Google
 

Jumat, 20 April 2007

Seks Dini Remaja Bali

Seks pra nikah seolah sudah menjadi gaya hidup remaja di Bali. Akses informasi terlalu minim. Kuncinya tidak Cuma ada di tangan orang tua.

Suatu hari, empat bulan lalu, dokter Lely Setyawaty kedatangan seorang pasien muda. Spesialis kejiwaan yang sehari-hari bertugas di Rumah Sakit Sanglah itu, harus menenangkan pasiennya, sebut saja Manda. Manda baru saja lolos dari maut, gara-gara cairan pembasmi serangga yang diminumnya. Siswi kelas dua sebuah SMA di Denpasar itu lolos dari upaya bunuh diri.

Manda beralasan, ada masalah berat yang tak mampu lagi dihadapi. Ternyata, semua masalah Manda berpangkal dari hubungan dengan sang pacar, sebut saja Agung. Manda dan Agung telah menjalin hubungan pacaran sejak tiga tahun lalu. Ketika itu, Manda baru duduk di kelas dua SMP, dan Agung kelas satu SMA. Kedua orang tua Manda pun tak memberi restu saat itu. Alhasil, keduanya tetap berhubungan sembunyi-sembunyi alias backstreet.

Hubungan backstreet yang dijalani Manda dan Agung, ternyata justru tak terkontrol. Mereka bahkan sudah menganggap hubungan seksual sebagai hal biasa. Mereka sudah melakukan hubungan seks pra nikah sejak awal berpacaran. Keduanya sudah tahu teknik untuk mencegah kehamilan dengan kondom.

Namun belakangan, Manda hamil. Manda dan Agung menyadari, ada masalah besar yang harus diselesaikan. Agung yang sudah duduk di bangku kuliah, menyatakan siap bertanggung jawab penuh. Ia bahkan mengajak Manda kawin lari, bila orang tuanya menolak memberi restu.

Belum lagi mencoba terbuka pada orang tua, Manda keburu ketakutan. Ia tak cukup berani memberi tahu kondisinya kepada orang tua yang sejak awal sudah menentang hubungannya dengan Agung. Mereka pun urung melaksanakan kawin lari yang sudah dirancang.

Di tengah kegalauannya, Manda mendapat banyak sekali informasi keberadaan tempat aborsi dari teman-teman sekolahnya. Entah dari mana mereka mengetahui info tempat-tempat aborsi itu. Tapi toh, Manda tetap tak punya cukup keberanian untuk membunuh janinnya.

Baru ketika usia kandungannya sudah menginjak empat bulan, orang tua Manda menaruh curiga pada perubahan bentuk tubuh putri mereka. Awalnya Manda mencoba mengelak. Ia bersikeras, kalau ia masih datang bulan. Tapi karena perutnya terus membuncit, Manda tak bisa mengelak.

Dengan nada tenang, ibunda Manda mencoba memancing kejujuran putrinya. “Kalau memang kamu hamil, bilang saja. Kita carikan solusinya bersama-sama,” begitu sang ibu, menurut penuturan Manda kepada dokter Lely. Berharap ada penyelesaian, Manda pun jujur menceritakan masalah yang dihadapi.

Kejujuran Manda ternyata tak menyelesaikan masalah. Kedua orang tuanya memang tak marah. Mereka hanya menangis, menyesali semua perbuatan Manda. Mereka merasa gagal menjaga putrinya, hingga menciptakan aib keluarga yang membuat mereka malu.

Tangisan orang tua, justru menjadi awal masalah bagi Manda. Perasaan bersalahnya mencapai klimaks, hingga ia memutuskan mengakhiri hidup dengan menenggak racun serangga. Beruntung, orang tua Manda segera membawanya ke rumah sakit. Dan, Manda selamat dari percobaan bunuh dirinya. Dokter Lely pun lega, karena kemudian hubungan Manda dan Agung direstui. Keduanya menikah, meski Manda terpaksa melepas sekolahnya hanya sampai kelas dua SMA.

Menurut Lely, kasus yang dialami Manda bukanlah hal baru di kalangan remaja di Bali. “Ada banyak kasus-kasus seperti ini,” terang Koordinator Center Remaja Amerta Rumah Sakit Sanglah itu. Kasus percobaan bunuh diri di kalangan remaja, menduduki peringkat kedua di antara seluruh pelaku kasus percobaan bunuh diri berdasarkan catatan Rumah Sakit Sanglah. “Rata-rata ada 250 kasus percobaan bunuh diri dalam setahun. Kasus pada remaja tergolong sangat tinggi,” jelas Lely.
Kebanyakan kasus percobaan bunuh diri pada remaja, menurut Lely, didasari pada masalah pacaran. Masalah utama kedua adalah masalah dengan orang tua. Ironisnya lagi, sebagian besar dari mereka yang mencoba bunuh diri, berada dalam keadaan hamil. Ada juga sebagian yang tidak sedang hamil, tetapi melakukan percobaan bunuh diri karena diputus pacarnya. “Ada yang merasa ketakutan karena sudah pernah berhubungan seks dengan si pacar yang mutusin. Takut nanti ternyata hamil, atau tidak ada laki-laki yang mau dengan dia karena sudah tidak perawan,” terang Lely.

Bagaimana pun detil kasusnya, fenomena seks pra nikah di kalangan anak muda di Bali ditenggarai cukup besar. Bukan rahasia lagi, banyak pasangan menikah dalam keadaan hamil tua.

Kita Sayang Remaja (Kisara), organisasi bentukan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Bali yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi remaja, hingga kini mencatat laporan sedikitnya 41 kasus hubungan seksual pra nikah. Masing-masing 2 kasus pada kelompok umur 13 – 15 tahun, 14 kasus pada umur 16-18 tahun, 12 kasus pada umur 19-21 tahun, 8 kasus pada umur 22-24 tahun, serta 5 kasus pada umur di atas 25 tahun.

Itu baru jumlah kasus yang terdata di Kisara berdasarkan konseling via telepon. Belum termasuk puluhan atau bahkan ratusan kasus lain yang tidak terlaporkan.
Dalam catatan Kisara, juga terekam adanya 10 kasus kehamilan tidak diinginkan (KTD) pada periode yang sama. Masing-masing tiga kasus pada kisaran umur 17 – 20 tahun, 4 kasus pada umur 21-24 tahun, dan 3 kasus pada umur di atas 24 tahun.
Menurut Mahar, Koordinator Konseling Kisara, hubungan seks pra nikah sudah menjadi hal yang seolah biasa bagi remaja Bali. Ada banyak remaja yang melakukan konseling via telpon, dengan kasus beragam. “Ada yang nelpon, ngaku baru putus sama cowoknya. Dia ngaku takut hamil, karena sudah dua kali berhubungan seksual,” cerita Mahar. Ada juga seorang siswi SMP yang mengaku sudah pernah berhubungan seks dengan om om, tetapi sedang jatuh cinta dengan seseorang lainnya yang lebih tua. “Dia tanya, apakah dia harus jujur kepada cowok itu?” Mahar melanjutkan ceritanya.

Minimnya informasi soal kesehatan reproduksi, serta keluarga dan lingkungan yang kurang mencukung, disinyalir menjadi penyebab banyaknya remaja yang melakukan seks pra nikah. Tak heran, ada banyak pertanyaan-pertanyaan mendasar yang ditanyakan dalam konseling per telepon.

Misalnya tentang apakah seseorang bisa hamil dengan hanya sekali berhubungan seksual, tentang bagaimana proses kehamilan terjadi, serta masalah-masalah dasar lain. “Ada yang minta masukan karena pacarnya menuntut berhubungan seksual sebagai bukti rasa sayang,” jelas Mahar. Dalam catatan Kisara, tidak sedikit pula remaja yang mengaku menyesal telah melakukan seksual di masa lalunya. Sebagian besar dari mereka mengaku sebelumnya tidak tahu sama sekali seperti apa berhubungan seksual.

Dari Survei Kesehatan Reproduksi di Indonesia tahun 2003, diketahui 5 persen remaja pernah melakukan hubungan seks sebelum nikah. Lembar fakta yang diterbitkan oleh PKBI, United Nations Population Fund (UNFPA) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) juga menyebutkan bahwa setiap tahun terdapat sekitar 15 juta remaja berusia 15-19 tahun melahirkan. Lembar fakta tersebut juga menyebutkan setiap tahun ada sekitar 2,3 juta kasus aborsi terjadi di Indonesia, dan 20 persennya dilakukan oleh remaja.

Masalah seks pra nikah, menurut dokter Lely, merupakan masalah kompleks. Maka, kunci pemecahannya pnu sangat kompleks. Diperlukan kepedulian semua pihak, baik orang tua ataupun masyarakat umum. “Ini harus dipecahkan bersama-sama,” terang Lely. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 27, April 2007]

Tidak ada komentar: