Google
 

Rabu, 09 November 2005

Jika Methadone Lebih Baik, Kenapa tidak?

LP Kerobokan jadi satelit program methadone. Diharapkan dapat membantu para napi IDU untuk pulih dari kecanduannya, selain mengurangi resiko penularan HIV/AIDS di dalam LP. Sayang, belum dilengkapi program dukungan.

Jarum jam menunjuk angka 11, ketika Mul (31 tahun) keluar dari selnya di blok H, Lembaga Pemasyarakatan (LP) Klas IIA Denpasar, yang akrab disebut LP Kerobokan. Bermodal surat bon dari petugas klinik yang dibawakan taping (sebutan untuk napi yang membantu petugas), Mul bersama beberapa rekannya diizinkan meninggalkan sel untuk beberapa jam saja. Ia pun bergegas menuju klinik, beberapa puluh meter dari blok yang telah ditempatinya sejak 14 bulan lalu itu. Mul yang sudah kedua kalinya menjadi warga binaan LP karena kasus narkoba, seperti tak sabar meneguk cairan methadone.

Sejak lebih dari dua bulan lalu, Mul telah menjadi peserta program methadone di dalam LP, program yang bertujuan melakukan pemulihan terhadap pecandu narkoba melalui pemberian methadone sebagai zat substitusi. Methadone merupakan bentuk sintesis (tidak alami) opiate, termasuk heroin, codein, dan morfin. Bagi pemakainya, khasiat methadone nyaris sama dengan heroin. Bedanya, methadone memiliki daya tahan dalam tubuh yang lebih lama, mencapai 24 jam. Sementara daya tahan heroin biasanya hanya sekitar 3 sampai 4 jam. Hal ini membuat pengguna methadone dapat hidup lebih teratur. Pemberian methadone juga dilakukan dengan cara diminum, untuk menghindari risiko penularan HIV/AIDS lewat jarum suntik. Dengan begitu, klien methadone bisa hidup dengan lebih teratur, sekaligus terhindar dari HIV/AIDS. Dalam jangka waktu tertentu, juga dilakukan penurunan dosis hingga klien bisa lepas dari kecanduannya secara perlahan.

Sejak 2003 lalu, program rumatan methadone telah resmi dilakukan di Indonesia melalui dua rumah sakit (RS), yakni Program Rumatan Methadone (PRM) Sandat RS Sanglah Denpasar dan RS Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta. LP Kerobokan menjadi salah satu satelit PRM Sanglah. Tujuannya untuk mempermudah akses methadone di kalangan penyalahguna narkoba suntik (injecting drug users/IDU) yang jadi warga binaan LP Kerobokan. Dengan begitu, LP Kerobokan menjadi LP pertama Indonesia yang melaksanakan program methadone secara efektif.

Keberadaan satelit methadone di LP Kerobokan, sebenarnya telah diluncurkan secara resmi oleh Dirjen Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM pada 10 Desember 2004 lalu. Namun, penerapannya baru dilaksanakan efektif pada Agustus 2005 lalu. Hal itu karena belum ada kepastian pasokan methadone. “Sekarang kita (LP) dipastikan dapat 157 ribu cc methadone sampai Desember 2006. Dananya dari Global Fund,” kata Anak Agung Gde Hartawan, Ketua Pokja Lapas, pokja yang khusus melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dan narkoba di LP Kerobokan.

Sejak dibuka, program methadone di LP Kerobokan menurut Hartawan yang juga dokter di klinik LP, direspon positif warga binaanya. Jumlah klien program ini telah mencapai 16 orang. Empat belas orang diantaranya mengikuti program di LP sejak dosis awal. Sedangkan 2 orang hanya melanjutkan program yang diikutinya di PRM Sandat RS Sanglah. Untuk mengikuti program, warga binaan LP memang cukup dipermudah. Mereka tak dikenai biaya apapun, alias gratis. Sedangkan klien methadone di PRM Sandat RS Sanglah dikenai biaya Rp 5.000 sekali minum.
Menurut Koordinator PRM Sandat RS Sanglah, Nyoman Hanati, biaya itu dikenakan untuk mengganti operasional program-program dukungan dalam upaya membantu proses pemulihan klien.

Prosedur yang harus dilalui calon klien methadone LP, tak jauh beda dengan klien methadone di Sanglah. Standar prosedur operasional (SOP) yang digunakan, sama dengan yang diterapkan PRM Sanglah tapi dengan sedikit modifikasi Pokja Lapas. Misalnya, umur lebih dari 20 tahun, berkelakuan baik, dan diutamakan bagi mereka yang sudah sering keluar masuk rehab. Ini bertujuan untuk memastikan klien methadone benar-benar orang yang membutuhkannya, apalagi mengingat jumlah methadone yang disediakan pemerintah sangat terbatas.

Khusus untuk methadone di LP Kerobokan, diberikan beberapa syarat tambahan. Selain sudah pernah keluar masuk LP, juga diutamakan bagi warga binaan yang sisa masa hukumannya lebih dari satu tahun sejak ikut program. Hal tersebut untuk menghindari terjadinya keterputusan program. Namun demikian, syarat yang satu ini dikecualikan bagi warga binaan dengan sisa masa hukuman kurang dari setahun yang memiliki wali keluarga. Wali itulah yang nantinya akan bertugas menjamin kelanjutan program methadone napi di PRM Sanglah saat ia sudah bebas. Satu lagi syarat tambahannya, klien harus bersedia rambutnya dipangkas. “Cuma biar mereka merasa jadi orang baru sepenuhnya,” tutur Hartawan.

Selain mengisi identitas diri, termasuk riwayat kesehatan, calon klien juga diwajibkan menandatangani surat pernyataan setuju mengikuti program dengan berbagai efek sampingnya. “Sebelumnya kita jelaskan dulu apa saja efek sampingnya. Jadi mereka benar-benar paham. Kalau mereka terima, ya tanda tangan,” jelas Putu Asih Primatanti, dokter lapas yang bertugas melayani program methadone di LP.


***

Putus dari heroin, memang bukan hal mudah. Hal itu bahkan masih dirasakan Mul hingga sekarang, meski masa programnya sudah menginjak bulan ketiga. “Saya mencret terus tiap pagi, dok. Kalau tidur juga gelisah,” keluh Mul kepada Asih. Bahkan beberapa poin yang ditanyakan Asih langsung diiyakannya. Mulai dari keluhan masih suka menguap, cemas, mata berair, pilek, gemetar, tulang otot sakit, dan sebagainya. “Kamu benar-benar sudah nggak pake (heroin)?” tanya Asih. Maklum, menurutnya ada beberapa klien yang masih membandel dan masih tetap menggunakan heroin, meski dengan porsi yang lebih sedikit. Padahal, penggunaan methadone yang masih disambi dengan heroin justru akan menghambat program.

Yang jelas, jangan coba-coba berbohong dalam menjalani program. Tercatat, satu orang klien telah dikeluarkan karena terbukti seringkali berbohong. “Kalaupun mereka sempat make (heroin), mereka harus jujur. Kalau make tapi bilang nggak make, itu yang masalah karena dosing (penyesuaian dosis) kami bisa salah,”Asih menjelaskan. Setahun dua kali juga akan dilakukan tes urine bagi klien.

Pada tahap awal program, pemberian dosis memang masih harus disesuaikan dengan kondisi badan klien. Dosis induksi, begitu biasa diistilahkan, diberikan hingga klien benar-benar nyaman dengan satu dosis tertentu. Karena Mul masih tidak merasakan kenyamanan dengan 65 miligram (mg), dosisnya pun dinaikkan menjadi 70 mg. “Menaikkan dosis induksinya harus sedikit demi sedikit. Kalau klien sudah tidak merasakan keluhan, berarti dosisnya sudah stabil,” tutur ibu tiga anak ini. Proses penurunan dosis juga tak boleh asal-asalan. Paling tidak, klien harus sudah menjalani dosis stabilnya minimal enam bulan. Ini untuk menghindari risiko gagal karena program yang terburu-buru.

Sayangnya, Pokja Lapas belum memiliki program-program dukungan untuk program methadone. Menurut Hartawan, program-program tersebut sedang dirintis. Namun Hartawan secara tegas menyatakan bahwa keberadaan satelit methadone di LP Kerobokan bukan sekadar sebagai pendistribusi methadone. Lebih dari itu, tujuan utama program adalah perubahan perilaku di kalangan IDU di LP.

Pokja Lapas hingga saat ini belum membuat evaluasi menyeluruh atas programnya. Namun setelah hampir 3 bulan berjalan, ada perilaku yang cukup berubah dari diri klien. “Setelah minum, terasa sekali perubahannya. Mereka tenang di bloknya, sudah bisa merawat diri, perhatikan temannya. Mereka mulai berkarya,” ungkap Hartawan. Maklum, kecanduan pada heroin membuat IDU harus selalu memutar otak untuk mencari sumber uang dalam jumlah besar. Wajar bila tipu menipu dan keributan karena utang piutang kerap terjadi. Namun yang terpenting, program ini dapat mengurangi resiko penularan HIV/AIDS di kalangan mereka, karena kebiasaan berbagi jarum suntik. [Komang Erviani / Dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUl Edisi 10, November 2005]

Tidak ada komentar: