Google
 

Minggu, 10 Desember 2006

HIV Pada Kaum Hawa

Sejumlah perempuan “baik-baik” kini hidup dengan HIV positif. Mereka tertular dari suami mereka. HIV tak cuma urusan orang-orang dengan perilaku berisiko tinggi. Perempuan 2,5 kali lebih rentan tertular HIV dibandingkan laki-laki


Saat kehamilannya menginjak bulan ke sembilan, sepuluh tahun lalu, Ni Luh (bukan nama sebenarnya) dikejutkan oleh kabar tak mengenakkan. Perempuan kelahiran 1974 itu divonis mengidap virus HIV (Human Immunodeficiency Virus), virus penyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Ni Luh sempat menyangkal.”Saya pikir, itu kan penyakitnya waria, pekerja seks. Nggak mungkin,” kenangnya.

Pikiran perempuan yang menikah di usia 19 tahun itu makin kalut, ketika dokter menyebut suaminya seorang biseksual. Dokter menyebut, suami yang dinikahi melalui proses perjodohan orang tua itu adalah lelaki dengan orientasi atau ketertarikan seks dengan sesama lelaki tetapi bisa juga dengan perempuan. Suaminya yang ketika itu tergolek lemah di salah satu ruang rawat inap Rumah Sakit Sanglah, ternyata telah terinfeksi HIV dan memasuki fase AIDS, fase di mana infeksi HIV mulai menimbulkan gejala-gejala penyakit karena menurunnya sistem kekebalan tubuh.

Ni Luh ingat, ada perlakuan ganjil terhadapnya sejak usia kandungannya lima bulan. Ia sempat diajak tes darah. Alasan dokter, tes darah untuk menjaga kondisi bayi dalam kandunganya. Tak cuma itu. Ia juga dianjurkan minum obat secara teratur. Dokter beralasan kalau obat tersebut obat mahal dan penting untuk menjaga kondisi bayi dalam kandungan. “Aku hanya ingat obat itu warnanya putih dan biru, dan aku disuruh minum. Tapi aku tidak tahu kalau obat itu adalah ARV, “ujarnya. ARV (antiretroviral) merupakan obat untuk menekan perkembangan virus HIV dalam darah. Ternyata, suami Ni Luh sudah mengetahui dirinya terinfeksi HIV jauh hari sebelumnya. Terapi ARV secara sembunyi-sembunyi itu dilakukan untuk mencegah penularan HIV ke tubuh si kecil nantinya.

Ni Luh amat terpukul ketika itu. Pikirannya kacau. Ia khawatir kalau kalau media massa memberitakan soal dirinya. Sempat tersusun strategi “melarikan diri” dari Bali setelah melahirkan nanti. Namun Ni Luh berusaha cuek. Hanya satu hal yang ingin dipikirkannya saat itu, yakni bagaimana agar proses persalinan berjalan lancar.
Agustus 1996, Ni Luh melahirkan bayi laki-laki dengan selamat. Meskipun rencana awal tim dokter yang menangani Ni Luh untuk melakukan operasi caesar, namun si jabang bayi ternyata tak sabaran untuk keluar dari perut sang ibu. Ni Luh melahirkan secara normal.

Dua minggu setelah melahirkan, suami Ni Luh meninggal dunia. Rupanya, kehadiran si kecil memperkuat semangat hidup NI Luh. Beberapa teman yang memberi dukungan, menambah semangat itu. Strategi ke luar Bali, urung dilaksanakan. Justru, Ni Luh mendapat kesempatan untuk aktif di yayasan penanggulangan AIDS. Ia kini menjadi aktivis dalam program-program penanggulangan HIV & AIDS.
Ni Luh bukan satu-satunya perempuan “baik-baik” yang terinfeksi HIV dari suaminya. Ketut Surya, sebut saja begitu, juga kaget luar biasa sekitar enam tahun lalu. Ketika itu, ia tengah mengandung 5 bulan. “Dokter bilang saya kena HIV. Waktu itu saya nggak tahu apa itu HIV,” terang perempuan asal Buleleng itu. Kabar itu diterima setelah suaminya tergolek di rumah sakit berbulan-bulan. “Suami ternyata kena AIDS. Makanya saya kena,” terang perempuan yang diduga terinfeksi dari suaminya yang doyan berganti pasangan di luar rumah.

Ketika itu, Surya mencoba tabah. Surya sadar, ia masih harus merawat suami yang kondisinya terus memburuk. Bahkan setelah suaminya meninggal dunia, ia mencoba kuat. Di benaknya, ia berpikir bahwa masih ada si kecil yang harus dirawat kelak.
Hal yang sama dialami Warni, juga asal Buleleng. Beberapa tahun lalu, Warni tak hanya harus kehilangan suaminya. Ia juga mendapat kabar tak mengenakkan. Tes HIV yang dijalaninya ternyata reaktif. Ia terinfeksi HIV dari suaminya.

Sampai dengan November 2006, kasus perempuan HIV positif yang didampingi oleh Yayasan Bali Plus, kelompok dukungan untuk orang dengan HIV & AIDS (Odha) mencapai 23 orang. Sedangkan data yang tercatat pada klinik VCT (Voulentary Counselling and Testing) Merpati Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wangaya sejak Oktober 2005, dari lima perempuan yang mengikuti tes HIV, tiga orang diantaranya positif HIV. Semuanya terinfeksi dari suaminya yang terlebih dulu dites. Data Dinas Kesehatan Provinsi Bali menyebutkan, hingga Oktober 2006 tercatat 233 perempuan HIV positif dari total 1182 kasus.

Ketua Pokja Care Support and Treatment (CST) Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali, Tuti Parwati menjelaskan, perempuan memiliki kerentanan 2,5 kali lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Itu karena secara fisik, alat kelamin perempuan seperti cangkir. “Bila pasangan seksualnya mengidap HIV, dia seperti penampung cairan yang mengandung HIV. Jadi perempuan memang gampang tertular,” ujar dokter penemu kasus HIV pertama di Indonesia itu.

Direktur Klinik Kesehatan Reproduksi Yayasan Rama Sesana, Luh Putu Upadisari, menegaskan hal senada. Menurut Sari, sebagian besar organ reproduksi wanita terdiri dari mukosa (dinding lapisan dalam yang sangat halus). Sebagian besar organ reproduksi perempuan juga terletak di dalam tubuh, tidak menonjol ke luar. Akibatnya, perempuan yang mengalami gejala IMS (infeksi menular seksual), termasuk HIV/AIDS, cenderung tidak mengeluhkan secara serius. Berbagai gejala tidak normal pada organ kelamin perempuan, cenderung dianggap sesuatu yang wajar.”Beda dengan laki-laki. Organ reproduksi laki-laki ada di luar dan salurannya sempit. Saluran kencing menjadi satu dengan saluran reproduksi. Jadi ketika mengalami infeksi, gejalanya sangat terasa. Karena infeksinya kalau kena air kencing, perih. Itu sangat membantu karena mereka umumnya segera mencari pertolongan,” jelas Sari.

Secara anatomis, kulit organ genetal laki-laki juga cenderung lebih keras. Berbeda dengan lapisan dinding mukosa yang mendominasi permukaan organ kelamin perempuan. “Kalau misal ada perlecetan pada kelamin si laki-laki, akan mempermudah penularan HIV & AIDS. Tapi kalau tidak ada perlecetan, dia cenderung lebih kuat,” tambah Sari yang kini aktif memberi pelayanan kesehatan bagi para pedagang dan pengunjung Pasar Badung sejak 2005 lalu.

Kerentanan perempuan tertular HIV & AIDS, juga disebabkan aspek sosial. Di masyarakat kita, masih ada kecenderungan umum menomorduakan perempuan dibandingkan laki-laki. Sari menjelaskan, ada kecenderungan perempuan dianggap kerjanya hanya di dapur sehingga tidak perlu melakukan pemeriksaan kesehatan. Keputihan misalnya, dianggap sesuatu yang biasa yang cukup diobati dengan jamu sirih. Padahal tidak semua keputihan adalah wajar. “Itu yang menambah serius,” keluh Sari.

Sari juga melihat adanya hambatan dalam aspek informasi. Akses informasi ke perempuan secara umum dikatakan masih minim. Ini dipengaruhi aspek sosial masyarakat yang berkiblat pada konsep patrilineal. Perempuan menjadi semakin terpuruk dengan informasinya.

Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) pada 2005 lalu juga mengeluarkan sejumlah pernyataan tentang rendahnya informasi kesehatan reproduksi dan HIV & AIDS bagi perempuan. Lemahnya posisi tawar perempuan pada saat bernegosiasi pemakaian kondom dengan pasangan, juga menjadi kendala yang dicatat dalam lokakarya IPPI yang diikuti perwakilan 17 provinsi itu.

Ada juga kecenderungan, perempuan HIV positif terinfeksi secara indirect (tidak langsung) dari suaminya. Entah karena suaminya pecandu narkoba suntik, atau karena suka ganti-ganti pasangan di luar rumah. “Perempuan yang secara kebetulan tertular secara indirect itu menjadi tidak ngeh, tidak menyadari kalau dirinya berisiko,” keluh Sari.

Menurut Sari, penting bagi kaum perempuan untuk lebih menyadari pentingnya melakukan pencegahan. Kaum perempuan juga harus menyadari, risiko tidak mesti datang dari dirinya sendiri. “Risiko bisa datang dari pasangannya. Jadi mereka harus sudah mengenali sejauh mana risiko terhadap dirinya melalui pasangannya. Seorang perempuan, diharapkan rajin memeriksakan organ reproduksinya secara rutin,” jelas Sari mengingatkan.

Tuti Parwati juga mengingatkan para perempuan untuk selalu menjaga kesehatan reproduksinya. “Misalnya dengan periksa, mendiskusikannya dengan suaminya,” ungkap Tuti.

Menjadi perempuan HIV positif, tak pernah terbayang di benak Ni Luh, Surya, maupun Warni sebelumnya. Tapi hidup tetap harus berjalan bagi ketiganya. Demi anak-anak dan keluarga baru mereka. [Komang Erviani, Ikha Widari / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 23,Desember 2006]

Tidak ada komentar: