Google
 

Kamis, 17 Agustus 2006

Jurus Happy Jalur Indie

Jalur indie menjadi pilihan sejumlah pemusik muda Bali untuk berkreasi. Ada yang berharap dilirik major label, ada pula yang komit untuk bertahan di jalur ini untuk alasan kebebasan.

Enam anak muda berkaos hitam seragam, terlihat senang awal Agustus 2006 lalu. Sebuah kaset dengan cover warna ungu, dengan bangga mereka perlihatkan ke hadapan sejumlah wartawan. Telebang Manah, begitu judul album perdana yang diluncurkan keenam anak muda yang tergabung dalam grup band Namaste itu.

Rampungnya album perdana Namaste menjadi kebanggaan tersendiri bagi para personilnya, Gus Juli (vokal), Dewa Gama (gitar), Gede Donking (drum, vokal latar), Gus Eka (gitar, vokal latar), Komang Wedan (keyboard), dan Kadek Abing (bass). Pasalnya, tidak sebentar mereka menunggu untuk bisa tampil meramaikan blantika musik Bali. Penolakan demi penolakan sempat mereka terima dari sejumlah produser musik. “Mereka sih bilang bagus. Cuma mereka bilang kalau pangsa pasar sedang tidak bagus,” begitu Dewa Gama yang sehari-hari bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Pemerintah Kabupaten Badung. Berangkat dari penolakan penolakan itu, keenamnya akhirnya sepakat untuk berjalan di jalur indi. Album perdana dibiayai dari dana patungan.


Pertemuan keenam anak muda yang menetap di Kabupaten Gianyar ini, memang tanpa sengaja. Perkenalan-perkenalan dilakukan sata sama-sama tampil di sejumlah ajang musik. Dari sanalah, kelompok mereka terbentuk dengan nama Buble Gum di tahun 2004. Tetapi, formasinya berbeda. Posisi pemegang drum masih dipegang Alit, sementara bass dipegang Dewa Sempol. Baru di pertengahan 2005, terbentuk formasi baru yang kemudian mereka beri nama Namaste. Namaste sendiri diambil dari bahasa sansekerta yang berarti sebut nama-Ku. “Jadi, dalam berkarya, tidak lupa sebut nama tuhan,” tegas Suarya, sang manajer.

Sebelum memproduksi albumnya, Namaste terlebih dahulu membawakan lagu lagu mereka melalui Radio Suara Gunung Sari FM, radio di wilayah kabupaten Karangasem. Semacam tes pasar sebelum cetak perdana. “Ternyata tanggapannya positif. Responnya bahkan sampai ke lombok. Ada penerlpon dari lombok, harapkan kita main di sana, berharap kaset bisa sampai di sana,” cerita Dewa Gama bangga.

Dari respon pasar yang sangat positif itulah, Namaste nekat memproduksi sendiri albumnya. “Modal nekat aja,” tambah Gama. Biaya yang dikeluarkan memang tak sedikit, mencapai puluhan juta rupiah. Namun Gama tak mau menyebut secara rinci, total biaya yang dikeluarkan untuk rekaman dan biaya produksi 2.000 keping kaset.

Ke depan, Namaste berharap album mereka bisa disukai semua orang. Ditanya target, Dewa Gama menjawab singkat, “Ingin album laris.” Meski demikian, pihaknya mengaku siap rugi di album perdananya. Yang ingin dicapai dari album menyampaikan kritik moral tentang kondisi yang serba sulit sekarang ini, adalah sekadar dikenal masyarakat. “Dengan karya, kita ingin dikenal. Kita tidak ingin berpikir terlalu jauh dulu,” tegasnya.

Sebagai grup musik yang berada di jalur indi, Namaste sudah cukup banyak makan asam garam. Sudah ratusan panggung dijajal. Namun mereka mengakui banyak menghadapi panggung-panggung gratis. Sekadar dibayar dengan makan, sudah cukup. Undangan main di bazar-bazaar, ulang tahun, pernikahan, dan lainnya, kerap mewarnai hari-hari Namaste, “Di sana kita cari pengalaman. Di sana kita mendewasakan diri dalam bermusik,” jelas Dewa Gama. Dalam bermusik, Namaste memang kerap mengikuti acara-acara tanpa budget. Meski begitu, Namaste tetap bangga, bisa menyalurkan hobi musik mereka. Satu momen yang paling dibanggakan, ketika pertengahan Juli lalu mereka tampil sebagai band pembuka dalam konser dua jagoan yang mempertemukan band Bintyang dan Superman Is Dead (SID), dua grup band yang cukup tenar. Meski tanpa bayaran, namun Namaste mengaku bangga karena bisa berpromosi. “Dengan album ini, kita harap bisa lebih profesional,” tambahnya.

Perlakuan para even organizer kepada mereka, diakui berbeda dibandingkan dengan grup-grup yang sudah punya nama. Tetapi Namaste tak pernah merasa diperlakukan sebagai anak bawang. “Perlakuannya jelas beda ya. Cuma kita tidak pusingkan itu. kita tidak mau itu jadi mengecilkan arti kita,” tandas Dewa Gama. Grup musik yang mengaku tak punya aliran musik khusus ini, mengaku berupaya sedapat mungkin menyampaikan yang terbaik bagi masyarakat. “Kelebihan kita, segmen seluruh pasar tercover. Jadi Kalau dikatakan sebuah diskusi, kami adalah kesimpulannya, ujar Suarya berpromosi. Namaste berharap, suatu saat ada produser yang melirik mereka. Tetapi meski seandainya tak berhasil, mereka sepakat untuk terus bermusik.

Tak cuma Namaste yang memilih bermusik di jalur indi. Di Bali, dalam dua tahun terakhir sudah ada lebih dari 500 album indi yang dirilis dalam dua tahun terakhir. Ada yang sukses, ada juga yang terpaksa gigit jari karena hanya segelintir kasetnya laku di pasar.

63 KG adalah satu diantara sedikit yang sukses. Grup yang namanya iambil dari berat badan rata-rata ersonilnya ini, tergolong sukses dengan album erdananya berjudul No Darker Than Black October. Album yang dirilis pertengahan 2005 itu, laris manis di pasaran. Seribu keping CD yang berisi sembilan lagu karya mereka sendiri itu, ludes.

Berbeda dengan Namaste, para personilnya, Bogie(drum), Bayu (vokal), Doddy (bass), dan Otto (gitar), justru tak pernah berpikir untuk mencari major label. Grup musik yang belakangan berubah formasi dengan kehadiran Iyek (gitar) menggantikan Otto, justru sejak awal memutuskan berjalan di jalur indi.” Pembiayaan pembuatan album diambil dari dana patungan. Di album pertamanya, ongkos yang dikeluarkan pun lumayan, mencapai sekitar Rp 15 juta. Beruntung, mereka mengaku masih meraup untung dari album coba-cobanya itu.

Menurut Bayu, sang vokalis sekaligus pencipta lagu-lagu 63 KG, tak ada yang salah dengan indi atau major label. Apapun jalurnya, itu adalah option yang sama. Dengan catatan, label tidak mempengaruhi proses berkarya. “Sementara ini kita masih nyaman di Indi. Nyaman dari bentuk musik, bahasa,” tegasnya. Bogie, penggebuk drum, bahkan mengaku sempat ditawari kerjasama oleh sebuah major label. Namun 63 KG belum berencana berpindah dari jalur indi.”Kita sendiri menganggap indi adalah freedom, merdeka. Ini yang ingin kita rasakan dulu. Semasih bisa sendiri, sendiri dulu,” Bayu menjelaskan.

Semua personil 63 KG, memang hidup dari bermusik. Namun mereka tak sepenuhnya bergantung pada 63 KG. Semua personil 63 KG merupakan “pengamen” di kafe-kafe yang betebaran di Bali. “63 KG adalah proyek kreativitas. Proyek bersama dari satu ide. Ada satu visi, satu persepsi. Satu kesukaan,” begitu Bayu. Memilih jalur Indi, diakui tak mudah. “Ya, kita capek-capek sendiri. Perjalanan lebih lambat. Ngerjain apa-apa sendiri. Manajemen juga kita kerjain sendiri. Masalah finansial juga. Dari teman yang benar-benar support,” tambah Bayu. Meski berat, namun 63 KG berupaya untuk tetap bertahan di jalur indie. “Ingin ngerasain kebebasan dulu sekarang,” seloroh Bogie.

Dalam berkarya, 63 KG memang terlihat cukup pilih-pilih. Tak semua tawaran konser diterima. Tak heran bila dalam sebulan, belum tentu 63 KG manggung di suatu even. “Tahun kemarin banyak. Sekarang kita agak membatasi,” jelas Agung Krisna, sang manager. Dikatakan, pihaknya sekarang mencoba untuk bersikap professional. Termasuk dalam urusan honor. “Kita sih nggak matok harga tinggi. Cuma ngasi batasan minimal saja,” jelas Agung tanpa mau menyebut nominal.

Untuk bisa sukses di pasar, 63 KG mencoba untuk menawarkan sesuatu yang lain kepada peminat musik. Dari sembilan lagu yang ditampilkan di album pertama, hanya satu lagu berbahasa Indonesia. Selebihnya berbahasa Inggris. Bahkan lagu andalan mereka, Your Are Beautiful, yang bercerita soal kecantikan wanita, sukses masuk ke MTV Asia.

Pemilihan lagu bahasa inggris, menurut Bogie, disebabkan karena sudah terlalu banyak lagu berbahasa Indonesia. “Kita ingin buat pesan untuk yang lebih global. Agar semua orang tahu,” cerita Bogie, tentang album pertama yang memberi pesan kepada masyarakat untuk bangkit dari keterpurukan paska bom Bali.

Tentang aliran musik, personil 63 KG sendiri mengaku tidak punya aliran khusus. “Kritikus bilang, musik kita roots. Mengambil dari akar-akar musik itu sendiri. Jadi ada blues, country, dan lainnya,” jelas Bogie. Musik yang ditampilkan 63 KG mendapat banyak pengaruh dari British Rock dan American Volk Rock. “Artinya, kita nggak milih aliran. Setelah dengar materi lagu, ngalir aja. Orang yang menilai. Yang penting, kita coba berkarya. Yang penting pesan kita sampai,” tambahnya.

Belajar dari album pertama, 63 KG bertekad untuk tampil lebih baik di album kedua yang tengah digarap. Disadari, banyak kelemahan di album pertama, mengingat minimnya budget. “emarin kan budget kita mepet. Kita hemat. Jadi buatnya yang penting layak didengar. Jadi kita sendiri belum puas dengan album pertama. Dari komposisi musik juga, lebih kita pertegas di album sekarang,” jelas Bogie tentang rencana album baru yang akan dilaunching akhir Desember ini.

Satu obsesi yang masih dimiliki personil 63 KG, yakni agar karya mereka bisa diterima masyarakat. “Kami ingin, harapan agar musik Indonesia bergaung ke internasional, bukan cuma omong kosong,” tegas Bogie. [Komang Erviani]

Tidak ada komentar: