Google
 

Selasa, 09 Agustus 2005

Calon Aktivis di Balik Terali

Terali besi, tembok tinggi, dan hilir mudik petugas, tak membatasi kreativitas berpikir penghuni Lembaga Pemasyarakatan (lapas) Klas II A Denpasar di Kerobokan, Badung. Tiga puluh warga binaan berkumpul di ruang perpustakaan, 18 Juli lalu, mengikuti pelatihan peer educator (penyuluh sebaya) penanggulangan HIV/AIDS.

Selama empat hari, para calon aktivis HIV/AIDS dan narkoba di lapas diberi bekal pengetahuan tentang hal-hal yang tak jauh dari kehidupan mereka. Mulai dari pengetahuan dasar narkoba, infeksi menular seksual (IMS), hepatitis, hingga HIV/AIDS. Konsep pengurangan dampak buruk penyalahgunaan narkoba suntik (harm reduction) juga dijelaskan secara mendetail.

Setelah pelatihan, para penyuluh sebaya tersebut akan mendidik rekan sesama napi tentang pencegahan dan penularan HIV/AIDS, termasuk hepatitis C. Mereka juga bertanggung jawab mendidik cara pemakaian kondom, melindungi diri dari penyebaran IMS, HIV/AIDS, dan hepatitis.

Mereka juga dibekali brosur sebagai media sosialisasi. Pembagian kondom di lingkungan lapas, menjadi salah satu tugas para peer educator (PE). Tujuannya satu, mencegah meluasnya penyebaran HIV/AIDS di lapas.

Tingginya tingkat penyebaran HIV/AIDS di lapas, mengundang kekhawatiran sejak sero survey tahun 2000 menemukan 35 orang HIV positif di area lapas. Sero survey tahun selanjutnya juga menunjukkan angka cukup tinggi, tahun 2001 ditemukan 34 kasus HIV, tahun 2002 ada 40 kasus, tahun 2003 ada 32 kasus, dan 2004 ada 19 kasus.

Selain karena pengetahuan minim terkait HIV/AIDS dan narkoba, perilaku berisiko penghuni lapas juga diduga sebagai penyebab. Perilaku berisiko itu diantaranya kebiasaan berbagi jarum suntik antar penyalahguna narkoba suntik, hubungan seks tidak aman, kekerasan/kecelakaan yang menimbulkan luka, membuat tato dengan jarum yang tidak steril, tindik, dan pemasangan aksesoris pada alat kelamin. Seperti diketahui, penularan HIV/AIDS dapat dengan mudah terjadi melalui darah, cairan vagina, dan cairan sperma.

Pembentukan PE, menurut Ketua Pokja Lapas, AA Gde Hartawan, bertujuan untuk membentuk kader-kader baru di lingkungan lapas. Setiap tahun, sejak 2004 lalu, Pokja Lapas mengagendakan pembentukan PE dalam dua gelombang. Masing-masing gelombang menargetkan 30 PE, dengan selisih waktu 6 bulan. Sebelumnya, pada 2001, sebanyak 20 PE juga dibentuk dengan sokongan dana dari APBD Bali. Dengan berakhirnya pelatihan Juli lalu, Lapas sudah melatih sekitar 120 PE.
Sebagian diantaranya juga sudah bebas. “Makanya kita harus terus bentuk kader baru, karena mereka (napi) kan tidak tinggal tetap di sini (lapas),” lanjut Hartawan.
Kiprah para aktivis di balik jeruji itu, terbukti memberi peran yang cukup tinggi dalam upaya menekan penyebaran HIV/AIDS di lapas. Tak hanya itu, muncul kesadaran untuk menghapus stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (Odha) di Lapas. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 7, Agustus 2005]

Tidak ada komentar: