Google
 

Senin, 09 Mei 2005

Disiplin Diri Hilangkan Sugesti

Dengan tangan saling berpegangan, enam pecandu narkoba tegas berucap, ”Kita mengaku bahwa kita tak berdaya terhadap kecanduan kita sehingga hidup kita menjadi tidak terkendali. Kita tiba pada keyakinan bahwa kekuatan yang lebih besar dari kita sendiri dapat mengembalikan kita pada kewarasan. Kita membuat keputusan untuk mengalihkan niat dan kehidupan kita kepada kasih Tuhan sebagaimana kita memahami Tuhan.”

Mengawali hari, ketiga kalimat itu selalu diucapkan sebagai bentuk penyadaran terhadap kecanduan mereka. Setelah sebelumnya berbagi tugas rumah, pagi itu, para residen kembali harus mengikuti morning meeting. Residen adalah sebutan bagi junkie yang mengikuti program peer support group (PSG) di rumah pemulihan Matahati. Enam residen kini tengah mengikuti program.

Residen Komang Balon yang hari itu memimpin morning meeting, lanjut memimpin doa dan renungan lima menit untuk pecandu yang masih “menikmati” kecanduannya. “Feeling hari ini enak. Positifnya sudah beresin tempat tidur, negatifnya kemarin susah tidur, tujuan hidup gue hari ini, jalani hidup lebih baik lagi,” urai Dimas, residen lain asal Jakarta yang sudah dua bulan ini mengikuti program. Morning Meeting mengawali hari para residen dengan kesempatan mengeluarkan unek-uneknya selama hari kemarin, serta keinginan-keinginan yang ingin dicapai hari itu. Topik Just For Today (JFT) yang mereka kupas hari itu adalah “ketika saya lihat ada kebencian, saya akan melihatnya seperti apa adanya dan membuangnya”.

Beberapa menit berselang setelah morning meeting usai, sesi materi siang sudah menanti. Selain sesi siang, sesi materi juga dilakukan pada malam hari. Dalam sesi materi itu, residen diberikan pengetahuan-pengetahuan tentang dunia adiksi. Mulai dari apa itu rokok, dari mana asalnya, bagaimana proses kecanduannya, serta materi-materi tentang narkoba.

Menjelang sore, residen mengikuti sanggar kerja. Mereka diajari membuat lilin dan sablon. Order dari pelanggan juga siap dikerjakan. Selain untuk memberi ketrampilan kepada residen, kata Popo, staf Matahati, penghasilan dari sanggar kerja juga diharapkan membantu menutupi biaya-biaya. Residen rumah Pemulihan Matahati memang tidak diwajibkan membayar. Koordinator Divisi Pemulihan Matahati, Dudy Rohadi, menambahkan ada sistem subsidi silang yang diterapkannya. Para residen yang tidak mampu, bahkan bisa mengikuti program secara gratis.

Bersih-bersih rumah kembali harus dilakukan residen pada sore hari. Mengakhiri hari, dilakukan jurnal harian dan renungan malam. Tujuannya untuk evaluasi diri tentang hal-hal yang sudah dilakukan residen hari itu, kekurangannya, serta pelajaran-pelajaran yang didapat. “Saya ke sini diajak kakak. Tapi memang dari dulu pingin bebas (dari narkoba). Makanya pas ditawarin kakak, langsung senang. Kalau udah keluar, aku kayaknya nggak akan balik ke Jakarta. takut jatuh lagi,” ujar Dimas. Meski banyak kesibukan yang harus diikuti di rumah pemulihan, ia mengaku senang. Kesibukan itu dikatakan justru sangat membantunya lepas dari godaan narkoba.

Aktivitas PSG di rumah pemulihan Matahati, menurut Popo, pada dasarnya untuk membantu residen lepas dari kecanduannya. Pelajaran yang diberikan melalui program 12 langkah, juga merupakan bentuk latihan tanggung jawab dan kemampuan memanajemen diri sendiri. Program pemulihan Matahati harus dijalani residen selama enam bulan. Setelahnya, juga ada program after care untuk memastikan para residen yang sudah keluar, tidak kembali ke sisi gelap hidupnya. Sebagian besar residen di Matahati, datang atas keinginan sendiri. Keinginan itulah yang memang merupakan modal utama bagi pecandu untuk lepas dari kecanduannya.

Hampir sama dengan Matahati, titik berat program rehabilitasi Yayasan Bali Nurani (YBN) juga ada pada pemahaman konsep 12 langkah. Aktivitas pagi bagi klien YBN juga bersih-bersih rumah. Setelah sarapan dan inspeksi atas hasil bersih-bersih rumah oleh para klien, pertemuan Just For Today (JFT) lantas dilaksanakan. Penjelasan tentang dunia adiksi juga diberikan. Selain itu, klien di YBN setiap harinya selalu diajak ke luar tempat rehab untuk mengikuti program kebugaran. “Jadi kadang kita ajak ke tempat fitness, pantai, studio musik, apa aja seputar seni dan olahraga. Jadi setiap hari pasti kita ajak ke luar,” terang Direktur Unit Recovery YBN, Andrei Simanjuntak. Khusus pada hari Minggu, klien diajak berekreasi selama setengah hari ke tempat-tempat tertentu.

Menurut Andrei, rehab YBN menggunakan Minnesota Model yang dipadu dengan therapeutic community (TC). Minnesota merupakan model yang menitikberatkan pada pemahaman 12 langkah yang juga melibatkan beberapa tenaga ahli dari berbagai disiplin ilmu.

Program rehab YBN cukup beragam, mulai dari primary care yang merupakan program utama selama 4 bulan, serta halfway house yang juga 4 bulan bagi pecandu yang bekerja, sekolah, atau kegiatan lainnya. Program paling akhir merupakan program after care. Pada fase ini, klien diperbolehkan tinggal di luar fasilitas rehab, tetapi tetap dipantau dan dibimbing oleh staf dalam menjalani kehidupannya di masyarakat. Apabila klien mampu melalui fase ini dengan baik selama sekitar 4 bulan, maka klien dinilai layak menjalani kepulihannya sendiri sehingga siap dilepas tanpa pantauan lagi.

Namun tak semua klien mampu menjalani ketiga program itu. Diakui Andrei, dari 22 orang klien yang sempat menjalani rehab di YBN sejak dibuka Januari 2004 lalu, baru ada 2 orang yang kini telah sukses berada pada tahap terakhir, after care. Sisanya, rata-rata merasa sudah cukup menyelesaikan satu program saja. Tak sedikit pula yang drop out (DO), alias selesai sebelum program berakhir. Alasannya sama, karena merasa sudah sembuh. “Kita tidak mau memaksa orang karena kesembuhan mereka pada dasarnya harus berawal dari kemauan mereka.” Menariknya, kata Andrei, klien yang membayar biaya program, kebanyakan justru cenderung cuek menjalani program. “Malah yang bayar itu kebanyakan DO,” herannya. YBN sebenarnya menetapkan tarif sebesar Rp 2,5 juta bagi peserta program. Namun dengan bantuan funding, YBN tak memaksakan tarif bagi klien kurang mampu. “Malah klien kami kebanyakan tidak bayar. Yang jelas, nggak ada pembedaan antara yang bayar dan tidak,” pungkasnya. [Komang Erviani, dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 04, Mei 2005]

Tidak ada komentar: