Google
 

Senin, 09 Oktober 2006

Menghambat Gerak Virus di Tubuh si Kecil

Virus HIV bergerak lebih gesit di tubuh anak-anak. Perawatan yang salah sering jadi pemicu merosotnya kondisi kesehatan mereka. Perlu perhatian lebih dari para orang dewasa.


Kakak beradik asal Busungbiu Buleleng, sebut saja Gede Mahendra (4,5 tahun) dan Kadek Rendra (2,5 tahun), tiba-tiba dinyatakan positif terinfeksi HIV pada pertengahan 2005 lalu. HIV diketahui telah merusak sistem kekebalan tubuh kedua bocah laki-laki itu. Berbagai jenis penyakit akut, mulai dari mal nutrisi, jamur pada kulit, hingga radang paru-paru, telah menggerogoti tubuh mungil mereka.

HIV (Human Immunodeficiency Syndrome) merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh, sehingga seseorang menjadi sangat rentan terhadap berbagai jenis penyakit. Dalam jangka waktu tertentu, HIV dapat menyebabkan kumpulan gejala penyakit pada pengidapnya. Fase inilah yang disebut dengan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Penularan virus ini dapat terjadi melalui pertukaran beberapa cairan tubuh manusia, yakni darah, cairan kelamin, dan air susu ibu.
HIV yang hidup dalam darah Mahendra dan Rendra, diperkirakan berasal dari ibunya, sebut saja Luh Diah. Penularan bisa jadi melalui proses persalinan, atau air susu ibu (ASI). Luh Diah sendiri, dipastikan tertular dari suaminya yang tak lain ayah kedua bocah, sebut saja Komang Feri. Ayah kandung Feri, Wayan Parmita (53 tahun) menduga, Feri tertular HIV akibat kebiasaannya berganti-ganti pasangan semasa muda dulu.

Mahendra dan Rendra, tertular virus dari orang tuanya. Tetapi gejala-gejala akibat penularan virus itu, justru lebih dulu terlihat di tubuh Mahendra dan Rendra. Sebaliknya, Feri dan Luh Diah baru merasakan gejala penyakit beberapa bulan setelah hasil tes Mahendra dan Rendra diterima. Sesuai dugaan awal, Feri dan Luh Diah dinyatakan positif HIV. Keduanya meninggal awal 2006 lalu akibat berbagai penyakit yang ditimbulkan gara-gara virus itu.

Gejala-gejala penyakit yang justru lebih dulu terlihat di tubuh Mahendra dan Rendra dibandingkan kedua orang tuanya, mengindikasikan kerja virus dapat lebih cepat dalam tubuh anak-anak. Hal itu diakui Ketua Pokja Care Support and Treatment Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali, Tuti Parwati. Menurut penemu kasus HIV/AIDS pertama di Bali itu, sel-sel tubuh anak yang lebih muda cenderung lebih cepat terpengaruh. Itu sebabnya, virus HIV menjadi cenderung lebih cepat menggerogoti tubuh anak-anak dibandingkan orang dewasa.

Hal senada diakui dokter spesialis anak, Ketut Dewi Kumara Wati. Kepala Divisi Alergi Immunologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Sanglah itu menyebut, dalam kondisi normal pun tingkat kekebalan tubuh anak-anak cenderung lebih lemah dibandingkan orang dewasa. Itu karena sistem kekebalan tubuh anak-anak belum cukup terlatih. “Kita orang dewasa, setiap hari kontak dengan virus, tidak sakit. Tapi pada anak-anak, kan cepat sekali sakit,” jelas dokter yang banyak merawat anak HIV positif sejak 2004 .

Dua bulan lalu, Dewi juga menemukan infeksi HIV pada seorang bayi perempuan, sebut saja Tiara (10 bulan). Ketika ditemukan, Tiara telah mengalami diare kronis. Oleh orang tuanya, Tiara dikatakan telah mengalami diare sejak lahir. Berbagai rumah sakit telah dicoba untuk menyembuhkan, termasuk sebuah rumah sakit di Surabaya Jawa Timur.

Penyakit yang tak kunjung sembuh, mengundang kecurigaan adanya gangguan pada sistem kekebalan tubuh Tiara. Apalagi setelah uji lab atas kotorannya, ditemukan jamur-jamur yang tidak biasa menyerang anak-anak. Atas dasar itulah, Dewi melakukan pendalaman terhadap kedua orangtua Tiara. Hasilnya, orangtua Tiara mengaku pernah bersentuhan dengan aktivitas berisiko. “Ternyata ayahnya mengaku pernah ‘jajan’ dan make narkoba,” terang Dewi. Benar saja, hasil tes menemukan ada HIV dalam darah Tiara. Pemeriksaan tambahan berupa tes virulogis, menemukan sudah ada 4,6 juta copy virus HIV dalam darah bayi mungil itu.

Baru beberapa waktu setelah itu, kedua orang tua Tiara menjalani tes HIV, dan hasilnya reaktif (positif). “Biasanya memang anaknya duluan yang ketahuan (positif HIV),” tambah Dewi.

Menurut catatan Yayasan Spiritia, ada tiga tipe anak-anak HIV positif jika dilihat dari reaksi virusnya. Ada ‘pelanjut cepat’ di mana anak yang terinfeksi agak dini pada kehamilan akan mengembangkan tanda dan gejala penyakit pada usia 1-2 tahun. Anak tersebut akan melaju ke fase AIDS, di mana mulai muncul gejala-gejala penyakit, dengan sangat cepat. Kadar CD4 (sel pembentuk sistem kekebalan tubuh) akan merosot menjadi di bawah 100 sebelum usia dua tahun. Pada orang normal, kadar CD4 seharusnya 500.

Tipe kedua adalah ‘pelanjut pelan’, di mana harapan hidupnya lebih baik. Anak-anak ini terinfeksi saat melahirkan atau proses menyusui. Mereka cenderung mengembangkan bukti kerusakan parah pada sistem kekebalan tubuh pada usia 7-8 tahun. Kehilangan sel CD4 akan berlanjut berangsur-angsur. Terakhir, ada pula sekelompok anak dengan HIV positif yang akan tetap sehat dengan sedikit atau tanpa gejala penyakit dan kadar CD4 yang nyaris normal sampai usia anak 9 tahun.
Penelitian terhadap anak HIV positif di sejumlah negara maju menunjukkan, ketahanan hidup rata-rata mereka hanya 8-9 tahun. Ini berbeda dengan rentang waktu orang dewasa untuk mencapai fase AIDS sejak pertamakali terinfeksi yang bisa mencapai 10 tahun, bahkan lebih.

Selain Tiara, Dewi juga tengah merawat tiga anak positif HIV lainnya. Satu anak berusia 2,5 tahun, sebut saja Dian, diketahui terinfeksi setelah ditemukan dalam kondisi mal nutrisi yang parah. Bocah perempuan itu juga menderita asma. Setelah didalami, ternyata sang ibu telah meninggal dengan gejala-gejala mirip AIDS. Sementara sang ayah ternyata tengah menjalani terapi antiretroviral (ARV), terapi untuk menekan perkembangan virus HIV dalam darah bagi Odha.

Dua anak lainnya, adalah saudara kembar berusia 12 bulan. Keduanya tergolong bayi dari ibu HIV/AIDS (BIHA), sebutan untuk bayi yang terlahir dari ibu HIV positif di mana perkembangannya memang telah dipantau secara medis sejak dalam kandungan.

Penanganan kesehatan anak-anak HIV positif, bukan hal mudah. Dokter spesialis anak di RSU Singaraja, Ketut Ngurah Alit, menilai hal itu karena status HIV pada anak-anak umumnya baru diketahui setelah kondisi kesehatan mereka memburuk. Biasanya, kecurigaan adanya infeksi HIV baru muncul bila pertumbuhan anak tidak normal. Indikasinya beragam. Mulai dari sakit-sakitan, berat badan terus merosot, ada infeksi jamur yang berulang, sampai radang paru-paru yang tidak sembuh-sembuh. “Akhirnya, waktu kita temukan kondisinya sudah tidak baik,” jelas dokter yang menangani Mahendra dan Rendra ini.

Merawat anak dengan HIV positif, memang gampang-gampang susah. Salah satu kuncinya sebenarnya sangat sederhana, yakni kondisi rumah dan lingkungannya. Higienitasnya lingkungan rumah harus betul-betul dijaga. Anak HIV harus dijauhkan dari kondisi-kondisi yang memudahkan dia sakit. Menurut Dewi, anak tanpa HIV sekali pun, sangat rentan dengan penyakit. “Menurut pakar, dengan kondisi yang bersih sekali pun, anak dengan HIV positif pasti akan sakit. Apalagi kalau kondisinya tidak bersih,” ungkap Dewi.

Bahkan kontak dengan orang lain yang membawa virus, walau tidak dalam kondisi sakit, bisa membuat anak HIV tertular virus. Itu terjadi pada Dian beberapa waktu lalu. Virus campak telah membuat kulitnya memerah sampai berhari-hari. “Biasanya orang kena campak bisa sembuh dalam seminggu. Tapi dia kena campak berulang-ulang, dan nggak sembuh-sembuh. Jadi nggak jelas dia dapat virusnya dari mana,” Dewi menjelaskan.

Tak cuma itu, menjaga asupan gizi juga sangat penting. “Dia harus memakan makanan yang kaya kalori, lengkap proteinnya,” ujar Dewi lagi. Asupan gizi tidak seimbang, banyak menjadi kendala pada penanganan anak dengan HIV positif. Itu pula yang dihadapi Ketut Ngurah Alit dalam menanangani Mahendra dan Rendra. Menurut Alit, pengetahuan yang kurang tentang asupan gizi seimbang, telah memicu menurunnya kualitas kesehatan mereka. Belum lagi masalah kemampuan ekonomi yang tidak bagus. “Itu sangat merusakkan anak-anak itu. Karena bagaimanapun, penyakitnya sendiri sudah bikin orang gizi buruk. Jadi kalau sudah makan, ya sudah. Entah apa yang dimakan, kita nggak tahu. Apa hanya ubi saja, atau dia dapat susu. Kita nggak tahu. Padahal untuk anak-anak HIV, gizi tinggi yang perlu,” terangnya. Perawatan yang tepat, menjadi kunci peningkatan kualitas hidup anak-anak dengan HIV positif. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 21,Oktober 2006]

Tidak ada komentar: