Google
 

Jumat, 09 September 2005

Tak Cukup Sekadar Gerebek

Penggerebekan KF membuat para junkie kesulitan cari “barang”. Mereka mengalihkan ketergantungannya kepada substitusi narkoba seperti buprenorphine dan methadone. Kapolri berjanji membuka peluang rehabilitasi dengan mengamandemen UU Narkotika.

Denny Thong kini makin sibuk. Sejak pertengahan Juni lalu, tepatnya sejak aksi penggerebekan di Kampung Flores, tempat praktiknya di Jl. Gatot Subroto Barat tiba-tiba banyak dicari para junkie, sebutan untuk pecandu. Dalam sebulan, 30 junkie sudah menjadi pasien barunya. Itu tergolong angka tertinggi sejak ia memperkenalkan buprenorphine kepada para junkie di Bali pada 2004.
Rupanya, aksi penggerebekan yang dilakukan aparat gabungan Poltabes Denpasar, Polsek Denpasar Timur dan Polda Bali terhadap Kampung Flores (KF), sebutan sebuah area di Denpasar, menyebabkan banyak junkie beralih ke obat substitusi. “Operasi KF memang efektif sekali. Banyak sekali yang berobat ke saya. Ada pengaruh jelas dari KF,” kata salah satu dokter dari sedikit dokter di Denpasar yang melayani terapi buprenorphine di Denpasar itu.

Sayang, operasi itu juga telah membuat beberapa pasien lamanya yang sudah stabil memakai substitusi, kembali ke putaw, nama jalanan heroin. Itu karena bandar-bandar yang lari dari KF, kini menjajakan “barangnya” dengan sistem door to door. “Mereka sudah tidak mau, dikejar terus. Lama-lama nggak tahan, make lagi,” tutur Staf Ahli Badan Narkotika (BNP) Propinsi Bali itu.
Buprenorphine merupakan obat semi-sintetis yang berbahan dasar sama dengan heroin maupun methadone. Buprenorphin mempunyai fungsi serupa dengan methadone, yakni sebagai obat substitusi bagi para junkie yang ingin melepaskan ketergantungan heroin. Obat yang di pasaran lebih dikenal dengan nama Subutex, merk salah satu jenis buprenorphine itu, kini tiba-tiba menjadi favorit para junkie. Dalam sebulan, Denny mampu menghabiskan 160 boks Subutex dengan resepnya. Subutex pada dasarnya memiliki banyak keuntungan. Selain legal, pemakaiannya juga secara sub lingual, yakni dengan meletakkan di bawah lidah. Efeknya nyaris sama dengan putaw, tetapi dapat bertahan dalam tubuh selama 24 jam. Meski demikian, kata Denny, kalau pengguna Subutex dites urinenya, maka tidak akan terdeteksi unsur narkoba. Subutex bersifat parsial antagonis (setengah melawan), sehingga pemakai Subutex umumnya tak lagi merasa nikmat bila kembali pakai putaw. Menurut Denny, tingkat keberhasilan pasien yang benar-benar pulih (detoksifikasi) mencapai 10 persen.

Sebagian junkie “pelarian” KF datang ke tempat praktiknya atas rekomendasi LSM. Sebagian besar diantaranya datang sendiri. Pada dasarnya, menurut dokter yang sudah menangani sekitar 300 junkie, semua junkie ingin berhenti dari kecanduannya. “Tapi memang sulit. Kebanyakan junkie kalah dengan sugesti,” cerita Denny.

Selain subutex, Pusat Rumatan Methadone (PRM) Sandat Rumah Sakit Sanglah, juga mendapat tambahan klien. Data di PRM Sandat menunjukkan, jumlah kliennya selama Juli lalu bertambah sebanyak 10 orang. Koordinator PRM Sandat RS Sanglah, Nyoman Hanati, mengakui penambahan itu tergolong paling tinggi setelah dibuka 2003 lalu. Pada Maret 2003, sempat terjadi penambahan jumlah klien sampai 71 orang. Kemudian, rata-rata peningkatan hanya berkisar 2 sampai 7 orang per bulan. Hanati tak mengetahui secara pasti apakah peningkatan itu merupakan dampak penggerebekan KF. Namun diakui kecenderungan peningkatan itu disebabkan karena para junkie tak punya alternatif lain.

Salah seorang aktivis di bidang HIV/AIDS dan narkoba, sebut saja Hendra, mengakui adanya peningkatan jumlah peserta terapi methadone dan subutex pasca operasi KF. Tapi ia mencurigai itu hanya untuk sementara, sekadar untuk mengalihkan ketergantungan. Itu karena para bandar sekarang tidak suka bertemu langsung. Umumnya mereka berdagang via telepon atau kurir. Sebagian junkie juga diketahui beralih sementara ke alkohol.

Tindakan penggerebekan yang dilakukan aparat, tak sepenuhnya memberi dampak positif. Petugas-petugas penjangkau dari LSM kini justru makin sulit bertemu kliennya untuk memantau penggunaan jarum suntik untuk mengurangi penularan HIV/AIDS. Kebiasaan berbagi jarum suntik di antara junkie beresiko terhadap penyebaran HIV, karena darah menjadi salah satu media penularannya. Para junkie kini semakin sulit mencari jarum suntik steril. “Mereka sampai pinjam jarum di temannya di luar Denpasar. Ini kan bahaya sekali,” kata Hendra mengingatkan. Karenanya, penting sekali memberi layanan dukungan ketika program represif dilakukan. “Narkoba itu selalu ada. Makanya harus diimbangi dengan harm reduction (program pengurangan dampak buruk narkoba),” tandas pria yang juga mantan junkie itu.

Direktur Program Yayasan Matahati, Yacintha E. Desembriartista mengingatkan bahwa tiga strategi penanganan narkoba, yakni demand reduction (pengurangan permintaan), suply reduction (pengurangan persediaan) dan harm reduction (pengurangan dampak buruk) harus berjalan beriringan. Kerjasama itu bagi Daisy, panggilannya, belum nampak secara resmi di Bali. Para petugas harm reduction saat ini masih bekerja secara underground, walaupun sudah ada nota kesepahaman (MoU) dengan kepolisian. Ia mencontohkan terkatung-katungnya pembuatan kartu identitas (ID card) bagi petugas penjangkau harm reduction (HR), meski kesepakatan non formal telah ada. Padahal ini berkaitan erat dengan keamanan petugas HR di lapangan.
Direktur Direktorat Narkoba (Dirnarkoba) Polda Bali, AKBP Bambang Sugiarto mengakui upaya menyatukan konsep HR dengan langkah represif bukan hal mudah. Masalahnya, konsep HR masih berbenturan dengan hukum.

Untuk menerapkan program yang komprehensif di KF, termasuk menyangkut HR, Bambang menilai penting bagi semua kalangan, baik LSM, Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD), dan BNP untuk duduk bersama untuk merumuskan metode yang tepat. “Bukan polisi. Kalau polisi nanti seolah-olah polisi melegalkan adanya pengguna jarum suntik. Ini harus dipahami masyarakat,” tuturnya. Ia menambahkan, pembagian jarum suntik steril juga positif, yaitu mengurangi dampak buruk narkoba seperti HIV/AIDS.

Tetapi, tambahnya, para junkie juga kerap tidak mau transparan. Mereka umumnya tidak mau ada polisi dalam program harm reduction. Wajar, katanya, karena mereka takut ditangkap.
Beruntung, Badan Narkotika Nasional (BNN) kini tengah berupaya melakukan advokasi untuk mengamandemen Undang-undang (UU) No. 23/1997 tentang Narkotika. Maksudnya, untuk lebih membuka peluang bagi korban pengguna narkoba mengikuti program pemulihan. Kepala Pusat Litbang dan Informasi BNN, Brigjen Pol. Eddy Saparwoko, di sela-sela kunjungannya ke PRM Sandat RS Sanglah mengatakan, persoalannya saat ini adalah belum ada vonis hakim yang menghukum penyalahguna narkoba dengan memasukkannya ke panti rehab atau pemulihan. Kalau ada, menurutnya akan sangat bagus sebagai yurisprudensi. “Perlu langkah besar, tidak hanya penangkapan. Kita sekarang berjuang dari nol. Jadi diharapkan kapolda dan wagub sebagai penguasa otoritas di daerah bidang narkoba dan penanggulangan HIV/AIDS, bertindak untuk mengatasi epidemi ganda itu,” kata Eddy.

Kapolri Jenderal Polisi Sutanto dalam Sidang ke-4 ASEAN-China Cooperative Operations in Response to Dangerous Drugs (ACCORD) – Pilar III Bidang Penegakan Hukum di Kuta 23 Agustus lalu menegaskan amandemen UU Narkotika dimaksudkan untuk memprioritaskan penangkapan bagi para sindikat, bukan pengguna. “Ke depan, perlakuan kita akan lain. Mereka yang terjebak untuk menggunakan akan kita sembuhkan. Kita lebih fokus pada sindikatnya,” tandas Ketua BNN itu. Ia menyadari, mustahil memutus peredaran narkoba bila korban dan penggunanya tidak disembuhkan. “Katakan semua sindikat kita tangkap. Tapi korban dan pengguna tidak kita sembuhkan. Pasar kan sudah terbentuk. Ada permintaan, ada penawaran. Jadi menyembuhkan pengguna itu sangat penting,” tegasnya. Yang penting juga, tempat rehab yang user friendly bagi pecandu dan ekonomis. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 8, September 2005]

Tidak ada komentar: