Google
 

Kamis, 17 Mei 2007

Yang Beruntung di Tanah Rantau

“Morning… morning sir… morning miss.. ,“ kalimat itu terus berulang keluar dari mulut Jon (28 tahun) dan Soleh (23 tahun) setiap kali ada turis asing yang melintas di depan toko majikannya di Jalan Pantai Kuta Bali. Sesekali tangannya menunjuk ke arah produk-produk yang terpajang. Entah itu jam tangan, kacamata, T-shirt, tas, atau celana pantai. Begitulah cara sederhana Jon dan Soleh untuk menarik perhatian turis asing. Beberapa turis menyambut sapaan Jon dan Soleh dengan sapaan yang sama. Beberapa lainnya menghentikan langkah dan melihat-lihat produk yang ditawarkan. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan Jon dan Soleh agar sebisa mungkin si turis mau merogoh koceknya. “This is good,” begitu Jon bersemangat, sambil memperlihatkan sebuah tas jinjing bermerek Louis Vuitton. Tak lama, si turis Australia membayar lunas tas bermerk palsu tersebut.

Taktik manis Jon dan Soleh menarik pembeli, menjadi kunci kesuksesan mereka dan ribuan masyarakat Pulau Raas Madura Jawa Timur lainnya dalam mengadu nasib di Bali. Kuta, telah menjadi salah satu tujuan pilihan masyarakat Raas Madura untuk merantau dan mencoba peruntungan sejak puluhan tahun lalu. Maka, jangan heran bila ternyata sebagian besar artshop di kawasan Kuta dan sekitarnya dikelola oleh masyarakat Raas. Produk khas yang ditawarkan berupa beragam asesoris bermerk asing palsu, mulai dari jam tangan Rolex, Tag Hever, Diesel, Paul Frank, dan Seiko, kaca mata Gucci, asesoris Billabong dan Quicksilver, hingga tas jinjing Louis Vuitton. Semuanya bermerk aspal (asli tapi palsu).

Anehnya, banyak turis asing yang seolah tidak peduli dengan keaslian merk produk yang mereka beli. “Mereka tahu kok kalau palsu. Tapi mereka tetap suka. Terutama wisatawan Australia,” terang Haji Mahali, salah satu warga Raas yang sukses mengadu nasib di Bali dengan mengelola sebuah artshop di Kuta.

Ketika pertama kali tiba di Bali, sekitar 15 tahun lalu, majikan Jon dan Soleh ini bukan siapa-siapa. Dengan bekal seadanya, ia berangkat dari Raas dengan perahu menuju Pelabuhan Asem Bagus Situbondo. Dari sana, ia melanjutkan perjalanan menuju melalui dengan bus. Sejak awal, Mahali yang ketika itu berusia 20 tahun memang bertujuan mencari pekerjaan. Ia ingin mencontoh kesuksesan banyak perantau Raas di Bali yang terlihat sukses ketika pulang kampung.

Tiba di Bali, Mahali yang berangkat dari Raas bersama seorang temannya, langsung menuju komunitas Raas di Kuta. “Ternyata semua teman-teman dari Raas ngacung (pedagang acung) di Kuta. Jadi, saya ikut,”kenangnya. Sebagian besar komunitas Raas di Kuta, memang memulai karirnya dari pedagang acung dengan produk khas, jam tangan bermerek aspal. Mahali memulai bisnisnya dengan bantuan modal dari teman sesama Raas. “Waktu itu dibantu modal separuh sama teman,” cerita Mahali. Begitulah modal sukses kebanyakan orang Raas di Kuta. Kedekatan secara emosional sebagai sesama Raas, ditambah rasa saling percaya di antara mereka, merupakan modal utama kesuksesan Raas dalam berbisnis di negeri orang. “Nggak ada perjanjian khusus untuk pinjam barang. Pokoknya kalau ada yang laku, saya kasi dia uang seadanya. Terserah kita,” terang Mahali.

Menjadi pedagang acung di Kuta, ternyata memberi angin segar pada Mahali. Hanya dalam hitungan minggu, ia sudah bisa ngacung dengan modal sendiri secara keseluruhan. Namun kerja Mahali bukan tanpa kendala. Di tahun 1993, semua barang dagangannya senilai total Rp 1 juta, hilang ketika ia lari dari kejaran petugas Dinas Ketentraman dan Ketertiban Kabupaten Badung. Meski begitu, Mahali berupaya untuk bangkit. Hasilnya pun tak mengecewakan. Penghasilannya per bulan ketika itu mencapai sekitar Rp 200 sampai Rp 300 ribu per bulan. Setidaknya, ia bisa naik haji pada tahun 1999 dengan hanya hasil ngacung.

Tantangan kembali harus dihadapi Mahali ketika pada tahun 2000. Desa Adat Kuta melarang para pedagang acung berkeliaran di wilayah Kuta. Hanya pedagang acung yang terdaftar di kawasan Pantai Kuta, yang diperbolehkan. Artinya, para pedagang acung harus memiliki kartu identitas anggota Persatuan Pedagang ………………………….
Mereka pun hanya diperbolehkan ngacung di dalam kawasan pantai. Bila keluar pantai, mereka akan mendapat peringatan. Bila peringatan selama tiga kali berturut-turut tidak diindahkan, maka identitas berdagang akan dicabut.

Gara-gara tak punya kartu anggota, Mahali dan sejumlah rekannya sesama pedagang acung asal Raas lantas berinisiatif menyewa toko di kawasan Jalan Pantai Kuta. Mahalnya harga sewa, membuat mereka memilih bekerjasama. Satu took disewa bersama dengan dua sampai lima orang Raas. Seperti dilakukan Mahali, yang menyewa toko sempit berukuran 3x3 m2 bersama seorang temannya seharga Rp 30 juta per tahun. “Karena sewa berdua, jadi ringan,” kenangnya. Setelah sewa tiga tahun habis, Mahali akhirnya bisa berdiri sendiri. Kini, ia menempati sebuah toko di kawasan yang sama berukuran 3 x 4 m, dengan harga sewa Rp 70 juta setahun. Minimal, Mahali harus menyewa toko milik warga asli Kuta itu selama tiga tahun. Tapi itu bukan masalah bagi pria asal Kelurahan Alas Malang Raas Madura ini. “Kalau pas ramai, cari 30 juta satu bulan sih gampang,” Mahali sedikit menyombong. Namun sekarang, diakui keuntungannya menurun. “Sebelum bom, dapat satu sampai dua juta sehari sudah biasa. Sekarang, dapat lima ratus sampai tujuh ratus ribu saja sudah lumayan,” ungkapnya.

Namun Mahali tak menyesal dengan kondisi saat ini. Setidaknya, ia masih menuai untung dari bisnisnya. Ia telah membangun sebuah rumah yang cukup mewah di Raas, juga menghajikan orang tua dan istrinya.

Mahali bukan satu-satunya orang Raas yang sukses merintis usaha di Bali dari nol. Bila berjalan di kawasan Jalan Legian, Jalan Pantai Kuta, hingga Seminyak, dan Kerobokan, ada banyak artshop yang ternyata dikelola orang Raas. Jumlahnya bahkan mencapai ratusan. Dulunya, orang Raas identik dengan produk-produk jam tangan bermerk palsu. Namun kini, produk mereka telah berkembang ke jenis lain. Tak sulit mengenali pedagang asal Raas di kawasan Kuta dan sekitarnya. Pada dasarnya ada dua tipe art shop milik Raas. Tipe pertama menjual produk-produk merek asing palsu seperti jam tangan, kaca mata, tas, serta pakaian. Sementara tipe kedua berupa kerajinan, umumnya berupa kerajinan kerang berupa aksesoris kalung dan gelang,ataupun peralatan rumah tangga berbahan dasar kerang.

Selain dikenal sebagai pedagang, suku Raas di Kuta juga menggeluti usaha kerajinan. Ada dua lokasi para perajin Raas di Bali. Lokasi yang tertua berada di kawasan Gang Lestari, Jimbaran. Di gang sempit ini, Ada lebih dari 700 kepala keluarga warga asal Raas. Semuanya hidup dengan menggantungkan nasib dari kerajinan tempel, kerajinan yang mengandalkan keahlian menempel hiasan-hiasan unik pada produk kerajinan. Ada mangkuk yang berhias kayu manis, bola-bola berhias batok kelapa, dan sejumlah kerajinan kreatif lainnya.

Haji Eno, adalah salah satu yang sukses membangun bisnisnya di gang sempit itu. Dari ruangan kerjanya yang hanya 3 x 3 m2, Haji Eno kini mengirim produk-produk kerajinan karya 50 orang warga Raas ke sejumlah negara. Mulai dari Malaysia, Thailand, Taiwan, Amerika, Denmark, sampai Spanyol. Sebuah laptop, lengkap dengan modem yang disambungkan ke saluran telepon, kini jadi andalannya untuk mencari pembeli dan menerima order via internet. Orderan yang diterimanya pun tak sedikit. Nilainyua rata-rata ratusan juta rupiah. “Barusan saya kirim barang ke Amerika. Nilainya sampai Rp 280 juta,” jelas bapak dua anak itu.

Bila melihat penampilannya, mungkin akan banyak orang yang tak percaya dengan sukses Haji Eno. Maklum, bahasa Indonesia saja, ia tidak fasih. Ada banyak kata-kata bahasa Indonesia yang tidak dimengertinya. “Saya dulu malah tidak bisa bahasa Indoesia sama sekali,” kenang Haji Eno.

Ketika nekat berangkat ke Bali dari rumahnya di Desa Alas Malang, Pulau Raas, tahun 1988 silam, Eno bahkan tak paham sama sekali dengan bahasa Indonesia. Maklum, ia hanya pernah mengenyam pendidikan sampai kelas 2 sekolah dasar. Hanya satu bahasa yang dikenalnya, yakni bahasa Madura. Tapi ia punya tekad. “Awalnya ingin cari pengalaman di Bali. Ingin bisa adu pikiran dengan orang asing,” ujar Eno.

Tapi angan Eno ketika itu, sempat kandas ketika ia menemukan kenyataan bahwa tidak mudah mencari pekerjaan di Bali. Ia bahkan pernah berdagang bakso demi mendapat sesuap nasi, sesuatu yang tabu bagi orang Raas di Kuta. Memang, berdagang makanan bukan hal biasa bagi masyarakat Raas di Bali. Berbeda dengan kesan umum soal orang Madura yang ahli berjualan sate, orang Raas seolah gengsi untuk menjalani profesi itu. “Nggak ada orang Raas jualan sate, jualan makanan,” cerita Haji Mahali. Kalaupun tak punya modal untuk berdagang, beberapa orang Raas memilih untuk menjadi guide di Kuta. Tentu saja, para guide asal Raas akan selalu mengajak tamunya berbelanja kepada para pedagang Raas. Kalau si tamu berbelanja, maka si guide akan mendapat rezeki dari komisi yang diberikan si empunya toko.

Tanpa keahlian berbahasa Indonesia, membuat Eno tak mudah mendapat pekerjaan. Namun setelah ia bertemu masyarakat Raas yang telah membangun komunitas di Jimbaran, ia mulai dapat titik terang. Eno bekerja pada seorang Raas sebagai perajin. Sedikit demi sedikit, ia mulai belajar berbahasa Indonesia. Karena banyak orang asing di Bali, ia juga tertantang untuk mendekati mereka. Maka, di sela-sela waktunya berkreasi dengan kerajinan tempel, Eno juga mengikuti jejak rekannya berdagang acung di Pantai Kuta. “Biar bisa komunikasi sama bule. Saya ingin adu pemikiran sama mereka,” ujar Eno. Dari pergaulan pedagang acung itu juga, Eno mulai belajar berbahasa Inggris.

Peruntungan Eno memang bagus. Ketika ia belum cukup fasih berbahasa Inggris, seorang warga Negara Swiss mempercayakan perusahaannya untuk dikelola Eno. Kepercayaan yang sama kemudian juga dating dari seorang wisatawan asal Italia.

Di tahun 1994, barulah Eno mulai mencoba merintis usaha kerajinannya sendiri. Hasilnya, kini bisa dilihat secara kasat mata. Di ruangannya yang memang cukup sempir, Eno tak perlu berpanas-panasan karena ruangannya dilengkapi AC. Sebuah laptop juga menemani pekerjaannya. “Saya bersyukur,” ujar Eno. Kini, ada puluhan pengusaha Raas lainnya di Gang Lestari Jimbaran.

Komunitas Raas di Bali, memang luar biasa banyak. Selain di Kuta dan Jimbaran, komunitas ini juga dapat dengan mudah ditemui di kawasan Suwung Denpasar. Jaraknya tidak jauh dari Kuta. Hanya sekitar beberapa ratus kilometer dari perbatasan Denpasar dan Kuta. Gang Wijaya III, merupakan basis warga Raas lainnya. Namun lokasi ini baru berkembang sejak sekitar tahun 2000 lalu, ketika tempat tinggal para warga Raas diLegian tergusur. Setelah masa kontrak mereka habis, parawarga Raas tidak diperbolehkan memperpanjang kontraknya di lokasi lama. AKibatnya, mereka secara bersama-sama mengontrak tanah di wilayah Suwung. Bangunan rumah pun dibuatsecara bergotong royong. “Kami biasa bekerjasama,” ujar Haji Husin, salah seorang Raas di Suwung. Di lokasi ini, jumlah warga Raas juga tak terlalu banyak, hanya sekitar 100 KK. Semuanya berprofesi sama, perajin tempel. Ada yang sukses, ada juga yang hidup pas pasan.

Namun nyaris semua warga Raas, mengaku betah tinggal di Bali. Tak ada satupun yang menyatakan ingin kembali ke wilayahnya. Tak terkecuali Salam, bapak dua anak yang sudah puluhan tahun masih bekerja sebagai pedagang acung di Pantai Kuta. “Kalau di Raas, nggak ada kerjaan,” ujarnya. Mereka pun merasa suasana berusaha di Bali, cukup kondusif. Tak ada rasa iri atau persaingan tidak sehat dengan warga pribumi. “Kalau kita baik, mereka pasti juga baik,” ujar Mahali. Hal senada juga disebut Haji Eno. “Sejauh ini, saya merasa baik-baik saja dengan warga asli,” ujarnya.

Di sisi lain, warga asli Bali pun mengaku sama sekali tak terusik dengan kesuksesan warga Raas di wilayahnya. Bahkan, beberapa pemilik artshop asal Kuta, mengaku bersyukur dengan keberadaan warga Raas. “Cuma mereka yang berani bayar sewa mahal,” ujar Kadek Sri Hartini, salah seorang pemilik artshop asal Kuta. Menurut Sri Hartini, warga Raas justru memberi keuntungan tersendiri bagi warga asli Kuta yang kini hanya menggantungkan hidup dari pariwisata. Pasalnya, hasil dari berdagang tidak cukup menjanjikan. “Jadi, rata-rata masyarakat asli sini menyewakan sebagian tanahnya. Cuma sebagian kecil yang disisakan untuk berjualan,” ungkap Sri.

Kehadiran warga Raas di Kuta, juga sama sekali tak mengusik hati Nyoman Medang, pemilik artshop asal Karangasem Bali. “Mereka saling percaya. Itu keuntungan buat mereka. Jadi kontrakan ditanggung bersama. Nggak berat,” ujar Medang, yang mengaku kewalahan membayar sewa artshopnya yang seluas 4x5 m seharga 45 juta setahun. Medang bahkan mengaku tak mampu lagi membayar sewa, sehingga berencana menutup pusahanya sampai habis masa kontraknya pertengahan tahun ini.

Hidup di perantauan, sudah menjadi sesuatu yang lazim bagi warga Pulau Raas, Madura. Bali menjadi tempat tujuan rantau yang paling favorit bagi mereka. Kunci keberhasilan mereka hanya satu, yakni kebersamaan dan rasa saling percaya. [Komang Erviani / Dimuat di Majalah GATRA Nomor 25 Beredar Kamis,3 Mei 2007]

Sabtu, 05 Mei 2007

Dana Sehat Si Miskin Diembat

Dana asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin, ditilep oknum pegawai Rumah Sakit Sanglah. Nilainya mencapai Rp 2,3 miliar. Rumah Sakit Sanglah dan PT. Askes, tiba-tiba saling menyalahkan.Diduga ada konspirasi.

Ketika mengecek pembayaran klaim asuransi kesehatan masyarakat miskin (Askes Maskin) yang ditransfer PT. Askes ke rekening Rumah Sakit Sanglah, 23 April lalu, Drs I Ketut Nadra MM terkejut. Laporan Askes yang menyebut telah melakukan transfer sebesar 6,7 miliar, tidak ditemukan dalam rekening Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali bernomor 002343-7 atas nama RS Sanglah. Direktur Keuangan Rumah Sakit Sanglah itu hanya menemukan dana sebesar Rp 6,4 miliar. Selisih Rp 300 juta, mengundang tanda tanya besar di benak Nadra.

Dalam kondisi panik, Nadra langsung mendatangi PT. Askes Kantor Cabang Denpasar guna mempertanyakan kebenaran nilai transfer. “Waktu itu saya tanya, kok transfer cuma Rp 6,4 miliar?” cerita Nadra. Di luar dugaan, pihak Askes yang ketika itu diwakili langsung oleh Manajer PT. Askes Cabang Denpasar, dr. Ngurah Mas Aryanthi, bersikeras telah mentransfer Rp 6,7 miliar. “Ibu Mas bilang, dana Rp 6,7 miliar sudah ditransfer ke rekening Sanglah. Coba dicek ke rekening yang satu lagi,” terang Nadra meniru pernyataan Aryanthi.

Nadra mengaku kaget luar biasa ketika itu. Pasalnya, selama ini Rumah Sakit Sanglah hanya memiliki satu rekening di BPD Bali. Rekening resmi atas nama Rumah Sakit Sanglah itu bahkan dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan, sesuai aturan perundang-undangan. Namun pihak Askes justru menyebut keberadaan sebuah rekening lain di BNI 46, yang diklaim sebagai rekening resmi milik Sanglah. Pihak Askes mengaku selalu mentransfer dana klaim Askes Maskin ke dua rekening tersebut, yakni rekening resmi di BPD Bali dan BNI 46.

Setelah dicek, ternyata rekening BNI 46 bernomor 97423728 tersebut dibuka atas nama IGA Maryani/RS Sanglah. IGA Maryani adalah petugas entry data masyarakat miskin di Rumah Sakit Sanglah. Keberadaan satu rekening tak dikenal yang mengatasnamakan Rumah Sakit Sanglah, membuat kaget. “Saya bilang ke Askes, ini rekening siapa? Yang saya tahu, Sanglah hanya punya satu rekening,” cerita Nadra.

Ternyata, ini bukan kali pertama PT. Askes mentransfer dana klaim Askes Maskin ke rekening BNI 46. Sejak dibuka pada Februari 2006, rekening pribadi milik oknum pegawai Sanglah itu sudah menerima 12 kali transferan dari PT. Askes. Nilainya pun tak tanggung, mencapai lebih dari Rp 2,3 miliar. Transfer dilakukan antara 5 April 2006 hingga 20 April 2007 atas pembayaran klaim dana Askes Maskin Februari 2006 hingga Januari 2007. Namun dana yang tersisa di dalam rekening, hanya Rp 2 juta.

Manajer PT. Askes Cabang Denpasar, dr. Ngurah Mas Aryanthi, beralasan transfer ke rekening BNI 46 dilakukan atas dasar kepercayaan yang tinggi terhadap pegawai IGA Maryani, yang telah lama menjadi contact person RS Sanglah di PT. Askes. Menurut Mas, IGA Maryani mengajukan satu rekening baru di BNI 46 pada Februari 2006. “Dia (IGA Maryani) bilang ke saya, Rumah Sakit Sanglah punya rekening baru di BNI 46. Tolong transfer klaim maskin tiap bulannya, displit sebagian ke rekening baru ini. Karena kami sudah percaya dengan dia, ya kami selalu transfer sebagian ke rekening BNI,” terang Mas.

IGA Maryani sendiri, menurut Nadra, telah mengakui perbuatannya. Hal itu dibuktikan dengan surat pernyataan yang ditandatangani pegawai yang bekerja di RS Sanglah sejak tahun 1995 sebagai honorer dan baru diangkat sebagai pegwai negeri sipil (PNS) tahun 1997 itu. Dalam surat pernyataan yang ditandatangani 26 April tersebut, Maryani mengakui telah menerima transfer dana dan menyatakan akan menyelesaikan masalah itu secara kekeluargaan. Anehnya, dalam surat pernyataan juga disebutkan bahwa pihaknya tidak akan melibatkan karyawan PT. Askes.

Tim kuasa hukum IGA Maryani, I Ketut Gede Suarnatha, SH,MH dan R. Teddy Raharjo,SH, mempertanyakan keabsahan surat pernyataan kliennya itu. “Untuk apa ada poin tidak akan melibatkan karyawan PT. Askes ?” Teddy heran. Menurut Teddy, kliennya terpaksa menandatangani surat pernyataan itu karena berada di bawah tekanan pihak Askes dan RS Sanglah. Yang juga ganjil, keesokan harinya pihak RS Sanglah kembali meminta IGA Maryani menandatangani surat pernyataan serupa. Bedanya, poin ketiga diganti dengan pernyataan “tidak akan melibatkan karyawan RS Sanglah”.

Baik Teddy maupun Suarnatha, menduga ada konspirasi besar dibalik penuduhan terhadap kliennya. Menurut Suarnatha, kliennya yang saat ini dinon-jobkan tidak pernah merasa membuka rekening atas nama IGA Maryani/RS Sanglah. Karenanya, Maryani tak pernah tahu ke mana dana yang pernah mampir ke rekening atas namanya itu. Maryani memang memiliki tiga rekening atas nama dirinya di BNI 46. dua rekening digunakan untuk tabungan kedua anaknya, sementara satu rekenig untuk menerima gaji dari RS Sanglah. “Semua rekeningnya atas nama IGA Maryani. Dia tidak pernah buka rekening atas nama IGA Maryani/RS Sanglah,” tegas Suarnatha.

Yang tak kalah aneh, menurut Teddy, Maryani tiba-tiba menemukan buku tabungan atas nama IGA Maryani/RS Sanglah di dalam tasnya, tepat ketika ia dituduh menyelewengkan dana. “Waktu itu Ibu Maryani diminta mengeluarkan buku tabungan dari tasnya. Karena merasa tak bersalah, dia langsung mengambil buku tabungan BNI yang memang ada di tasnya. Ia sendiri kaget karena ternyata di tasnya ada buku tabungan atas nama IGA Maryani/RS Sanglah,” terang Teddy. Dari sana, dugaan adanya konspirasi besar di balik kasus itu, makin menguat. Ia menduga ada upaya menutupi kesalahan seseorang atau beberapa orang kuat, dengan menjadikan kliennya sebagai tumbal. “Klien kami hanya bertugas sebagai staf entry data. Dia mengaku tidak pernah ke Askes. Lagi pula, yang aneh, kenapa setelah satu tahun baru diketahui? Apa selama ini Sanglah tidak pernah merasa ada dana transfer yang kurang?” tandas Teddy.

Pihak PT. Askes dengan RS Sanglah sendiri, terkesan saling menyalahkan atas kasus ini. Rumah Sakit Sanglah menilai PT. Askes gegabah mentransfer dana ke rekening pribadi. Sementara Kepala PT. Askes Regional Bali, NTB dan NTT, dr. Erna Wijaya Kusuma, justru balik mempertanyakan sikap RS Sanglah yang baru mempertanyakan setelah berjalan satu tahun. “Kenapa baru sekarang dipertanyakan Selama ini, kok Sanglah tidak pernah menanyakan ada kekurangan transfer klaim?” tegas Erna, sembari mengaku selalu mengirimkan surat pemberitahuan dan copy bukti transfer dana kedua rekening ke rumah sakit Sanglah lewat jasa ekspedisi. Tapi, Kepala Satuan Pengendalian Intern (SPI) RS Sanglah, Ketut Rupini, membantah telah menerima surat pemberitahuan dan bukti transfer. “Yang jelas, kami tidak pernah terima surat pemberitahuan dan bukti transfer. Kami tidak tahu apakah yang bersangkutan (IGA Maryani,red) juga yang menerima surat itu,” tandas Rupini. Anehnya, kekurangan dana transfer yang selama ini diterima Sanglah, menurut Rupini, langsung dibukukan sebagai piutang kepada PT. Askes.

Keganjilan pun tercium oleh anggota DPRD Bali. Anggota Fraksi PDIP, Made Arjaya, mengaku heran melihat sikap saling menyalahkan PT. Askes dan RS Sanglah. Sikap PT. Askes yang langsung mentransfer tanpa konfirmasi kepada pihak berwenang di RS Sanglah, dinilai sebagai tindakan gegabah. Sementara sikap RS Sanglah yang tidak mempertanyakan kekurangan transfer dan langsung membukukannya sebagai piutang, juga sesuatu yang aneh. Padahal di saat yang sama, Erna mengakui kalau Direktur Keuangan RS Sanglah, Ketut Nadra, seringkali datang ke PT. Askes. Ketika dipanggil anggota DPRD Bali untuk menjelaskan perihal kasus tersebut, Erna mengaku bahwa Nadra datang ke PT. Askes sekitar dua hingga tiga kali sebulan. Tidak itu saja, Nadra juga dikatakan sering menelpon ke PT. Askes. “Katanya antara RS Sanglah dan PT. Askes sering kontak. Kenapa hal seperti ini bisa jalan sampai satu tahun,” keluhnya.

Yang tak kalah ganjil, baik pihak PT. Askes maupun RS Sanglah, tidak berupaya mengusut masalah ini secara hukum. RS Sanglah beralasan, pihak PT.Askes lah yang seharusnya melapor secara hukum. "Kalau dilihat persoalannya pihak PT Askes seharusnya yang memperkarakan (melaporkan IGA MA, Red)," jelas Direktur Utama Rumah Sakit Sanglah, dr I Gusti Lanang M Rudiartha MHA. Sementara pihak PT. Askes mengaku masih akan mempelajari kasus ini.

Meski demikian, pihak Inspektur Jenderal Departemen Kesehatan RI langsung menurunkan tim pemeriksanya setelah mendengar kasus ini. Tim yang diketuai Inspektor IV I Gusti Gde Djestawana, SKM, M.Kes tersebut, langsung mengorek keterangan para pegawai rumah sakit dan memeriksa dokumen-dokumen maskin selama periode April 2006 hingga April 2007. Tim yang terdiri atas lima orang itu, rencananya akan melakukan pemeriksaan selama enam hari, untuk mencari kebenaran atas dugaan penyelewengan dana bagi masyarakat miskin itu.

Selain itu, meski tak mendapat laporan resmi, pihak Kejaksaan Tinggi Bali menyatakan tetap akan mengusut kasus ini. Senin, 7 Mei, pihak Kejati Bali memanggil IGA Mayani untuk dimintai keterangan. Penyelesaian kasus secara hukum, menjadi penting. Apalagi dana yang digelapkan adalah dana kesehatan bagi masyarakat miskin. [Komang Erviani]





Transfer Klaim Askesin ke Rekening IGAM

TGL TRANSFER NOMINAL UNTUK PEMBAYARAN KLAIM
5 April 2006 Rp. 177.580.500 Februari 2006
18 Mei 2006 Rp. 250.000.000 Maret 2006
7 Juni 2006 Rp. 150.000.000 Juni 2006
26 Juni 2006 Rp. 300.000.000 April 2006
21 Juli 2006 Rp. 150.000.000 Mei 2006
28 Agustus 2006 Rp. 227.000.000 Juni 2006
28 September 2006 Rp. 200.000.000 Juli 2006
2 November 2006 Rp. 100.441.500 Agustus 2006
24 November 2006 Rp. 137.597.500 September 2006
18 Desember 2006 Rp. 125.000.000 Oktober 2006
22 Maret 2007 Rp. 250.000.000 Desember 2006
20 April 2007 Rp. 280.311.428 Januari 2007
TOTAL Rp. 2.347.930.928


-------------------------------------------------------------------------------


Penyelamat yang Membuat Sekat

Komang Sujana, terus merengek di gendongan ibunya, Luh Murni, 23 tahun. Selang infus yang menempel di tangan kanannya, membuat bocah dua tahun empat bulan itu tampak gelisah kesakitan. Mata kanannya terbalut kapas dan perban.

Sudah hampir setahun, Komang tiba-tiba menjadi sangat akrab dengan Sal Anak Kelas III Jempiring, Rumah Sakit Sanglah. Bersama lima pasien anak lain di ruang yang hanya seluas 5 x 3 meter itu, Sujana kini harus menghabiskan sebagian besar harinya.

Sejak dinyatakan mengidap tumor ganas pada mata, Sujana wajib berobat rutin ke Rumah Sakit Sanglah. Awalnya, ia bahkan harus dirawat selama dua bulan penuh. Namun kini, ia hanya perlu menghabiskan empat hari tiap minggunya, untuk tinggal di rumah sakit. Itu karena Sujana harus menjalani kemotherapi untuk mengobati tumor di kedua matanya yang kini sudah tak berfungsi lagi.

Luh Murni dan suaminya Gde Nyeneng, 21 tahun, bahkan harus pindah dari tempat asalnya di Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem ke Denpasar, demi mempermudah akses pengobatan Komang. Awalnya, Luh Murni mengaku tak tahu harus melakukan apa pada mata Komang. Keterbatasan biaya, sempat membuatnya hanya mengobati Komang ke dukun di desa.

Namun setelah tahu ada fasilitas asuransi kesehatan bagi masyaakat miskin, Luh Murni seperti mendapat angin segar. Ia kini tak perlu mengeluarkan dana sepeser pun untuk mendapat layanan kesehatan. “Semuanya gratis,” terang Murni. Penghasilan suaminya yang tak menentu sebagai sopir angkot di Denpasar, dipastikan tak akan mampu membiayai pengobatan sang anak. “Syukur juga ada layanan gratis. Kalau nggak, cari di mana? Bapaknya kadang-kadang dapat uang, kadang nggak. Malah sering norok karena penumpang sepi,” ujar ibu tiga anak itu.

Luh Murni termasuk beruntung, karena tak pernah merasa dianaktirikan pihak rumah sakit. Tapi jamak terdengar, ada keluhan dari masyarakat miskin atas layanan yang tak memuaskan bagi mereka. Komang Ane, termasuk salah satu yang pernah mengalaminya. Ketika ia mengalami kecelakaan dan harus dirawat inap, perawat rumah sakit tiba-tiba bersikap tak ramah saat tahu ia menggunakan kartu miskin. Ia bahkan harus menghuni lorong rumah sakit, untuk mendapatkan kamar di kelas III. Pria asal Buleleng itu, tak bisa berbuat apa-apa, selain menerima perlakuan kasar dari perawat di Rumah Sakit Sanglah itu.

Pasien miskin asal Gerokgak Buleleng, Made Suparja, 50 tahun, juga sempat merasakan sikap tak mengenakkan hanya gara-gara ia mengunakan asuransi kesehatan masyarakat miskin (Askes Maskin). Itu dirasakannya ketika mencari hendak mencari ruang rawat inap di Rumah Sakit Umum Singaraja. “Istilahnya, kalau pakai kartu miskin, nggak ada kamar. Tapi kalau pakai duit, ada kamar,” keluhnya.

Namun Kepala PT. Askes Regional Bali, NTB dan NTT, dr. Erna Wijaya Kusuma, membantah adanya kecenderungan itu. Menurutnya, ia selalu melakukan koordinasi dengan pihak rumah sakit agar memberi pelayanan terbaik, termasuk bagi pasien miskin. Pihak rumah sakit pun mengaku selalu mencoba memberi layanan terbaiknya. Dirut RS Sanglah dr. Lanang M. Rudhiarta, menyatakan selalu berupaya memberi yang terbaik bagi semua pasien, tak terkecuali pasien miskin. Disebutkan Lanang, RS Sanglah kini memiliki 677 tempat tidur yang 40 persennya diperuntukkan bagi pasien maskin.

Berdasarkan data PT. Askes Regional Bali, NTB, dan NTT, selama tahun 2006 terdapat sedikitnya 548.357 jiwa penduduk Bali yang memegang kartu Askes Maskin. “Kami selalu berupaya memberi layanan terbaik,” tegas Erna. [Komang Erviani]