Google
 

Sabtu, 03 September 2005

Kelompok Dukungan Sebaya Memperkuat ODHA

Subsidi ARV telah membantu meningkatkan kualitas hidup ratusan ODHA. Ada kekhawatiran subsidi dihapus. Kelompok Dukungan Sebaya memperkuat mereka.

Matahari belum nampak ketika tangisan Yogi dan Yoga, 8 bulan, membangunkan Nyoman Renti, 33 tahun. Bergegas ia menuju dapur, menyalakan kayu bakar, memasak air, dan menyeduh sebotol susu untuk kedua putra kembarnya. Tak lama setelah diberi susu, keduanya kembali terlelap dalam tidur. Tapi tak demikian dengan Renti. Ia harus terjaga untuk melakukan rutinitas, mengerjakan beberapa pekerjaan rumah.

Sebatang ubi jalar ukuran besar diambilnya dari keranjang kusam di pojok dapur. Dikupasnya, dipotong-potong, lantas direbus. Dalam hitungan menit, menu sarapan paginya pun sudah siap. Tak lupa ia menyeduh secangkir kopi untuk suaminya, Putu Sumastika, 34 tahun.

Ketika jarum jam mendekati angka tujuh, Renti dan suaminya lahap menyantap ubi rebus hasil kebun sendiri itu. Dua buah pil menyusul masuk ke mulut mereka. Pil-pil itu memang telah menjadi bagian dari keseharian Renti dan Sumastika sejak lebih dari setahun ini. Tepatnya sejak hasil tes darah menyatakan keduanya terinfeksi HIV. Setiap hari, pagi dan malam, keduanya wajib meminum obat-obatan antiretroviral (ARV) itu. “Setiap jam tujuh semengan ajak tujuh peteng, harus be minum (setiap jam tujuh pagi dan tujuh malam, harus minum),” jelas Renti

HIV (Human Immunodeficiency Syndrome) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, penyebab AIDS (Aquired Immuno Deficiency Syndrome). Diserangnya sistem kekebalan tubuh, membuat pengidapnya sangat rentan terserang penyakit. Obat ARV berfungsi menghambat kerja-kerja enzim yang membantu perkembangbiakan virus dalam tubuh, sehingga perkembangannya dapat ditekan. Obat ARV tidak membunuh virus HIV, sehingga pemakaian obat tak bisa dihentikan. Jangankan putus obat, terlambat minum obat saja akan dapat berakibat fatal bagi pengidap HIV. Pasalnya, putus obat atau keterlambatan minum obat dapat membuat virus kebal terhadap obat tersebut dan justru makin kuat menggerogoti tubuh yang ditempatinya. Dengan kata lain, ARV harus dikonsumsi seumur hidup.

Renti dan suaminya menyadari betul bahaya yang mungkin timbul bila mereka terlambat minum obat. Karenanya, keduanya selalu berupaya disiplin. “Sing taen terlambat. Terlambat paling lebih nang limang menit. Yen lambat atau suud minum obat, sekali gen sing minum obat, sing ada artine be minum obate to. Makane yang kan harus rutin, karena nu dot hidup. (Nggak pernah terlambat. Terlambat paling hanya lima menit. Kalau terlambat atau putus minum obat, sekali saja nggak minum obat, obat itu nggak ada artinya. Makanya saya harus rutin minum. Karena masih ingin hidup),” ujar Renti polos.

Yang pasti, Renti tak mau lagi mengalami sakit seperti dua tahun lalu. Diare hebat terus menerus membuat perempuan yang tertular HIV dari suaminya itu, hanya bisa tertidur lemas selama hampir setahun lamanya. Cairan tubuh yang terus terkuras, ditambah selera makan yang tiba-tiba menghilang, menggerogoti badannya. Segala bentuk pengobatan dicoba. Mulai pengobatan medis, sampai pengobatan tradisional oleh balian (orang pintar) dekat rumah. Namun semuanya gagal, sampai akhirnya hasil tes menyatakan Renti positif terunfeksi HIV. “Kaden nak be kar sing seger (Saya kira sudah tidak akan sembuh),” kenang ibu tiga anak itu.

Berkat obat ARV, Renti kini bisa menjalani hari-hari layaknya ibu rumah tangga lain di lingkungannya, Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Mulai dari mengasuh ketiga anaknya, melakukan pekerjaan rumah, memberi makan sapi, mencari kayu bakar, bahkan mencari rumput pakan sapi ke perbukitan yang berjarak sekitar satu kilometer dengan berjalan kaki. “Sekat minum obate to be agak ngeluungan (sejak munim obat itu, agak lebih baik),” ujarnya dengan senyum.

Renti mengaku beruntung, ia tak perlu mengeluarkan sepeser uang pun untuk mendapat obat ARV. Setiap bulan, dua botol besar pil diterima Renti dan suaminya dari staf Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), yayasan penanggulangan HIV/AIDS.

Sejak tahun 2004, pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan telah memberikan jatah ARV generik gratis bagi 25 rumah sakit di seluruh Indonesia. Di Bali, bantuan disalurkan melalui Rumah Sakit (RS) Sanglah. Oleh Sanglah, obat tersebut juga didistribusikan ke sejumlah rumah sakit. Jadi, selain di RS Sanglah, ARV generik gratis juga bisa diakses di RS Kapal, RSU Singaraja, dan RSU Wangaya.

Selain Renti, masih ada ratusan orang dengan HIV/AIDS (Odha) lainnya yang bisa kembali menjalani kehidupan berkat obat ARV gratis. Catatan Dinas Kesehatan Provinsi Bali, hingga Mei 2006, ada 216 orang dengan HIV/AIDS (Odha) di Bali telah memanfaatkan ARV gratis. Dari jumlah itu, hingga kini hanya ada 142 ODHA yang masih aktif menjalani terapi ARV (Antiretroviral Therapy/ART). Selebihnya sudah meninggal dunia (32 orang), stop minum obat (3 orang), lolos dari follow up (26 orang), dan dirujuk keluar (13 orang).

Subsidi penuh terhadap obat ARV, tentu saja sangat membantu Odha seperti Renti dan suaminya. Renti tak terbayang kalau subsidi itu tiba-tiba dihapus oleh pemerintah. Maklum, kondisi ekonomi Renti pas-pasan. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Renti kesulitan. Untuk kebutuhan nutrisi anak-anaknya, ia kini bergantung pada bantuan dari Bali Community Cares, sebuah komunitas yang peduli terhadap kesejahteraan dan pendidikan. Setiap bulan ia menerima 15 kg beras, puluhan kaleng susu, dan 2 kg telur.

Ketua Pokja Care Support and Treatment (CST) Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Tuti Parwati, mengakui belum ada kepastian apakah subsidi ARV akan diberikan pemerintah selama-lamanya. Namun bila subsidi itu sampai dicabut, penemu kasus HIV/AIDS pertama di Bali itu memastikan akan terjadi langkah mundur dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

Subsidi ARV telah membantu ratusan Odha menerima akses pengobatan yang layak. Pasalnya, sebagian besar Odha berada dalam kondisi ekonomi pas-pasan. “Odha yang mampu, bisa dihitung dengan jari,” ujar perempuan asal Klungkung itu. Tuti masih ingat ketika tak ada subsidi ARV untuk Odha. Meski ARV sudah masuk ke Indonesia sejak tahun 2000, namun tak ada satu Odha pun yang saat itu berkesempatan minum obat jenis Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) itu. Penanganan Odha dilakukan seadanya. Bahkan obat untuk infeksi oportunistik pun (IO)--kondisi di mana gejala-gejala penyakit sudah tampak--, Odha masih harus membeli. “Jadi cuma satu dua orang saja yang bisa beli obat. Itu pun terbatas. Kadang kalau mereka sudah sakit beberapa kali, sudah nggak bisa beli obat,” kenangnya. Ketika itu, Tuti seolah menjadi terbiasa melihat kematian Odha. Odha umumnya hanya bertahan selama rata-rata 6 bulan sejak gejala penyakit mulai terlihat.

Baru pada Juli 2003, KPA Bali mencoba melakukan terobosan dengan membiayai terapi ARV. Dengan dana APBD Bali, obat ARV dibeli dari Kelompok Studi Khusus (Poldiksus) RSCM Jakarta sebagai satu-satunya lembaga penyedia ARV dalam negeri pada saat itu. Namun karena keterbatasan dana, hanya lima Odha yang bisa dibantu. Beruntung, komitmen lantas muncul dari pemerintah pusat dengan menyubsidi penuh pengobatan ARV bagi Odha.

Dikatakan Tuti, subsidi ARV merupakan langkah penting dalam program penanggulangan AIDS di Indonesia. Tanpa subsidi, Tuti upaya peningkatan kualitas hidup Odha bisa berjalan efektif. Itu tak lepas dari kondisi ekonomis sebagian besar Odha yang cenderung minim. Bila subsidi dicabut, Odha harus menyediakan dana minimal Rp 300 ribu per bulan per orang. Itu belum termasuk dana untuk pemeriksaan CD4 (sel pembentuk kekebalan tubuh) yang harus rutin dilakukan setiap 6 bulan. Di awal terapi, Odha juga akan dibebankan biaya pemerisaan fungsi hati dan foto torax yang bisa menghabiskan lebih dari Rp 250 ribu per orang. Selama ini, biaya untuk semua tes tersebut telah dibantu dengan dana dari Global Fund. ”Kalau subsid-subsidi itu dihapus, ya... akan balik seperti dulu lagi,” ujarnya.

“Yen meli be sing ngidaang. Lamen orahina meli, baang be mati. Pasrah be (Kalau beli sudah nggak mampu. Kalau disuruh beli, biar lah saya mati. Saya pasrah,” ujar Renti sambil tertawa.

Perasaan was-was dengan dihapuskannya subsidi ARV, juga dirasakan Suparja. Namun ODHA yang telah mengonsumsi ARV sejak beberapa tahun lalu itu, tak kehilangan akal. Akhir Agustus 2006 lalu, Suparja mencetuskan dibentuknya kelompok dukungan sebaya bagi ODHA dampingan Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), yayasan penanggulangan HIV/AIDS. Menurut mantan supir truk Jawa – Bali itu, ada banyak alasan yang membuat keberadaan kelompok dukungan sebaya sangat penting. “Semua ini berangkat dari pemikiran, bagaimana bila suatu saat obat ARV (antiretroviral) sudah tidak disubsidi pemerintah. Apa yang harus kami lakukan. Padahal latar belakang ekonomi Odha umumnya rendah. Untuk makan saja kurang,” cerita pria asal Gerokgak Buleleng itu.

Kelompok dukungan yang diberi nama Tali Kasih itu, juga dirasa penting karena rendahnya pemahaman ODHA terhadap ARV, obat yang berfungsi menekan perkembangbiakan virus di dalam tubuh. Karena fungsinya hanya menekan perkembangbiakan virus, bukan membunuh virus, maka konsumsi ARV tak boleh dihentikan. “Banyak yang tidak tahu kalau tubuh mereka akan resisten kalau obat dihentikan. Ini fatal akibatnya,” jelas Suparja.

Tak cuma itu, banyak juga ODHA yang belum produktif memanfaatkan layanan medis, karena minimnya akses informasi. Masih menurut Suparja, banyak ODHA yang tidak tahu, ke mana harus berobat. Pentingnya membuka status kepada layanan medis, juga belum disadari. Padahal keputusan membuka status menjadi penting untuk mendapatkan pengobatan yang tepat. “Kalau tidak buka status ke pelayanan medis, mustahil bida dapat pelayanan yang tepat,” tambah pria paruh baya itu.

Rendahnya komitmen ODHA dalam kegiatan-kegiatan penanggulangan HIV/AIDS, menjadi dasar pertimbangan lain pembentukan KDS. Bagi Suparja, komitmen tersebut penting untuk menekan jumlah kasus HIV/AIDS. “Semakin banyak orang terinfeksi HIV, semakin banyak Odha yang harus diberi subsidi ARV. Kalau terlalu banyak, bisa-bisa subsidi dihapus. Kalau sudah tidak disubsidi, kita harus beli sendiri. Ini sulit,” tegasnya mengingatkan.

Tali Kasih diharapkan menjadi wadah jaringan semua Odha yang kuat dan mandiri. Tali Kasih diharapkan dapat menjadi penampung masalah-masalah Odha dan dapat memecahkan masalah itu demi peningkatan layanan kesehatan dan penerimaan lingkungan. Tali Kasih juga diharapkan menjadi elemen aktif dalam penanggulangan HIV/AIDS, serta mengakomodasi kebutuhan Odha.

Direktur Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), Efo Suarmiartha, mengaku senang dengan inisiatif pembentukan Tali Kasih. Pasalnya, peran YCUI hanya sebagai fasilitator bagi ODHA. Dengan adanya Tali Kasih, ODHA diharapkan mampu secara bersama-sama mengatasi kebutuhannya sendiri.

Pembentukan Tali Kasih juga mendapat dukungan dari sejumlah kalangan medis dan pemerintahan di Kabupaten Buleleng. Direktur RS Singaraja, Mardana, menjelaskan, di Buleleng tercatat ada 377 orang yang telah dinyatakan positif terinfeksi HIV. “Kalau semua bisa membuka diri dan berkelompok di sini, akan sangat bagus,” ujarnya.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Buleleng, Pustaka, juga menyambut baik pembentukan KDS Tali Kasih. “Kawan-kawan di sini adalah pionir yang mau menunjukkan diri. Saya harap, setelah ini makin banyak Odha lain yang ikut serta,” tandas Pustaka. Agar ODHA bisa berupaya memenuhi kebutuhannya sendiri, dan perkembangan HIV/AIDS tak makin meluas. [Komang Erviani]

Tidak ada komentar: