Google
 

Senin, 20 Maret 2006

Menengok Ketegaran Gerokgak

Sudah pernah dengar tentang Komunitas Jurnalis Peduli AIDS (KJPA)? Komunitas yang sudah terbentuk pertengahan tahun lalu itu, di awal Maret punya gawe bareng Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Bali. Puluhan jurnalis yang peduli HIV/AIDS, berangkat bareng menengok beberapa orang dengan HIV/AIDS (Odha) dan anak-anak yang menjadi yatim atau yatim piatu karena orang tuanya mengidap HIV/AIDS. Gimana perjalanan sehari bareng Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Kesuma Kelakan itu?

06.30 wita
Nggak seperti biasa, kantor KPA Bali di Jalan Melati No. 21 Denpasar sudah ramai. Beberapa wartawan tulis, radio, dan fotografer, sudah duduk manis di area parkir. Mungkin karena diwajibkan bangun terlalu pagi, beberapa diantaranya masih kelihatan ogah-ogahan. Maklum, di jam itu harusnya mereka masih asyik di ranjangnya masing-masing. Tapi apa boleh buat. Demi sebuah perjalanan yang asyik, juga demi mendapat berita menarik, apapun rela dilakukan.
Tapi, tunggu dulu. Ternyata nyonya rumah, Media Relation KPA Bali, Mercya Susanto, malah datang telat dari waktu yang diumumkan ke wartawan. Tapi nggak masalah, karena Mercya “menyelamatkan” perut-perut kami yang sudah keroncongan dengan nasi kuning yang dibawanya. “Akhirnya, kita sarapan juga,” begitu Istifadah, wartawan Nusa Bali, dengan nasi kuning di tangannya.

07.35 wita
Akhirnya berangkat. Sayangnya, banyak teman wartawan yang batal ikut. Maklum, hari itu juga akan ada aksi menolak Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Alhasil, cuma sebanyak …. wartawan yang ikut, dari …. yang direncanakan.

10.45 wita
Sampai juga di tempat tujuan, di Kantor Kepala Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Buleleng. Ternyata Wakil Gubernur Bali selaku Ketua KPA Bali Kesuma Kelakan sudah menunggu kami, ditemani beberapa perangkat desa setempat. Wah, baru kali ini ya, wartawan ditunggu sama pejabat. Biasanya kan wartawan yang harus pontang panting mengejar pejabat.
Mungkin karena bosan menunggu, Kelakan lantas naik ke atas panggung dan mengambil stik drum. Mau ngapain? Ternyata ia ingin menunjukkan kebolehannya main drum. Relawan Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), Nyamprutlalu menyanyi dan bersama Kelakan memainkan dua buah lagu. Sampai-sampai Wakil Bupati Buleleng, I Gede Wardana, terlihat agak bingung saat datang dan melihat Kelakan sedang asyik bermain drum. Gaul banget ya Wagub kita. He.he.he…


11.05 wita
Acara dimulai. Penampilan Pembalut (Pemuda Bali Utara) dengan aksi genjek (sejenis pertunjukan tradisional Bali) peduli AIDS-nya, menandai dimulainya acara. Begini sebait lirik lagunya. “Apang tusing kena AIDS, Aduh duhhh…, ingetang je nganggen kondom (agar tidak kena AIDS, ingat pakai kondom).” Tak lama, Wabup Wardana, memberi sambutan. Dia menyebut sebanyak 14 Odha kini tengah dirawat di RSUD Buleleng. Sedangkan sebanyak 110 Odha tengah menjalani pengobatan jalan. “Karena hari ini tumpek landep, upacara untuk yang landep-landep, kita berharap agar komitmen kita untuk HIV/AIDS tambah landep,” ujar Wardana. Tumpek landep adalah perayaan Agama Hindu dengan makna menajamkan pikiran. “Kalau perlu, nanti kita upayakan agar PNS dites HIV,” ujar Wardana. Lho kok?
Pernyataan Wardana ini disentil Kelakan. Ia mengatakan, Indonesia sudah ikut meratifikasi piagam HAM PBB untuk tidak melakukan tes paksa. “Hak untuk tidak memaksa tes, merupakan urusan yang sangat prinsip,” ujarnya. Ia menceritakan seorang ibu hamil yang merasa sebagai orang baik-baik, diketahui positif HIV. Kekagetan luar biasa membuatnya bunuh diri. “Kasihan bayi dalam kandungan yang belum tahu apa-apa. Siapa tahu dia sebenarnya bisa jadi pemimpin besar. Karena itulah ada VCT. Sebelum dilakukan tes, ada konseling, Kalau belum siap, tidak dites,” jelas Kelakan. Alit Kelakan lantas memberi penjelasan panjang lebar soal HIV/AIDS. Mulai dari penularan HIV yang tak terlihat seperti flu burung atau SARS, sampai ke masalah pornoaksi. Apa hubungannya? Kelakan menegaskan perlunya pembedaan masalah moral, dengan masalah kesehatan dalam penanganan HIV/AIDS. “Apalagi ada UU pornoaksi, harus dibedakan antara kesehatan dan kesenian dengan pornoaksi,” kata Kelakan menyindir keberadaan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang sempat menghambat pengesaan Ranperda HIV/AIDS Bali karena dianggap akan bertentangan bila disahkan.
Wagub juga menyindir masih adanya orang-orang yang mendiskriminasi Odha. “Masih ada orang yang salaman saja nggak mau. Padahal dari agama, tidak dinilai dari kulit, tapi dari rohnya,” tegas bapak dua anak itu.

12.55 wita
Ini dia ajang curhat Odha dan Ohidha (Orang yang hidup dengan Odha) dengan Kelakan dan KJPA. YCUI sebagai yayasan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang menjadikan Gerokgak sebagai salah satu wilayah jangkauan, menghadirkan sejumlah Odha dan Ohidha. Mereka kelihatan sehat-sehat. Tak hanya dari Gerokgak, tapi dari sejumlah kawasan di Buleleng. Ada seorang kakek berusia 57 tahun yang mengaku senang berganti pasangan semasa muda. Ada juga dua orang ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV dari suami masing-masing. Selain itu, ada sejumlah anak yang menjadi yatim karena ditinggal salah satu orang tua mereka karena AIDS. Asih (bukan nama sebenarnya) salah satunya. Remaja berusia 17 tahun itu kini menghabiskan kesehariannya dengan merawat sang ibu yang belakangan juga diketahui positif terinfeksi HIV. “Lingkungan sekitar rumah nggak ada masalah. Cuma tesnya aja agak mahal,” jawab Asih saat Kelakan menanyakan masalah yang masih dihadapi. Memang, mahalnya tarif tes viral load membuat banyak Odha di Buleleng tak mampu menjalankan tes untuk mendeteksi jumlah virus HIV dalam darah itu. Sementara untuk tes sel CD4 (sel pembentuk sistem kekebalan tubuh) yang jadi salah satu indikator kondisi kesehatan Odha, sudah dilakukan setiap 3 bulan atas bantuan funding.
Untuk distribusi obat ARV? Direktur YCUI, Efo Suarmiartha, mengakui tak ada masalah dengan distribusi obat untuk menekan perkembangan jumlah virus HIV dalam darah itu. Yang masalah justru sarana pengantaran Odha sakit ke RS Sanglah Denpasar. Karena hanya tergantung pada ambulance milik Puskesmas setempat, maka pengantaran hanya bisa dilakukan untuk pengobatan Odha yang telah memasuki fase infeksi oportunistik (IO). Sementara ini, upaya yang dilakukan lebih kepada peningkatan pengadaan obat. Untuk kebutuhan Odha, termasuk pasokan susu untuk anak-anak mereka, masih mengandalkan bantuan donatur, seperti dari kelompok PKK Kabupaten Buleleng dan para ekspatriat. Kelakan berjanji untuk membantu hal-hal yang dibutuhkan Odha dan keluarga Odha di Gerokgak. Semoga nggak lupa sama janjinya ya..

12.25 wita
Bagian yang paling dinanti dari perjalanan sehari itu akhirnya tiba. Kunjungan ke rumah Odha. Rumah keluarga pasangan Odha, Nyoman Renti dan Putu Sumastika di Desa Pemuteran, jadi yang pertama kami kunjungi. Rumahnya lumayan masuk pelosok, sekitar 1 km dari jalan raya Singaraja-Gilimanuk. Jalan masuknya pun masih tanah dan berbatu sehingga mobil sedan dinas Wagub Kelakan dan Wabup Wardana tidak bisa masuk. Kedua pejabat itu kemudian “numpang” di mobil rombongan lain.
Tiba di tempat tujuan, Renti dan Sumastika sudah menunggu bersama dua bayi kembarnya. Kelakan langsung mengambil Yoga (5 bulan) dari gendongan Renti. Oktober tahun lalu, pasangan yang telah memiliki 1 putra ini dikaruniai dua putra kembar sekaligus. Namanya Komang Yogi Hivartha Laksana dan Ketut Yoga Hivartha Laksana. Maknanya, ternyata sangat mendalam. Kata Hivartha berasal dari kata HIV (virus HIV) dan artha (menang). Dengan begitu, Yogi dan Yoga diharapkan bisa menang dari virus HIV yang telah menginfeksi kedua orang tua mereka.
Sayangnya, waktu kami berkunjung ternyata Yogi sedang sakit. Kata Renti, Yogi sudah sakit panas tinggi sejak beberapa hari. “Badannya panas. Sakitnya gantian sama Yoga. Sebelumnya Yoga yang sakit, Yoga sehat. Tapi setelah Yoga sembuh, malah Yogi yang sakit,” cerita Renti.


……… [Dian]
Balik ke Kantor Desa Pejarakan. Setelah puas ngobrol dengan para Odha dan anak-anak Odha, dilanjutkan dengan dialog. Putri Bali 2005, Gusti Ayu Pradnyandari yang ikut dalam rombongan langsung mengacung saat sesi dialog itu dibuka. Ia penasaran dengan pernyataan Wabup Wardana yang menyatakan perlunya tes HIV bagi PNS. “Tadi pak wabup bilang kalau ada yang mau jadi PNS dan pegawai, harus dites. Bukankah itu diskriminasi?” tanyanya. Wabup Wardana kelihatannya cukup tergugah. “Sebenarnya memang melanggar HAM. Tapi persyaratan untuk jadi siswa, pegawai, tentara, memang kesehatan. Tapi kita berharap tidak ada HIV/AIDS di Buleleng. Kita pun berharap tidak ada diskriminasi. Sebagai manusia kita harus perlakukan sama,” jawab Wardana. Kelakan menambahi, “Kita sudah meratifikasi HAM PBB. Kalau itu dilanggar, sulit.”

Dialognya tambah hangat ketika Kelian Banjar dari Desa Banyu Poh menyambung dengan pertanyaan baru. Ia mengaku sempat memberi penyuluhan HIV/AIDS di malam Siwaratri. Penyuluhan dilakukan di Pura Desa Banyu Poh. Tapi, pro kontra muncul sesudahnya. Katanya, banyak yang protes karena penyuluhan dilakukan di jeroan (halaman) pura. Kelakan menanggapi. “Ini adalah proses penyadaran. Tuhan kita puja, tapi Tuhan tidak diskriminatif. Tuhan tidak ingin kita puja-puja terus. Yang penting juga pendekatan dengan manusia lainnya. Kalau seksualitas dilihat dari materi dilakukan di pura, salah. Tapi kalau pemecahan untuk jalan yang besar, saya yakin Tuhan akan senang,” paparnya.

14.20 wita
Balik ke Denpasar dengan membawa segudang kisah menarik dan inspiratif. Satu benang merah yang kami dapat, HIV/AIDS dapat menginfeksi siapa saja. [Komang Erviani dan Ni Luh Dian]

Tidak ada komentar: