Sejumlah kasus manusia bersisik muncul di pelosok-pelosok desa di Bali. Sinar matahari jadi musuh besar mereka.
Komang Gama, terbaring gelisah di salah satu bed, ruang rawat inap Kamboja, RS Sanglah Denpasar. Udara panas yang menyerang Kota Denpasar siang pekan lalu, Kamis 2 November 2006, membuatnya makin tak tenang. Gatal dirasakan Gama di beberapa bagian tubuhnya. Nengah Astiti (30 tahun), sang ibu, mengipasi Gama dengan sebuah kipas anyaman bambu.
Gama tak seperti bocah-bocah lain seusianya. Sekujur tubuh Gama, penuh dengan guratan-guratan kasar, seperti bersisik. Terik sinar matahari dan udara panas, menjadi momok bagi keseharian bocah asal sebuah desa di pelosok pegunungan Batur, Desa Suteg, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali itu. ”Kalau kena sinar matahari, kepanasan dia. Bingung,” cerita Astiti.
Sejak dilahirkan dengan bantuan bidan desa, 14 tahun lalu, Gama sudah menunjukkan gejala tidak wajar pada kulit. Menurut Astiti, kulit putra ketiganya itu sudah bersisik sejak lahir. Tak cuma itu, struktur tulang pada telapak tangan dan kakinya juga tak normal. Beruntung, Gama masih bisa berjalan, meski agak pincang. Astiti sendiri mengaku tidak mengerti, apa yang menyebabkan kulit Gama bersisik. Menurutnya, tak ada anggota keluarga lain yang mengalami kejadian serupa, selain putri keduanya. Namun sang putri yang mengalami kulit bersisik itu, telah meninggal si usia 1,5 bulan. ”Nggak tahu meninggal kenapa. Mungkin karena sakitnya ini (bersisik),” terangnya.
Paska kelahiran, Gama sempat menjalani pengobatan medis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bangli. Tapi cuma 3 minggu. ”Waktu itu dokter nggak bilang sakit apa. Cuma dikasi obat. Tapi nggak mau sembuh,” jelas perempuan petani itu. Karena keterbatasan biaya, Astiti dan suaminya yang cuma buruh tani di desanya, memutuskan memutuskan membawa pulang dan merawat Gama di rumah. Astiti bersama dan suami yang masih sepupu, hanya sesekali membawa Gama ke Balian (orang pintar/dukun). ”Biasanya dikasi boreh (ramuan minyak dan rempah-rempah). Mau agak lemas kulitnya,” jelas Astiti. Tiga kali sehari, tubuh Gama juga digosok halus dengan air kelapa muda. Baru akhir Oktober lalu, Gama dirujuk ke Rumah Sakit Sanglah untuk mendapat perawatan, atas bantuan Bupati Bangli.
Kasus kulit bersisik tak cuma dialami Gama. Persis di ranjang sebelahnya, Komang Gentos yang asal desa yang sama, terus saja merengek. Bayi 10 bulan itu juga terlihat sangat terganggu dengan teriknya matahari yang menembus jendela ruang Kamboja Rumah Sakit Sanglah siang itu. Kulit Gentos juga bersisik, sama seperti Gama. Struktur tulang di telapak kakinya pun terlihat tidak normal. Darmini (23 tahun) sang ibu dan Nerlin (60 tahun) sang nenek, sibuk menenangkannya.
Baik Darmini maupun Nerlin mengaku heran dengan penyakit Gentos. Pasalnya, tepat saat dilahirkan dengan bantuan bidan desa, kulit Gentos normal seperti bayi-bayi lain. “Setelah satu jam (sejak dilahirkan), baru kulitnya kering, terus mengelupas,“ cerita Darmini. Sebelumnya, anak pertama Darmini yang menikah dengan pria yang masih sepupu, juga mengalami sakit yang sama. Namun ketika baru berumur 17 hari, anak pertamanya itu meninggal. Beruntung, anak keduanya lahir normal dan kini sudah berusia 6 tahun.
Menurut Darmini, sejak lahir Gentos tidak pernah diajak keluar rumah. Pasalnya, Gento biasanya kepanasan bila dibawa keluar rumah. ”Kalau kena sinar, dia biasanya kejang-kejang. Makanya nggak berani,” tandasnya. Keterbatasan biaya, juga membuat Darmini dan suaminya yang buruh tani, tak mampu membiayai pengobatan Gentos. Pengobatan lebih banyak dilakukan melalui balian (dukun). Hanya sesekali Darmini membawanya ke puskesmas. ”Kalau punya uang, baru ke puskesmas. Nggak pasti. Pas ada uang lima ribu, ya dibawa ke puskesmas. Pas nggak ada uang, ya nggak,” terangnya.
Untuk perawatan harian, Gentos dimandikan dengan air kelapa muda. Ini sesuai saran sejumlah Balian yang pernah didatanginya. ”Satu hari bisa sampai 6 kali mandi yeh klungah (air kelapa muda),” jelas Nerlin. Kalau tidak dapat minta kelapa muda dari tetangga, orang tua Gentos biasanya terpaksa membeli dengan harga Rp 1.500 per butir. ”Soalnya kalau sudah dikasi yeh klungah, kulitnya mau lebih halus,” ungkap Darmini.
Kasus kulit bersisik tak cuma dialami Gama dan Gentos. Di ruangan yang sama, ada juga tiga orang kakak beradik asal Banjar Kayupad Desa Songan, Kintamani, Bali yang dirawat karena kasus serupa. Ketiganya adalah Gede Rai (20), Ketut Subur (8 tahun), Wayan Wirama (6 tahun). Bedanya, kulit ketiganya hanya bersisik di bagian wajah dan sebagian kaki atau tangan. Hingga kini, tercatat ada 19 kasus kulit bersisik yang tersebar di sejumlah kabupaten di Bali. Mulai dari Bangli, Tabanan, dan Karangasem. Namun diperkirakan masih banyak kasus serupa lainnya di luar kasus yang terekspos tersebut.
Menurut dokter yang menangani, dr AAGP Wiraguna SpKK, kasus kulit bersisik sebenarnya bukan kasus baru dalam dunia medis. Kasus ini bahkan telah tercatat sejak abad 17 dan terjadi di seluruh dunia. ”Tercatat pertama kali bukan berarti kasus pertama. Sebelum itu juga sudah banyak,” terang Spesialis Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Sanglah yang menamatkan pendidikan spesialisnya di Universitas Airlangga Surabaya itu. Rasio kemungkinan terjadinya kasus ini mencapai 1:300.000. Artinya, terjadi satu kasus di antara 300.000 kelahiran. Rumah Sakit Sanglah sendiri menangani kasus kulit bersisik rata-rata 6 kasus per tahun.
Dikatakan Wiraguna, kulit bersisik yang dalam bahasa kedokterannya dimasukkan dalam kelompok dermatosis eritroskuamosa, disebabkan oleh banyak penyakit. Dermatosis artinya penyakit kulit, sedangkan eritroskuamosa artinya kemerahan (eritema) dan bersisik (skuama). Jadi, dermatosis eritroskuamosa adalah penyakit kulit yang ditandai oleh kulit kemerahan dan bersisik. Yang dimasukkan dalam kelompok penyakit ini, diantaranya psoriasis vulgaris, pitiriasis rosea, eritroderma, dermatitis seboroik, dermatofitosis (jamur) serta iktiosis.
Berdasarkan foto dan hasil pemeriksaan histopatologi, kasus kulit bersisik di Bali kemungkinan berupa psoriasis vulgaris dan kelompok penyakit iktiosis. Psoriasis vulgaris adalah penyakit kulit yang ditandai oleh kulit yang bersisik tebal berlapis-lapis, berwarna putih, dan didasari oleh kulit kemerahan yang berbatas tegas dengan kulit nomal. Penyakit ini umumnya tidak gatal, walaupun beberapa penderita mengeluh sedikit gatal pada bagian yang bersisik. Penyakit ini berlangsung dalam jangka waktu lama, bersifat hilang timbul, tapi tidak mengancam jiwa dan tidak menular. Karena penyakit ini berlangsung lama, maka dapat menurunkan kualitas hidup dan gangguan psikis penderitanya.
Sementara itu, iktiosis dalam bahasa Yunani berarti menyerupai sisik ikan, yakni penyakit yang ditandai dengan kulit kering dan bersisik yang disebabkan gangguan keratinisasi herediter (genetik). Gangguan ini biasanya sudah diderita sejak lahir, diturunkan dengan sistem tungal. Berat-ringannya gejala yang timbul tergantung dari jenis iktiosisnya. Beberapa jenis iktiosis yang diderita sejak lahir dapat dilihat dari gejalanya, antara lain, kulit yang dilapisi seperti lem (collodion baby) sampai kulit yang bersisik sangat tebal, pecah-pecah, mulut seperti ikan (eclabium), dan mata menonjol (ectropion)---dikenal dengan sebutan harlequin fetus. Collodion baby biasanya dapat terus hidup dan kulit bersisiknya berkurang secara perlahan dengan bertambahnya usia, walaupun tidak akan hilang total. Sedangkan harlequin fetus tidak bertahan hidup, karena kesulitan bernapas dan meninggal setelah beberapa hari kehidupannya.
Walaupun penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti, tapi diduga disebabkan oleh faktor genetik dan faktor imunologik (autoimun). Karenanya, adanya unsur perkawinan dalam satu lingkungan keluarga diperkirakan memperbesar kemungkinan munculnya penyakit yang dikatakan tidak menular itu. Pada dasarnya, sisik terjadi karena kulit tidak memiliki kemampuan memproduksi minyak dan tidak mampu menghalangi penguapan air. Pada orang normal, jelas Wiraguna, lapisan kulit membentuk keratin (lapisan tanduk) dan lemak yang berfungsi sebagai pertahanan kulit terhadap rangsangan dari luar dan penguapan air yang berlebihan. Pada penderita iktiosis, terjadi mutasi gen pembentuk keratin yang bersifat autosomal dominan dan juga mutasi pada enzim yang diperlukan untuk memproduksi dan metabolisme lemak yang bersifat autosomal resesif. Akibat dari semua itu, terjadi gangguan pada fungsi pertahanan kulit, sehingga lapisan kulit bagian atas tidak mempunyai kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan antara kadar air yang ditahan di kulit dengan air yang menguap melalui lapisan kulit. Akibatnya, kulit tampak kering dan bersisik terus-menerus. Timbulnya kulit kemerahan dan bersisik umumnya dipicu oleh garukan atau tekanan yang berulang-ulang pada bagian kulit saat beraktivitas, obat minum seperti antihipertensi dan antibiotika, dan emosi tak terkendali.
Iktiosis sendiri dibagi dalam dua kelompok: iktiosis primer (timbul sejak lahir) dan iktiosis sekunder (timbul setelah dewasa). Iktiosis primer yang paling sering muncul adalah iktiosis vulgaris (umum) dan X-linked recessive ichtyosis. Sedangkan yang jarang adalah iktiosis lamelar (seperti dialami Gama dan Gentos,red) dan harlequin fetus. Sementara, iktiosis sekunder (timbul setelah dewasa) dijumpai pada penyakit infeksi seperti kusta, TBC, dan sifilis; kekurangan vitamin A, B6, asam nikotinat (pelagra); kulit kering yang berat pada orang tua. Ini seperti yang dialami Gede Rai, Ketut Subur dan Wayan Wirama yang dikatakan mengalami xeroderma pigmentosum, di mana kulit yang bersisik hanya muncul setelah adanya pemicu. Misalnya, kulit yang terkena sinar matahari.
Untuk menangani kulit bersisik, jelas staf pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fak. Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah tersebut, cukup sederhana. Yang penting adalah pemberian minyak (misal minyak kelapa) atau pelembab kulit yang berfungsi mempertahankan kondisi kulit yaitu sebagai pelumas (lubricant) dari lapisan kulit sehingga dapat melembutkan dan melemaskan permukaan kulit. Yang juga perlu diperhatikan, pada saat mandi sebaiknya memakai sabun yang tidak iritatif (lembut), dan banyak mengandung minyak (moisturizer). ”Kurangi tempaan sinar matahari yang terlalu lama untuk mencegah penguapan air terlalu berlebihan,” tegasnya mengingatkan.
Namun diakui bapak 1 anak itu, penyakit ini sulit disembuhkan karena berbagai alasan. ”Karena penyakit ini bersifat genetik dan belum ada obat yang efektif untuk mengobatinya secara sempurna, maka yang pertama perlu penjelasan kepada penderita dan keluarganya bahwa penyakit ini akan berlangsung seumur hidup, tidak menular, dan tidak mengancam jiwanya. Keluarga penderita perlu didukung secara moral, agar penderita bisa menjalani kehidupan secara normal seperti bersekolah dan berinteraksi sosial, karena penyakit ini tidak menular dan tidak mengganggu kecerdasan penderitanya,” jelasnya.
Adanya penanganan dari Rumah Sakit Sanglah, memberi harapan baru bagi Gama, Gentos, dan beberapa manusia bersisik lainnya. Gama mengaku senang bisa menjalani perawatan. ”Biar bisa sekolah,” jelas bocah yang tidak pernah merasakan nikmatnya bangku sekolah. Jangankan untuk sekolah, untuk keluar rumah pun Gama tidak pernah. Tak cuma karena takut terkena sinar matahari, ia juga mengaku malu keluar rumah. Ini yang membuatnya tak mau bersekolah. Ia ingin bisa sembuh, sehingga ia bisa memainkan mobil-mobilannya di luar rumah, dan bersekolah layaknya anak-anak lain seusianya. [Komang Erviani / pernah dimuat di Majalah GATRA Edisi November 2006]
Jumat, 17 November 2006
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar