Google
 

Sabtu, 20 Mei 2006

Kartini dan Cacing-Cacingnya

Tumpukan cacing tanah pemakan sampah, jadi bagian tak terpisahkan dari sosok Dr. Ir. Luh Kartini, M.S.S. Sebagian besar harinya dihabiskan untuk mengakrabkan kembali para petani dengan cacing-cacing yang nyaris musnah oleh gencarnya kampanye pupuk kimia. Ia terobsesi memasyarakatkan kembali pertanian organik. Ini ia juga mencoba mengakrabkan masyarakat dengan kotoran sapi. .

Beberapa petak lahan di belakang rumah potong hewan milik pemerintah daerah Bali , jadi pusat perhatian sejak tujuh tahun belakangan. Siswa segala umur, mulai dari TK sampai mahasiswa, kerap datang berkunjung. Ada juga peneliti-peneliti muda dari penjuru dunia. Tak tanggung, pejabat negara dari Eropa, Afrika, Balkan, bahkan Euthopia, juga sempat mampir. Tak ada alasan yang ruwet. Mereka hanya ingin tahu seluk beluk cacing, serta cara hewan kecil menjijikkan itu menyuburkan tanah. Tentu saja, menyuburkan tanah secara alami tanpa bahan kimia.
Adalah Dr. Ir. Luh Kartini, M.S.S, sosok yang berinisiatif membangun tempat pembuatan pupuk kascing (pupuk dari kotoran cacing) itu. Langkah yang diambil sejak 1998 tersebut, dilakukan sebagai upaya mewujudkan idealismenya, melepaskan alam dari keterikatan bahan kimia. Ia bermimpi suatu hari Bali kembali pada sistem pertanian tradisionalnya, tanpa pupuk kimia ataupun pestisida.
Angannya tak mucul begitu saja tanpa sebab. "Ini keinginan dari kecil,"kata dosen Jurusan Ilmu Tanah Universitas Udayana ini memulai cerita masa lalunya. Sebagai anak petani di Desa Bulian, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Bali , Kartini kecil selalu diakrabkan dengan alam. Di umur 5 tahun, ia sudah dapat tugas membuang abu dapur ke tegalan untuk menyuburkan tanah. Saat menginjak usia 6 tahun, kelahiran 21 April 1962 bersama kakak-kakaknya sudah diberi tanggung jawab memelihara bebek. Satu anak, bertanggung jawab atas 100 ekor bebek. Bagi Kartini saat itu, tak sulit menggembala bebek. Ia hanya perlu mencari beberapa ekor cacing di lahan pertanian ayahnya, dan melepas bebeknya di sungai untuk memberinya minum. Tak jarang, ia pun dengan bebas meminum air sungai yang jernih pada masa itu.
Tapi, perubahan besar terjadi di era akhir tahun 1970. Ketika itu, pertanian tradisional mulai diganti dengan pertanian modern. Pupuk urea dan pestisida ditawarkan pemerintah dengan janji peningkatan hasil produksi. Tak hanya itu, petani yang menyemprotkan pestisida pun digaji. "Karena digaji, mereka kan jadi mau nyemprot,"kenang Kartini. Tak lama setelah program itu dilakukan, Kartini terkesiap. Pupuk urea yang disiramkan ke lahan pertanian sang ayah, membuat cacing-cacing menggelepar. Kematian cacing-cacing itu membuat bebek-bebeknya tak lagi mendapat pasokan makanan yang cukup. Kemampuan bebek-bebeknya untuk bertelur juga turun drastis. Tak hanya itu, ia bersama bebek-bebeknya juga sempat tak sadarkan diri, beberapa saat setelah meminum air sungai. Sayangnya lagi, tak ada satu pun orang yang mampu memberikan penjelasan atas keganjilan-keganjilan itu. Dari sana , rasa penasarannya dimulai.
Kartini kecil tak pernah melepas rasa penasarannya. Satu pertanyaan Kartini yang tak pernah terjawab oleh siapapun waktu itu, apa yang menyebabkan cacing-cacing itu mati setelah tersiram pupuk urea? "Saya coba cari jawabannya. Tanya bapak, tanya guru, bahkan tanya mahasiswa yang KKN di desa, juga tidak terjawab. Sampai kemudian ada tenaga sarjana turun lapangan saya tanya, dia bilang, kamu kuliah di jurusan tanah aja. Nanti dapat gelar Insinyur,"cerita Kartini. Dari sana , ia terus terobsesi untuk kuliah di Jurusan Ilmu Tanah, Universitas Udayana. Pendidikan SD , SMP, hingga SMA ia lewati dengan kecaman keras dari sang ayah. Maklum, pada masa itu masih ada persepsi kuno di masyarakat bahwa perempuan tidak perlu bersekolah. "Untungnya ibu dukung. Dari sana , saya akhirnya berhasil kuliah di Ilmu Tanah, dan lulus,"
Tak sia-sia ia mewujudkan keinginannya kuliah di Ilmu Tanah. Begitu kuliah semester 1, ia langsung mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya yang terpendam. "Ternyata pestisida dampaknya merusak,"tandasnya pendek. Di tahun 1985, dalam sebuah pertemuan dengan petani, Kartini akhirnya mencoba menyuarakan kampanye pupuk kimia berbahaya dan perlunya pupuk organik. Tapi momentum pernyataan Kartini di depan umum kala itu, dirasa tak tepat. Itu karena penggunaan pupuk kimia dan pestisida sat itu telah membuktikan suksesnya menjadikan Indonesia sebagai negara swasembada beras. "Pikir dulu dong dik. Kalau perlu 1.000 ton, ada nggak yang bisa sediakan pupuk organik sebanyak itu?" tegas salah seorang penyuluh pertanian dari pemerintah saat itu. Ia bahkan sempat disebut sebagai orang gila yang mimpi di siang bolong, saat terus menerus menggembor-gemborkan tekadnya mengembalikan petani pada sistem pertanian tradisional. Ia disebut sebagai orang ortodox. Hujatan terhadap idenya itu, tentu saja menjadi cambuk kuat baginya untuk benar-benar merealisasikan keinginannya, mengembalikan kembali kehidupan manusia pada alam dan lingkungan. “Saya ingat waktu saya kecil, kita merasa snagat kaya. Mau cari belut gampang, cari madu sudah ada tawonnya, cari air apa lagi. Alam berikan kehidupan. Kebetulan kakek seorang dukun pengobatan, jadi betul-betul diajarkan untuk dekat dengan alam,”ungkap perempuan yang menyelesaikan mengambil gelar doktornya di Unpad.
Tekadnya makin kuat ketika dalam mata kuliah kesuburan tanah, ia diajarkan bahwa cacing merupakan indikator kesuburan tanah. Secara logika, pupuk urea yang justru membunuh cacing-cacing, secara otomatis juga merusak kesuburan tanah. Tak heran bila kini banyak sekali lahan pertanian yang tak lagi produktif.
Lulus S1, ia mulai mengamati jenis-jenis cacing. Pada saat menjalankan pendidikan S3-nya, barulah ia mulai serius menekuni masalah cacing. Ia menemukan satu jenis cacing paling rakus, Lumbricus Rubellus, jenis cacing pemakan sampah. Jenis itulah yang kini makin diakrabinya. “Ternyata cacing luar biasa. Dia makhluk lemah tapi perkasa. Selain indikator kesuburan tanah dan dalam tubuhnya mengandung 80 persen protein yang dapat meningkatkan produktivitas ternak, cacing juga punya kemampuan degradai luar biasa. Ia mampu makan selama 24 jam seberat badannya sendiri. Dari situlah, cacing memiliki semua mikroorganisme yang menguntungkan di alam tanah. Enzin lumbricunase yang ada dalam tubuhnya, mampu menormalkan metabolisme sel dalam tubuh yang memakan. “Kita manusia juga bias memanfaatkan. Saya sudah buktikan, dulu mata saya minus 5 dan silinder. Setelah saya mengkonsumsi cacing, mata saya normal. Nggak perlu lagi pakai kaca mata,”tandas ibu 3 anak ini. Selain memproduksi pupuk kascing (pupuk dari kotoran cacing), Kartini juga telah mencoba membuat tepung cacing untuk dijadikan obat. “Saya sudah buat, tapi belum dipasarkan karena belum ada izin depkes. Saya awalnya pakai sendiri. Tapi sekarang sudah banyak orang yang minta kapsul tepung cacing ini,”tandasnya sambil menunjukkan sekotak tablet berwarna merah putih.
Hasil penelitian seorang peneliti asing dari Amerika, Dr. Henry Chang, menambah keyakinannya. Survei itu menyebut, sebagian besar orang saat ini telah menyimpan kandungan logam dalam tubuhnya akibat konsumsi makanan yang tidaksehat. Itu karena racun yang telah masuk dalam tubuh, tidak bisa keluar. Sementara kandungan logam dalam makanan akan tertinggal di perut. Dari 100.000 orang yang diteliti, hanya 6 persen orang yang metabolismenya normal. Peneliti itu juga menyimpulkan cacing sebagai makanan yang dapat mengurang kandungan logam dalam tubuh. “Dari sana saya lihat bahkan teknologi bidang pertanian yang ada sekarang tidak lengkap. Teknologinya terpotong, dan ini berbahaya bagi kehidupan di dunia,”ungkapnya. Ia berkeyakinan, seberapa pun besar kemampuan pengetahuan manusia, tetap ada kekurangan, ketergantungan, dan keterbatasan yang diberikan Tuhan. “Kita tidak akan pernah tahu kapan gunung meletus, kapan banjir banding, karena kita punya keterbatasan. Alam jauh di atas kita,”ujarnya berfilosofi.
Bagi Kartini, tidak ada lagi toleransi penggunaan bahan-bahan kimia dalam pertanian. “Kalau terus begini, kita bisa habis. Kalau sudah habis, bagaimana? Kita akan kelaparan seperti Euthopia,”tambahnya. Ia sadar betul, bukan hal mudah untuk menawarkan kembali konsep pertanian organic kepada petani, di tengah jaman yang sudah membiasakan pemikiran instant. Tapi, pelan tapi pasti, Kartini telah menggaet banyak petani, dan ke depan akan jauh lebih banyak lagi. Pusat pembuatan pupuk kascing yang dirintisnya, kini menjadi pusat pendidikan bagi banyak sekali orang.
Apa keuntungan Kartini? Secara tegas Kartini menyebut belum ada keuntungan uang yang pernah didapatnya. Yang ada justru sebaliknya. Modalnya Rp 100 juta yang ditanam dalam usaha berbendera CV Sarana Petani Bali ini, secara pelan terus berkurang. Itu karena dia tak mematok harga kaku bagi petani-petani yang ingin menggunakan pupuknya. “Justru banyak petani yang minta, saya kasih. Saya senang mereka mau meninggalkan pupuk kimia. Malah saya mengarahkan mereka untuk memproduksi sendiri pupuk kascing untuk konsumsi sendiri,”ujarnya sembari menyebut kalau ia telah mematenkan produk pupuk kascingnya. “Petani bisa memproduksi pupuk kascing untuk dipakai sendiri. Asal tidak dijual,”tambah perempuan yang pernah menerima award dari Rotary Club Bali ini berkat komitmennya terhadap pelestarian alam.
Memang, pembuatan pupuk kascing tak memerlukan proses yang sulit, apalagi bahan yang mahal. Petani hanya perlu kotoran sapi dan sampah-sampah organik. “Kotoran sapid an sampah dicampur dulu. Diamkan beberapa hari sampai suhunya normal. Setelah itu diberi cacing. Dalam beberapa hari, hasil berupa pupuk itu sudah bias disebar di lahan pertanian,”jelas Ketua Bali Organic Association (BOA) ini mendetil.
Rugi materi, bukan masalah buat Kartini. Ia justru masih punya banyak cita-cita-cita lain yang akan dilakukannya. Dengan pupuk kascing, ia berharap para petani jeruk di Buleleng Bali yang sejak bertahun lalu mandek karena gangguan hama CVPD, bisa kembali berproduksi. Ia optimis, hama CVPD itu tidak akan kembali bila petani mau konsisten untuk meninggalkan bahan kimia.
Tak berhenti di situ. Melihat ancaman terjadinya krisis bahan bakar, ia kini tengah berupaya memasyarakatkan kotoran sapi kepada masyarakat. Dengan teknologi biogas, kotoran sapi milik petani tidak perlu dibuang percuma, tetapi bisa digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak. Suami dari I Made Agustina ini berharap, masyarakat menyadari betapa dunia makin terancam dengan tradisi instan yang makin mendarah daging. Semoga, Kartinia benar-benar menjadi Kartini-nya Bali yang mengembalikan Bali pada alamnya.[Komang Erviani]

1 komentar:

putu dharma mengatakan...

kereeeeen abis...
kakak kartini...sy pengen ngikutin jejak kakak niiii..sy ingin mengembangkan kascing di kaliorang-kaltim. kami adalah komunitas transmigran asal bali.disini masyarakatnya rata2 beternak sapi.. kendala sy adalah dalam pengadaan bibit cacing. di kaltim sepertinya blom ada pembuatan kascing. apakah kakak kartini mempunyai stok cacing lebih. sy pengen beli beberapa kilo saja..ketimbang sy beli di bandung... jaraknya begitu jauh..(klo memang bs, berapa harganya kak?