Google
 

Rabu, 11 Oktober 2006

Vonis Rehab Pecandu, Pentingkah?

Pasal 47 UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menyebutkan, hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat melakukan dua hal. Pertama, hakim dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. Kedua, hakim dapat menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.

Dalam ayat 2 pasal yang sama, disebutkan juga bahwa masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu dapat diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Sejak diundangkan dan berlaku pada 1 September 1997, belum pernah ada satu pun vonis hakim yang memberi hukuman rehab pada pecandu. Vonis rehab seperti sebuah vonis yang tabu bagi para hakim. Hukuman penjara menjadi satu-satunya pilihan yang diterapkan untuk memvonis para pecandu. Kebijakannya lebih pada lama masa tahanan.

Pentingkah vonis rehab bagi pecandu narkotika? Lalu kenapa tak ada satu pun hakim di negara ini yang pernah menjatuhkan vonis rehab? Simak pernyataan Wayan Yasa Abadhi, Hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang banyak menangani kasus narkotika, dan Denny Thong, Staf Ahli Badan Narkotika Provinsi (BNP) Bali.


Wayan Yasa Abadhi (Hakim PN Denpasar): Kita Juga Khawatir

Memang idealnya, kami memberi vonis rehab kepada pemakai. Apalagi keadaan di LP Kerobokan saat ini sudah tidak menguntungkan lagi. Di situ ada pengedar bahkan pengekspor. Kita juga khawatir kalau pemakai dimasukkan ke situ. Selama ini kami berusaha menjatuhkan pidana yang ringan kepada mereka.

Perlu diwacanakan ke depan, bagaimana dalam hal-hal khusus, pemakai direhabilitir saja. Sehingga kalau kita sudah masuk ke situ, harus disiapkan. Pemerintah harus betul-betul komit. Seperti Dinas sosial. Saat kasus narkotika sudah meningkat seperti sekarang, kalau dalam jangka pendek pemerintah pusat belum bisa membantu, jangan gepeng di jalanan itu aja yang diurusin.

Memang sudah ada lembaga rehabilitasi yang memadai. Tetapi tentunya harus ada koordinasi antara lembaga itu sendiri, pengadilan, kejaksaan, dan pihak terkait. Bahkan dengan lembaga pemasyarakatan.

Perkara (narkoba) yang masuk, memang banyak sekali mereka dapatkan dari dalam (lapas). Tapi di satu sisi, hakim kadang kadang dilematis. Menjatuhkan putusan ringan, kadang-kadang disorot. Dikira ada apa-apa. Padahal kita melihat itu kan bukan sekadar kesalahan

Dalam kasus Bali Nine, saya nggak ada kompromi lagi. Memang kalau sindikat pengedar itu sudah bisa kita habisi, sebetulnya di bawah sudah nggak ada. Pokoknya yang besar dengan tingkat kesalahan yang besar, saya jatuhi hukuman maksimal. Kalau mereka sebagai pemula, kita jatuhkan pidana yang bersifat mendidik. Karena pemidanaan itu kan memperhatikan sisi pendidikan juga.

Kendala utama untuk menjatuhkan vonis rehab, karena lembaga rehab belum tersosialisasi. Minimal dikoordinasikan dengan aparat penegak hukumnya. Kalau sudah ada koordinasi, dari kepolisian sudah bisa dilakukan rehabilitasi. Selama ini kan kalau mereka sudah masuk persidangan, rata-rata mereka sudah menjalani penahanan. Koordinasikan dengan masyarakat dan aparat sehingga keberadaannya diketahui dengan jelas.

Pecandu, untuk menghilangkan kecanduannya, kan harus pelan-pelan. Tidak bisa seketika. Sehingga diperlukan suatu proses. Memahami proses untuk menghentikan itu kan perlu melalui lembaga rehabilitasi.

Kalau ngomongin efek jera, kalau sudah ditangkap sekali, pasti merasa jera. Tapi kalau yang sudah benar-benar kecanduan, kan nggak bisa. Penanggulangannya yang perlu dibedakan. Karena untuk pemberantasan kejahatan, termasuk diantaranya narkoba, peran pencegahan yang penting. Kalau di bidang hukum kita sebut penanganan melalui penal (secara hukum), itu kurang. Penanganan non penal (di luar hukum) akan lebih efektif, lebih penting. Bagaimana pergaulan masyarakat. Kalau represif, umpamanya hakim memberi hukuman yang tinggi, nggak dijamin mereka tidak akan melakukan lagi.


Denny Thong (Staf Ahli BNP Bali): Mereka Sakit, Harus Diobati

Penting sekali menjatuhkan vonis rehab untuk pecandu. Itu kalau kita bisa membedakan sesuatu hal yang kelihatan simpel, tapi sulit. Yakni membedakan antara pengedar dengan pemakai. Karena di antara itu ada grey area di mana pemakai adalah pengedar juga. Itulah yang saya sebutkan sebagai pengedar kepepet. Sebenarnya kalau mau cari pengedar yang murni, orang-orang gede yang tidak pernah menyentuh barang. Jadi mereka melakukan murni hanya untuk uang. Orang-orang ini yang tidak pernah tertangkap. Sekarang yang ditangkap paling para pengedar kepepet.

Karena saya seorang dokter, saya tetap melihat dari sudut narkoba sebagai satu sakit. Jadi orang yang sakit harus disembuhkan. Ini di luar garis hukum legalitas. Orang yang sakit dan merasa disakiti, harusnya dibantu. Bukan dihukum. Dalam mengobati itu, ada banyak sekali taktik dan strategi. Dimana salah satu adalah memang rehabilitasi. Bukan terbaik, tapi itu salah satu. Jadi mereka yang telah ketangkep demikian, tetapi menunjukkan ada itikad ingin berhenti, seharusnya kita mengulurkan tangan. Itu juga tidak menjamin bahwa dia akan sembuh. Tapi paling sedikit berusaha menyembuhkan. Dari pada ngambil satu sikap di mana mereka hanya dilihat hitam putih, salah dan tidak salah, yang tampaknya dalam hal-hal tertentu, tidak menyembuhkan.

Efek jera sudah pasti perlu. Itu saya selalu setuju. Tetapi kalau kita lihat sebagai penyakit, tidak bisa melawan, maka mereka harus diobati juga. Bukan rahasia lagi, di LP (Lembaga Pemasyarakatan) Kerobokan mereka akan ketemu para profesional. Mereka belajar lagi. Jadi saya sangat setuju dengan UU narkotika, ada pasal yang menyatakan boleh diputuskan salah, tetapi dimasukkan rehabilitasi. Hanya pelaksanaannya yang belum sama sekali. Karena belum ada peraturan pelaksananya. Kalau dia lari dari tempat rehabilitasi, siapa yang nanggung. Karena ini kan namanya pidana. Terutama ya masalah uang. Untuk apa masuk rehabilitasi, gimana caranya bayar.

Sebenarnya narkoba masalah yang sangat kompleks di mana perlu kerjasama semua pihak termasuk pemerintah, swasta. Jadi saya sangat pro adanya rehabilitasi. Tempat-tempat rehab sebenarnya sudah ada, tetapi tidak ditunjang oleh undang-undang negara dan pelaksananya. Jarang sekali atau belum pernah saya dengar hakim memutuskan dengan vonis rehab. Sebaiknya divonis dengan rehab. Jadi hukumannya tetap enam bulan, tetapi di tempat rehab. Masalahnya, siapa yang menjamin mereka tidak lari.

Setahu saya di Malaysia dulu ada sikap begitu, masuk rehab semua. Kalau di Bali, relatif kita punya tempat rehab bagus. Yang saya tahu Yakita dan YBN. Cuma ya sekarang, hakim kan juga perlu pendekatan. Mereka perlu ada advokasi. Saya juga sudah beberapa kalu menganjurkan polisi untuk memasukkan rehab.

Pidana ringan, menurut saya nggak membantu. Karena ringan, toh dia masuk. Dia kan kontak dengan kelas berat. Itu yang berat sekali. Anak-anak yang masih di grey area, bisa ke sana bisa ke sini. Mereka harus ditarik ke bagian putih. Kalau mereka ke bagian hitam, akan hitam terus. Sangat berbahaya.



Karena Penjara Bukan Solusi

Awal 2006, Courtney Love, 41 tahun, divonis bersalah melakukan tiga kasus kriminal di mana dua diantaranya dilakukan di bawah pengaruh obat-obatan terlarang. Hakim Pengadilan Negeri Los Angeles Amerika Serikat memvonis mantan penyanyi grup band rock Hole itu dengan hukuman mengikuti program rehabilitasi selama enam bulan. Mantan istri dari rocker yang mati tertembak, Kurt Cobain, itu kemudian menjalani program di pusat rehabilitasi narkoba California. Tak cuma itu, selepas rehab ia juga diwajibkan menjalani ‘rawat jalan’, melanjutkan terapi penyembuhan ketergantungan narkoba dan harus menghindari segala hal yang berhubungan dengan alkohol sampai Maret 2007. Dua kali seminggu, Courtney Love wajib menjalankan tes narkoba dan alkohol.

Vonis rehab untuk pecandu narkoba, sudah menjadi hal biasa di banyak negara. Tetapi, tidak di Indonesia. Meski Pasal 47 UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah mengatur kemungkinan itu, toh hingga kini belum ada satu pun hakim yang menjatuhkan vonis rehab kepada pecandu.

I Gusti Ngurah Wahyunda, Ikatan Persaudaraan Pengguna Napza Indonesia (IPPNI) Representatif Bali, mengakui pentingnya vonis rehab bagi para pecandu. Lembaga pemasyarakatan (LP) yang ada selama ini menurutnya bukanlah tempat yang tepat bagi pecandu. Kecuali bagi pecandu yang melakukan tindakan kriminal seperti mencuri, merampok, dan lainnya. Apalagi sudah menjadi rahasia umum, LP merupakan tempat dengan peredaran narkoba terbesar. Justru di dalam LP, narkoba bisa dengan mudah didapat. “Kita memang salah. Kita juga kan korban. Kecuali kalau dia melakukan tindakan kriminal, ya jangan ditoleransi,” ujar Wahyu yang belakangan getol memperjuangkan hak-hak pecandu.

Belum adanya vonis rehab dari para hakim di negara ini, membuat kecewa Wahyu. Namun ia tak menyalahkan para hakim. “Masalahnya banyak. Pemerintah tidak punya tempat rehab. Terus kalau divonis, siapa yang nanggung? Ini yang belum dirumuskan secara serius,” ungkapnya. Meski begitu, kebijakan vonis rehab menurutnya makin mendesak untuk dilakukan, agar tidak semakin banyak masyarakat umum yang menjadi korban. [Komang Erviani pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 21, Oktober 2006]

1 komentar:

Admin mengatakan...

Nah, ini yang betul! Pemakai narkoba tidak seharusnya dipenjara karena disanalah mereka semakin bergaul akrab dengan barkoba dan pengedar/bandarnya.
Kalau kita ingin kakak-adik, bapak-ibu, anak-cucu kita jauh dari narkoba, maka para hakim harus bertindak. STOP PENJARAKAN PENGGUNA NARKOBA