Google
 

Rabu, 10 Oktober 2007

Berangkat dari Tari Ritual



Ni Wayan Wiwin Oktarini dan teman-temannya terlihat sibuk. Gadis sembilan tahun itu menghias gelungan, sejenis mahkota berwarna keemasan. Satu per satu bunga kamboja dipasangkan. Dan, gelungan yang bakal dipakai untuk menari telah siap dikenakan.
Wiwin dan teman-temannya bergegas menuju salah satu bale di Pura Payogan Agung. ”Tadi minum es ya?” tanya Luh Ana, 17 tahun, kakak pendamping mereka yang juga mantan penari legong topeng. Wiwin mengangguk sambil tersenyum.
Rupanya, hari itu Wiwin sempat minum es gara-gara lupa kalau kelompok legong topengnya akan medal. Medal adalah istilah bahasa Bali yang biasa digunakan bila legong topeng Pura Payogan Agung akan mentas di luar pura.
Di dalam Pura Payogan Agung sendiri, tari legong topeng hanya dipertunjukkan enam bulan sekali. Yakni pada upacara piodalan, perayaan rutin yang jatuh pada hari Buda Kliwon Pagerwesi sesuai dengan penanggalan Bali. Di luar itu, legong topeng Ketewel kerap dipertunjukkan di setiap upacara piodalan di pura keluarga di rumah-rumah warga.
Gara-gara minum es, Wiwin tak diperbolehkan ikut menari sore itu. ”Kalau minum es, nanti giginya enggak kuat. Jadi, enggak bisa ikut nari,” Ana menjelaskan. Sebab kekuatan gigi sangatlah penting bagi para penari legong topeng.
Maklum, sesuai namanya, para penari wajib mengenakan topeng selama membawakan tarian ini. Uniknya, topeng yang digunakan tidak diikatkan pada kepala, tetapi menggunakan janggem yang hanya bisa disangga oleh gigi penarinya. ”Kalau giginya nggak kuat, takut topengnya jatuh,” kata Ana lagi.
Persyaratan menjadi penari legong topeng, memang tak sesederhana tarian lain. Selain wajib menjaga kekuatan gigi, penari legong topeng juga dilarang keras makan daging sapi dan babi. Satu syarat terpenting, penari legong topeng belum akil balig, atau belum mengalami menstruasi.
”Ini wajib untuk menjaga kesakralan tarian,” ujar Jero Mangku Ketut Widia, 64 tahun, pemangku atau pendeta hindu di Pura Payogan Agung. Karena persyaratan yang ketat itu, maka kini hanya ada 12 orang generasi penerus tari Legong Topeng. Wiwin adalah salah satunya.
Sayang, Wiwin tak bisa tampil sore itu gara-gara lupa dengan pantangannya. Sejumlah temannya yang lain lantas mengajukan diri. Semua bersemangat. ”Soalnya bangga kalau bisa nari,” jawab Ni Kadek Dwi Puspayanti, 10 tahun, ketika ditanya motivasinya menari legong topeng.
Puspayanti dan temannya, Ni Wayan Bianka Aristania yang berusia sembilan tahun, boleh bangga hari itu. Mereka terpilih untuk menarikan legong topeng di tiga rumah warga. Meski tak terpilih, yang lainnya tak kalah gembira. Meski gagal tampil, mereka tetap bersemangat membantu Puspayanti dan Bianka berpakaian.
Kain prada yang sudah lumayan kusam dipasangkan di pinggang, menyusul sebuah baju putih berlengan panjang yang sudah cukup usang. Lalu sabuk prada yang panjangnya bermeter-meter, dililitkan melingkar dari pinggang sampai dada. Ampok-ampok (hiasan pada pinggang), lamak (hiasan depan,), hingga tutup dada (hiasan depan), dipasang menyusul. Semua berkilau keemasan, dengan perpaduan warna-warni khas pakaian tari bali. Bedanya, tak ada setitikpun bedak atau make up yang dioleskan ke wajah penari. Ini untuk menunjukkan kepolosan mereka.
Sementara penari bersiap, Luh Ana dan mantan penari legong lain yang menjadi pendamping, menghaturkan canang ke seluruh sudut pura. Di depan pintu gedong, salah satu bangunan di dalam pura, Ana menghaturkan doa-doa. Di dalam gedong itulah, tersimpan enam buah topeng yang akan digunakan dalam tari legong. Selain topeng itu, ada tiga buah topeng lain yang hanya digunakan dalam tari topeng lanang, tari topeng yang dibawakan oleh laki-laki.
Ketika waktu menunjukkan pukul lima sore, Ana memberi aba-aba agar semua bersiap. Gelungan yang tadi dihias, dipasangkan pada kepala Puspayanti dan Bianka. Keduanya lantas diperciki air suci atau tirta, yang dipercaya dapat membersihkan diri penari sebelum tampil. Sebatang dupa yang menyala, juga dipasangkan di atas gelungan mereka. Dupa dipercaya menjadi media perantara antara kita, manusia, dengan Tuhan sebagai pencipta, pelindung, sekaligus pelebur kita.
Mereka pun bergegas menuju rumah warga. Kebetulan, rumah warga yang sedang menggelar upacara tak begitu jauh. Jadi, para penari cukup berjalan kaki. Dua anak dengan bendera putih berada di barisan paling depan. Sedangkan satu orang dewasa mengusung kotak berisi enam buah topeng yang akan digunakan nanti, di kepalanya.
Sebuah payung warna kuning setia memayungi kotak topeng yang disakralkan itu. Seperangkat gamelan dibawa oleh anggota Sekaa Gong Duwe Indra Parwati, kelompok gamelan semara pegulingan yang bakal menjadi pengiring tari legong topeng.
Tak lebih dari 10 menit menyusuri jalan berbatu, para penari pun tiba di rumah warga di Banjar Tengah, Desa Ketewel. Ni Wayan Madri, 40 tahun, salah satu penghuni rumah, menyambut hangat. Menurut Madri, ia sengaja mengundang para penari legong topeng yang oleh masyarakat Ketewel lebih karib disebut Tari Tu Dari (Ratu Dedari).
”Ini wajib. Setiap upacara, Tu Dari harus ada. Kalau nggak mampu, boleh juga kita minta tirta (air suci,red) saja di Pura Payogan Agung. Tapi rasanya kurang pas kalau enggak ada Tu Dari,” begitu Madri beralasan.
Menurut Jero Mangku Ketut Widia, pemangku atau pendeta hindu di Pura Payogan Agung, tari legong topeng memiliki makna yang sangat sakral. Legong topeng merupakan pemuput karya atau penyelesai upacara. Jadi, tarian ini biasanya ditampilkan untuk menutup suatu upacara.
Selain itu, legong topeng juga dipercaya sebagai penolak bala. Mangku Widia menyatakan, pada tahun 1940-an sempat terjadi wabah penyakit yang cukup mengkhawatirkan di Desa Ketewel. Untuk mengatasi, legong topeng kemudian dipentaskan secara bergilir di semua banjar adat di desa itu. Walhasil, wabah tersebut segera tertanggulangi. ”Pada waktu itu memang ada dokter yang datang dari kota, tapi kami percaya keberhasilan menangani wabah itu tidak lepas dari pementasan tari legong topeng,” kata Mangku Widia.
Besarnya kekuatan fungsi tari legong topeng, membuat tari ini menjadi penuh makna bagi masyarakat Ketewel. Itu terlihat dari sambutan yang diberikan penghuni rumah yang mengundang mereka. Ketika memasuki rumah, penari legong berserta rombongan langsung disambut senyum para penghuni rumah. Mereka diantar menuju pura keluarga di bagian belakang rumah. Sebelum mereka tampil, sejumlah ritual masih harus dilakukan para penari dan pendampingnya.
Kotak berisi topeng juga diberi mantra-mantra oleh pendeta hindu di pura setempat. Para penari kembali mengucap doa, memohon keselamatan.
Tak lama kemudian, alunan musik dari Sekaa Gong Duwe Indra Parwati mulai mengalun, pertanda tarian bakal segera dimulai. Puspayanti dan Bianka lantas mengunyah beberapa bunga kamboja sebagai simbol membersihkan mulut. Wangi dupa pun dihirup kuat ke dalam mulutnya.
Puspayanti dan Bianka lalu mengenakan topeng pertamanya, Dibantu kakak pendampingnya. Dua topeng pertama yang ditarikan adalah topeng bidadari Sulasih dan Nilotama. Semua topeng yang ditarikan dalam legong topeng, merupakan tokoh bidadari. Selain Sulasih dan Nilotama, ada juga topeng Aminaka, Supraba, Gagarmayang, dan Tunjung Biru, yang ditarikan secara bergantian.
Di balik topeng, Puspayanti dan Bianka bergerak gemulai. Meski pandangan mereka hanya bergantung pada dua lubang yang sangat kecil, keduanya tidak terlihat canggung. Gerakannya serasi.
[Komang Erviani/ dimuat di Majalah GATRA Nomor 47 / XIII,beredar 4-10 Okt 2007]

Tidak ada komentar: