Google
 

Senin, 12 Februari 2007

Perjuangan Panjang Melepas Kecanduan

Kecanduan narkoba membuat sejumlah anak muda nyaris kehilangan masa depannya. Mereka berjuang keras untuk bisa lepas.

Rumah seluas dua are di kawasan Denpasar Barat, seperti tak berpenghuni. Cat putih yang menempel di temboknya, sudah tampak kusam. Tak terlihat perabot-perabot rumah tangga seperti biasa. Tak ada meja, kursi, bahkan almari. Hanya sebuah rak kayu yang sudah berumur, berdiri tegap di ruang keluarga. Lantai dari keramiknya basah di sana sini ketika hujan deras mengguyur Kota Denpasar, 18 Desember 2006 lalu. “Banjir semua nih. Maklum, atapnya bocor,” ujar I Gusti Ngurah Wahyunda, 26 tahun, si empunya rumah.

Wahyu, begitu ia biasa disapa, kini menjadi orang yang bertanggung jawab atas rumah milik orang tuanya itu. “Orang tuaku sudah balik ke kampung. Mereka stress ngelihat aku dulu. Katanya, urus diri kamu sendiri,” kenang Wahyu. Tak sendirian, Wahyu juga harus merawat anak laki-laki semata wayangnya yang kini berusia 10 tahun. Setiap pagi, ia harus mengantar anaknya yang kini duduk di kelas empat sekolah dasar (SD) itu ke sekolahnya.

Hidup Wahyu kini memeng jauh lebih teratur dari sebelumnya, ketika ia masih sangat tergantung dengan narkotika, psikotropika, dan obat-obatan berbahaya lainnya (narkoba). Dunia adiksi pernah seperti tak bisa dilepaskannya. Kecanduan itu pula yang menghabiskan semua perabot yang ada di rumah orang tuanya itu.

Wahyu mengenal narkoba ketika duduk di kelas dua SMA. Ketika itu, Wahyu seringkali melihat teman-teman sekolahnya menyuntikkan PT (baca: pete), nama jalanan heroin atau putauw. Selama tiga bulan pertama, Wahyu sama sekali tak tertarik untuk ikut-ikutan. “Soalnya aku takut sama jarum suntik,”cerita Wahyu. Keinginan menggunakan PT mulai muncul setelah ia melihat teman sekelasnya yang berprestasi di sekolah, tiba-tiba menjadi tak karuan. Sakauw (sakit karena putauw) membuat sang teman malas ke sekolah. “Ngelihat itu, aku jadi tertantang. Aku pikir, masa sih barang sekecil ini bisa membuat orang jadi begitu? Paling-paling karena dia lemah. Dari sana, aku coba ah,” kenang Wahyu. Keinginannya untuk mencoba makin kuat, ketika ia tahu kalau tak harus menggunakan jarum suntik untuk pakauw (pake putauw). “Katanya bisa didragon (dihirup dengan hidung,red). Jadi, aku coba aja,” begitu pria berpostur sedang itu.

Baru satu kali pakauw, Wahyu merasa sudah bisa membuktikan kalau PT tak ada apa-apanya. Ia belum merasa kecanduan atas barang yang saat itu masih didapat gratis dari teman-temannya. Sejak itu pula, ia mengenal lebih dekat beberapa jenis narkoba lain. Mulai dari pil koplo, ganja, hingga alkohol. Semuanya digunakan secara bergantian, tergantung situasi. Beberapa bulan setelahnya, Wahyu baru merasa ada yang tak beres. Sekolahnya kacau karena terlalu banyak membolos. Sampai-sampai, ia harus dua kali pindah sekolah untuk bisa lulus.

Selepas SMA, Wahyu memutuskan melanjutkan kuliah ke sebuah institut di Malang, Jawa Timur. Maksudnya, agar ia bisa menghindari narkoba di Bali. Ia memboyong serta istrinya yang dinikahi selepas SMA. Satu semester pertama di kampusnya, Wahyu sukses lepas dari narkoba. Namun setelah itu, pergaulan narkoba kembali ditemukannya. “Ternyata, di sana (Malang,red) justru lebih banyak (pergaulan narkoba,red). Mulai lah make lagi,” terangnya.

Setelah bertahun-tahun make PT, kecanduan fisik baru dirasakan Wahyu di Malang. Itu diperkirakan karena baru selama di Malang, ia mulai rutin make PT. Tak ada lagi perpaduan dengan ganja, koplo, atau yang lainnya. Awalnya, Wahyu tak menyadari sakauw (sakit karena putauw,red) pertamanya. Badannya yang terasa seperti demam dan pusing-pusing, ia pikir hanya sakit biasa. Beberapa obat demam dari warung sempat dicoba. Tapi oleh seorang teman, ia ditawari untuk make PT. Katanya, pakauw merupakan obat paling ampuh. “Temanku bilang, coba aja. Aku jamin, pasti sembuh,” cerita pria asal Kabupaten Badung itu. Benar saja, ia merasa kondisi badannya kembali pulih setelah pakauw. Sejak itu, PT tak pernah bisa lepas dari kesehariannya. Minimal dua kali sehari, ia harus pakauw. “Setiap meriang dikit, langsung hajar pake PT,” terang Wahyu.

Sejak itu pula, ia mulai mengenal pakauw dengan jarum suntik. “Biar lebih irit dan reaksinya lebih cepat,” begitu pria yang kini menjadi aktivis di sebuah yayasan penanggulangan narkoba itu. Untuk memenuhi kebutuhan pakauwnya, Wahyu harus mengeluarkan minimal Rp 50 ribu sehari. Ketika itu, harga satu paket putauw yang hanya sekitar 0,01 gram, masih seharga Rp 25 ribu. “Tapi Rp 25 ribu waktu itu lumayan gede. Harga rokok aja masih Rp 900 sebungkus,” jelas Wahyu sembari menyebut harga putauw ketika ia masih SMA hanya sekitar Rp 12 ribu.

Kecanduan heroin makin lama makin tak mampu dikontrol Wahyu. Dosis yang harus dikonsumsinya makin hari makin tinggi. Ia bahkan bisa menghabiskan Rp 300 ribu sehari hanya untuk serbuk putih itu. Awalnya, Wahyu tak terbeban oleh ongkos Pakauw yang lumayan tinggi. Orang tuanya yang membuka usaha di kawasan wisata Kuta, berhasil dikibuli Wahyu. Ada saja alasan wahyu untuk meminta transferan uang. Mulai dari keperluan istri dan anaknya yang masih bayi ketika itu, biaya kos, bayar SPP, beli buku, sampai urusan skripsi. “Seribu satu alasan deh. Orang tua juga nggak curiga. Rata-rata, aku dikirimin Rp 200 ribu sehari,” cerita Wahyu.

Namun, kecanduan heroin yang menjadi-jadi, tak mampu dikendalikannya. Transferan uang dari orang tuanya, tak cukup memuaskan kebutuhan pakauwnya. Semua perabot di rumah, ludes digadaikan. Komputer, TV, bahkan lemari. Rumah yang dikontrakkan orang tuanya untuk ia dan keluarganya pun, diover kontrak ke orang lain. “Aku akhirnya ngekos,” kenang Wahyu. Bertahun-tahun, belangnya belum ketahuan oleh orang tuanya. Maklum, Wahyu masih bisa mendongkrak indeks prestasinya di kampus. “Karena IP ku masih bagus, ya orang tua nggak curiga,” terangnya.

Belangnya baru terbongkar ketika sang istri merasa tak tahan, dan melapor ke orang tuanya. Sang istri yang yang sudah memutuskan pisah rumah sejak setahun setelah menikah, sebelumnya sering diminta berbohong agar mendapat uang dari orang tuanya. Rupanya, kesabaran sang istri ada batasnya.

Laporan istrinya, membuat orang tua Wahyu geram. Segala cara dicoba untuk menyembuhkan kecanduannya. Sejumlah tempat rehab di Malang dan Jakarta sempat dicoba. Bahkan, Wahyu yang datang dari keluarga berkasta di Bali, pernah dimasukkan ke sebuah pesantren. Tapi, semua upaya rehab itu gagal buat Wahyu. Mungkin karena putus asa, orang tua Wahyu bahkan sempat berencana “membiayai” kecanduan Wahyu, asal Wahyu bisa menamatkan perkuliahannya. “Aku sampe ditanya, kamu perlu berapa untuk make (make putauw,red) biar bisa lulus?” kenang Wahyu.

Baru di tahun 2000, Wahyu memutuskan kembali ke Bali. Ia mencoba sebuah tempat rehab di Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba). Setelah dua minggu menjalani rehab, Wahyu sempat yakin untuk bisa kembali kuliah. Namun angannya gagal lagi. Ia gaul lagi dengan PT. Semua barang-barang di rumah kontrakannya yang sudah ditebus oleh orang tua, dijual.

Setelah empat bulan, ia balik lagi ke Bali. Kali ini, ia merasa ingin benar-benar tobat. Ia memutuskan meninggalkan kuliah jurusan Teknik Planologinya, dan kuliah di Fakultas Sastra Universitas Udayana. Upaya menata kembali hidupnya, setelah orang tuanya sudah putus asa dan memberi kebebasan, mendapat jalan terang. Ia ditawari bekerja di Yakeba, yayasan penanggulangan narkoba, tempatnya menjalani rehab. Waktu itu, hari-harinya kembali berwarna dengan kegiatan penyuluhan anti narkoba.

Relaps, jadi momok yang terus saja menghambat upaya Wahyu untuk menata hidup. Sejumlah rehab di Bali kembali dicobanya. Entah kenapa, sulit bagi wahyu untuk melepas dunia adiksi yang telah membuainya. Karena harga barang yang makin mahal, dosis yang dibutuhkannya makin tinggi, sementara tak ada lagi subsidi dari dari orang tua, semua barang di rumahnya ludes dijual. Setelah semua ludes, jalan kriminal jadi pilihan. Kebutuhan putauwnya ketika itu makin tak terkontrol, mencapai Rp 500 ribu per hari. Maklum, harga PT pun terus saja naik. Per paket, ia harus membeli seharga Rp 60 ribu.

Namun Wahyu mengaku selalu berhati-hati saat pakauw. Ia tak berani menggunakan dalam jumlah banyak sekaligus. “Aku biasanya pake sedikit dulu. Kalau belum terasa, baru aku pake sedikit lagi. Takut OD (over dosis),” ujar Wahyu yang mengaku dua temannya sudah meninggal di depan matanya karena OD. Wahyu sendiri pernah mengalami hal aneh ketika habis pakauw. Ia tak sadarkan diri selama 7 jam. “Temanku bilang, aku OD. Aku dipukul-pukul gak sadar. Tapi aku nggak merasa. Aku cuma seperti baru bangun tidur,” terang Wahyu.

Di tahun 2003, ia tertangkap karena kasus penjambretan. Sembilan bulan Wahyu menjalani hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kerobokan. Di LP, Wahyu tetap tak mampu meninggalkan hobinya. Apalagi, PT lebih mudah didapat di dalam LP, dengan harga yang justru lebih murah. Harga PT di dalam LP ketika itu hanya sekitar Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per paket. “Di dalam (LP) justru banyak BD (bandar). Jadi lebih gampang dapat barang,” jelasnya. Uang dari teman-teman yang membesuk, digunakannya untuk pakauw.

Tepat di tanggal 17 Agustus 2004, ketika ia mendapat remisi bebas, menjadi titik balik kehidupan Wahyu. Setelah bebas, Wahyu langsung diboyong ke kampung oleh orang tuanya. Rasa malu dengan masyarakat sekitar, juga kasihan melihat orang tua, membangun kesadarannya. Ia mulai bangkit, dan bertekad untuk melepaskan hidupnya dari PT. Beberapa bulan, ia berkutat dengan aktivitas barunya di kampung, beternak ayam. Tekadnya makin kuat ketika ia memutuskan bekerja di sebuah tempat persewaaan VCD di Kuta dengan gaji hanya Rp 250 ribu sebulan. “Dari sana aku sadar, sulit sekali cari uang yang halal,” begitu Wahyu.

Kini, Wahyu menjadi Program Manager Yayasan Kesehatan Bali, yayasan penanggulangan narkoba yang pernah menjadi tempatnya menjalani rehab. Wahyu mulai menata hidupnya, dengan melakukan pendampingan kepada para pecandu lainnya yang masih terpuruk dalam jerat narkoba. Tak mudah bagi Wahyu untuk meninggalkan hobinya, di tengah pergaulan dengan para pecandu aktif. Suggest untuk pakauw lagi, diakui masih sering muncul. Terutama bila ia mengingat masa lalu, kegagalannya menjadi orang yang diharapkan orang tua, juga bila melihat kesuksesan adik-adik dan keponakannya tanpa narkoba.

Namun tekad Wahyu sudah bulat. Tanggal 16 Agustus 2004, harus menjadi hari terakhir ia pakauw. ”Kalau saja aku nggak make. Kalau dihitung-hitung, sudah ada Rp 500 juta aku buang cuma buat putauw. Kalau aku tabung, mungkin aku sudah punya macam-macam sekarang,” keluhnya. Apalagi ia punya tanggung jawab merawat anak semata wayangnya. Selain itu, kepercayaan sudah muncul kembali dari orang tuanya. Orang tuanya yang kini menjalani bisnis agro di kampungnya, sudah menawarinya untuk meneruskan bisnis mereka. “Tapi aku sendiri merasa belum mampu mengontrol diri sendiri. Aku masih perlu kontrol dari orang lain. Aku nggak mau terjebak lagi,” tegas Koordinator Ikatan Korban Napza (IKON) Bali, paguyuban para mantan pecandu yang getol mengadvokasi penghapusan stigma terhadap pecandu narkoba.

Senada dengan Wahyu, Dayu Rupini (32 tahun) kini juga punya tekad serupa. Ibu satu anak ini tak mau lagi mengenal narkoba. Pasalnya, narkoba sudah mengubah hidupnya. Tekad Dayu Rupini merantau ke Denpasar dari kampungnya di Bedugul, Tabanan Bali, untuk menuntut ilmu di SMA di Denpasar, justru membawanya ke dalam jebakan narkoba.

Dayu mengenal narkoba dari pacarnya sendiri. “Terus terang, saya tidak ngerti saat itu. Karena ditawarin pacar, saya takut ditinggal sama dia, saya mau,” jelasnya. Apalagi, dari 50 orang teman sekelasnya waktu itu, sekitar 25 persennya pake narkoba. Sebelum mengenal putauw, Dayu terlebih dahulu diperkenalkan dengan rokok, minuman keras, obat penenang (nipam), shabu, dan ekstasi. Setiap hari, diskotik jadi tempat tujuannya. Minum shabu atau menghisap shabu dengan bong, selalu dilakukan sebelum berangkat menikmati house music. Hingga suatu kali, ia ditawari putauw. Kebetulan, saat itu ia tengah kelelahan setelah semalam suntuk ke diskotik. Oleh sang pacar, putauw dikatakan bisa mengembalikan energinya. “Ternyata bener. Saya seger lagi,” tandasnya. Sejak itu, Dayu tak bisa melepaskan diri dengan putauw. “Waktu sekolah, saya nggak pernah ikuti pelajaran. Gimana saya ikut pelajaran? Saya sakauw. Orang-orang belajar di depan, saya stone di belakang. Kepala sekolah sampai bosan lihat saya. Makanya diluluskan saja dengan nilai tidak memuaskan,” ujar Dayu sambil tertawa.

Lepas dari SMA, Dayu berpura-pura ingin melanjutkan kuliah. “Duit untuk kuliah saya pakai beli narkoba. Nggak mikir gimana hari depan saya,” kenangnya.

Awal pakauw, Dayu mengaku hanya dengan dragon (dihirup). Tapi lama kelamaan, kantongnya mulai berat memenuhi kebutuhan putauw yang harganya masih Rp 10 ribu per paket ketika itu. Apalagi, pacarnya juga sudah tidak punya biaya lagi untuk membayari kebutuhan putauwnya. Sementara dalam sehari, ia membutuhkan sedikitnya Rp 500 ribu sampai Rp 700 ribu hanya untuk beli putauw. Pakauw dengan jarum suntik kemudian jadi pilihan, karena lebih irit.

Untuk bisa terus pakauw, segala cara dilakuakan Dayu. Mencuri perhiasan orang tuanya, menjual sepeda motor yang dibelikan untuk kuliah, dan menyebar kebohongan-kebohongan untuk dapat uang. Di tahun 1998, kebobrokan Dayu ketahuan orang tua. Gara-garanya, ia tertangkap tangan membawa 1 gram putauw bersama pacarnya. Keduanya divonis penjara 4 bulan. Orang tuga keduanya pun saling menyalahkan. Sejak itu, Dayu putus dengan pacar yang menjerumuskannya itu. Orang tuanya sangat dikecewakan Dayu. Apalagi, ia sempat diberi kepercayaan untuk menjaga dua adiknya untuk tinggal di Denpasar. Ia dan adik-adiknya bahkan dikontrakkan rumah di Denpasar. “Kedua adik saya sempat juga nyoba make, karena terlalu setring lihat saya make. Untungnya mereka nggak keterusan. Adik saya malah muntah-muntah habis pake. Sekarang, mereka udah jadi orang sukses,” ujar Dayu.

Lepas dari penjara, juga dari pacarnya, Dayu tetap tak bisa lepas dari putauw. Karena tak ada lagi kepercayaan dari orang tua, Dayu harus mengupayakan sendiri biaya untuk membeli putauw. Ia bahkan sempat harus “menjual diri” kepada sejumlah BD (bandar) untuk dapat putauw. “Jadi, setiap malam aku cari duit untuk bisa terus make,” sesal Dayu. Pindah dari satu BD ke BD lain, terus dilakukan Dayu agar bisa terus pakauw. “Bayangkan, saya make dari heroin masih seharga Rp 10 ribu per paket, sampai 150 ribu per paket. Di mana cari duit? Ya kriminal,” tambahnya. Dayu beruntung, ia tidak pernah mengalami OD. Menurutnya, ia cenderung berhati-hati saat make. ”Aku pake sedikit-sedikit. Nggak berani langsung banyak. Kalau pake sampai 1 gram langsung misalnya, bia aja OD,” begitu Dayu yang mengaku tahu hanya dari pengalaman.

Dengan salah seorang BD yang dikencaninya, Dayu bahkan sampai hamil. Beruntung, BD yang sudah beranak istri itu mau bertanggung jawab menikahinya di bawah tangan. Tapi satu syarat yang harus diterima Dayu, ia dicerai setelah anaknya berusi tiga bulan. Beruntung, orang tua Dayu yang petani di desanya, mau mengurus anak laki-lakinya yang kini sudah berusia 7 tahun.

Di tahun 2002, Dayu kembali ditangkap polisi. Kali ini, gara-gara ia ketahuan membawa enam paket putauw. “Kebetulan lagi stone, nyari taksi mau ke pulang Bedugul. Tapi ketahuan polisi, ditangkap,” jelasnya. Namun ia hanya dipenjara 8 bulan. “Saya ditebus orang tua. Memang begitulah, saya masih dimanja orang tua waktu itu. Pecandu seharusnya tidak boleh terlalu dimanja. Pecandu harus dicintai. Bukan dengan dikasi uang, tapi dengan diberi kasih sayang,” terangnya mencoba memberi saran bagi orang tua pecandu lain.

Keluar dari LP Kerobokan, keluarga besar Dayu di kampung sempat menolak kehadirannya. ”Saya nggak diterima. Mereka ngusir saya dari rumah,” jelasnya. Beruntung, orang tua Dayu masih menyayanginya. ”Mereka mendukung saya masuk ke methadone (terapi methadone). Awal ikut terapi methadone, saya tetap make putauw. Tapi lama-lama, saya berhasil juga ninggalin putauw,” terang Dayu senang. Terapi methadone merupakan terapi substitusi heroin yang dikonsumsi dengan diminum. Terapi ini resmi diterapkan di Indonesia untuk mengurangi penggunaan jarum suntik di kalangan pecandu narkoba. Setelah tiga tahun menjalani terapi methadone, Dayu akhirnya berhasil melepaskan diri dari segala macam narkoba. Bersih di methadone setelah 3 tahun.

Setelah bersih, Dayu memutuskan untuk aktif di Yakeba.“Dulu cita-cita saya jadi guru. Setelah jadi pecandu, saya jadi guru dengan mengisi testimoni soal kehidupan saya di sekolah-sekolah di Denpasar dan Gianyar. Sekadar untuk memberi gambaran kepada mereka, aagar jangan sampai terjerat narkoba seperti aya,” ujar Dayu. Ia membayangkan, kalau saja uangnya tidak digunakan untuk membeli putauw, mungkin ia sudah bisa beli rumah dan mobil sendiri. ”Saya habiskan ratusan juta rupiah cuma untuk putauw,” keluhnya.

Dayu yang kini aktif sebagai petugas lapangan program distribusi jarum suntik untuk pecandu narkoba, sebuah program resmi yang dilaksanakan di Bali sejak 2002 lalu, mengaku sedih melihat banyak teman barengnya dulu yang sudah meninggal. Yang jelas, satu prinsip Dayu yang selalu dipegangny kini, ia tak mau lagi mencoba narkoba. ”Rokok merupakan jalan menuju narkoba. Jangan coba-coba,” tegas Dayu mengingatkan para remaja. Apalagi, banyak klien pecandu yang jadi dampingannya sekarang, merupakan anak-anak SMA sepertinya dulu. ”Saya berusaha ajak mereka untuk meninggalkan narkoba. Tapi kalau memang nggak bisa, setidaknya mereka jangan memakai jarum suntik bergantian, karena berisiko tertular HIV,” tegasnya.

Hubungan pertemanan yang salah, memang bisa jadi jalan utama bagi seseorang terjebak narkoba. Galle, 32 tahun, juga mengalaminya. Waktu itu tahun 1998, ketika ia masih duduk di bangku SMP, teman-temannya sudah mengajak menghisap rokok. DI bangku SMA, pergaulannya berkembang ke minuman keras. Ditambah kemudian dengan obat-obatan penenang sejenis Nipam, lantas ganja. Menurut Galle, rasa ingin tahu yang tinggi ditambah banyaknya masalah keluarga yang dihadapinya waktu itu, membuatnya tergiur mencoba. Sejarah candunya pun cukup panjang. Beberapa kali mencoba menjauh, tapi Galle selalu gagal. Ia bahkan mulai mengenal putauw beberapa tahun kemudian. Awalnya, putauw hanya didragon. Namun gara-gara sempat masuk Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kerobokan, karena ketahuan mencuri untuk beli putauw, ia mulai memilih jalan menyuntik. Serbuk putauw dicairkan dengan air, lantas disuntikkan ke tubuhnya. Galle mengaku tak belajar khusus untuk menyuntik. Prinsipnya sederhana, hanya perlu mencari urat untuk disuntikkan. ”Nggak ada yang ngajarin. Cuma lihat teman-teman aja,” begitu bapak 2 anak ini. Make dengan untik, mencurutnya jauh lebih irit. Perbandingannya dengan dragon, mencapai 1 banding 3. Artinya, untuk efek yang sama, didragon memerlukan putauw tiga kali lebih banyak dibandingkan disuntikkan.

Delapan bulan penjara, tak membuat Galle jera. Ia kembali mencari komunitas lamanya di Kuta. Ia dan temannya biasa mencari wisatawan, untuk ditawari narkoba. ”Kita jual ke mereka segala macam. Mulai mushroom sampai kokain. Kalau dapat BR (barang), kita make bersama. Kadang juga dapat cubitannya. Jadi lebih untung,” jelasnya.

Keuntungan yang didapat dari berbisnis, membuat Galle tak pernah kehabisan biaya untuk dapat barang. Meskipun harga heroin pada waktu itu sudah cukup tinggi, mencapai Rp 25 ribu per paket. Tapi, pernah sesekali ia kesulitan mencari barang. Biasanya, itu terjadi bila polisi sedang gencar melakukan operasi. ”Kalau masalah biaya, saya nggak pernah punya masalah,” jelasnya.

Di tahun 1997, Galle terjerat kasus hukum lagi. Bukan soal narkoba, tapi dampak dari narkoba itu. Ia terlibat kasus kekerasan dengan seorang tamunya asal Australia. ”Saya berkelahi dalam kondisi ngggak sadar, habis kena drugs,” jelas Galle yang ketika itu divonis penjara 6 bulan.

Lagi-lagi, di LP ia tetap bisa make. Namun setelah keluar dari LP, ia mencoba mengurangi pemakaian putauw. Itu berkat desakan dari pacarnya sendiri. Tapi untuk pengalihan, ia tetap memakai shabu dan cimeng (ganja,red). Kebutuhannya akan ganja lumayan tinggi. Sedikitnya, 3 sampai 4 kali sehari ia harus kena ganja. Waktu itu, ia masih bisa membeli murah, hanya Rp 10 ribu per am (per amplop). Tapi, ketika terakhir make, harganya mencapai Rp 50 ribu per am.”Make putauw sih masih dikit, tapi nggak jarum suntik. ”Karena dua temanku meninggal di kontrakanku sendiri karena OD make putauw,” jelas Galle. Ketika itu, temannya yang baru keluar dari LP memutuskan menumpang di rumah kontrakannya.

Akhirnya di tahun 1999, Galle sukses meninggalkan PT. Tapi Cimeng dan Ekstasi, tetap jadi temannya. “Prinsipnya waktu itu, yang penting nggak putauw. Karena waktu itu sudah tahu rasa sakitnya,” tandasnya. Galle mengaku sudah berhenti total dari kebiasaannya mengkonsumsi narkoba sejak tahun 2002. Tekad untuk berubah terutama didapat dari dukungan istri yang dinikahinya tahun 2001 lalu. Selain itu, Galle juga mendapat banyak dukungan dari LSM penanggulangan narkoba.

Keseharian Galle kini memang belum lepas dari narkoba. Bedanya, kini ia tak lagi mau mencoba narkoba. Ia justru melakukan pendampingan terhadap pecandu narkoba yang masih aktif. Sejak 2002, ia menjadi petugas lapangan Yayasan Hatihati, yayasan penanggulangan narkoba di Bali. Kesepakatan dengan yayasan, bahwa petugas lapangan tidak boleh lagi memakai narkoba, juga menjadi pemacu semangat laki-laki berperawakan sedang ini untuk mencoba-coba narkoba. Meski ia mengakui, sugesti untuk memakai kadang tetap muncul. Sugesti itu terutama muncul ketika ia sedang menghadapi masalah. Terkadang, ketika ia mendengar house music, suges untuk menggunakan ekstasi juga muncul. Bila mendengar lagi reggae, suggest untuk make ganja muncul. Ia bahkan pernah tersuggest untuk menggunakan putauw ketika melihat beberapa klien dampingannya akan pesta PT. Tapi Galle tak mau terjebak. Ia selalu lari setiap kali sugges itu datang. “Memang suggestnya yang berat. Tapi saya nggak mau lagi. Apalagi sudah banyak teman yang OD,” tegas Galle. Setidaknya, biaya yang sudah ia keluarkan untuk narkoba diperkirakan sudah mencapai sekitar Rp 100 juta. [Komang Erviani]

Tidak ada komentar: