Google
 

Selasa, 09 Agustus 2005

Narkoba Ringan di Sekitar Kita

“Penderitanya gemetar, gugup, dan kehilangan kendali. Ia mengalami agitasi dan depresi. Ia kelihatan lelah dan lemas. Jika digabung zat lain, penambahan dosis zat ini untuk sementara dapat melegakan. Tetapi bisa mengakibatkan penderitaan di masa depan. Narkoba jenis apa yang menyebabkan itu?” tanya Annie Bleeker dalam pelatihan informasi dan intervensi narkoba di Denpasar awal Juli 2005 lalu.

Pertanyaan pembicara dari pusat penelitian narkoba dan alkohol Universitas New South Wales Australia itu direspon beragam oleh peserta polisi, staf pendidik, petugas kesehatan, dan lainnya. Ada yang teriak ganja, morphin, ekstasi, putaw. Tapi semua salah. “Kopi,” tegas Annie singkat, mengundang tanda tanya besar peserta.

Ya, selama ini memang banyak salah pengertian tentang definisi narkoba. Orang selalu membayangkan obat-obatan yang spesifik, mahal, dan selalu jadi target operasi polisi. Padahal banyak narkoba yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari seperti alkohol, kopi, bahkan teh sekalipun. Kandungan kafein yang terkandung dalam kopi dan teh, menjadikannya termasuk dalam golongan narkoba. Namun efek yang dihasilkan teh cenderung lebih ringan karena kandungan kafeinnya sangat sedikit. Sementara itu, kopi memberi pengaruh yang sangat cepat terhadap syaraf pusat.

Sejak diperkenalkan bangsa Turki pada tahun 1453 lalu, jelas Annie, kopi kini sudah menjadi salah satu narkoba yang paling populer di masyarakat. Popularitas kopi tak terlepas dari keputusan banyak negara yang melarang konsumsi alkohol sehingga kopi kemudian menjadi alternatif pilihan pengganti. Tapi jangan khawatir, kopi baru berbahaya bila diminum dalam dosis tinggi, yakni 10 gram sehari. Sedangkan dalam satu cangkir kopi, hanya terdapat sekitar 60-80 mg kafein.
Dalam pelatihan seminggu itu, para peserta dibuka mata dan pikirannya untuk mengenali semua jenis narkoba secara lebih mendalam. Menurut Annie, semua jenis narkoba punya karakteristik berbeda. Ganja misalnya, tak pernah menimbulkan kasus over dosis. “Pengguna ganja baru over dosis kalau makan 8 kg ganja. Padahal baru makan 1 kg saja sudah pingsan,” Annie mencontohkan.

Pada sesi akhir pelatihan yang diselenggarakan Badan Narkotika Propinsi (BNP) Bali dengan Indonesia Australia Specialized Training Project Phase III itu, para peserta juga diajak berdiskusi tentang rencana tindak lanjut. Usul yang diajukan beragam. Namun tak jauh dari program komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Ada yang menyasar sekolah, kafe, instansi kepolisian, dan lainnya. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 7, Agustus 2005]

Tidak ada komentar: