Google
 

Minggu, 20 Agustus 2006

Kelompok Dukungan Memperkuat ODHA

Subsidi ARV telah membantu meningkatkan kualitas hidup ratusan ODHA. Ada kekhawatiran subsidi dihapus. Kelompok Dukungan Sebaya memperkuat mereka.

Matahari belum nampak ketika tangisan Yogi dan Yoga, 8 bulan, membangunkan Nyoman Renti, 33 tahun. Bergegas ia menuju dapur, menyalakan kayu bakar, memasak air, dan menyeduh sebotol susu untuk kedua putra kembarnya. Tak lama setelah diberi susu, keduanya kembali terlelap dalam tidur. Tapi tak demikian dengan Renti. Ia harus terjaga untuk melakukan rutinitas, mengerjakan beberapa pekerjaan rumah.

Sebatang ubi jalar ukuran besar diambilnya dari keranjang kusam di pojok dapur. Dikupasnya, dipotong-potong, lantas direbus. Dalam hitungan menit, menu sarapan paginya pun sudah siap. Tak lupa ia menyeduh secangkir kopi untuk suaminya, Putu Sumastika, 34 tahun.

Ketika jarum jam mendekati angka tujuh, Renti dan suaminya lahap menyantap ubi rebus hasil kebun sendiri itu. Dua buah pil menyusul masuk ke mulut mereka. Pil-pil itu memang telah menjadi bagian dari keseharian Renti dan Sumastika sejak lebih dari setahun ini. Tepatnya sejak hasil tes darah menyatakan keduanya terinfeksi HIV. Setiap hari, pagi dan malam, keduanya wajib meminum obat-obatan antiretroviral (ARV) itu. “Setiap jam tujuh semengan ajak tujuh peteng, harus be minum (setiap jam tujuh pagi dan tujuh malam, harus minum),” jelas Renti

HIV (Human Immunodeficiency Syndrome) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, penyebab AIDS (Aquired Immuno Deficiency Syndrome). Diserangnya sistem kekebalan tubuh, membuat pengidapnya sangat rentan terserang penyakit. Obat ARV berfungsi menghambat kerja-kerja enzim yang membantu perkembangbiakan virus dalam tubuh, sehingga perkembangannya dapat ditekan. Obat ARV tidak membunuh virus HIV, sehingga pemakaian obat tak bisa dihentikan. Jangankan putus obat, terlambat minum obat saja akan dapat berakibat fatal bagi pengidap HIV. Pasalnya, putus obat atau keterlambatan minum obat dapat membuat virus kebal terhadap obat tersebut dan justru makin kuat menggerogoti tubuh yang ditempatinya. Dengan kata lain, ARV harus dikonsumsi seumur hidup.

Renti dan suaminya menyadari betul bahaya yang mungkin timbul bila mereka terlambat minum obat. Karenanya, keduanya selalu berupaya disiplin. “Sing taen terlambat. Terlambat paling lebih nang limang menit. Yen lambat atau suud minum obat, sekali gen sing minum obat, sing ada artine be minum obate to. Makane yang kan harus rutin, karena nu dot hidup. (Nggak pernah terlambat. Terlambat paling hanya lima menit. Kalau terlambat atau putus minum obat, sekali saja nggak minum obat, obat itu nggak ada artinya. Makanya saya harus rutin minum. Karena masih ingin hidup),” ujar Renti polos.

Yang pasti, Renti tak mau lagi mengalami sakit seperti dua tahun lalu. Diare hebat terus menerus membuat perempuan yang tertular HIV dari suaminya itu, hanya bisa tertidur lemas selama hampir setahun lamanya. Cairan tubuh yang terus terkuras, ditambah selera makan yang tiba-tiba menghilang, menggerogoti badannya. Segala bentuk pengobatan dicoba. Mulai pengobatan medis, sampai pengobatan tradisional oleh balian (orang pintar) dekat rumah. Namun semuanya gagal, sampai akhirnya hasil tes menyatakan Renti positif terunfeksi HIV. “Kaden nak be kar sing seger (Saya kira sudah tidak akan sembuh),” kenang ibu tiga anak itu.

Berkat obat ARV, Renti kini bisa menjalani hari-hari layaknya ibu rumah tangga lain di lingkungannya, Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Mulai dari mengasuh ketiga anaknya, melakukan pekerjaan rumah, memberi makan sapi, mencari kayu bakar, bahkan mencari rumput pakan sapi ke perbukitan yang berjarak sekitar satu kilometer dengan berjalan kaki. “Sekat minum obate to be agak ngeluungan (sejak munim obat itu, agak lebih baik),” ujarnya dengan senyum.

Renti mengaku beruntung, ia tak perlu mengeluarkan sepeser uang pun untuk mendapat obat ARV. Setiap bulan, dua botol besar pil diterima Renti dan suaminya dari staf Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), yayasan penanggulangan HIV/AIDS.

Sejak tahun 2004, pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan telah memberikan jatah ARV generik gratis bagi 25 rumah sakit di seluruh Indonesia. Di Bali, bantuan disalurkan melalui Rumah Sakit (RS) Sanglah. Oleh Sanglah, obat tersebut juga didistribusikan ke sejumlah rumah sakit. Jadi, selain di RS Sanglah, ARV generik gratis juga bisa diakses di RS Kapal, RSU Singaraja, dan RSU Wangaya.

Selain Renti, masih ada ratusan orang dengan HIV/AIDS (Odha) lainnya yang bisa kembali menjalani kehidupan berkat obat ARV gratis. Catatan Dinas Kesehatan Provinsi Bali, hingga Mei 2006, ada 216 orang dengan HIV/AIDS (Odha) di Bali telah memanfaatkan ARV gratis. Dari jumlah itu, hingga kini hanya ada 142 ODHA yang masih aktif menjalani terapi ARV (Antiretroviral Therapy/ART). Selebihnya sudah meninggal dunia (32 orang), stop minum obat (3 orang), lolos dari follow up (26 orang), dan dirujuk keluar (13 orang).

Subsidi penuh terhadap obat ARV, tentu saja sangat membantu Odha seperti Renti dan suaminya. Renti tak terbayang kalau subsidi itu tiba-tiba dihapus oleh pemerintah. Maklum, kondisi ekonomi Renti pas-pasan. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Renti kesulitan. Untuk kebutuhan nutrisi anak-anaknya, ia kini bergantung pada bantuan dari Bali Community Cares, sebuah komunitas yang peduli terhadap kesejahteraan dan pendidikan. Setiap bulan ia menerima 15 kg beras, puluhan kaleng susu, dan 2 kg telur.

Ketua Pokja Care Support and Treatment (CST) Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Tuti Parwati, mengakui belum ada kepastian apakah subsidi ARV akan diberikan pemerintah selama-lamanya. Namun bila subsidi itu sampai dicabut, penemu kasus HIV/AIDS pertama di Bali itu memastikan akan terjadi langkah mundur dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

Subsidi ARV telah membantu ratusan Odha menerima akses pengobatan yang layak. Pasalnya, sebagian besar Odha berada dalam kondisi ekonomi pas-pasan. “Odha yang mampu, bisa dihitung dengan jari,” ujar perempuan asal Klungkung itu. Tuti masih ingat ketika tak ada subsidi ARV untuk Odha. Meski ARV sudah masuk ke Indonesia sejak tahun 2000, namun tak ada satu Odha pun yang saat itu berkesempatan minum obat jenis Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) itu. Penanganan Odha dilakukan seadanya. Bahkan obat untuk infeksi oportunistik pun (IO)--kondisi di mana gejala-gejala penyakit sudah tampak--, Odha masih harus membeli. “Jadi cuma satu dua orang saja yang bisa beli obat. Itu pun terbatas. Kadang kalau mereka sudah sakit beberapa kali, sudah nggak bisa beli obat,” kenangnya. Ketika itu, Tuti seolah menjadi terbiasa melihat kematian Odha. Odha umumnya hanya bertahan selama rata-rata 6 bulan sejak gejala penyakit mulai terlihat.

Baru pada Juli 2003, KPA Bali mencoba melakukan terobosan dengan membiayai terapi ARV. Dengan dana APBD Bali, obat ARV dibeli dari Kelompok Studi Khusus (Poldiksus) RSCM Jakarta sebagai satu-satunya lembaga penyedia ARV dalam negeri pada saat itu. Namun karena keterbatasan dana, hanya lima Odha yang bisa dibantu. Beruntung, komitmen lantas muncul dari pemerintah pusat dengan menyubsidi penuh pengobatan ARV bagi Odha.

Dikatakan Tuti, subsidi ARV merupakan langkah penting dalam program penanggulangan AIDS di Indonesia. Tanpa subsidi, Tuti upaya peningkatan kualitas hidup Odha bisa berjalan efektif. Itu tak lepas dari kondisi ekonomis sebagian besar Odha yang cenderung minim. Bila subsidi dicabut, Odha harus menyediakan dana minimal Rp 300 ribu per bulan per orang. Itu belum termasuk dana untuk pemeriksaan CD4 (sel pembentuk kekebalan tubuh) yang harus rutin dilakukan setiap 6 bulan. Di awal terapi, Odha juga akan dibebankan biaya pemerisaan fungsi hati dan foto torax yang bisa menghabiskan lebih dari Rp 250 ribu per orang. Selama ini, biaya untuk semua tes tersebut telah dibantu dengan dana dari Global Fund. ”Kalau subsid-subsidi itu dihapus, ya... akan balik seperti dulu lagi,” ujarnya.

“Yen meli be sing ngidaang. Lamen orahina meli, baang be mati. Pasrah be (Kalau beli sudah nggak mampu. Kalau disuruh beli, biar lah saya mati. Saya pasrah,” ujar Renti sambil tertawa.

Perasaan was-was dengan dihapuskannya subsidi ARV, juga dirasakan Suparja. Namun ODHA yang telah mengonsumsi ARV sejak beberapa tahun lalu itu, tak kehilangan akal. Akhir Agustus lalu, Suparja mencetuskan dibentuknya kelompok dukungan sebaya bagi ODHA dampingan Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), yayasan penanggulangan HIV/AIDS. Menurut mantan supir truk Jawa – Bali itu, ada banyak alasan yang membuat keberadaan kelompok dukungan sebaya sangat penting. “Semua ini berangkat dari pemikiran, bagaimana bila suatu saat obat ARV (antiretroviral) sudah tidak disubsidi pemerintah. Apa yang harus kami lakukan. Padahal latar belakang ekonomi Odha umumnya rendah. Untuk makan saja kurang,” cerita pria asal Gerokgak Buleleng itu.

Kelompok dukungan yang diberi nama Tali Kasih itu, juga dirasa penting karena rendahnya pemahaman ODHA terhadap ARV, obat yang berfungsi menekan perkembangbiakan virus di dalam tubuh. Karena fungsinya hanya menekan perkembangbiakan virus, bukan membunuh virus, maka konsumsi ARV tak boleh dihentikan. “Banyak yang tidak tahu kalau tubuh mereka akan resisten kalau obat dihentikan. Ini fatal akibatnya,” jelas Suparja.

Tak cuma itu, banyak juga ODHA yang belum produktif memanfaatkan layanan medis, karena minimnya akses informasi. Masih menurut Suparja, banyak ODHA yang tidak tahu, ke mana harus berobat. Pentingnya membuka status kepada layanan medis, juga belum disadari. Padahal keputusan membuka status menjadi penting untuk mendapatkan pengobatan yang tepat. “Kalau tidak buka status ke pelayanan medis, mustahil bida dapat pelayanan yang tepat,” tambah pria paruh baya itu.

Rendahnya komitmen ODHA dalam kegiatan-kegiatan penanggulangan HIV/AIDS, menjadi dasar pertimbangan lain pembentukan KDS. Bagi Suparja, komitmen tersebut penting untuk menekan jumlah kasus HIV/AIDS. “Semakin banyak orang terinfeksi HIV, semakin banyak Odha yang harus diberi subsidi ARV. Kalau terlalu banyak, bisa-bisa subsidi dihapus. Kalau sudah tidak disubsidi, kita harus beli sendiri. Ini sulit,” tegasnya mengingatkan.

Tali Kasih diharapkan menjadi wadah jaringan semua Odha yang kuat dan mandiri. Tali Kasih diharapkan dapat menjadi penampung masalah-masalah Odha dan dapat memecahkan masalah itu demi peningkatan layanan kesehatan dan penerimaan lingkungan. Tali Kasih juga diharapkan menjadi elemen aktif dalam penanggulangan HIV/AIDS, serta mengakomodasi kebutuhan Odha.

Direktur Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), Efo Suarmiartha, mengaku senang dengan inisiatif pembentukan Tali Kasih. Pasalnya, peran YCUI hanya sebagai fasilitator bagi ODHA. Dengan adanya Tali Kasih, ODHA diharapkan mampu secara bersama-sama mengatasi kebutuhannya sendiri.

Pembentukan Tali Kasih juga mendapat dukungan dari sejumlah kalangan medis dan pemerintahan di Kabupaten Buleleng. Direktur RS Singaraja, Mardana, menjelaskan, di Buleleng tercatat ada 377 orang yang telah dinyatakan positif terinfeksi HIV. “Kalau semua bisa membuka diri dan berkelompok di sini, akan sangat bagus,” ujarnya.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Buleleng, Pustaka, juga menyambut baik pembentukan KDS Tali Kasih. “Kawan-kawan di sini adalah pionir yang mau menunjukkan diri. Saya harap, setelah ini makin banyak Odha lain yang ikut serta,” tandas Pustaka. Agar ODHA bisa berupaya memenuhi kebutuhannya sendiri, dan perkembangan HIV/AIDS tak makin meluas. [Komang Erviani]

Kamis, 17 Agustus 2006

Jurus Happy Jalur Indie

Jalur indie menjadi pilihan sejumlah pemusik muda Bali untuk berkreasi. Ada yang berharap dilirik major label, ada pula yang komit untuk bertahan di jalur ini untuk alasan kebebasan.

Enam anak muda berkaos hitam seragam, terlihat senang awal Agustus 2006 lalu. Sebuah kaset dengan cover warna ungu, dengan bangga mereka perlihatkan ke hadapan sejumlah wartawan. Telebang Manah, begitu judul album perdana yang diluncurkan keenam anak muda yang tergabung dalam grup band Namaste itu.

Rampungnya album perdana Namaste menjadi kebanggaan tersendiri bagi para personilnya, Gus Juli (vokal), Dewa Gama (gitar), Gede Donking (drum, vokal latar), Gus Eka (gitar, vokal latar), Komang Wedan (keyboard), dan Kadek Abing (bass). Pasalnya, tidak sebentar mereka menunggu untuk bisa tampil meramaikan blantika musik Bali. Penolakan demi penolakan sempat mereka terima dari sejumlah produser musik. “Mereka sih bilang bagus. Cuma mereka bilang kalau pangsa pasar sedang tidak bagus,” begitu Dewa Gama yang sehari-hari bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Pemerintah Kabupaten Badung. Berangkat dari penolakan penolakan itu, keenamnya akhirnya sepakat untuk berjalan di jalur indi. Album perdana dibiayai dari dana patungan.


Pertemuan keenam anak muda yang menetap di Kabupaten Gianyar ini, memang tanpa sengaja. Perkenalan-perkenalan dilakukan sata sama-sama tampil di sejumlah ajang musik. Dari sanalah, kelompok mereka terbentuk dengan nama Buble Gum di tahun 2004. Tetapi, formasinya berbeda. Posisi pemegang drum masih dipegang Alit, sementara bass dipegang Dewa Sempol. Baru di pertengahan 2005, terbentuk formasi baru yang kemudian mereka beri nama Namaste. Namaste sendiri diambil dari bahasa sansekerta yang berarti sebut nama-Ku. “Jadi, dalam berkarya, tidak lupa sebut nama tuhan,” tegas Suarya, sang manajer.

Sebelum memproduksi albumnya, Namaste terlebih dahulu membawakan lagu lagu mereka melalui Radio Suara Gunung Sari FM, radio di wilayah kabupaten Karangasem. Semacam tes pasar sebelum cetak perdana. “Ternyata tanggapannya positif. Responnya bahkan sampai ke lombok. Ada penerlpon dari lombok, harapkan kita main di sana, berharap kaset bisa sampai di sana,” cerita Dewa Gama bangga.

Dari respon pasar yang sangat positif itulah, Namaste nekat memproduksi sendiri albumnya. “Modal nekat aja,” tambah Gama. Biaya yang dikeluarkan memang tak sedikit, mencapai puluhan juta rupiah. Namun Gama tak mau menyebut secara rinci, total biaya yang dikeluarkan untuk rekaman dan biaya produksi 2.000 keping kaset.

Ke depan, Namaste berharap album mereka bisa disukai semua orang. Ditanya target, Dewa Gama menjawab singkat, “Ingin album laris.” Meski demikian, pihaknya mengaku siap rugi di album perdananya. Yang ingin dicapai dari album menyampaikan kritik moral tentang kondisi yang serba sulit sekarang ini, adalah sekadar dikenal masyarakat. “Dengan karya, kita ingin dikenal. Kita tidak ingin berpikir terlalu jauh dulu,” tegasnya.

Sebagai grup musik yang berada di jalur indi, Namaste sudah cukup banyak makan asam garam. Sudah ratusan panggung dijajal. Namun mereka mengakui banyak menghadapi panggung-panggung gratis. Sekadar dibayar dengan makan, sudah cukup. Undangan main di bazar-bazaar, ulang tahun, pernikahan, dan lainnya, kerap mewarnai hari-hari Namaste, “Di sana kita cari pengalaman. Di sana kita mendewasakan diri dalam bermusik,” jelas Dewa Gama. Dalam bermusik, Namaste memang kerap mengikuti acara-acara tanpa budget. Meski begitu, Namaste tetap bangga, bisa menyalurkan hobi musik mereka. Satu momen yang paling dibanggakan, ketika pertengahan Juli lalu mereka tampil sebagai band pembuka dalam konser dua jagoan yang mempertemukan band Bintyang dan Superman Is Dead (SID), dua grup band yang cukup tenar. Meski tanpa bayaran, namun Namaste mengaku bangga karena bisa berpromosi. “Dengan album ini, kita harap bisa lebih profesional,” tambahnya.

Perlakuan para even organizer kepada mereka, diakui berbeda dibandingkan dengan grup-grup yang sudah punya nama. Tetapi Namaste tak pernah merasa diperlakukan sebagai anak bawang. “Perlakuannya jelas beda ya. Cuma kita tidak pusingkan itu. kita tidak mau itu jadi mengecilkan arti kita,” tandas Dewa Gama. Grup musik yang mengaku tak punya aliran musik khusus ini, mengaku berupaya sedapat mungkin menyampaikan yang terbaik bagi masyarakat. “Kelebihan kita, segmen seluruh pasar tercover. Jadi Kalau dikatakan sebuah diskusi, kami adalah kesimpulannya, ujar Suarya berpromosi. Namaste berharap, suatu saat ada produser yang melirik mereka. Tetapi meski seandainya tak berhasil, mereka sepakat untuk terus bermusik.

Tak cuma Namaste yang memilih bermusik di jalur indi. Di Bali, dalam dua tahun terakhir sudah ada lebih dari 500 album indi yang dirilis dalam dua tahun terakhir. Ada yang sukses, ada juga yang terpaksa gigit jari karena hanya segelintir kasetnya laku di pasar.

63 KG adalah satu diantara sedikit yang sukses. Grup yang namanya iambil dari berat badan rata-rata ersonilnya ini, tergolong sukses dengan album erdananya berjudul No Darker Than Black October. Album yang dirilis pertengahan 2005 itu, laris manis di pasaran. Seribu keping CD yang berisi sembilan lagu karya mereka sendiri itu, ludes.

Berbeda dengan Namaste, para personilnya, Bogie(drum), Bayu (vokal), Doddy (bass), dan Otto (gitar), justru tak pernah berpikir untuk mencari major label. Grup musik yang belakangan berubah formasi dengan kehadiran Iyek (gitar) menggantikan Otto, justru sejak awal memutuskan berjalan di jalur indi.” Pembiayaan pembuatan album diambil dari dana patungan. Di album pertamanya, ongkos yang dikeluarkan pun lumayan, mencapai sekitar Rp 15 juta. Beruntung, mereka mengaku masih meraup untung dari album coba-cobanya itu.

Menurut Bayu, sang vokalis sekaligus pencipta lagu-lagu 63 KG, tak ada yang salah dengan indi atau major label. Apapun jalurnya, itu adalah option yang sama. Dengan catatan, label tidak mempengaruhi proses berkarya. “Sementara ini kita masih nyaman di Indi. Nyaman dari bentuk musik, bahasa,” tegasnya. Bogie, penggebuk drum, bahkan mengaku sempat ditawari kerjasama oleh sebuah major label. Namun 63 KG belum berencana berpindah dari jalur indi.”Kita sendiri menganggap indi adalah freedom, merdeka. Ini yang ingin kita rasakan dulu. Semasih bisa sendiri, sendiri dulu,” Bayu menjelaskan.

Semua personil 63 KG, memang hidup dari bermusik. Namun mereka tak sepenuhnya bergantung pada 63 KG. Semua personil 63 KG merupakan “pengamen” di kafe-kafe yang betebaran di Bali. “63 KG adalah proyek kreativitas. Proyek bersama dari satu ide. Ada satu visi, satu persepsi. Satu kesukaan,” begitu Bayu. Memilih jalur Indi, diakui tak mudah. “Ya, kita capek-capek sendiri. Perjalanan lebih lambat. Ngerjain apa-apa sendiri. Manajemen juga kita kerjain sendiri. Masalah finansial juga. Dari teman yang benar-benar support,” tambah Bayu. Meski berat, namun 63 KG berupaya untuk tetap bertahan di jalur indie. “Ingin ngerasain kebebasan dulu sekarang,” seloroh Bogie.

Dalam berkarya, 63 KG memang terlihat cukup pilih-pilih. Tak semua tawaran konser diterima. Tak heran bila dalam sebulan, belum tentu 63 KG manggung di suatu even. “Tahun kemarin banyak. Sekarang kita agak membatasi,” jelas Agung Krisna, sang manager. Dikatakan, pihaknya sekarang mencoba untuk bersikap professional. Termasuk dalam urusan honor. “Kita sih nggak matok harga tinggi. Cuma ngasi batasan minimal saja,” jelas Agung tanpa mau menyebut nominal.

Untuk bisa sukses di pasar, 63 KG mencoba untuk menawarkan sesuatu yang lain kepada peminat musik. Dari sembilan lagu yang ditampilkan di album pertama, hanya satu lagu berbahasa Indonesia. Selebihnya berbahasa Inggris. Bahkan lagu andalan mereka, Your Are Beautiful, yang bercerita soal kecantikan wanita, sukses masuk ke MTV Asia.

Pemilihan lagu bahasa inggris, menurut Bogie, disebabkan karena sudah terlalu banyak lagu berbahasa Indonesia. “Kita ingin buat pesan untuk yang lebih global. Agar semua orang tahu,” cerita Bogie, tentang album pertama yang memberi pesan kepada masyarakat untuk bangkit dari keterpurukan paska bom Bali.

Tentang aliran musik, personil 63 KG sendiri mengaku tidak punya aliran khusus. “Kritikus bilang, musik kita roots. Mengambil dari akar-akar musik itu sendiri. Jadi ada blues, country, dan lainnya,” jelas Bogie. Musik yang ditampilkan 63 KG mendapat banyak pengaruh dari British Rock dan American Volk Rock. “Artinya, kita nggak milih aliran. Setelah dengar materi lagu, ngalir aja. Orang yang menilai. Yang penting, kita coba berkarya. Yang penting pesan kita sampai,” tambahnya.

Belajar dari album pertama, 63 KG bertekad untuk tampil lebih baik di album kedua yang tengah digarap. Disadari, banyak kelemahan di album pertama, mengingat minimnya budget. “emarin kan budget kita mepet. Kita hemat. Jadi buatnya yang penting layak didengar. Jadi kita sendiri belum puas dengan album pertama. Dari komposisi musik juga, lebih kita pertegas di album sekarang,” jelas Bogie tentang rencana album baru yang akan dilaunching akhir Desember ini.

Satu obsesi yang masih dimiliki personil 63 KG, yakni agar karya mereka bisa diterima masyarakat. “Kami ingin, harapan agar musik Indonesia bergaung ke internasional, bukan cuma omong kosong,” tegas Bogie. [Komang Erviani]

Rabu, 09 Agustus 2006

Menanti Aksi Para Putri

Para finalis Putri Bali berkomitmen untuk kampanye HIV/AIDS. Agar ketenaran bisa dimanfaatkan untuk memberi kesadaran.

“Serem. Belum ada obatnya dan menjadi gejala sosial di masyarakat,” begitu Cista, spontan mengungkap hal yang terlintas di benaknya tentang HIV/AIDS. Beda dengan Astri. Perempuan yang dinobatkan sebagai Putri Bali 2006 pada awal Juli lalu itu justru teringat pada film Philadelphia di mana aktor favoritnya Tom Hanks berperan sebagai gay yang terinfeksi HIV/AIDS dan didiskriminasi oleh lingkungannya.

“Lalu, bagaimana penularannya?” Danny Yatim, Media and Communication Adviser Indonesia HIV/AIDS Prevention and Care Project (IHPCP), menyambung pertanyaannya. Cista unjuk tangan. “Bisa melalui pengguna jarum suntik yang tertular virus, hubungan seks dengan orang yang terjangkit HIV, transfusi darah yang sudah terjangkit HIV,” jawabnya yakin. Danny kaget sekaligus senang. “Wah, kelihatannya saya sudah tidak perlu bicara di depan, karena semua kelihatannya sudah pintar-pintar,” sambung Danny, disambut tawa.

Astri, Cista, dan beberapa temannya sesama finalis pemilihan Putri Bali 2006, memang terlihat bersemangat dalam Pelatihan HIV/AIDS di Kuta, awal Juli lalu. Meski sebagian besar dari mereka memulai dengan pengetahuan HIV/AIDS yang sangat minim, toh respon atas pertanyaan-pertanyaan Danny, tak mengecewakan. “Tadi soal-soalnya sulit. Kayaknya banyak salah,” ujar Cista tentang pre test yang dijalani sebelum pelatihan dimulai. Ada 23 soal yang harus dijawab peserta sebelum memulai pelatihan. Semuanya seputar HIV/AIDS. Tujuannya, untuk mengetahui berapa banyak informasi HIV/AIDS yang dimiliki.

Bukan cuma Cista yang kesulitan menjawab soal-soal itu. Beberapa finalis lain juga mengaku tak yakin dengan jawaban mereka. Hasilnya bisa ditebak. Maksimal jawaban benar hanya 17 soal. Bahkan ada yang hanya mampu menjawab 3 soal dengan benar.

Soal-soal yang sulit dijawab, justru membuat penasaran. “Kenapa AIDS identik dengan kaum gay? Apakah mereka pengguna narkoba? Kan dibilang perempuan lebih rentan. Sementara mereka kan laki-laki dengan laki-laki?” tanya Astri. Memang, perempuan cenderung lebih rentan tertular HIV karena vagina dapat menampung sperma, cairan yang bisa jadi mengandung virus.

Menjawab Astri, Danny menyebut anggapan itu muncul karena kasus AIDS pertama kali ditemukan pada kalangan gay di New York dan Perancis. Diakui, hubungan seks secara anal antara laki-laki dan laki-laki cukup riskan, karena berpotensi membuat luka. Dari luka itulah, penularan bisa terjadi.

Namun Danny secara tegas membantah anggapan bahwa HIV semata muncul dari kalangan gay. Di Haiti misalnya, kasus HIV justru ditemukan di satu kampung, dan dialami pada masyarakat umum yang bukan gay. Adanya stereotip di masyarakat terhadap gay, disayangkan Danny. Toh, belakangan kasus penularan HIV di kalangan gay di Amerika telah menurun drastis. Sementara itu, terjadi lonjakan kasus HIV di kalangan masyarakat umum.

Astri mengangguk, merespon jawaban Danny. Pertanyaan demi pertanyaan terus terlontar, menghangatkan diskusi yang digelar Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali dan IHPCP itu. Menurut Media Relation Officer KPA Bali, Mercya Soesanto, kegiatan itu merupakan bagian dari program Aku Ingin Terlibat, program dengan melibatkan kalangan yang dikenal di masyarakat untuk berkampanye soal HIV/AIDS.

Melibatkan tokoh, pesohor, atau orang yang dikenal publik, menurut Danny, bukan hal baru. Tujuannya, tak lain untuk menarik minat kelompok sasaran mau datang ke acara kampanye-kampanye HIV/AIDS yang dibuat. Ada asumsi, orang mau mendengarkan apa yang dikatakan orang terkenal karena dianggap idola. Sayang, tak sedikit orang terkenal yang ikut kampanye-kampanye HIV/AIDS, justru tidak punya informasi lengkap soal HIV/AIDS. Akibatnya, pesan-pesan HIV/AIDS tidak sampai dengan benar di kelompok sasaran. Ajang kampanye seringkali justru hanya jadi ajang temu idola.

“Saya harap, teman-teman di sini bisa lebih jauh,” tegas Danny, dibalas kritikan oleh Puteri Bali 2005 I Gusti Ayu Pradnyandari. Selama ini ia mengaku seringkali dilibatkan dalam acara-acara HIV/AIDS, tetapi hanya pada saat pelaksanaan. “Saya sebenarnya ingin mengikuti sejak awal pembuatan konsep acara itu,” tegasnya, disambut anggukan oleh yang lainnya. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 19,Agustus 2006]

Klinik Keliling di Area Prostitusi

Kamar-kamar sempit di salah satu rumah di pesisir Desa Pengulon, Gerokgak, Buleleng, tiba-tiba disulap menjadi pusat layanan kesehatan, akhir Juni lalu. Satu kamar jadi tempat pemeriksaan fisik, satu kamar lainnya menjadi laboratorium. Bahkan ruang tamu dan bale bengong yang berbatasan langsung dengan pantai, juga disulap menjadi tempat registrasi dan ruang konsultasi dokter. Sebagian besar tenaga kesehatan dari Puskesmas Gerokgak II, pindah praktik.

Seorang perempuan, Rita, 36 tahun, datang bersama dua temannya. Untuk konsultasi. Ia mengaku bekerja di lokasi prostitusi ini. Ini memang bukan kali pertama Puskesmas Gerokgak II membuka layanan kesehatan di lokasi yang diperkirakan menampung sekitar 25 orang pekerja seks itu. Sudah sejak sekitar 6 bulan lalu, pemeriksaan keliling itu dilakukan rutin sebulan sekali. “Sempat dua bulan kosong, karena digerebek satpol PP,” kata IGN Anom Supradnya, Dokter Kepala Puskesmas Gerokgak II.

Inisiatif untuk melakukan pemeriksaan kesehatan keliling itu, muncul setelah Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) yang dibuka puskesmas sejak Februari 2005 ternyata tidak mendapat respon yang cukup baik. Tidak banyak pasien yang datang. Selain karena jarak yang jauh dan ketidaktahuan, diduga banyak pasien yang enggan datang karena malu. “Akhirnya kita jemput bola,” ujar Anom.

Awalnya, kegiatan serupa juga dilakukan di banyak lokasi lain di wilayah Gerokgak. Namun tanggapan positif hanya diperoleh dari warga Pengulon, sehingga hanya di lokasi itu saja kegiatan serupa dapat dilakukan secara rutin. “Saya ingin menjaga kesehatan anak-anak (pegawainya), juga kesehatan pengunjung,” ujar Wayan Sarija, 55 tahun, pemilik rumah. Secara kebetulan, kakek dua cucu ini mengaku sudah tak menampung seorang pun pekerja seks (PS) sejak 10 bulan terakhir. “Lagi sepi,” keluhnya.

Putu Sugiartha, penampung PS lainnya, juga menyambut baik layanan kesehatan keliling itu. “Kita harus ketat untuk mencari kesehatan,” kata pria yang kini menampung 3 PS itu. Tingginya mobilitas para PS, membuat penerima layanan kesehatan itu pun selalu berganti. Kepada PS baru seperti Rita, pihak puskesmas melakukan registrasi awal, dan memberikan kartu kesehatan untuk digunakan untuk pemeriksaan rutin selanjutnya. “Nggak masalah. Saya malah senang, untuk kesehatan,” tutur Rita polos.

Kepada para PS, pihak puskesmas juga memberikan beberapa bungkus kondom untuk digunakan dalam melayani tamu. Sayang, meski sudah diberi pemahaman, kondom-kondom itu seringkali tidak terpakai. “Kadang ada yang mau. Kadang ada yang nggak mau. Kalau nggak mau, ya mau gimana lagi,” ujar Rita. Tak sedikit perempuan seperti Rita yang terpaksa berhadapan dengan risiko dengan taruhan kesehatannya sendiri. Klinik keliling ini mencoba mengurangi risiko itu. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 19,Agustus 2006]