Google
 

Jumat, 10 November 2006

Made Siti, Ketika Seorang Istri Terinfeksi HIV dari Suami

Tahun 2005 saya mulai sakit. Sama sekali nggak ada nafsu makan. Badan gatal-gatal, bibir sampai lidah jamuran. Saya sudah ke mana-mana. Periksa ke dokter spesialis dalam, katanya ya nggak ada apa-apa. Sudah habis biaya banyak, tapi nggak sembuh-sembuh. Berat badan saya terus menurun. Dari 50 kg, jadi 35 kg. Sama sekali nggak ada nafsu makan. Bapaknya (suami, red) terus maksa-maksa saya makan. Dikasi bubur, susu, sampai disuapin. “Saya pingin kamu hidup,” begitu aja dia.

Saya sudah pasrah. Waktu itu kita belum tahu ini (terinfeksi HIV). Belum ada pengecekan darah. Akhirnya, bapaknya (suami, Made Suparja) mungkin cek lebih dulu. Mungkin dia tahu dirinya HIV positif, baru saya diajak ke Denpasar. Langsung masuk ke Rumah Sakit Sanglah untuk tes. Di situ diketahui saya positif HIV. Lantas, dibilang dah kita (Siti dengan suami,red) positif. Langsung ditangani.

Waktu pertama kali diberitahu dokter, sebenarnya saya tidak begitu kenal sekali apa itu HIV. Tapi sudah dengar-dengar. AIDS itu dalam pikiran saya sudah penyakit yang paling bahaya bagi saya dulu. Dulu saya nggak tahu bagaimana tertular. Tapi ya, lama-lama tahu. Cuma dengan hubungan dan jarum suntik. Jadi saya tanya sama bapaknya (suami, red). Saya kawin dengan bapaknya kan setelah suami saya yang dulu (pertama, red) meninggal. “Semenjak kawin sama saya, apa kamu pernah nyari orang di luar lagi,” saya tanya gitu sama bapaknya. Ya, dia sumpah-sumpah dia nggak pernah. Waktu bujangan itu kan memang hidupnya keliling. Di Jawa, Sumatera, dia sering bergaul sama tamu-tamu.

Awalnya saya sempat menyalahkan bapaknya sedikit. Tapi bagaimana pun, dia sudah minta maaf. “Harus bagaimana lagi, mungkin sudah nasib kita,” katanya begitu. Saya pikir, kalau kita terlalu menyalahkan cuma akan jadi pertengkaran. Toh kita sudah begini. Sudah nasib. Nggak pernah lagi saya mengutarakan soal-soal menyalahkan dia itu. Saya terima aja apa adanya. Saya sudah nggak pernah ada keluhan bagimana-bagaimana. Itu namanya sudah nasib, harus diterima.

Waktu sakit, keluarga juga sempat menanyakan hasil tes darahnya. Saya terus terang aja sama keluarga. Saya bilang HIV. Pertama-pertama bapaknya malu dan marah. “Kenapa kamu langsung bilang sama keluarga,” begitu dia bilang. Habis keluarga menanyakan, bagaimana saya harus sembunyikan, nggak bisa saya. Soalnya dari dulu saya memang nggak pernah bisa bohong. Yang penting saya nggak maling, saya bilang begitu sama bapaknya.

Saya merasa beruntung dapat penanganan. Mungkin kalau satu bulan terlambat, saya sudah nggak ada (meninggal). Ya…, mungkin Tuhan masih menginginkan saya hidup. Sekarang kita sudah banyak kenal dengan banyak kawan yang juga mengalami begini (HIV positif). Saya sudah biasa, jadinya menerima. Dulu, rasanya kita ke puskesmas aja malu. Tapi sekarang saya sudah biasa. Kawan-kawan juga merasakan, sekarang yang namanya diskriminasi itu sudah tidak ada. Teman-teman yang sudah mengerti bagaimana penularannya itu, sudah nggak mendiskriminasi. Pernah saya berobat ke Denpasar, naik motor, pinjam helm sama teman saya di pasar. Dikasi sama dia. Tapi ada yang tidak mengerti, teman saya itu ditegur. “Ih…, kamu kok dikasi dia pinjam helm. Dia kan kena AIDS,”. Tapi oleh teman saya dijawab, “Ya, saya tahu itu penularannya. Nanti kalau bagaimana, biar saya ditulari nggak apa.”

Sekarang saya dan bapaknya selalu saling mengingatkan minum obat (antiretroviral, obat penghambat pertumbuhan virus HIV). Kalau pas sibuk, kadang-kadang saya kan lupa. Ya.., telat 15 menit karena sibuk jualan di pasar. Malah kadang jam 8 bapaknya masih tidur. Dia itu agak malas. Akhirnya kita saling mengingatkan. Apalagi kita cuma hidup berdua, tidak ada anak.

Kami berdua sekarang cuma ingin menjalani hidup apa adanya. Kami sudah nggak lagi berharap ada anak. Namanya saya sudah tua, nggak nutup-nutupi, sudah lebih dari 15 tahun ini saya nggak berhubungan (seks,red) apa-apa sama bapaknya. Apalagi dia mengidap penyakit kencing manis, kan nggak mampu dia itu. Tapi saya nggak pernah nuntut. Saya cuma heran. mengapa baru satu tahun ini kami tahu kena penyakit ini? Padahal kami sudah lama nggak pernah berhubungan. Ya, mungkin dulu. Mungkin dia sudah kena dulu, saya nggak tahu. Saya juga nggak menyangka karena dia dulu kan sehat sekali. Badannya gemuk sekali.

Harapan saya untuk ibu rumah tangga lain, kita harus lebih berhati-hati walau dengan suami sekalipun. Umpamanya kita punya suami yang suka keluyuran, kalau berhubungan kita harus berusaha pakai kondom. [Seperti Diceritakan kepada Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 22,November 2006]

Tidak ada komentar: