Google
 

Sabtu, 17 Februari 2007

Pejantan yang Tak Berkembang

Sejak masih kanak-kanak, Andi, sebut saja begitu, memiliki kelainan di bagian kemaluannya. Ukuran penisnya tak kunjung berkembang. Hingga usia 19 tahun, penisnya hanya berukuran panjang 2,5 cm. Andi mengalami mikropenis, keadaan di mana perkembangan penis terhambat. Tidak cuma itu. Kulitnya juga tidak berkembang. Kulitnya mulus, bersih dari pertumbuhan rambut kelamin, kumis, jenggot, atau rambut-rambut lain yang biasa menjadi tanda kedewasaan fisik laki-laki.

Kasus pertumbuhan penis yang terhambat (mikropenis,red), menurut Androlog dan Seksolog, Prof.Dr.dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd,FAACS, bukanlah hal baru. Bahkan kasus mikropenis umumnya terjadi pada anak-anak. Wimpie bahkan mengaku telah menemukan ratusan kasus mikropenis. “Sejak dulu sudah ada,” tegasnya. Meski demikian, Wimpie mengakui jumlah kasus yang ditemukannya cenderung meningkat sejak beberapa tahun terakhir. “Ada dua kemungkinan. Mungkin karena memang jumlah kasusnya lebih banyak. Mungkin juga para orang tua sekarang makin sadar mengobati anaknya,” jelas Wimpie.

Secara medis, Wimpie menyebut mikropenis disebabkan oleh karena hormon-hormon dalam tubuh yang tidak berfungsi bagus. Ketidaknormalan fungsi hormon-hormon itu, pada akhirnya menyebabkan tidak berfungsinya hormon testosteron. Kondisi ini biasa disebutnya sebagai Hypogonadism. “Hormon testosteron yang tidak berfungsi bagus inilah yang membuat perkembangan penis terhambat,” lanjut Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Udayana itu.

Tidak berfungsinya hormon spesifik pada laki-laki itu, diperkirakan karena ada cemaran bahan-bahan yang dapat menghambat fungsi hormon testosteron ke dalam tubuh anak. “Bisa jadi dari makanan, bisa dari menghirup bahan itu, bisa juga yang lain. Apapun. Pokoknya semua bahan yang masuk ke tubuh yang mengganggu hormon testosteron,” ujar Wimpie. Sayang, Wimpie enggan merinci bahan-bahan yang dimaksud. Ia hanya menyebut bahan-bahan tersebut berupa bahan yang memiliki fungsi mirip hormon estrogen (hormon spesifik pada perempuan). “Estrogen itu adalah antinya testosteron. Jadi apapun bahan yang masuk ke tubuh, dalam bentuk apapun, kalau bahan itu berfungsi seperti estrogen, akan menghambat perkembangan penis,” tandasnya.

Pertumbuhan penis yang terhambat akibat kelainan hormon, ditegaskan Wimpie, tidak dipengaruhi faktor orang tua. Menurut Wimpie, testosteron yang menipis pada orang tua saat melakukan hubungan seks, tidak menurunkan kondisi yang sama pada anak yang dihasilkan. “Semua orang dewasa pasti akan menurun fungsi testosteronnya kalau sudah tua. Bukan berarti kalau dia punya anak, terus anaknya begitu (testosteron tidak berfungsi),” tegasnya. Terganggunya fungsi hormon pada anak tidak dipengaruhi orang tua, melainkan pada pola hidup si anak.

Meski demikian, faktor orang tua dapat berpengaruh bila mikropenis yang dialami terjadi akibat kelainan genetik. Secara ilmiah, mikropenis akibat kelainan kromosom ini biasa disebut Klinefelter’s Syndrome. Namun kasus mikropenis akibat genetik yang terganggu, menurut Wimpie, jarang terjadi. Dari ratusan kasus yang ditemukan Wimpie, menurutnya hanya 2 kasus yang terjadi akibat kelainan
genetik.

Mikropenis pada dasarnya dapat disembuhkan melalui terapi hormon. Umumnya, penyembuhan bisa dilakukan dalam dua bulan, dengan kuantitas terapi dua kali seminggu. “Bisa disembuhkan, asal tidak terlambat,” tegas Wimpie. Dikatakan, terapi tidak hanya memfokuskan pada perkembangan penis saja, tetapi juga fertilitas (kesuburan) si pasien. Jadi, perkembangan testisnya juga harus menjadi perhatian. Karenanya, terapi sebaiknya dilakukan sebelum anak menginjak usia remaja. Usia paling idel untuk pengobatan, adalah di bawah 10 tahun. Kalau pasien datang setelah lewat usia remaja, biasanya penis bisa berkembang, tetapi tidak testisnya. “Pasien tertua yang pernah saya terima, umur 21 tahun. Itu sudah lewat sekali. Dengan pengobatan, penisnya masih bisa berkembang. Tapi testisnya nggak bisa,” ujar Wimpie.

Tentu saja, agar pengobatan tidak terlambat, penting bagi para orang tua memperhatikan kelainan yang mungkin terjadi pada kelamin putranya. Wimpie menyebutkan bahwa pada kondisi normal, bayi berusia sampai 6 bulan memiliki penis dengan panjang sekitar 2 cm. “Setelah itu akan terus berkembang. Pada usia 7 tahun, idealnya sudah mencapai panjang 4 cm. Kalau tidak, bisa jadi tidak normal,” tambahnya.

Kasus mikropenis tidak bisa dianggap sebagai kasus biasa yang tidak penting diatasi. Pasalnya, mikropenis dapat mempengaruhi masa depan si anak. Wimpie menyebut, bila anak mikropenis tidak diobati, si anak akan hidup tidak normal. “Bukan hanya punya mikropenis. Kualitas hidupnya nggak akan bagus. Berpengaruh ke keseluruhan hidupnya. Ototnya tidak berkembang, kulitnya tidak berkembang, tulangnya juga tidak normal,” tandas Wimpie. Hormon testosteron tidak hanya berpengaruh pada perkembangan penis, tapi pada seluruh tubuh. “Kalau tidak diobati, dia tidak akan berkembang menjadi pria remaja dewasa normal,” tegas Wimpie. Testosteron yang tidak normal dapat juga dapat berakibat pada disfungsi ereksi, gairah seks yang rendah, infertilitas (ketidaksuburan) dan sejumlah akibat lain. Mikropenis hanyalah salah satu ciri kelainan yang paling mudah dikenali sejak usia anak-anak. “Pada anak-anak, ciri-ciri tidak normalnya testosteron tidak terlalu kelihatan. Dia kan belum punya gairah seks. Yang paling kelihatan, ya mikropenis,” tandas Wimpie. [Komang Erviani]

Tidak ada komentar: