Google
 

Senin, 09 Oktober 2006

Menanti Kebijakan Memberi Harapan

Kebijakan pemerintah menjadi penting dalam melepaskan anak-anak dari ancaman HIV/AIDS. Pengobatan yang tepat jadi harapan. Keceriaan masa kanak-kanak berhak mereka dapat.

Mengunjungi tempat tinggal Dian (2,5 tahun), sebut saja begitu, kini hampir pasti membuat Ketut Dewi Kumara Wati berseri. Maklum, dokter spesialis anak di Rumah Sakit Sanglah itu tak lagi menemukan bocah perempuan yang hanya bisa terduduk lemah. Dewi kini hanya menemukan sosok bocah yang aktif berlari ke sana kemari, selalu melempar tawa di setiap kesempatan. “Dulu dia bahkan berdiri saja nggak bisa. Sekarang sudah bisa berlari, bantu-bantu di rumah. Bahagia sekali melihatnya,” ujar Dewi bersemangat.

Ketika pertama kali bertemu, kondisi Dian memang cukup memprihatinkan. Puskesmas di wilayahnya merujuk Dian karena kurang gizi berat. Gangguan pernafasan karena asma, juga cukup mengganggu fisiknya. Hasil tes menyatakan Dian positif terinfeksi HIV. Ternyata, sang ayah tengah mengikuti terapi antiretroviral (ARV) untuk menekan perkembangan virus HIV dalam darah orang dengan HIV positif (Odha). Dian juga telah kehilangan kakak dan ibu kandungnya, diperkirakan karena HIV.

Kondisi kesehatan Dian yang membaik, tak lepas dari terapi ARV yang dijalankannya sejak Februari 2006 lalu. Kini, setiap hari, Dian harus meminum obat tersebut. Dian juga tergolong beruntung, karena tidak ada efek samping yang diakibatkan obat itu. Terapi ARV memang cenderung menyebabkan efek samping yang beragam pada setiap Odha. “Sejauh ini belum ada efek samping. Mudah-mudahan nggak,” harap Dewi.

Terapi ARV merupakan salah satu bentuk pengobatan yang paling manjur bagi orang-orang terinfeksi HIV saat ini. Obat ARV yang telah disubsidi pemerintah secara penuh sejak 2004 lalu itu, telah meningkatkan kualitas hidup ratusan Odha di Bali. Tak terkecuali bagi anak-anak.

Namun menurut Dewi, belum adanya obat ARV khusus untuk anak-anak telah menjadi kendala penanganan anak-anak dengan HIV positif. Selama ini, obat ARV yang diberikan pada anak hanyalah obat ARV biasa yang disesuaikan dosisnya. Namun penerapannya menjadi sulit karena dasar pertimbangan untuk menentukan perbandingan dosis kombinasi obat menjadi jauh berbeda. Pasalnya, pada anak-anak ada pertimbangan berat badan dan luas permukaan tubuh. “Kalau pada orang dewasa, memang dosis sudah pas. Tapi pada anak-anak, beda. Harus dipertimbangkan berat badan dan luas permukaan tubuh,” jelas Dewi.

Pertimbangan berat badan dan luas permukaan tubuh dilakukan untuk mengukur kemampuan obat itu dimetabolisme di dalam tubuh, serta mengukur beban hati dan ginjal akibat obat itu. “Pada anak-anak, dosis itu akan sangat berpengaruh. Komposisi tubuh anak , antara lemak, padat, dan air, beda sekali dibandingkan pada orang dewasa. Pada bayi baru lahir dan bayi yang sudah beberapa bulan, balita, juga beda. Cara mereka minum obat juga beda,” keluhnya. Masih menurut Dewi, obat ARV anak sampai saat ini belum masuk ke Indonesia. Nigeria termasuk salah satu negara yang mendapat bantuan terapi ARV anak-anak.

Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional, Nafsiah Mboi, mengakui belum ada obat ARV khusus anak di Indonesia. Perempuan asal Sulawesi itu juga mengakui pentingnya pengadaan obat ARV khusus anak, mengingat kondisi tubuh anak-anak berbeda dengan orang dewasa. “Kita mau adakan penelitian-penelitian khusus untuk anak-anak HIV. Termasuk bagaimana pengobatan yang tepat bagi mereka,” jelas Nafsiah.

Permasalahan anak, menurut Nafsiah, tengah menjadi perhatian KPA. Untuk itu pihaknya telah membuat kelompok kerja anak dan remaja, khusus untuk membahas penanganan HIV/AIDS pada anak dan remaja usia 0 sampai 24 tahun. Pasalnya, kasus anak-anak dengan HIV positif terus meningkat. “Secara data, anak HIV tercatat tidak banyak. Hanya 17 orang anak di bawah 15 tahun. Tapi ternyata di satu rumah sakit di Jakarta saja, dikatakan sudah merawat 100 anak HIV positif. Jadi ini sudah masalah yang berbahaya dan perlu penanganan segera,” terangnya.
Upaya lain yang juga akan makin digalakkan KPA Nasional, menurut Nafsiah, adalah

Program Prevention Mother Care Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT). PMTCT merupakan program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi. Prinsip utama dari program ini adalah perencanaan kehamilan oleh Odha, pencegahan penularan selama kehamilan dengan obat-obatan antiretroviral, pencegahan penularan saat kelahiran melalui caesar, serta pencegahan penularan setelah kelahiran dengan tidak memberikan air susu ibu (ASI). ASI merupakan salah satu cairan tempat tinggal virus, selain dalam darah dan cairan kelamin. Dalam program ini, bayi juga diberi obat ARV selama satu minggu pertama untuk mengurangi risiko penularan.

Ketua Kelompok Kerja Care Support and Treatment Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Tuti Parwati, juga menilai program PMTCT sangat penting karena 15-40 persen anak tertular dari ibunya. “Kalau ibu tidak diapa-apakan, tidak dapat treatment, berisiko,” jelas penemu kasus AIDS pertama di Indonesia pada 1987 itu.
Secara resmi, program PMTCT telah dilaksanakan di Bali melalui Rumah Sakit Sanglah sejak 2005 lalu. Belakangan, program ini juga dibentuk di Rumah Sakit Umum Singaraja. Namun sebelum dibentuk secara resmi, program ini sebenarnya telah dijalankan secara informal oleh beberapa dokter yang concern pada masalah HIV/AIDS.

Hasilnya, Bagian anak RS Sanglah kini tengah menangani 8 anak dari ibu HIV positif yang berusia antara 4 minggu sampai 4 tahun. Tiga anak di antaranya sudah dinyatakan negatif HIV setelah tes dilakukan ketika usia mereka di atas 18 bulan. 18 bulan adalah masa di mana kadar antibodi yang berasal dari ibu di dalam darah anak, mulai hilang. Pemeriksaan HIV jenis ELISA yang umum digunakan, menilai kadar antibodi HIV dalam darah. Jadi hasil tes saat anak belum berusia 18 bulan, tidak bisa memberi kepastian. Tes yang dapat memberi kepastian adalah tes PCR yang melihat langsung jumlah virus dalam darah. Namun tes jenis ini memerlukan biaya terlalu mahal sehingga jarang dilakukan. Dari tes PCR, diketahui ada 2 anak hasil program PMTCT telah positif terinfeksi HIV.

Program PMTCT memang tak menjamin anak bebas dari infeksi HIV/AIDS. Karenanya Tuti lebih menekankan pentingnya pemeriksaan HIV bagi masyarakat umum. Dengan tahu status HIV sedini mungkin, maka semua program pencegahan penularan dapat dilaksanakan. Dengan demikian, penularan HIV dapat ditekan dan tak ada lagi anak-anak yang lahir dengan membawa warisan HIV. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 21,Oktober 2006]

Tidak ada komentar: