Google
 

Jumat, 20 Oktober 2006

Ed-Eddy & Residivis Bersenandung, Polisi Tersinggung

Grup band E&R Bali terbelit dakwaan penghinaan. Lirik Lagunya meneriakkan kata ”anjing” setelah menyebut ”polisi”. Sudah berkali-kali dilantunkan. Baru diperkarakan justru saat konser amal.


“ Badan kekar, kumis melintang
Gayanya hey man, melebihi setan
Terang saja nyaliku tertantang
Tak pakai tunggu, langsung kuserang

Rambut panjang, dicat kuning kampungan
Berkaca hitam, padahal sudah malam
Kupikir preman, ternyata bukan
Kupikir rocker, ternyata polisi

Reff: Anjing !!!
Kukira preman
Anjing !!!
Ternyata polisi

Simpan borgol itu, jangan penjarakan aku
Cuma kebawa emosi
Siapa suruh pintar menyamar
Sampai-sampai kamu kusambar ”

Bait demi bait lagu berjudul “Anjing” itu, penuh semangat dilantunkan Sofian Hadi (32 tahun) dengan iringan hingar bingar musik rock alternatif, 1 Juli lalu. Ed-Eddy, sapaan akrab Sofian, bersama empat personil grup band “Ed-Eddy & Residivis (E&R), ketika itu tampil meramaikan Konser Amal Musik Kemanusiaan “Dari Bali untuk Jogja”. Lagu Anjing menjadi lagu kelima sekaligus lagu terakhir yang ditampilkan E&R di ajang yang sukses mengumpulkan dana Rp 10juta bagi korban gempa Yogyakarta itu.

Teriakan riuh ribuan penonton di Lapangan Sepakbola Pegok Sesetan Denpasar malam itu, awalnya membuat lega Ed-Eddy sang vokalis bersama Teguh Setia Budi alias Igo pada gitar, Gede Bagiarta alias Joe pada bass, Deni pada gitar, dan Agung Oka pada drum. Respon positif para penonton, menjadi indikasi rasa puas mereka terhadap penampilan E&R dalam ajang gelaran Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Bali, Pemerintah Kota Denpasar, Perguruan Sandhi Murti, dan Himpunan Mahasiswa Program Ekstensi Fakultas Hukum Universita Udayana itu.

Tak disangka, penampilan E&R malam itu ternyata membuat tersinggung aparat kepolisian yang bertugas di lokasi konser. Usai acara, sejumlah aparat kepolisian dari Polsek Denpasar Selatan, mencari para personil E&R. “Malam itu saya dihubungi teman. Katanya ada polisi yang nyari kami,” cerita Igo, pemain gitar yang sekaligus pencipta lagu “Anjing”. Malam itu juga, mereka berinisiatif mendatangi Polsek Denpasar Selatan untuk mengklarifikasi maksud lirik lagu tersebut. Selama 24 jam, mereka menjalani pemeriksaan di Mapolsek. Dua personil E&R, Ed-Eddy dan Igo, akhirnya ditetapkan sebagai terdakwa.

Dalam persidangan awal di Pengadilan Negeri Denpasar, 4 Oktober lalu, Tim jaksa Ridwan Kadir, SH dan Suparta Jaya, SH, mendakwa Ed-Eddy dan Igo dengan pasal 207 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penghinaan lembaga negara dengan ancaman hukuman satu tahun 6 bulan penjara. “Terdakwa telah secara bersama-sama dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan, menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, yakni Kepolisian Republik Indonesia,” begitu jaksa dalam surat dakwaannya.

Dalam surat dakwaan yang sama, juga dikutip lirik lagu yang menurut jaksa mengandung unsur penghinaan, yakni “Kukira Preman, Ternyata Polisi Anjing!!!”. “Terdakwa Sofian Hadi Als. Ed-Eddy bersama terdakwa sTeguh Setia Budi Als. Igo dengan sengaja menyanyikan lirik lagu tersebut secara berulang-ulang dengan menekankan pada kata-kata Polisi Anjing. Bahkan terdakwa Sofian Hadi Als. Ed-Eddy sambil memegang microphone mengarahkan microphone ke arah penonton dengan tujuan mengajak penonton ikut bernyanyi, namun dibalas dengan teriakan uuuuuh dari peninton. Hal ini membuat para anggota polisi yang mengamankan konser tersebut merasa terhina karena mendengar lirik lagu yang dinyanyikan oleh para terdakwa,” demikian diungkap dalam surat dakwaan.

Mendengar dakwaan jaksa, di hadapan majelis hakim yang diketuai Daniel Palinti, SH, Igo mengajukan protes atas pemenggalan lirik lagu yang salah. Pria yang juga personil grup band Telephone itu ngotot meminta waktu untuk bisa menyanyikan lagu versi aslinya. “Pak hakim, tolong berikan kesempatan kepada kami untuk menyanyikan lagu yang oleh pak jaksa dinilai menghina. Ini penting agar semuanya menjadi jelas,” ujar pria kelahiran Bandung itu.

Namun Jaksa Supartha Jaya langsung merespon permintaan Igo. “Interupsi majelis hakim. Seorang terdakwa tidak dibenarkan menyampaikan sesuatu selain menyampaikan eksepsi atas dakwaan jaksa. Itu pun harus dilakukan pada waktunya,” tegas Suparta disambut sorak para rekan dan penggemar Ed-Eddy dan Igo yang hadir di ruang sidang, yang menamakan diri sebagai Aliansi Seniman Bali Bersatu.

Di luar persidangan, Igo dan Ed-Eddy mengaku tidak pernah menyangka lagu mereka bakal dipermasalahkan. Padahal, lagu Anjing dibuat sebagai sebuah pesan sosial agar masyarakat tidak cepat berprasangka buruk. Dalam lagu yang diciptakannya tengah tahun 2005 lalu itu, Igo bermaksud menggambarkan seorang polisi yang tengah melakukan penyamaran, berpenampilan seperti preman. Karena diduga preman, ia yang terbawa polisi lantas memukul si polisi. “Sama sekali tidak ada niat menghina polisi. Hanya mengimbau orang-orang agar tidak mudah emosi. Justru kami ingin memuji kinerja polisi yang sukses melakukan penyamaran. Kata anjing hanya ekspresi kaget dan kesal pada diri sendiri,” jelas Igo.

Igo menyesalkan kalau hasilnya berkreasi dipasung dengan pasal-pasal hukum. Langkah-langkah hukum dari Polsek Denpasar Selatan itu, menurutnya merupakan bentuk mengekang kreativita seniman. ”Ini kan sebuah pentas seni. Framenya adalah karya seni. Ini hanyalah sebuah lirik. Tulisan yang bisa dinyanyikan, difilmkan. ”Malah lagu-lagunya Iwan Fals, lebih dari ini,” ungkap Ed-Eddy menyambung, sembari melantunkan sebait lagu Stasiun Kereta karya musisi legendaris Indonesia itu. ”Di depan ada Polantas, wajahnya begitu beringas, tangkap aku. Tawar menawar harga pas, tancap gas.”

Namun jaksa Ridwan Kadir tak begitu saja menerima. Kepada GATRA, Ridwan menegaskan bahwa dakwaan jaksa bukan tanpa alasan. Selain ada ketersinggungan dari pihak kepolisian yang diwakili Kapolsek Denpasar Selatan, juga ada 5 saksi di lokasi yang memperkuat dakwaan. Empat saksi mengaku mendengar langsung kalimat makian kepada polisi. Sementara satu orang saksi mengaku tidak mendengar langsung, melainkan hanya mendengar cerita teman. Tak cuma itu, ada juga kesaksian memberatkan dari saksi ahli, Dosen Sastra Universitas Udayana, I Nengah Sukartha. Menurut Ridwan, saksi ahli dengan tegas menyebut bahwa lagu anjing memang benar mengandung penghinaan terhadap kepolisian dan lirik ”Kukira preman ternyata polisi anjing” dapat diartikan bahwa polisi sama dengan anjing.

Sikap jaksa yang menolak terdakwa menyanyi di pengadilan, jelas Ridwan, sangat beralasan. ”Karena belum waktunya. Dalam susunan acara persidangan kan baru boleh menyampaikan eksepsi, tanggapan terhadap dakwaan. Kalau tiba saatnya, ada agenda pembelaan, ya silakan,” Ridwan beralasan. Menghargai kreativitas seni, bagi Ridwan bukan menjadi alasan menyinggung pihak lain. ”Kreasi sih boleh sepanjang tidak merugikan orang lain,” jelas Ridwan yang mengaku belum pernah menemukan kasus serupa. Melanjutkan kasus dari kepolisian yang sampai di kejaksaan, jelasnya, merupakan tugas yang harus dilaksanakan. Karenanya, ia tak memandang apakah persoalan ini krusial atau tidak. ”Kita hanya menjalankan tugas. Tentang bagaimana pembuktiannya, kita uji di pengadilan. Apakah nanti hakim sependapat dengan jaksa atau tidak, kita lihat nanti,” tambahnya.

Pengacara Igo dan Ed-Eddy, Agus Samijaya, SH, menilai tuntutan jaksa terlalu berlebihan dan mengada-ada. Menurutnya, lagu Anjing seharusnya dipandang sebagai sebuah kesatuah yang utuh, di mana ada dedikasi anak muda, para seniman musik, menggunakan keahliannya untuk peduli pada sesama di Yogyakarta. Terlebih banyak pihak yang memandang lirik lagu Anjing hanya sepenggal-sepenggal. ”Lirik lagu itu seharusnya diteliti lebih jauh secara utuh. Kata Anjing hanyalah bentuk penyesalan, pengumpatan terhadap diri sendiri. Tetapi kalau dilihat sepenggal-sepenggal, bisa salah mengartikan. Malah jangan-jangan mereka tidak melihat dan mendengar langsung,” keluhnya.

Agus juga menyesalkan kesaksian memberatkan dari aksi ahli. Tanpa mau memperkecil arti saksi ahli, Agus menilai keberadaan saksi ahli angat subjektif. ”Sebenarnya tidak perlu saksi ahli. Orang awam saja bisa menilai. Masalahnya lagi, apa benar saksi ahli mendapat lirik lagu itu secara utuh,” Agus mempertanyakan. Makna sebuah kara, menurutnya, sangat relatif, terbatas pada ruang dan waktu. Ia mencontohkan seorang Papua yang menggunakan koteka di Papua, adalah sesuatu yang dianggap sangat menjunjung budaya. Tetapi ketika menggunakan Papua di Bali atau Jakarta, maka responnya akan berbeda. ”Begitu juga kata-kata dalam lagu. Masalahnya adalah etis atau tidak. Konsep etika sendiri sangat relatif,” tegasnya. Bahkan kalaupun ada kalimat polisi anjing, perlu juga dilihat makna dibalik itu. ”Anjing pelacak yang jadi polisi kan juga ada,” tandasnya. Untuk membela kliennya, Agus mengaku akan menghadirkan saksi-saksi dan alat bukti yang meringankan.

Reaksi keras pihak kepolisian terhadap lagunya, membuat heran Igo dan Ed-Eddy. Pasalnya, lagu itu sudah beberapa kali dinyanyikan di beberapa panggung. Salah satunya, panggung konser penolakan RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi di Kuta, beberapa bulan sebelum kejadian. Pada Desember 2006, lirik lagu itu juga sempat dimuat utuh oleh sebuah media lokal di Bali.
Gara-gara terjerat kasus hukum, Igo yang sekaligus manager E&R mengaku menunda rilis album pertama mereka. Pasalnya, lagu anjing masuk dalam sala satu dari 8 lagu di album yang sudah selesai masterring itu. Rencana awal, album itu akan dirilis sekitar Agustus atau September tahun ini. ”Kita tunggu dulu sampai masalah ini clear. Agar kita bisa fokus,” ujar pria yang telah menciptakan hampir 100 lagu itu.

Ed-Eddy, Igo, dan kelompok mereka E&R, tak pernah menduga kalau grup yang awalnya dibentuk sebagai bentuk kekaguman mereka kepada polisi, justru bermasalah dengan aparat penegak hukum itu. Ed-Eddy mengaku, ide penamaan Ed-Eddy & Residivis muncul dari kesenangan mereka menyaksikan Bang Napi di tayangan kriminal. Bahkan bang napi menginspirasi mereka hingga gambar napi diborgol menjadi simbol grup band E&R. Mereka tak pernah menduga, borgol itu justru kini mengancam mereka.

Meski begitu, Ed-Eddy dan Igo mengaku tak gentar untuk terus berkreasi. Keduanya berjanji akan terus berkarya. ”Karena pada prinsipnya, kita hanya menceritakan realita saja,” ujar Igo. Keduanya berharap kebebasan berkreasi bisa dihargai di negeri ini. [Komang Erviani / pernah dimuat di Majalah GATRA Edisi No. 48 Tahun XII, 18 Oktober 2006]

Tidak ada komentar: