu juga tak lepas dari situasional di gilimanuk. “Kita tertib, ojek tidak tertib, polisi tidak tertib, ASDP tidak tertib, sudahlah. Saya sudah berkali-kali minta koordinasi tentang semua pihak, demi kepentingan kita bersama. Bukan kepentingan orang per orang,”tambahnya.

Meski sulit, upaya ke arah perbaikan tetap akan dilakukan. Sebuah pintu kontrol yang lebih canggih akan dibuat. Hanya satu pintu, yang diharapkan tidak bisa meloloskan orang-orang tanpa identitas. Nantinya juga diharapkan ada sistem scan KTP, sehingga ada data jelas tentang siapa saja yang masuk Bali. “Saya sedang pikirkan gimana biar pihak ketiga bisa dilibatkan. Semacam relawan relawan,”jelasnya. Upaya perbaikan terus dilakukan, meski diakui tak semudah membalik telapak tangan. Dengan begitu, anak buah DR. Azahari yang masih tersisa tidak punya kesempatan untuk meledakkan bom ketiganya di Bali. Semoga. [Komang Erviani / pernah dimuat di Majalah Gatra Edisi 03 Tahun XII, 3 Desember 2005, dengan judul artikel “Pungutan di Filter Pertama”]

Kamis, 01 Desember 2005

Hari AIDS Sedunia, Bukan Sekadar Momentum

Buat apa sih hari AIDS diperingati? Hari AIDS Sedunia sebenarnya disusun dan disetujui dengan suara bulat oleh 140 negara yang mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dunia Menteri Kesehatan mengenai AIDS pada Januari 1988 di London, Inggris. Hari tersebut direncanakan sebagai kesempatan bagi para pemerintah, program AIDS nasional, LSM dan organisasi setempat untuk menunjukkan pentingnya mereka ikut serta dalam perang terhadap AIDS dan solidaritasnya dalam upaya ini. Kemudian pada tahun yang sama, pada pertemuan paripurna Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-38 pada 27 Oktober 1988, resolusi nomor A/RES/43/15 tentang pencegahan dan penanggulangan AIDS mencatat bahwa World Health Organization (WHO) menyatakan 1 Desember 1988 sebagai Hari AIDS Sedunia. Di sana juga ditekankan pentingnya menghormati peristiwa tersebut.
Momentum ini berangkat dari kesadaran bahwa HIV/AIDS sudah menjadi ancaman biologis terbesar di dunia. Setiap harinya diperkirakan muncul 14.000 infeksi baru HIV. Sebanyak 95 persen lebih berasal dari negara dengan pendapatan menengah ke bawah. Di Indonesia, saat ini diperkirakan ada 90.000- 130.000 orang dengan HIV/AIDS. Hingga 2010 diperkirakan jumlahnya meningkat jadi 1 – 5 juta orang. Bali termasuk salah satu dari 6 propinsi yang berstatus epidemi HIV/AIDS terkonsentrasi, selain Papua, Riau, Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Di Bali sendiri, diperkirakan ada 4.000 orang telah terinfeksi HIV/AIDS. Tentu bukan angka yang sedikit.
Peringatan Hari AIDS Sedunia, hanya merupakan satu langkah kecil untuk mengingatkan masyarakat atas besarnya ancaman AIDS bagi dunia. Karena HIV/AIDS selalu mengintai di sekitar kita. [Komang Erviani]

Rabu, 30 November 2005

ATV Bergelimang Dolar

“Amazing. It’s Wonderfull,”demikian Angela Teresa Bernaben Paswal, 31 tahun, berkomentar pendek tentang petualangan seru yang baru saja diselesaikannya, 14 Oktober 2005 lalu. Perasaan tegang, takut, dan kagum beraduk setelah 1,5 jam lamanya menyusuri areal persawahan dan perbukitan terjal di Penebel, Tabanan, Bali. Bersama pasangannya, Jose, perempuan asal Spanyol itu mengaku telah mendapat pengalaman luar biasa. Bagaimana tidak, dengan ATV yang dikendarai Jose, Angela yang duduk di boncengan belakang dapat menikmati keindahan alam Bali meski rasa takut sesekali menghantui.

Bila ingin menikmati alam Bali dengan cara yang berbeda, ATV Ride mungkin bisa jadi alternatif menarik. ATV sebenarnya kepanjangan dari all terrain vehicle (kendaraan segala medan). Mungkin karena bentuknya yang menyerupai traktor, para turis Rusia kerap menyebutnya mini traktor. Sesuai namanya, ATV mampu melewati berbagai medan, serumit apapun.

Salah satu tempat di Bali yang menyediakan jasa ATV Ride adalah Paddy Adventure. Lokasi startnya berada di Desa Wongaya Gede, Penebel, Tabanan, sekitar 57 km dari Kota Denpasar. Jalur yang bisa dilewati cukup panjang, mencapai 9 km. Untuk menelusuri jalur yang melalui dua desa, yakni Wongaya Gede dan Tengkudak itu, waktu yang dihabiskan umumnya berkisar 1,5 hingga 2 jam. Jalur yang dilewati sangat menantang, mulai dari jalanan tanah yang landai, jalanan berbatu, jalan berkapur, jalanan becek, hingga melewati jalur irigasi (subak). Jalur yang paling memacu adrenalin adalah jalan sempit dengan tikungan tajam dan curam. Bila tak hati hati, bisa jatuh ke tebing, atau paling tidak nyangkut di semak-semak.

Di sepanjang perjalanan, kita akan ditawarkan pesona alam pedesaan yang khas dengan corak agrarisnya. Hamparan padi yang luas, akan menyapa kita dengan ramahnya. Beruntung kalau kita juga berkesempatan melihat aktivitas para petani. Perkebunan kopi, kelapa, hingga kakao, juga sesekali menyapa secara bergantian. Memasuki areal permukiman, beberapa rumah tradisional Bali juga terlihat berdiri tegak. Di tengah perjalanan, kita juga bisa membeli kelapa muda yang dipetik langsung dari pohonnya.

Meski jalur yang dilalui tergolong cukup rawan, namun keselamatan tamu tetap dijaga. Kalaupun terjadi apa-apa, para tamu juga diasuransikan. Antisipasi untuk keselamatan tamu bahkan telah dilakukan sejak awal, ketika tamu hendak registrasi. Aturannya, tamu yang diperbolehkan mengendarai ATV sendiri setidaknya harus sudah berumur 12 tahun hingga maksumal 65 tahun. Untuk yang punya penyakit jantung, tak diperbolehkan mengikuti petualangan ini.

Cukup umur saja bukan berarti bisa langsung jalan. Sebelum berangkat, tamu juga harus melalui sesi instruksi, di mana para pemandu menjelaskan seluk beluk tentang ATV. Tamu diberitahu tentang bagaimana cara mengendarai di mana posisi strater, rem depan, rem belakang hingga bagaimana posisi bbadan yang aman saat mau menemui tanjakan. Setelahnya, tamu wajib memperlihatkan kemampuannya mengendarai ATV di areal start. Kalau dinilai tak mampu dan membahayakan, maka tamu akan disarankan untuk tandem (boncengan). Entah itu dengan rekannya ataupun dengan staf setempat. Helm, tentu saja wajib dipakai. Dalam perjalanan, kecepatan kendaraan akan diatur oleh pemandu yang berada di posisi paling depan. Ada juga seorang post guard atau biasa disebut sweeper, yang bertugas memastikan jalan aman untuk dilewati.

Paddy memiliki sedikitnya 16 unit ATV dengan jenis mesin Yamaha. Ada tiga tipe kendaraan yang bisa dipilih sesuai kemampuan dan selera. Tipe pertama biasa disebut bigbear tracker dengan fourwil drive (4x4) dan 350 cc. Tipe kedua disebut bear tracker dengan hanya tuas roda depan yang bergerak (2X2) dan 250 cc. Tipe terakhir biasa disebut tipe sport. Tipe mesin jenis sport sebenarnya sama dengan fourwil. Hanya saja, penampilannya terlihat jauh lebih sportif. “Kekuatannya sebenarnya sama. Hanya masalah kebiasaan aja,”jelas Joe Michael Abast, Operation Manager Paddy Adventure.

Tertarik? Tunggu dulu. Kita harus merogoh kocek cukup dalam untuk menikmati petualangan ini. Bayangkan saja, untuk sekali perjalanam, konsumen harus membayar 69 dolar AS. Tetapi untuk tamu yang ingin tandem, harganya sedikit lebih murah, yakni 115 dolar AS untuk dua orang. Harga itu sudah termasuk asuransi keselamatan, snack, makan, serta transportasi dari dan ke hotel. Syaratnya, masih berada di kawasan Nusa Dua, Kuta, Sanur, Denpasar, dan Ubud. Untuk wisatawan domestik, Paddy bisa menawarkan diskon tertentu. “Kalau ada domestik, bisa diberi diskon,”jelas Michael tanpa mau merinci.

Menurut Michael, tamu yang menggemari ATV Ride cukup beragam. Entah itu wisatawan Rusia, Australia, Taiwan, ataupun domestik. Meski demikian, wisatawan Rusia tercatat paling banyak menikmati wisata alternatif itu. Lonjakan turis asal Rusia biasanya terjadi antara Desember Januari di mana sebagian besar dari mereka datang dengan chartered flight. Maklum, hingga kini belum ada flight yang melayani rute Rusia-Denpasar. Mereka umumnya datang ke Bali melalui Singapura.

Bila berkunjung ke Bali, tak ada salahnya mencoba petualangan ATV Ride. Kalaupun tak tertarik dengan ATV, Paddy Adventure juga menyediakan beberapa alternatif bertualang, masih di kawasan Tabanan. Diantaranya wisata bersepeda sepanjang 15 km dengan tarif 45 dolar AS per orang, trekking sepanjang 7 km dengan tarif 40 dolar AS, serta tur dengan Land Rover sehari penuh dengan tarif Rp 77 dolar AS.[ Komang Erviani / pernah dimuat di Majalah GATRA, November 2005]

Senin, 28 November 2005

Generasi Kencur Bareng Macan Panggung

Bali Jazz Festival meriah dengan kehadiran musisi asing. Banyak musisi bau kencur yang unjuk kebolehan, tak mau kalah dengan seniornya. Direncanakan jadi ajang tahunan.

Panggung sempit di Hard Rock Café, Kuta, Bali, jadi fokus perhatian ketika jarum jam menunjuk pukul 8 malam, Minggu pekan lalu. Semua kursi di lantai I kafe dengan interior dominasi kayu itu, ludes. Lengkingan suara saxophone yang ditiupkan duo saxophonist cilik, Gadis V ((13 tahun) dan Bass G (11 tahun), membuat riuh suasana. Ada suara tepuk tangan, siulan panjang, hingga teriakan kekaguman. Lagu “Song for Mama” hingga “Kopi Dangdut” dilantunkan secara apik dengan iringan suara keyboard, drum, dan gitar dari The G & B All Star, mengundang decak kagum.

Satu jam lamanya, duo kakak beradik yang tampil sportif itu sukses membius penonton Bali Jazz Festival di hari terakhir. Keduanya tak canggung meski harus tampil di antara 37 grup musisi jazz lokal, nasional, dan dunia, yang ikut meramaikan festival tiga hari, 18-20 November 2005. Memang, tak sedikit musisi jazz yang tampil dalam ajang acara yang oleh panitia pelaksana, Matapro dan Idekami Communications, dicita-citakan jadi pesta berkelas internasional,. Panggung di Hard Rock Café hanyalah salah satu panggung yang disediakan bagi para musisi tersebut. Sebuah panggung utama berukuran besar juga dibangun di Sand Island Hard Rock Hotel.

Hari terakhir pesta jazz yang disponsori Produsen Rokok Kretek Dji Sam Soe itu masih menyisakan kemeriahan bagi peminat jazz tanah air maupun asing. Sebanyak 11 grup musisi jazz tampil di kedua panggung. Di panggung Hard Rock Café, Gadis V harus tampil bergantian dengan Jazzyphonic, Rio Sidik bersama Saharadja, dan Bali Lounge. Iringan Saharadja, membuat penampilan Rio Sidik makin mantap. Bagaimana tidak, band jazz yang dibentuk di Bali pada 2002 itu, oleh 7 awaknya yang lintas negara (violist kelahiran Australia) mampu menampilkan musik yang asyik dari perpaduan beragam isntrumental seperti terompet, biola, jembe, gitar flamenco, dan lainnya. Perpaduannya mampu menghadirkan musik dengan nuansa tradisional India, Eropa, Irlandia, Amerika Latin, dan tentu saja Indonesia.

Di panggung utama, Balawan dan Batuan Ethnic Fusion tampil sebagai pembuka. Koko Harsoe Band kemudian menyusul, diikuti Tommorow People Ensemble (TPE), Kelompok anak muda pecinta jazz yang mampu memberi nuansa jazz yang berbeda dari biasa. Urs Ramsmeyer asal Swiss tak mau kalah, meski penampilannya tak mendapat sambutan sehangat Gadis V dan Bass G yang pada waktu hampir bersamaan juga tampil di panggung Hard Rock Café. Jurasik Big Band mendapat sambutan lumayan dari penonton. Saat tengah malam hampir tiba, saxophonist asal Amerika, David Sills, tampil dengan straight a head jazz berkolaborasi dengan grup asal Yogyakarta, Jaco Quartet. Indra Lesmana bersama Pra Budhi Darma dan Gilang Ramadan tampil di urutan terakhir, sekaligus menutup ajang pentas jazz tersebut.

Dari banyaknya nama besar yang tampil jhari itu, tentu saja penampilan Gadis V dan Bass G yang sukses mengundang decak kagum penonton, patut diacungi jempol. Apalagi bila mengingat usia mereka yang masih sangat muda. Namun,Gadis V dan Bass G bukan satu-satunya musisi bau kencur yang sukses membius penonton. Di hari pertama, pianis cilik F. Zefanya Hartani Putra tak kalah sukses saat tampil dengan iringan gitar dan drum dari musisi dewasa, Rudi Aru dan Ari Aru. Dari atas panggung utama, bocah kelahiran Bandung, 16 April 1994, itu memainkan lima komposisi instrumental seperti Freedom Jazz Dance, Periscope, All The Think You Are, Bud Powell dan Blue Bossa. Tepukan tangan yang diterimanya, tentu saja, tak kalah heboh dengan yang diterima Gadis V dan Bass G. Bagaimana tidak, kepolosan penampilan Zefa ternyata hanya “tipuan” ketika ia mulai menekan tuts pianonya. Ia sama sekali tak canggung meski harus tampil dari panggung yang sama dengan musisi-musisi seniornya. Untuk urusan musik jazz, selain berguru kepada ayahnya, Zefa yang awalnya mengaku harus dipaksa belajar piano, juga menyebut nama Andy Wiryantono.

Dari panggung yang sama, di hari pertama itu, Imam Prass Quartet tampil mengawali dengan alunan pianonya. Diiringi akustik bass Rudi Aru, drum Ari Aru, dan saxophone Boyke, tak banyak yang menyadari kalau mereka adalah pendatang baru yang masih segar dalam kancah musik jazz di Indonesia. Nuansa yang berbeda diberikan Soul mate, kelompok jazz lokal yang tampil dengan petikan Harpa dari Maya Hasan dan gitar dari Riwin. Unsur jazznya mudah sekali terasa, terutama dalam format yang lebih modern dan dihiasi dengan corak musik dunia dan generasi baru. Gaya-gaya seperti ini sering dilakukan dalam kampanye tentang isu-isu kemanusiaan, perdamaian, dan masalah lingkungan hidup. Kelompok yang terdiri dari Eko Soemarsono (akustik bass), Boogie Prasetyo (drum), Gede Yudhana (gitar), Ketut Rico (keyboard), Amy Rosady (vokal), dan Barokh Khan (sitar dan tabla) memang tergolong band bau kencur, baru terbentuk 2005. Meski demikian, mereka sukses menampilkan komposisi mereka sendiri berjudul Dewiku, Kesari, Fashion, dan Meith.

Para penonton juga diajak memasuki wilayah yang lebih abstrak dalam musik jazz melalui penampilan Joe Rosenberg Quartet. Joe Rosenberg yang bermain sopran saxophone dan bass klarinet, diiringi piano Masako Hamamura, drum Sri Aksana Sjuman, dan bass Peter Scherr menghasilkan nuansa musik yang cenderung gelap, berkabut, namun dengan tingkat emosional yang cukup peka. Terutama saat mereka menampilkan sebuah komposisi yang dipersembahkan untuk musisi jazz Indonesia yang beberapa waktu lalu meninggal dunia karena menjadi salah satu korban bom di AmmanYordania, Perry Pattiselano.

Dua penampil terakhir di panggung utama pada hari pertama itu adalah dua tokoh dan kelompok terkemuka dalam blantika musik jazz Indonesia, Bubi Chen dan Krakatau. Permainan Bubi Chen yang oleh majalah jazz Downbeat sebagai “Art Tatum-nya Asia”, tak dapat disangsikan lagi. Di usianya yang sudah 66 tahun, pianis yang tergabung dalam Indonesian All Star pada tahun 1967 ini sepertinya tetap ingin menunjukkan diri sebagai tipe pianis jazz yang perfeksionis. Bubi yang tampil lentur dan ekspresi matang, diiringi rekan-rekan lamanya seperti Oele Pattiselano (gitar), Jacky Pattiselano (drum), Jeffrey Tahalele (akustik bass), Benny Likumahua (trombone) dan bintang tamu vokalis Bertha. Momen mengesankan kembali ditorehkan dalam ajang ini, ketika Bertha tampil dengan putri kecilnya dengan melantunkan lagu Over The Rainbow.

Krakatau Band yang sejak dua tahun terakhir disibukkan oleh tour mereka di kawasan Amerika Utara dan Eropa, tampil menarik ketika malam makin larut. Mereka mencoba mempertemukan system diatonik barat dan pentatonik dari sebagian kawasan tradisi kesenian Indonesia yang khas dan diperkuat dengan improvisasi musik jazz dalam formasi lazimnya sebuah band. Visinya memang terlihat jauh berbeda dengan apa yang kita kenal dengan awal-awal pembentukannya 24 tahun silam. Formasinya terdiri atas Dwiki Darmawan (piano dan keyboard), Pra Budi Darma (bass), Adhe Rudhiana (kendang dan perkusi), Yoyon Dharsono (instrumen tradisional), Zaenal Arifin (gamelan dan perkusi), Gerry Herb (drum), dan Nya Ina Raseuki atau akrab disapa Ubiet (vokal). Mereka tampil dalam beberapa komposisi yang menantang dari beberapa album terakhirnya, Mystical Mist dan Engrang Shuffle. Sebanyak 6 grup lainnya tampil di panggung Hard Rock Cafe di hari pertama Bali Jazz Festival, diantaranya kelompok band anak muda asal Jepang Peace of Cake, sejumlah mahasiswa ISI Yogyakarta yang tergabung dalam Jaco Quartet yang tampil bareng Tuti Ardi, serta Yuri Mahatma Band yang tampil dengan eksplorasi cukup berani. Riza Arshad dengan keyboard, Tohpati dengan gitar, Aditya dengan bass dan Endang Ramdan dengan perkusinya, terlihat kompak dalam Simak Dialog yang tampil setelahnya. Juga ada Park Drive dan Nera yang menutup sesi hari pertama di Hard Rock Café.

Hari kedua Bali Jazz Festival tak kalah meriah. Ada penampilan Ensemble d Etudiant, Eye 2 Eye Jass Mix, Kul Kul, Rudesh Mahanthappa MSG, Sova, dan Cherokee di panggung Hard Rock Cafe. Sementara di panggung utama, tampil Anane, Idang Rasyidi dkk, Xinau feat Dian Pratiwi, Eero Koivistoinen Trio asal Finlandia, Jan De Hasdari Belgia, Ron Davis Quartet bersama Daniel Nafdi, dan Yokohama Artist Asociation Orchestra dari Jepang.

Meski baru pertama kali digelar, ajang Bali Jazz Festival sedikitnya telah mampu memberi ruang yang sangat luas bagi banyak sekali musisi jazz pendatang baru yang layak berkiprah di level internasional. Tentu saja, banyak pihak mendukung rencana Koordinator ajang ini, Arief ”Ayip” Budiman untuk menjadikannya ajang tahunan. Tak hanya untuk lebih mengembangkan dan mengasah bakat banyak potensi musisi jazz tanah air dan membawa musik jazz untuk lebih memasyarakat, tetapi juga untuk memberi nilai lebih terhadap pariwisata Bali. Ajang musik internasional semacam Bali Jazz Festival, setidaknya, telah membantu memberi support kepariwisataan Bali paska aksi para teroris 1 Oktober silam. [Komang Erviani]

Rabu, 09 November 2005

Jika Methadone Lebih Baik, Kenapa tidak?

LP Kerobokan jadi satelit program methadone. Diharapkan dapat membantu para napi IDU untuk pulih dari kecanduannya, selain mengurangi resiko penularan HIV/AIDS di dalam LP. Sayang, belum dilengkapi program dukungan.

Jarum jam menunjuk angka 11, ketika Mul (31 tahun) keluar dari selnya di blok H, Lembaga Pemasyarakatan (LP) Klas IIA Denpasar, yang akrab disebut LP Kerobokan. Bermodal surat bon dari petugas klinik yang dibawakan taping (sebutan untuk napi yang membantu petugas), Mul bersama beberapa rekannya diizinkan meninggalkan sel untuk beberapa jam saja. Ia pun bergegas menuju klinik, beberapa puluh meter dari blok yang telah ditempatinya sejak 14 bulan lalu itu. Mul yang sudah kedua kalinya menjadi warga binaan LP karena kasus narkoba, seperti tak sabar meneguk cairan methadone.

Sejak lebih dari dua bulan lalu, Mul telah menjadi peserta program methadone di dalam LP, program yang bertujuan melakukan pemulihan terhadap pecandu narkoba melalui pemberian methadone sebagai zat substitusi. Methadone merupakan bentuk sintesis (tidak alami) opiate, termasuk heroin, codein, dan morfin. Bagi pemakainya, khasiat methadone nyaris sama dengan heroin. Bedanya, methadone memiliki daya tahan dalam tubuh yang lebih lama, mencapai 24 jam. Sementara daya tahan heroin biasanya hanya sekitar 3 sampai 4 jam. Hal ini membuat pengguna methadone dapat hidup lebih teratur. Pemberian methadone juga dilakukan dengan cara diminum, untuk menghindari risiko penularan HIV/AIDS lewat jarum suntik. Dengan begitu, klien methadone bisa hidup dengan lebih teratur, sekaligus terhindar dari HIV/AIDS. Dalam jangka waktu tertentu, juga dilakukan penurunan dosis hingga klien bisa lepas dari kecanduannya secara perlahan.

Sejak 2003 lalu, program rumatan methadone telah resmi dilakukan di Indonesia melalui dua rumah sakit (RS), yakni Program Rumatan Methadone (PRM) Sandat RS Sanglah Denpasar dan RS Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta. LP Kerobokan menjadi salah satu satelit PRM Sanglah. Tujuannya untuk mempermudah akses methadone di kalangan penyalahguna narkoba suntik (injecting drug users/IDU) yang jadi warga binaan LP Kerobokan. Dengan begitu, LP Kerobokan menjadi LP pertama Indonesia yang melaksanakan program methadone secara efektif.

Keberadaan satelit methadone di LP Kerobokan, sebenarnya telah diluncurkan secara resmi oleh Dirjen Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM pada 10 Desember 2004 lalu. Namun, penerapannya baru dilaksanakan efektif pada Agustus 2005 lalu. Hal itu karena belum ada kepastian pasokan methadone. “Sekarang kita (LP) dipastikan dapat 157 ribu cc methadone sampai Desember 2006. Dananya dari Global Fund,” kata Anak Agung Gde Hartawan, Ketua Pokja Lapas, pokja yang khusus melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dan narkoba di LP Kerobokan.

Sejak dibuka, program methadone di LP Kerobokan menurut Hartawan yang juga dokter di klinik LP, direspon positif warga binaanya. Jumlah klien program ini telah mencapai 16 orang. Empat belas orang diantaranya mengikuti program di LP sejak dosis awal. Sedangkan 2 orang hanya melanjutkan program yang diikutinya di PRM Sandat RS Sanglah. Untuk mengikuti program, warga binaan LP memang cukup dipermudah. Mereka tak dikenai biaya apapun, alias gratis. Sedangkan klien methadone di PRM Sandat RS Sanglah dikenai biaya Rp 5.000 sekali minum.
Menurut Koordinator PRM Sandat RS Sanglah, Nyoman Hanati, biaya itu dikenakan untuk mengganti operasional program-program dukungan dalam upaya membantu proses pemulihan klien.

Prosedur yang harus dilalui calon klien methadone LP, tak jauh beda dengan klien methadone di Sanglah. Standar prosedur operasional (SOP) yang digunakan, sama dengan yang diterapkan PRM Sanglah tapi dengan sedikit modifikasi Pokja Lapas. Misalnya, umur lebih dari 20 tahun, berkelakuan baik, dan diutamakan bagi mereka yang sudah sering keluar masuk rehab. Ini bertujuan untuk memastikan klien methadone benar-benar orang yang membutuhkannya, apalagi mengingat jumlah methadone yang disediakan pemerintah sangat terbatas.

Khusus untuk methadone di LP Kerobokan, diberikan beberapa syarat tambahan. Selain sudah pernah keluar masuk LP, juga diutamakan bagi warga binaan yang sisa masa hukumannya lebih dari satu tahun sejak ikut program. Hal tersebut untuk menghindari terjadinya keterputusan program. Namun demikian, syarat yang satu ini dikecualikan bagi warga binaan dengan sisa masa hukuman kurang dari setahun yang memiliki wali keluarga. Wali itulah yang nantinya akan bertugas menjamin kelanjutan program methadone napi di PRM Sanglah saat ia sudah bebas. Satu lagi syarat tambahannya, klien harus bersedia rambutnya dipangkas. “Cuma biar mereka merasa jadi orang baru sepenuhnya,” tutur Hartawan.

Selain mengisi identitas diri, termasuk riwayat kesehatan, calon klien juga diwajibkan menandatangani surat pernyataan setuju mengikuti program dengan berbagai efek sampingnya. “Sebelumnya kita jelaskan dulu apa saja efek sampingnya. Jadi mereka benar-benar paham. Kalau mereka terima, ya tanda tangan,” jelas Putu Asih Primatanti, dokter lapas yang bertugas melayani program methadone di LP.


***

Putus dari heroin, memang bukan hal mudah. Hal itu bahkan masih dirasakan Mul hingga sekarang, meski masa programnya sudah menginjak bulan ketiga. “Saya mencret terus tiap pagi, dok. Kalau tidur juga gelisah,” keluh Mul kepada Asih. Bahkan beberapa poin yang ditanyakan Asih langsung diiyakannya. Mulai dari keluhan masih suka menguap, cemas, mata berair, pilek, gemetar, tulang otot sakit, dan sebagainya. “Kamu benar-benar sudah nggak pake (heroin)?” tanya Asih. Maklum, menurutnya ada beberapa klien yang masih membandel dan masih tetap menggunakan heroin, meski dengan porsi yang lebih sedikit. Padahal, penggunaan methadone yang masih disambi dengan heroin justru akan menghambat program.

Yang jelas, jangan coba-coba berbohong dalam menjalani program. Tercatat, satu orang klien telah dikeluarkan karena terbukti seringkali berbohong. “Kalaupun mereka sempat make (heroin), mereka harus jujur. Kalau make tapi bilang nggak make, itu yang masalah karena dosing (penyesuaian dosis) kami bisa salah,”Asih menjelaskan. Setahun dua kali juga akan dilakukan tes urine bagi klien.

Pada tahap awal program, pemberian dosis memang masih harus disesuaikan dengan kondisi badan klien. Dosis induksi, begitu biasa diistilahkan, diberikan hingga klien benar-benar nyaman dengan satu dosis tertentu. Karena Mul masih tidak merasakan kenyamanan dengan 65 miligram (mg), dosisnya pun dinaikkan menjadi 70 mg. “Menaikkan dosis induksinya harus sedikit demi sedikit. Kalau klien sudah tidak merasakan keluhan, berarti dosisnya sudah stabil,” tutur ibu tiga anak ini. Proses penurunan dosis juga tak boleh asal-asalan. Paling tidak, klien harus sudah menjalani dosis stabilnya minimal enam bulan. Ini untuk menghindari risiko gagal karena program yang terburu-buru.

Sayangnya, Pokja Lapas belum memiliki program-program dukungan untuk program methadone. Menurut Hartawan, program-program tersebut sedang dirintis. Namun Hartawan secara tegas menyatakan bahwa keberadaan satelit methadone di LP Kerobokan bukan sekadar sebagai pendistribusi methadone. Lebih dari itu, tujuan utama program adalah perubahan perilaku di kalangan IDU di LP.

Pokja Lapas hingga saat ini belum membuat evaluasi menyeluruh atas programnya. Namun setelah hampir 3 bulan berjalan, ada perilaku yang cukup berubah dari diri klien. “Setelah minum, terasa sekali perubahannya. Mereka tenang di bloknya, sudah bisa merawat diri, perhatikan temannya. Mereka mulai berkarya,” ungkap Hartawan. Maklum, kecanduan pada heroin membuat IDU harus selalu memutar otak untuk mencari sumber uang dalam jumlah besar. Wajar bila tipu menipu dan keributan karena utang piutang kerap terjadi. Namun yang terpenting, program ini dapat mengurangi resiko penularan HIV/AIDS di kalangan mereka, karena kebiasaan berbagi jarum suntik. [Komang Erviani / Dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUl Edisi 10, November 2005]

Jangan Biarkan Narkoba Merenggut Kehidupan

Penyalahgunaan narkoba di Indonesia terbukti mengakibatkan kerugian di segala bidang. Selama 2004 saja, besaran biaya ekonomi dan sosial akibat penyalahgunaan narkoba di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 23,6 triliun. Dari jumlah itu, 78 persennya merupakan kontribusi biaya ekonomi. Biaya terbesar timbul dari konsumsi narkoba, sebanyak Rp 11,3 triliun.

Begitulah sepenggal isi hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) tentang biaya ekonomi dan sosial akibat penyalahgunaan narkoba pada 10 kota besar di Indonesia tahun 2004 yang disosialisasikan kepada para pengurus dan staf Badan Narkotika Provinsi (BNP) Bali, awal Oktober 2005 lalu. Selain Denpasar, penelitian juga menyasar Medan, Batam, Manado, Jakarta, Semarang, Makassar, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta.

Dalam penelitian itu juga disebutkan, biaya sosial dari penyalahgunaan narkoba pada tahun 2004 telah mencapai sekitar Rp 5 triliun. Kontribusi terbesar terhadap biaya tersebut adalah untuk kriminalitas, terutama di tingkat keluarga. Hal itu diketahui dari survei terhadap siswa SMA, penyalahguna narkoba di masyarakat, di panti rehabilitasi, petugas kepolisian, mantan penyalahguna, serta keluarga penyalahguna.

Masih dari survei tersebut, juga diketahui bahwa ganja merupakan jenis narkoba yang banyak dipakai. Pada kelompok coba-pakai, penggunaan ganja mencapai 71 persen. Sementara pada kelompok teratur-pakai dan pecandu msing-masing sebanyak 71 persen dan 75 persen. Jenis narkoba lain yang juga banyak dipakai yakni heroin, shabu, ekstasi, dan obat penenang.

Di tahun yang sama, besaran penyalahguna narkoba teratur-pakai dan pecandu di Indonesia diperkirakan telah mencapai sekitar 3,2 juta orang, atau setara dengan 1,5 persen jumlah penduduk. Komposisinya, 79 persen laki-laki dan 21 persen perempuan. Dari jumlah itu, 69 persennya adalah kelompok teratur pakai dan 31 persen pecandu. Ironisnya, lebih dari separuh dari kelompok pecandu (56 persen), atau sekitar 572 ribu orang merupakan penyalahguna narkoba suntik. Diantara para penyalahguna narkoba suntik itu, 400 ribu orang diperkirakan telah terinfeki Hepatitis B, 458 ribu orang terinfeksi Hepatitis C, dan 299 ribu orang telah terinfeksi HIV.

Itu baru satu hasil penelitian BNN. Dalam kesempatan berkunjung ke Bali, BNN melalui Staf Puslitbang dan Info BNN, Kompol Deden Pramana, tak hanya membawa hasil penelitian. Empat buah hasil penelitian disosialisasikan sekaligus. Selain tentang biaya ekonomi dan sosial akibat penyalahgunan narkoba, BNN juga menyosialisasikan hasil penelitian tentang masalah narapidana narkoba di lembaga pemasyarakatan (LP) dan rumah tahanan (rutan) tahun 2003, hasil survei nasional penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba tahun 2003, dan hasil survei nasional penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba pada pekerja formal dan informal di 15 provinsi tahun 2004.

Dalam penelitian masalah narapidana narkoba di LP dan Rutan, BNN yang bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) menyasar 9 LP dan 1 rutan di 9 provinsi. LP Kerobokan termasuk salah satu lokasi dengan mengambil 88 responden napi narkoba di LP terbesar di Bali itu. Dari para napi narkoba, ternyata 82,6 persennya mengaku pertama kali menyalahgunakan narkoba karena diberi teman. Hanya 12,4 persen yang mengaku mengawali dengan membeli sendiri. Sebagian besar diantaranya (61,3 persen), mengawali dengan menyalahgunakan ganja. Disusul kemudian jenis putaw sebanyak 12,5 persen. Hampir dua pertiga penyalahguna narkoba memulai kebiasaan buruknya itu di kisaran umum 15-24 tahun. Hanya 10,7 persen yang mengawali di umur kurang dari 15 tahun. Melihat kondisi itu, maka peneliti merekomendasikan pentingnya peningkatan kampanye tindakan preventif kepada anak-anak usia sekolah. Kata kuncinya, jangan pernah mencoba dan jangan mau dikasi teman.

Survei tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba pada tahun 2003, mengungkap sebaran penyalahgunaan narkoba per ibukota provinsi secara nasional. Hasilnya, ada tiga kota yang memiliki besaran persentase penyalaguna narkoba paling tinggi. Yakni Jakarta (23 persen), Medan (15 persen) dan Bandung (14 persen). Beberapa kota lain yang mengikuti diantaranya Medan (6,4 persen), Surabaya (6,3 persen), Maluku Utara (5,9 persen), Padang (5,5 persen), Kendari (5 persen), Banjarmasin (4,3 persen), Palu (8,4 persen), Yogyakarta (4,1 persen), dan Pontianak (4,1 persen).

Heran karena Denpasar tak terlihat dalam data itu, Kepala Satuan Pembinaan dan Penyuluhan (Satbinluh) Dit. Narkoba Polda Bali, AKP Ketut Masmini langsung bertanya,”Saya jadi ragu. Bali kok tidak kelihatan. Lalu kenapa program-program WHO justru dilaksanakan di Bali dan Jakarta?“. Deden mengakui, pihaknya tidak tahu persis kenapa Bali tak tampak di data tersebut. Diperkirakan, itu karena metode yang digunakan. ”Tapi studi ini setiap 5 tahun akan kita ulang. Mungkin tahun 2008 nanti Bali akan kelihatan,”jawabnya ringan.

Survei terhadap 13.710 responden dari 26 ibukota provinsi itu, juga memperlihatkan kaitan yang lebih signifikan antara faktor sosialisasi dalam lingkungan teman sepergaulan yang menyalahgunakan narkoba dengan penyalahgunaan narkoba dibandingkan faktor-faktor kondisi dan sosialisasi keluarga. Pada kelompok responden yang semua teman bergaulnya mempunyai kebiasaan merokok, 24,9 persen di antara responden pernah menyalahgunakan narkoba. Sementara pada kelompok responden yang seluruh teman bergaulnya mempunyai kebiasaan minum-minuman keras, persentase penyalahguna narkoba sebanyak 38,1 persen.

Kenyataan itu diperkuat dengan hasil survei tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba pada pekerja formal dan informal di 15 provinsi tahun 2004. Kebiasaan merokok dan minum minuman keras disimpulkan sebagai perilaku awal yang biasanya menjadi pemicu orang mencoba narkoba. Sebanyak 94 dari 100 responden penyalahguna narkoba adalah perokok, sementara 91 dari 100 orang adalah peminum minuman keras. Sayang, penelitian terakhir ini tak mengikutsertakan Bali sebagai sasaran. Survei hanya dilakukan di Medan, Jambi, Palembang, Bengkulu, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Balikpapan, Palangkaraya, Makassar, Kendari, Manado, dan Mataram. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 10, November 2005]

Senin, 17 Oktober 2005

12 Oktober Takkan Dilupa

Linangan air mata dan isak tangis, tak bisa ditahan oleh perempuan asal Australia ketika tiba di depan Sari Club, Rabu 12 Oktober 2005. Datang dengan pakaian serba gelap bersama dua anak dan satu keponakannya, diletakkannya sejumlah karangan bunga, sebuah boneka koala warna abu, dan beberapa lilin warna merah, tepat di pagar hijau bekas ledakan itu. Sebuah foto bertuliskan nama Elizabeth Kotragaks dan potongan kalimat "We will always love you", ditunjuknya sambil terus terisak. "Saya sangat sedih. Dia anak perempuan saya,"ujarnya.

Perempuan tua yang bahkan tak mampu menyebut nama itu, tak sendiri. Isak tangis harus juga dirasakan puluhan warga Australia lain yang sengaja datang ke Monumen Bom Bali, untuk memperingati peristiwa naas 12 Oktober 2002 lalu itu. Hari itu, seperti tahun-tahun sebelumnya, Kedutaan Besar Australia di Indonesia memang secara sengaja menggelar peringatan peristiwa itu. Maklum, warga Australia menjadi korban terbanyak dari peledakan bom buatan Amrozi Cs itu. Dari 202 orang korban tewas, 88 orang diantaranya warga Australia. Tak kurang Menlu Australia Alexander Downer, Dubes Australia untuk Indonesia, David Ritchie, Kepala Australia Federal Police (AFP), Mick Kelty, serta Konsul Australia di Bali, Brent Hall, hadir dalam kesempatan tersebut. Bagi Downer, serangan bom dilakukan oleh orang-orang yang
menyebarkan ideology kebencian dan dikutuk semua negara dan agama di dunia. "Saya sangat berduka atas peristiwa yang menimpa Pulau Dewata ini. Tapi saya tahu, masyarakat Bali akan bangkit dari akibat yang ditimbulkan teroris ini,"tegasnya. Peringatan diisi dengan renungan selama 202 detik sesuai dengan jumlah korban tewas.

William Hardy, salah seorang keluarga korban yang anaknya tewas dalam peristiwa itu, berkesempatan membaca doa. "Billy datang ke Bali dengan tim soft ballnya,"cerita pria asal Queensland itu tentang kepergian putranya yang saat peristiwa berusia 20 tahun. Kepedihan juga dirasakan Natalie Juniardi, perempuan Australia yang menikah dengan pria ndonesia, Juniardi. Perempuan asal Sydney yang mendapat satu anak dari Juniardi itu, berharap masyarakat Australia masih mau datang ke Bali meski telah terjadi bom. Para keluarga korban asal Bali, terdiri atas perempuan dan anak-anak, juga tak mau melewatkan peringatan bagi kematian tulang punggung keluarga mereka. "Suami saya sempat hilang 2 bulan. Tapi kemudian mayatnya ditemukan tanpa kepala. Saya mengenali dari benjolan di kakinya,"kenang Nyoman Rencini, janda Ketut Sumarawat yang tewas saat mengantar tamunya ke Sari Club. Kini, Rencini harus menjadi ibu sekaligus bapak dari ketiga putrinya.

Gara-gara ulah Amrozy dkk, 12 Oktober tiba-tiba menjadi momen sakral bagi masyarakat Bali dan dunia internasional. Berbagai acara beruntun digelar. Tak berselang lama setelah peringatan oleh Kedubes Australia digelar, Gabungan Anti Terorisme (GAT) menggelar aksinya di Wantilan DPRD Bali. Ketua Pengadilan Negeri Denpasar, Nengah Suriada, Kajari Denpasar Ketut Arthana, Asintel Kejati Bali, Sukarni, Jaksa Putu Suparta Jaya, dan Wakil Ketua DPRD Bali, IBG Suryatmaja, sukses dihadirkan. "Kami sengaja tidak melakukan aksi ke jalan karena kita ingin berjuang secara damai,"tegas IGP Artha, salah seorang pentolan GAT. Pria yang juga anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bali itu mengaku khawatir disusupi, mengingat banyaknya sms gelap yang beredar di masyarakat terkait rencana "menyerbu" Lapas Kerobokan. Meski tujuannya sama, menuntut eksekusi mati terhadap Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Gufron, yang telah divonis mati Pengadilan Negeri Denpasar lebih dari 2 tahun lalu. Meski sempat terjadi ketegangan karena tak ada ketegasan dari Ketua PN Denpasar tentang proses akhir eksekusi, namun demo berakhir damai dengan pemberian deadline kepada PN Denpasar untuk memperjelas prosesnya pada Senin, 17 Oktober. Sekitar pukul 14.00 wita, aksi serupa digelar ribuan masyarakat yang menamakan diri Pemuda Bali Bersatu (PBB) di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Renon, Denpasar. Tuntutannya sama, gantung Amrozi Cs segera.

Sayangnya, aksi damai yang terjadi sejak pagi hingga siang hari, ternoda ketika sekitar pukul 16.00 wita, massa yang tak jelas asal usulnya "menyerbu" Lapas Kerobokan. Beberapa diantara mereka mengaku sebagai warga asli Kerobokan. Beberapa diantaranya mengenakan pakaian sejumlah ormas seperti Laskar Badung, Kita Satu Bali, dan lainnya. Spanduk besar bertulis "Eksekusi Amrozi Cs, Wahai SBY cepat bunuh orang yang membuat Bali terluka" dibentangkan di pintu paling depan lapas tempat para teroris mendekam hingga Selasa, 11 Oktober lalu itu. Rupanya, pemindahan Amrozi Cs ke LP Batu Nusa Kambangan yang dilakukan di tengah kuatnya tuntutan eksekusi terhadap para teroris itu, menyulut kemarahan warga. "Kayaknya hukum tidak adil lagi,"tegas Franz, 28 tahun, salah seorang peserta demo dari Kita Satu Bali.

"Bali aman Bullshit. Bullshit, bullshit semua,"teriak massa ketika Kapolres Badung, AKBP Nyoman Gede Sujarsa, ketika berbicara mencoba menenangkan massa. Emosi massa makin menjadi ketika sejumlah kompi Dalmas didatangkan ke lokasi. Perusakan dilakukan terhadap pagar, gerbang, papan nama, serta sejumlah fasilitas setempat. Bahkan Kasat Samapta Kompol Ketut Surpa, yang mencoba menghalangi mereka, nyaris menjadi korban amuk massa. Kapoltabes Denpasar, Kombes Pol Dewa Made Parsana, juga sempat menjadi korban lemparan air mineral dari massa yang beringas. Iring-iringan suara bleganjur, musik tradisional Bali, menambah panas suasana. Suasana mulai tenang saat iringan suara bleganjur diminta menyetop permainannya oleh Dewa Parsana. Keberingasan massa mereda setelah perwakilan pendemo, Wayan Kusnadi dan Made Adnyana, bertemu dengan Kalapas Kerobokan, Bromo Setyono. Ditegaskan Bromo, pemindahan Amrozi Cs dilakukan karena adanya ancaman demo besar-besaran menuntut terpidana mati bom Bali I itu segera dieksekusi. Ditambah lagi, banyak penghuni lapas yang membenci Amrozi Cs. "Ini masalah keamanan,"tegasnya. Beruntung, massa secara perlahan mau meninggalkan lapas dengan damai. “Saya memahami perasaan mereka. Tapi tolong dipahami kondisi objektif dari LP Kerobokan. Untuk jaga, seharusnya 50 orang. Tapi mereka hanya punya 13 orang. Jadi kalau terjadi sesuatu, kabur mereka (teroris), bagaimana kita carinya lagi. Itu harus dipikirkan,”tegas Kapolda Bali Made Mangku Pastika atas peristiwa yang mencoreng nama masyarakat Bali yang terkesan ramah itu.

Ketika keributan massa di lapas belum lagi usai, isu perdamaian digaungkan dari Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Renon. Ribuan umat dari berbagai unsur agama berbaur mengumandangkan perdamaian dengan lilitan kain putih sepanjang 540 meter sebagai simbol pengikat doa damai. Sambil berjalan mengelilingi Monumen Perjuangan Rakyat Bali, masing masing umat mengumandangkan doa sesuai dengan agamanya dengan durasi 15 menit. Dalam acara inti yang dilaksanakan di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali, tari Sekar Jempiring dan lagu Heninglah Baliku menjadi pembuka. Lanjut dengan pembacaan doa perdamaian oleh perwakilan agama-agama. Acara diakhiri dengan bernyanyi lagu syukur, lilin-lilin kecil, padamu negeri, bungan sandat, dan kebyar-kebyar. “Islam itu damai. Tidak mau kekerasan, tegas Ketua PKB, Muhaimin Iskandar yang hadir dalam acara tersebut, menanggapi banyaknya teroris yang mengklaim diri berjuang untuk islam.

Mengakhiri hari, Ribuan warga Kuta dan sekitarnya melakukan renungan malam di Monumen Bom Bali. Ribuan lilin dinyalakan, sejumlah doa dikumandangkan, hingga tengah malam. Tak mau larut dalam kesedihan, sejumlah lagu dinyanyikan grup musik Apache untuk menghibur warga. Mangku Pastika bahkan ikut menghibur dengan jogged dangdutnya. Berharap semoga tak ada lagi serangan teroris di negeri ini. [Komang Erviani / merupakan versi asli yang pernah dimuat di Majalah GATRA No. 49 Tahun XI, 22 Oktober 2005 dalam artikel berjudul “Aksi Teror Negeri Jiran”]

Kamis, 13 Oktober 2005

Trauma Itu Belum Berlalu

Tawa lepas sejumlah anak-anak, memecah kesunyian jalan Legian, Kuta, yang baru saja mengharu biru oleh peringatan 3 tahun tragedi bom Bali yang dimotori pemerintah Australia, 12 Oktober lalu. Jalanan yang hari itu bebas kendaraan, menjadi tempat bermain asyik buat mereka. Mereka berlarian dari satu gerai ke gerai lain yang sedang tak beroperasi. Maklum, hari itu jalanan ditutup polisi, terkait peringatan tiga tahun Bom Bali.

Sepintas, tak ada yang istimewa dari mereka. Layaknya anak-anak, gerak dan tawa mereka lepas. Tapi saat diajak berbicara soal bom, dengan lantang mereka bercerita tentang kejadian yang hingga kini masih menjadi trauma. "Waktu itu saya tidur. Tiba-tiba dibangunin sama ibu,"Ni Nyoman Desi Damayanti, 9 tahun, bercerita. Bocah yang kini duduk di kelas 4 SD itu, awalnya mengaku tidak tahu apa yang terjadi. Ketika dibangunkan, ia lantas berlari mengikuti gerak sang ibu. Satu tangannya menggenggam tangan yang dikira tangan sang adik. "Waktu saya lihat, nggak tahu tangan siapa. Nggak ada badannya,"tutur bocah yang tinggal sekitar 15 meter dari lokasi itu. .

Kepanikan makin menjadi ketika sebagian bangunan rumahnya yang menyatu dengan art shop di bagian depan, ternyata telah roboh dan dilalap api. Desi dan keluarganya lantas memutuskan melompati tembok rumah bagian belakang yang tingginya mencapai 2 meter. "Adik saya sempat ketinggalan di dalam rumah. Tapi diselamatkan sama ibu,"jelas putri ke-3 dari 4 bersaudara itu. Dalam upaya menyelamatkan diri, Desi juga sempat mengalami luka di bagian kaki karena menginjak pecahan kaca. Saking paniknya, ia juga sempat terpisah dengan keluarganya. "Untung ketemu beli (kakak) misan. Langsung digendong. Di depan Matahari (Dept Store), ketemu bapak. Terus diantar ke rumah sakit,"begitu bocah yang mengaku hingga kini masih sering teringat dengan kejadian itu. "Kalau ingat, saya takut," tegasnya diiyakan sang adik, Ketut Luis Priambada, 8 tahun, yang juga masih mengingat peristiwa dengan korban tewas 202 orang itu. Putu Suryawan, 9 tahun, tak jauh beda. Beruntung, Suryawan dan keluarganya tinggal di rumah yang agak jauh dari lokasi, sekitar 150 meter. "Langsung lari ke Gianyar (rumah saudara),"jelasnya.

Peledakan bom di Kuta Square pada 1 Oktober lalu, sempat membuka kembali trauma Desi, Luis, Suryawan, dan sejumlah anak-anak lain di sana. Meski suara ledakan di lokasi yang berjarak sekitar 1 km dari rumahnya itu tak terdengar, namun mereka mengaku sempat ketakutan saat beberapa orang lari sambil berteriak ada bom di Kuta Square. "Takut sekali waktu itu. Inget sama bom yang dulu,"tandas Desi. Meski masih kanak-kanak, Desi tak canggung mengecam tindakan para teroris itu. Apalagi ketika tahu kalau pelakunya, Amrozi Cs, bukannya segera dieksekusi mati, tetapi malah dipindahkan ke LP Batu Nusa Kambangan. "Harusne matiang gen (harusnya dimatikan saja),"tegas bocah
itu.

Bom di Paddys Pub dan Sari Club ketika jarum jam menunjuk ke arah angka 11 itu, juga masih terngiang jelas di benak Made Yudana, 32 tahun. Yudana yang rumahnya hanya berbatasan tembok dengan Sari Club, saat kejadian tengah asyik menonton TV yang menyiarkan acara tentang yoga. Ia kaget ketika ledakan keras terjadi dan menerbangkan genteng-genteng rumahnya. "Untung gentengnya terbang ke luar. Nggak kena tempat tidur. Soalnya anak istri sedang tidur waktu itu,"jelasnya. Yudana juga sempat melihat sejumlah organ tubuh beterbangan ke halaman rumahnya. "Ada bola mata, ada tangan, kaki, macam-macam pokoknya,"cerita
Yudana yang mengaku istrinya masih trauma hingga sekarang.

Belum habis trauma yang dialami para korban bom Legian, serangan teroris di Kuta dan Jimbaran 1 Oktober lalu kembali membangun trauma baru. Muliati, kasir Rajas Bar and Restaurant, merasa kaget luar biasa oleh ledakan dari arah kanannya, ketika ia tengah asyik menghitung tagihan pembeli. Muliati hanya ingat ketika ledakan itu membuatnya terpental dari posisi berdirinya. "Setelah itu saya udah nggak sadar. Waktu sadar saya udah di rumah sakit," tutur perempuan yang telah mengabdi di Rajas selama 6 tahun itu. Akibat peristiwa itu, fungsi organ tubuh bagian kanan Muliati sedikit terganggu. Kaki dan tangan kanannya tak merespon. Begitu juga dengan gendang telinga dan mata kanannya, tak bisa berfungsi dengan baik.

Wayan Ani, sedikit beruntung. Sebuah gotri mampir di bagian bawah telinganya. Lebih dari itu, perempuan yang menjadi waitress di Kafe Kalanganyar, tak jauh dari Kafe Nyoman, tak pernah bisa lupa dengan peristiwa kelabu itu. Ia ingat betul saat tiba-tiba terjadi ledakan, kursi-kursi beterbangan bersama pasir, gotri, dan lainnya. Posisinya waktu itu, hanya sekitar 5 meter dari lokasi kejadian. "Waktu ledakan di Menega, saya sudah dengar. Tapi karena suaranya
kecil, saya santai. Tapi pas saya mau jalan ke bar, tiba-tiba ada ledakan lagi dari arah utara
saya,"ceritanya.

Berbeda dengan Muliati dan Ani yang masih bisa menceritakan peristiwa naas itu, Putu Swadesi, 25 tahun, hingga Rabu pekan lalu belum bisa bicara apa-apa. Trauma berat dialami perempuan asal Karangasem yang datang ke Kafe Menega dengan majikannya untuk makan malam. Sejak sekitar 6 tahun lalu, Swadesi telah bekerja sebagai baby sitter di keluarga pasangan Heru dan Juliet. Ia tengah menjaga dua anak majikannya, ketika peristiwa itu terjadi. Empat buah gotri mampir di leher, punggung, kepala, dan lengan dari perempuan yang tamatan SMP itu. Kadek Seniati, kakak Desi, bercerita bahwa sang adik sempat menelpon ayah mereka ketika peristiwa terjadi. "Pak, tolong Desi pak. Desi dapat kecelakaan di Jimbaran,"begitu isi teriakan Desi via seperti diceritakan Seniati. Sayang, Desi yang hingga masih terbaring lemah di RS Kasih Ibu, hanya bisa diam dan tak banyak bercerita tentang kejadian yang dialaminya malam itu. [Komang Erviani]

Minggu, 09 Oktober 2005

Melakonkan HIV/AIDS Lewat Arja Muani

Wayan “Codet” Sugama cukup terkejut, ketika ditantang kampanye HIV/AIDS lewat Arja Muani, sekitar 3 tahun lalu. Arja Muani adalah jenis teater tradisional Bali yang semua pemerannya laki-laki, pun untuk lakon perempuan. Tawaran dari Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Bali itu, membuatnya harus memutar otak. “Waktu itu saya berpikir, apakah mungkin sebuah pertunjukkan arja melakonkan cerita tentang HIV/AIDS. Itu kan merupakan suatu bentuk-bentuk baru dalam sebuah lakon. Apakah mungkin masyarakat bisa menerima?”cerita Codet. Pria berambut panjang ini lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar pada 1993 dan membentuk Arja Muani pada 1996 lalu.

Kesulitan yang dihadapinya terutama karena pertunjukan Arja Muani sudah punya lakon-lakon cerita rakyat dengan dua karakter berbeda, yakni karakter jahat yang menggunakan ilmu hitam, dan karakter baik yang menggunakan ilmu putih. Sementara dalam penampilannya, yang harus ditonjolkan adalah bahaya HIV/AIDS yang salah satu penyebarannya lewat narkoba. Belum lagi karena ia sendiri belum tahu apa-apa soal HIV/AIDS. “Waktu itu saya cuma tahu plesetan-plesetannya, seperti AIDS itu kepanjangan Aku Ingin di Atas Selalu,” pria satu putri itu tertawa.

Codet harus bolak-balik menemui para pakar di KPAD Bali untuk tahu lebih banyak tentang HIV/AIDS. Ia pun menyadari, penguatan karakter menjadi solusi terbaik untuk menampilkan Arja Muani yang benar-benar mampu memberi pesan bahaya HIV/AIDS pada penonton. Perpaduan konsepnya dan konsep KPAD, akhirnya sukses ditampilkan di salah satu banjar di kawasan Panjer, Denpasar Selatan.

Sejak itu, ia seolah sudah menjadi juru kampanye HIV/AIDS melalui seni pertunjukkan tradisional. KPAD kerap meminta Codet tampil mengampanyekan HIV/AIDS melalui pertunjukkannya, tentu dengan konsep berbeda-beda. Rabu, 28 September 2005 lalu, Codet tampil dalam Bondres bersama grup Salju bentukannya di Banjar Oongan, Denpasar Timur.

Meski hanya tampil sekali setahun, namun pria yang mulai menggeluti seni sejak tamat SMP ini mengaku senang bisa menghibur masyarakat sambil menyampaikan pesan-pesan untuk menghindari bahaya HIV/AIDS. “Waktu tahu soal HIV/AIDS, saya kaget. Ternyata sudah gawat. Saya seperti dapat dorongan untuk mengampanyekan. Jadi sama teman-teman, saya sering sempatkan cerita soal HIV/AIDS. Yang saya ajak ngomong sih mengerti. Tapi memang tidak semua mau meninggalkan perilaku berisikonya. Yang penting saya sudah mengingatkan,” tandasnya. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 9, Oktober 2005]

Melakonkan HIV/AIDS dalam Arja Muani

Wayan “Codet” Sugama cukup terkejut, ketika ditantang kampanye HIV/AIDS lewat Arja Muani, sekitar 3 tahun lalu. Arja Muani adalah jenis teater tradisional Bali yang semua pemerannya laki-laki, pun untuk lakon perempuan. Tawaran dari Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Bali itu, membuatnya harus memutar otak. “Waktu itu saya berpikir, apakah mungkin sebuah pertunjukkan arja melakonkan cerita tentang HIV/AIDS. Itu kan merupakan suatu bentuk-bentuk baru dalam sebuah lakon. Apakah mungkin masyarakat bisa menerima?”cerita Codet. Pria berambut panjang ini lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar pada 1993 dan membentuk Arja Muani pada 1996 lalu.

Kesulitan yang dihadapinya terutama karena pertunjukan Arja Muani sudah punya lakon-lakon cerita rakyat dengan dua karakter berbeda, yakni karakter jahat yang menggunakan ilmu hitam, dan karakter baik yang menggunakan ilmu putih. Sementara dalam penampilannya, yang harus ditonjolkan adalah bahaya HIV/AIDS yang salah satu penyebarannya lewat narkoba. Belum lagi karena ia sendiri belum tahu apa-apa soal HIV/AIDS. “Waktu itu saya cuma tahu plesetan-plesetannya, seperti AIDS itu kepanjangan Aku Ingin di Atas Selalu,” pria satu putri itu tertawa.

Codet harus bolak-balik menemui para pakar di KPAD Bali untuk tahu lebih banyak tentang HIV/AIDS. Ia pun menyadari, penguatan karakter menjadi solusi terbaik untuk menampilkan Arja Muani yang benar-benar mampu memberi pesan bahaya HIV/AIDS pada penonton. Perpaduan konsepnya dan konsep KPAD, akhirnya sukses ditampilkan di salah satu banjar di kawasan Panjer, Denpasar Selatan.

Sejak itu, ia seolah sudah menjadi juru kampanye HIV/AIDS melalui seni pertunjukkan tradisional. KPAD kerap meminta Codet tampil mengampanyekan HIV/AIDS melalui pertunjukkannya, tentu dengan konsep berbeda-beda. Rabu, 28 September 2005 lalu, Codet tampil dalam Bondres bersama grup Salju bentukannya di Banjar Oongan, Denpasar Timur.

Meski hanya tampil sekali setahun, namun pria yang mulai menggeluti seni sejak tamat SMP ini mengaku senang bisa menghibur masyarakat sambil menyampaikan pesan-pesan untuk menghindari bahaya HIV/AIDS. “Waktu tahu soal HIV/AIDS, saya kaget. Ternyata sudah gawat. Saya seperti dapat dorongan untuk mengampanyekan. Jadi sama teman-teman, saya sering sempatkan cerita soal HIV/AIDS. Yang saya ajak ngomong sih mengerti. Tapi memang tidak semua mau meninggalkan perilaku berisikonya. Yang penting saya sudah mengingatkan,” tandasnya. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 9, Oktober 2005]

Simple Passion, Gambar Perjuangan Perempuan Odha

Berjuang menghadapi virus HIV sekaligus stigma dan diskriminasi yang membuntuti, bukan hal mudah. Namun hal itu terbukti mampu dilakukan (Alm) Suzana Murni, sosok perempuan positif HIV/ yang justru kemudian menjadi aktivis HIV/AIDS. Puisi menjadi salah satu alat yang digunakan pendiri Yayasan Spiritia itu untuk “berdialog” dengan virus yang hidup dalam dirinya, sekaligus memberi kekuatan kepada rekannya sesama orang dengan HIV/AIDS (Odha).

Simple Passion, buku kumpulan puisi Suzana Murni yang diluncurkan di sela-sela Festival Pembaca dan Penulis Ubud 2005(Ubud Writers and Readers Festival 2005), 9 Oktober lalu, menggambarkan semangat menggebu dari perempuan yang meninggal 2002 lalu itu. Sebanyak 31 puisi yang sebagian besar ditulis dalam bahasa Inggris itu, secara tidak sengaja ditemukan ibunda Suzana, Meisny, beberapa hari setelah kepergian Suzana menghadap-Nya. Menurut Meisny, kumpulan puisi putrinya menggambarkan tentang perjuangan hidup Suzana dalam melawan stigma dan diskriminasi, tentang kemanusiaan, dan tentang kasih sayang. “Kami punya harapan, mudah-mudahan buku puisi ini dapat mengubah pola pikir kita. Suzana selalu menegaskan, bukan HIV atau orangnya yang seharusnya diangkat, tetapi lebih pada apa yang bisa iangkat dari orang-orang HIV positif,”tegasnya.

Kumpulan puisi yang digagas dan diterbitkan oleh Putu Oka Sukanta, penulis yang juga teman dekat Suzana itu, dilakukan setelah sesi pertemuan para penulis dengan para orang dengan HIV/AIDS (Odha) mengenai “Hidup dengan HIV/AIDS-sebuah prespektif perempuan”. Hadir dalam acara tersebut, para penulis seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Marianne Katoppo, dan lainnya. “Melalui puisi, Suzana berdialog dengan virus yang hidup dengan dirinya. Dia mengajarkan kita mengenai kekuatan,kehidupan, perjuangan, harapan, dan juga keterbatasan seseorang makhluk ciptaan-Nya,”begitu Putu.

Penerbitan Simple Passion didanai sepenuhnya oleh Asia Pacific Leadership Forum (APLF) on HIV/AIDS melalui UNAIDS di Indonesia, dan diterbitkan bersama oleh Taman Sringanis dan Yayasan Spiritia. Christina Yuliana, sahabat dekat Suzana, masih ingat betul bagaimana saat Suzana seringkali mengajaknya berjalan ke tempat-tempat dengan banyak orang berperilaku beriiko. Ia juga ingat saat Suzana mengupayakan mencari donatur untuk rekannya sesama Odha, guna membiayai pengobatan anti retroviral (ARV) sang teman. “Saya selalu kagum dengan keberaniannya,” tutur Christina.

Suzana sendiri baru mengetahui dirinya positif HIV setelah sang suami dinyatakan meninggal akibat virus itu. Tekadnya berjuang di jalur HIV/AIDS dan membangun Yayasan Spiritia, berawal dari perlakuan tidak wajar yang diterima suaminya saat diketahui positif HIV. Bahkan, tes HIV terhadap sang suami dilakukan pihak rumah sakit tanpa izin. Suzana menjadi orang yang sangat berperan dalam pemberian obat anti retroviral (ARV) gratis kepada para Odha oleh pemerintah saat ini. [Komang Erviani / Dimuat di Majalah Gatra Edisi 49 Tahun XI, 22 Oktober 2005]

Rehab Narkoba Bangli, Makin Dilupa

Rehab narkoba di Rumah Sakit Jiwa Bangli makin tak digemari setelah muncul program methadone. Hanya 10 persen pasien lulus tahap awal. Program lanjutan belum bisa digelar.

Gerbang sederhana di kawasan Jalan Kusumayudha Kabupaten Bangli, menjadi pertanda bahwa kita sudah memasuki areal Rumah Sakit Jiwa (RSJ) yang dipenuhi oleh ratusan orang dengan gangguan kejiwaaan. Tapi jangan salah, para pecandu narkoba juga bisa dirawat tempat itu. Salah satu gedung di areal 77.850 m2 itu, Paviliun Sri Kresna, memang khusus disediakan bagi pecandu narkoba. Sejak tahun 1995 lalu, pusat rehabilitasi medik ketergantungan narkoba itu khusus dibangun Pemerintah Provinsi Bali di RSJ Bangli untuk menyikapi makin tingginya tingkat penyalahgunaan narkoba di Bali.

Pembangunan rehab narkoba di areal rumah sakit jiwa, mengundang banyak pertanyaan. Apakah pecandu narkoba sama dengan pasien jiwa? “Pada dasarnya pecandu narkoba itu kan mengalami gangguan dalam jiwanya. Biasanya mereka paranoid, depresi, dan lain-lain,” ujar Direktur RSJ Bangli, I Gusti Rai Tirta.
Meski telah hampir 10 tahun beroperasi, namun dokter spesialis kejiwaan ini mengakui program rehab belum berhasil dilakukan. Program yang sudah terlaksana hanyalah program 1 bulan yang intinya hanya pada terapi medik dan diagnostik. Upaya dengan detoksifikasi, penggunaan obat-obatan terlarang diputus sama sekali.

Saat timbul gangguan-gangguan penyertanya, pasien hanya diberikan obat-obatan biasa di luar golongan yang sama dengan yang biasa dipakai oleh pasien, atau umum disebut terapi simptomatik. “Kalau dia merasa nyeri, ya kita beri obat nyeri. Tidak bisa tidur, beri obat tidur. Kalau depresi, kita beri obat anti depresi,” jelasnya.
Dalam jangka pendek, menurut Rai, program terapi medik dan diagnostik itu sangat efektif menghentikan pemakaian narkoba oleh pasien. Namun setelah keluar rehab, sebagian besar pasien umumnya kembali menggunakan obat terlarang itu. “Kalau keluar dari sini, 100 persen sudah tidak make. Tapi setelah itu, setelah keluar, make lagi,” tegas Rai. Banyaknya pasien yang relapse (kambuh) setelah keluar, menurutnya umum terjadi. Pasalnya, kebanyakan pecandu kesulitan menghilangkan sugestinya untuk terus memakai narkoba. Apalagi karena kebanyakan datang atas desakan keluarga.

Yang paling menjadi kendala menurutnya karena program lanjutannya belum bisa dilakukan. Selain program 1 bulan, Paviliun Sri Kresna sebenarnya juga mempunyai program lanjutan di bulan kedua dan ketiga. Meliputi program terapi seni, terapi kelompok, konseling keluarga, interaksi sosial, pendidikan mental, pengenalan diri, pengenalan lingkungan, belajar tanggung jawab, hingga monitoring dan kunjungan rumah. Ada juga program 6 bulan dan 1 tahun yang dilakukan lewat rawat jalan. Sayang, jangankan program lanjutan, progran 1 bulan pun hingga kini belum berjalan optimal. Menurut Rai, tingkat kelulusan pasien dari program 1 bulan hanya 10 persen. Selebihnya sudah keluar dari rehab sebelum menyelesaikan program.
Salah seorang mantan pecandu yang pernah bolak-balik mengikuti rehab di RSJ Bangli, Yogi Handoko, mengaku program yang diterapkan terlalu membosankan. Pasien menurutnya hanya makan dan tidur di tempat tersebut, dan hanya diberikan obat-obatan yang tak banyak membantu. Akibatnya, beberapa kali Yogi hanya mampu mengikuti program selama rata-rata 2 minggu. “Saya cuma dikasi obat. Di sana cuma makan, tidur aja,” ujar Yogi yang mengaku sudah menghabiskan jutaan rupiah untuk mengikuti program ini. Untuk keluar rehab juga tidak sulit. “Tinggal kita bayar, sudah bisa keluar. Pokoknya kita bilang aja sudah enakan,” tuturnya.

Biaya untuk mengikuti rehab di RSJ Bangli memang tidak murah. Secara umum, pasien rata-rata harus mengeluarkan kocek jutaan rupiah hanya dalam seminggu. Tentu saja, harganya sesuai dengan ruang perawatan yang dipilih dan jenis pengobatannya. Untuk kelas utama misalnya, pada minggu pertama pasien diperkirakan menghabiskan Rp 1.750.000. Pada minggu kedua sampai keempat, bebannya lebih ringan, yakni Rp 1 juta per minggu. Sebagai gambaran, harga sewa kamar perawatan saja untuk kelas utama senilai Rp 137.500 per hari, kelas I Rp 75.000 per hari, kelas II Rp 50.000 per hari, dan kelas III Rp 15.000 per hari.
Guna menngoptimalkan kualitas pelayanan, rehab narkoba RSJ Bangli memiliki 12 perawat, 2 psikolog, 1 tenaga administrasi, 1 dokter konsultan, dan 2 dokter umum. Tenaga perawat yang ditugaskan, sama dengan tenaga perawat untuk pasien jiwa. Bedanya, mereka sempat dilatih khusus untuk masalah narkoba.

Rai mengakui, masih banyak kelemahan dari program-program yang dilaksanakan.
Tetapi ia membantah bila tidak ada program dalam rehab. “Kita berikan terapi musik, sembahyang, macam-macam. Tapi karena mereka yang malas, kadang nggak jalan karena pasien sendiri tidak disiplin, jadi mereka bosan,” jelasnya. Terhadap pasien yang ingin keluar rehab sebelum waktunya, pihak rumah sakit menurutnya tidak bisa menolak. Rumah sakit tak bisa memaksa pasien melanjutkan program bila tak diinginkan. “Hak pasien memilih dan melepas. Tapi tetap kita berikan arahan sehingga dia bisa tetap mau lanjutkan program itu,” ungkapnya.
Pada awal didirikan, perkembangan rehab narkoba RSJ Bangli diakui Rai cukup baik. Terbukti, saat pertama didirikan, rehab medik narkoba hanya memiliki 1 unit gedung dengan 8 tempat tidur. Baru kemudian pada 2001, ruang perawatan diperluas jadi 25 tempat tidur. Namun belakangan, tepatnya sejak sekitar tahun 2003, jumlah pasien narkoba terus menurun. Pada 1999 misalnya, jumlah pasien yang dirawat mencapai 68 orang setahun. Namun terus berkurang menjadi 67 orang pada 2000, 55 orang pada 2001, 46 orang pada 2002, 39 orang pada 2003, 22 orang pada 2004, dan hanya 18 orang pada 2005 (hingga Agustus). Bahkan sejak September lalu, rehab narkoba RSJ Bangli tak mempunyai 1 pasien pun. Akibatnya, ruang Paviliun Sri Kresna dimanfaatkan pula untuk merawat pasien jiwa. “Karena kebetulan ada gedung yang direhab. Jadi beberapa pasien kita rawat di Paviliun Kresna,” kata Rai. Menurunnya peminat rehab narkoba RSJ Bangli diperkirakannya karena banyak pasien yang beralih menggunakan methadone.

Menariknya, ternyata RSJ Bangli sudah digunakan untuk merawat pecandu narkoba sejak tahun 1970-an. Hal itu diakui mantan Direktur RSJ Bangli pada tahun 1967-1986, dr. Denny Thong. Namun saat itu, tak ada program khusus bagi mereka yang menjadi pasiennya. Penggunaan RSJ sebatas tempat, mengingat keterbatasan sarana pada waktu itu.

Pemilihan tempat rehab narkoba di RSJ menurutnya justru tak efektif, karena penanganannya harus berbeda. Diakui, masalah kejiwaan menjadi salah satu persoalan dari pecandu narkoba. Namun masalah kejiwaan bukan yang pokok yang harus diatasi. “Sakaw-nya dulu yang jadi pokok. Bukan kejiwaannya,” jelas Staf Ahli Badan Narkotika Propinsi Bali yang kini menjadi dokter langganan pecandu narkoba untuk memutus ketergantungan itu. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 9, Oktober 2005]