Google
 

Senin, 09 Oktober 2006

Mereka Terlahir dengan HIV

HIV/AIDS sudah menjadi problem untuk populasi anak-anak. Banyaknya pihak yang tidak menyadarinya, menghambat penanganan kesehatan mereka. Karena tak mudah mengenali HIV pada anak.

Kadek Rendra (2,5 tahun), sebut saja begitu, hanya terduduk diam di pangkuan Luh Polih (45 tahun), sang nenek. Tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir mungilnya. Tak tampak pancaran keceriaan dari wajah bocah laki-laki itu. Ekspresi wajahnya datar.

Rendra memang tak seperti anak-anak lain seusianya. Jangankan berjalan, merangkak pun ia belum bisa. Virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang ada dalam darahnya, membuat tubuh bocah yatim piatu ini tak berkembang secara normal.

Tanda-tanda tidak normal pada kesehatan Rendra, sebenarnya telah terlihat sejak ia berusia tiga bulan. “Biasanya kan anak kecil sehat. Tapi ini nggak naik-naik timbangannya. Turun-turun terus. Enam kilo (gram), lima kilo, bisa turun lagi tiga kilo,” cerita Wayan Parmita (53 tahun), sang kakek. Berat badan yang terus turun saat itu, membuat tubuh Rendra terlihat tak normal. Hanya ukuran leher dan kepala saja yang normal. Tubuhnya yang terlalu kecil bahkan tak mampu menyangga kepalanya sendiri.

Rendra kemudian dibawa ke Rumah Sakit Umum (RSU) Buleleng, sekitar 25 km dari desa tempat tinggalnya di Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Bali. Dokter menyatakan Rendra mengalami radang paru-paru dan gizi buruk. Operasi sempat dilakukan terhadap bocah malang itu. Pasca operasi, kondisinya sedikit membaik. Pertumbuhan badannya mulai normal, meski gizi buruknya belum teratasi sepenuhnya. Namun, sesak nafas masih sering dialami.

Radang paru-paru yang cukup parah, tak wajar pada anak seusianya, mengundang curiga. Dari sanalah tim dokter menyarankan melakukan tes HIV terhadap keduanya. Tes akhirnya dilakukan 2005 lalu. Tes awalnya hanya dilakukan terhadap Rendra. Hasil tes ternyata reaktif. Hasil yang sama didapat saat sang kakak, Gede Mahendra (4,5 tahun), juga dites. Kakak beradik Mahendra dan Rendra ternyata positif terinfeksi HIV.

HIV (Human Immunodeficiency Syndrome) merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh, sehingga seseorang menjadi sangat rentan terhadap berbagai jenis penyakit. Dalam jangka waktu tertentu, HIV dapat menyebabkan kumpulan gejala penyakit pada pengidapnya. Fase inilah yang disebut dengan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Penularan virus ini dapat terjadi melalui pertukaran beberapa cairan tubuh manusia, yakni darah, cairan kelamin, dan air susu ibu.

Tak seorang pun bisa memastikan, dari mana virus HIV masuk ke tubuh kedua bocah laki-laki itu. Bisa jadi melalui proses persalinan atau air susu ibu. Parmita menduga, virus tersebut ditularkan oleh ayah kedua bocah, sebut saja Komang Feri. Menurutnya, Feri yang tak lain adalah anak kandungnya sempat mengakui kebiasaannya berganti-ganti pasangan semasa muda dulu. Dari perilakunya itu, Feri diperkirakan telah menularkan virusnya kepada Luh Diah, yang kemudian menularkannya lagi kepada Mahendra dan Rendra. Feri dan Luh Diah baru melakukan tes HIV beberapa bulan setelah hasil tes Mahendra dan Rendra diterima. Keduanya dinyatakan positif, dan meninggal awal 2006 lalu.

Virus HIV menjadikan Rendra dan Mahendra yatim piatu. Keduanya kini juga harus hidup dengan membawa virus yang sama dalam darahnya. HIV kini memang tak cuma mengancam orang dewasa. Sekretariat Program Gabungan PBB untuk Penanggulangan HIV/AIDS, UNAIDS menyebutkan, anak-anak di bawah usia lima tahun merupakan satu dalam enam kematian terkait-AIDS global, dan satu dalam tujuh infeksi global baru. Seorang anak meninggal karena penyakit yang berhubungan dengan AIDS setiap menit dari setiap hari. Disebutkan pula, setiap hari terdapat hampir 2.000 infeksi balita baru yang sebagian besarnya ditularkan dari ibu ke bayi, dan 1.400 anak di bawah usia 15 tahun meninggal karena penyakit yang berhubungan dengan AIDS. Setiap hari pula, 15 juta anak telah kehilangan salah satu atau kedua orangtuanya akibat AIDS.

Di Indonesia sendiri, persentase anak berumur 0-14 tahun yang tercatat terinfeksi HIV telah meningkat sampai 40% setiap tahunnya. Ini terjadi sejak lima tahun belakangan. Bali juga menyumbang angka yang tidak sedikit. Data Dinas Kesehatan Provinsi Bali pada Agustus 2006 menyebutkan, di Bali ada 9 kasus HIV positif pada anak di bawah usia 1 tahun. Tentu saja, angka itu tidak cukup menggambarkan kondisi sesungguhnya. Seperti fenomena gunung es, masih banyak anak-anak terinfeksi HIV lainnya yang belum tercatat. Salah satu faktor penyebabnya, karena banyak pihak yang tidak menyadari bahwa HIV/AIDS sudah menjadi problem untuk populasi anak-anak.

Dokter spesialis anak, Ketut Dewi Kumara Wati, mengakui, tidak mudah mengenali kasus HIV pada anak-anak. “Anak-anak kan sering sakit, nggak suka makan, jadinya kurus, itu hal-hal yang sangat sering kita temukan,” jelas Kepala Divisi Alergi Immunologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Sanglah itu. Akibatnya, para dokter dan orang tua umumnya tak terpikir kalau HIV yang menjadi penyebab dasar dari penyakit yang dideritanya.

Hal itu pula yang terjadi pada putri pasangan Nana (22) dan Wawan (27), sebut saja Neneng (1 tahun 7 bulan). Pertengahan 2005 lalu, Neneng harus menjalani perawatan di salah satu rumah sakit di Denpasar. “Waktu itu badannya panas, diare, dan sampai kejang-kejang,” ujar sang ayah bercerita. Menurut Wawan, putri pertamanya itu sudah sakit-sakitan sejak usianya 5 bulan. Bahkan dokter yang merawatnya saat itu menyebut, telah terjadi infeksi pada paru-parunya.

Infeksi paru-paru yang tidak biasa pada anak-anak, membuat Wawan yang positif terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) agak was was. Ia khawatir sang anak terinfeksi virus penyerang sistem kekebalan tubuh yang ada dalam darahnya. Wawan mengambil inisiatif, berterus terang tentang latar belakang dirinya sebagai pecandu narkoba suntik (penasun) yang kini telah terinfeksi HIV. “Waktu itu Nana dan Neneng langsung disarankan untuk tes darah,” kenang Wawan. Tes HIV akhirnya dilakukan terhadap Nana dan Neneng. Namun entah karena alasan apa, hasil tes tersebut hingga kini belum diketahuinya.

Delapan hari dirawat di rumah sakit, kondisi kesehatannya perlahan membaik. Namun seminggu setelahnya, penyakitnya kambuh. Suhu badannya naik lagi, batuk, dan tumbuh jamur di lidahnya (kandidiasis oral). “Dokter bilang dia kena gejala bronkhitis,” cerita Wawan. Kondisi keuangan keluarga yang pas-pasan, membuat Neneng terpaksa dirawat oleh Nur (40), sang nenek.

Kondisi Neneng kini sudah jauh lebih baik. “Dia jarang sakit-sakitan kayak dulu,” kata ibunya. Sayang, di usia 1 tahun 7 bulan, Neneng belum bisa berjalan layaknya anak seusianya. Kaki mungilnya tak mampu menopang tubuh yang beratnya 9 kilogram. Sakit yang terus menerus menimpa Neneng, membuat perkembangan organ tubuhnya tak normal. Ironisnya, sejak 6 bulan lalu ia sudah tidak minum susu formula lagi karena keterbatasan dana. Maklum, penghasilan Wawan dari bekerja sebagai pengantar air minum kemasan isi ulang cenderung tak menentu. Setiap satu galon air yang diantarnya, Wawan hanya bisa mengantongi Rp 500. “ Kadang-kadang kalau capek, aku istirahat aja dulu,” kata Wawan yang dalam enam bulan belakangan mengalami penurunan CD4 sampai 130, dari sebelumnya 480 menjadi 350. CD4 adalah sel pembentuk sistem kekebalan tubuh. Sel-sel inilah yang diserang virus HIV, sehingga tingkat kekebalan tubuh pengidapnya menjadi lemah.

Keterbatasan ekonomi juga membuat pola makan Neneng tidak teratur, “Kalau lapar biasanya dia nangis, terus saya kasih makan apa adanya saja. Kalau dia minta minum susu, saya hanya kasih air teh manis,” ungkap Nana.

Neneng masih cukup beruntung. Setidaknya, ia lebih beruntung dibandingkan Shinta (3 tahun). Bocah perempuan itu telah kehilangan kesempatan untuk menjalani kehidupannya, diduga karena HIV. ”Seluruh badannya dipenuhi herpes, dan tubuhnya saat itu kurus. Sementara perutnya membuncit,” kenang Galle, Petugas Lapangan Yayasan Hatihati yang sekaligus pendamping kedua orang tua Shinta, sebut saja Budi dan Wati. Budi dan Wati merupakan pasangan pengguna narkoba suntik (penasun) di kawasan Kuta.

Itu terjadi 2003 silam. Karena sakit, Shinta sempat dirujuk ke Rumah Sakit Sanglah dan mendapat pendampingan dari beberapa relawan Bali+, kelompok dukungan bagi orang dengan HIV/AIDS (Odha). Ketika itu, Budi juga telah mengalami sakit yang tidak biasa. Badannya demam, juga muncul herpes dan jamur pada mulutnya (kadidiasis oral). Hasil tes menyebutkan, Budi positif HIV. Ia meninggal tak lama setelah Shinta jatuh sakit.

Kematian suaminya, membuat Wati shock. Ia yang ketika itu mengandung anak ketiganya, tiba-tiba jatuh sakit. Pendarahan hebat dialami Wati saat usia kandungannya menginjak 5 bulan. Saat perempuan yang pernah menjalani tes HIV ketika menghuni Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan Denpasar karena kasus narkoba tersebut dirawat di Rumah Sakit Sanglah, Shinta menyusul kepergian sang ayah sebelum sempat menjalani tes darah untuk memastikan status HIV-nya. Wati bahkan tak sempat mengetahui kabar kematian Shinta, hingga tiga hari setelahnya ia pun meninggal dunia. Anak ketiganya tak sempat terlahir ke dunia.

Yang tersisa dari keluarga Budi kini hanyalah Dian (8 tahun), putri pertama mereka. Bocah perempuan itu kini dirawat oleh bibinya di Nusa Tenggara Barat (NTB). Beruntung, Dian tumbuh menjadi anak yang sehat. Minah, ibu kandung Budi, sama sekali tidak menyangka anak, menantu dan cucunya akan pergi selama-lamanya dalam waktu yang hampir bersamaan. “Budi pernah bilang kalau penyakit yang dialami keluarganya adalah Penyakit Menular Anak Muda,” kenang Minah.

Ancaman HIV kini bukan lagi monopoli orang dewasa. Meningkatnya penularan HIV pada ibu rumah tangga, menjadi jalan meningkatnya penularan kepada anak-anak. Entah sudah berapa banyak anak yang menjadi korban penularan HIV dari orang tuanya. [Komang Erviani, Asep Hidayat / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 21,Oktober 2006]

Tidak ada komentar: