Google
 

Senin, 09 Mei 2005

Konok: Pokoknya Mesti Kuat...

Saya kenal narkoba akhir 1996, pas lagi nganggur. Awalnya nggak tahu sama sekali tentang putaw. Saya tahu dari kebiasaan ngumpul sama teman. Terus ditawari, saking setiap harinya saya ngumpul di sana, kalau nggak ke sana pokoknya jelek sekali rasanya. Ada yang kurang kalo nggak ngumpul ama teman.

Akhirnya, tiap hari ngeliat gitu aja, saya coba. Sekali, kok enak rasanya. Saya kan dulu suka minum, tapi ini baru coba 3 sedot aja beratnya kok sama dengan minum 3 botol. Lebih irit dan untuk kenceng itu cepat sekali. Akhirnya coba terus, coba terus. Waktu itu belum ada informasi tentang putaw efeknya apa. Sekarang kan enak, sudah ada informasi, penyuluhan ke sekolah-sekolah, ke banjar-banjar. Jadi yang belum tahu bisa tahu, bisa menghindar.

Waktu ngumpul pertamanya saya paling senang ganja. Orang pake putaw, saya sendiri ganja. Nggak senang yang lain. Akhirnya saking setiap harinya, saya coba sekali, saya coba. Baru satu minggunya, baru merasakan sakaw (sakit karena putaw,red). Tapi belum tahu namanya sakaw. Kok rasanya nggak enak, nguap-nguap terus. Tidur meriang, nggak enak. “Wah, sakaw kamu sakaw,” digituin sama teman. Apa sakaw itu, nggak ngerti saya. Katanya, “itu dah, sakit. Kamu kurang, coba pake lagi sekali”. Baru abis pake, hilang sakawnya. Saya pikir, wah bener ini sakaw.

Saya pernah coba berobat di rumah, berendam di sungai tiap hari, pake pil tidurnya panadol. Bisa juga sembuh, cuma mainnya ke sana lagi. Akhirnya make lagi. Dari start make itu, satu tahunnya dragon (dengan hisap,red), baru lantas pake jarum.Pernah juga berobat ke Bangli. Dua minggu di situ, keluar dari sana, make lagi. Nggak kuat. Semua orang junkie itu ingin sembuh, cuma dia nggak bisa. Kebanyakan pake lagi karena takut sakawnya, takut sakitnya.

Pernah juga rehab di Blahkiuh. Keluar dari sana, saya udah punya trik. Pokoknya jangan bengong aja di rumah. Karena kalau nggak ada kerjaan, pasti akan relaps (make) lagi. Keluar dari sana, maunya kerja. Eh, besoknya bom Bali meledak. Jadi kan untuk orang kerja susah. Waduh, bingung lagi. Akhirnya make lagi.

Mulai pertengahan 2003 ketemu methadon, baru bisa. Setelah ikut methadon, jelas ada perubahan. Racun putaw dalam darah itu kan satu minggu aja kita nggak make, akan bersih. Tapi untuk menghilangkan dalam otak yang susah. Perlu proses lama. Itu yang saya dapatkan di sini. Saya minum methadon, saya rasakan sama dengan putaw. Begitu pakai putaw, nggak terasa putawnya. Nggak terasa, uang hilang Rp 150 ribu. Jadi kasian tiap hari. Akhirnya saya ambil nilai positifnya. Dulu putaw kadang dua kali atau tiga kali. Tergantung uang. Kalau habis uang, baru puas.

Hari pertama dan kedua masuk methadon, masih ada relapsnya. Wajar, masih pembelajaran. Trus abis itu, tiga bulannya, memang betul-betul nggak make. Setelah 3 bulan tes kencing negatif, nggak tahu kenapa, ingin make lagi. Tapi cuma satu minggu aja. Habis itu baru benar-benar bersih sampai akhirnya waktu tahun baru 2004. Setelah itu sudah bersih lagi. Nggak make lagi sampai sekarang. Dosis metadon yang saya pake juga sudah berkurang.

Sejak 5 bulan lalu, saya bergabung dengan sebuah yayasan yang bergerak dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Saya jadi penjangkau lapangan di wilayah Gianyar, Tabanan, dan Badung. Kebetulan karena selalu ngumpul di methadon, tugas saya juga mendampingi junkie di methadon yang masih make jarum suntik.

Pernah ada tawaran-tawaran make lagi dari teman-teman. Tapi saya udah punya trik. Biasanya saya bilang mau nganter ibu, nganter adik. Tapi setelah itu, harus langsung pergi. Kan percuma kalau bilang mau nganter ibu, tapi tetap diam dan bengong. Pokoknya mesti kuat.

Sugesti untuk make memang kadang muncul. Tapi jarang sekali. Kadang justru munculnya di kamar mandi, soalnya dulu kan biasa make di kamar mandi. Tapi keluar kamar mandi aja, udah lupa lagi.

Sekarang saya punya 9 kelompok dampingan. Sebagai sesama pecandu, enak aja jadinya. Secara tidak langsung kita nunjukin sama teman bahwa kita bisa sembuh, kenapa dia tidak bisa. Buat para ABG (anak baru gede), jangan pernah nyoba. Jangan pernah ingin tahu rasanya.[Seperti diceritakan pada Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 4, Mei 2005]

Tidak ada komentar: