Google
 

Senin, 20 November 2006

Made Suparja: Mungkin Ini Jalan Menemukan Tuhan

Sekitar tahun 2000, saya sudah mencret-mencret, berat badan menurun drastis. Saya memang curiga terinfeksi HIV/AIDS. Sebab saya dulu sebagai sopir, ke mana-mana (berperilaku seks tidak aman,red). Dulu saya juga kurang mengerti masalah itu (HIV). Mungkin sudah dulu sekali kena, tapi imbasnya baru sekarang.

Walau curiga terinfeksi HIV, terus terang saya tidak berani memeriksakan diri. Kok rasanya nggak (terinfeksi HIV,red), gitu saya. Tapi kemudian saya pikir, banyak sekali kawan-kawan saya yang terinfeksi HIV. Mereka kemudian kena AIDS dengan begitu cepat, lantas meninggal. Barangkali, karena pola hidupnya yang salah.
Dulu saya pikir, kalau saya HIV/AIDS pasti saya sudah mati. Makanya saya nggak periksa. Biasa aja lah. Kehidupan berlalu seperti biasa. Saya kan juga kena kencing manis. Jadi saya pikir, mungkin pengaruh dari kencing manis, badan saya selalu lesu, kadang-kadang ada mencret. Waktu itu saya sudah banyak baca-baca buku tentang HIV/AIDS yang saya dapat di yayasan (Yayasan Citra Usadha Indonesia, yayasan penanggulangan HIV/AIDS,red). Kok ciri-cirinya sama. Tapi saya selalu takut untuk secara jujur mengakui.

Sampai suatu saat, istri saya (Made Siti,red) sakit. Lidahnya pecah-pecah. Dia tidak bisa makan, tubuhnya kurus kering, kulitnya gatal-gatal. Sudah berobat ke banyak dokter, nggak sembuh. Dari sana, akhirnya saya terpaksa memeriksakan diri sendiri dulu. Hasilnya ternyata positif HIV. Jumlah CD4 (sel pembentuk sistem kekebalan tubuh, red) saya, 202.

Perasaan saya waktu itu luar biasa depresi, frustasi, dan putus asa. Itu terjadi Maret tahun lalu. Saya bahkan nggak berani keluar, nggak berani bergaul. Rasanya seperti dikucilkan. Entah mungkin perasaan saya saja. Tapi memang banyak sindiran-sindiran. Selama tiga bulan saya lebih banyak di rumah, nonton ceramah agama di TV. Saya dengarkan, saya petik hikmahnya. Barangkali ini jalan saya menemukan diri saya dan Tuhan. Mengubah perilaku untuk berbuat lebih baik lagi dari hari-hari sebelumnya.

Setelah merasa cukup kuat, baru saya ajak istri ke Denpasar untuk tes. Ternyata dia juga positif HIV. Awalnya saya takut sekali mengatakan pada istri saya, bahwa dia kena (HIV,red) karena saya. Sebab dia tidak pernah nakal, selingkuh. Jadi saya takut mendapat cacian. Takut nanti ada penyesalan dan lain sebagainya. Saya bingung bagaimana caranya. Saya minta kepada konselornya, agar saat konseling dirahasiakan saja soal status saya. Tapi konselornya bilang,”ooo...nggak bisa gitu. Harus terang-terangan.”

Saya pikir, ya sudahlah. Saya pasrah aja. Istri saya dikonseling, ternyata dia sudah siap menerima. Saya jadi lega. Setelah dites CD4-nya sekitar 136. Sejak itu dia mulai dapat penanganan. Juga ikut terapi ARV (antiretroviral untuk menekan perkembangan virus HIV,red). Sekarang bobot badannya sudah naik, CD4-nya naik. Sudah lega perasaan saya. Sementara saya sendiri sempat berusaha mempertahankan CD4 saya agar tetap di atas 200 sehingga tidak perlu terapi ARV.

Jadi saya pertahankan dengan pola hidup yang sehat. Tapi nggak tahan. Akhirnya jeblok juga sampai CD4 saya 138. Terpaksa saya harus terapi ARV. Terapi ARV ini kan beratnya, kita ketergantungan. Nggak dapat obat ini 3 x 24 jam, bisa resisten kita. Bisa mati. Itulah yang jadi masalah. Tapi karena memang harus begitu, kita harus patuh minum obat. Untungnya obat ini disubsidi oleh pemerintah.

Sesudah itu terpetik dalam pikiran saya, obat ARV ini mahal. Harganya bahkan sampai Rp 850 ribuan untuk satu bulan. Untuk satu bulan bersama istri, sudah satu juta tujuh ratus ribu. Sementara penghasilan saya tidak sampai sekian. Kalau tidak dapat subsidi dari pemerintah, saya berarti sudah mati. Karena itu saya ingin mengumpulkan kawan-kawan, membuat KDS (kelompok dukungan sebaya bagi orang dengan HIV/AIDS,red). Pada 23 Agustus 2006 kemarin, KDS Tali Kasih diresmikan. Selama 6 bulan pertama, kami dapat support dana penuh dari Yayasan Citra Usadha Indonesia. Kami sedang mengupayakan swadaya.

Di samping untuk mencari solusi dari permasalahan yang kita hadapi sebagai Odha, KDS sudah tentu juga untuk penanggulangan HIV/AIDS. Paling tidak kita jangan menularkan. Kita bisa sama-sama melakukan kampanye, sosialisasi kepada masyarakat luas, agar mengubah perilaku, memakai kondom, dan lain sebagainya. Agar HIV/AIDS ini tidak menular. Kalau semakin banyak yang terinfeksi HIV, mungkin pemerintah tidak kuat lagi mensubsidi obat ARV kepada orang kita. Kalau ini dihapus, kita nggak kuat beli, matilah kita.

KDS Tali Kasih juga jadi tempat untuk kami saling mengingatkan kepatuhan minum obat. Seperti yang kini saya lakukan bersama istri. Dalam hal minum obat, saya dan istri sekarang saling memperingatkan. Jadi saya sebagai pengawas minum obatnya ibu. Kalau ibu, saya yang ngawasi. Kadang-kadang kalau pagi kami pasang weker. Kalau sudah jam 8, minum obat. Kepatuhan minum obat kita tanamkan. Sebab sudah banyak kawan yang tidak patuh minum obat, akhirnya sakit, meninggal.
Sebelum membentuk KDS Tali Kasih, saya juga ikut aktif di kegiatan yayasan. Kadang-kadang juga diundang wawancara dengan berbagai media massa. Saya memang sengaja menyiapkan diri untuk membuka diri agar masyarakat luas tahu, bagaimana penularan HIV/AIDS. Bahwa HIV/AIDS tidak menular melalui kontak sosial. Dengan begitu, saya berharap masyarakat tidak lagi mendiskriminasi kami, orang-orang yang hidup dengan HIV. [Seperti Diceritakan Kepada Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 22,November 2006]

Tidak ada komentar: